Bel pulang pun telah berbunyi dari beberapa menit yang lalu. Sesuai janji Asila tadi siang, ralat paksaan dari seorang Zidan untuk membelikannya minuman. Kini Asila tengah berada di sebuah cafe dekat sekolahnya, menunggu nomor pesanan memanggilnya serta ditemani oleh sahabatnya siapa lagi kalau bukan Arina.
“Sebenarnya gue heran sama lo Sil, lo kok mau aja sih disuruh beli minuman kaya gini?” tanya Arina kepada lawan bicaranya Asila.
“Gakpapa kok, ini juga sebagai rasa terima kasihku karena dia udah nemuin buku ku” jawab Asila dengan senyum yang selalu ia tampilkan kepada sahabatnya. Sedangkan Arina hanya menggeleng gelengkan kepalanya melihat kelakuan sahabatnya yang terlalu baik ini.
“Sehabis ini, lo bisa pulang duluan. Aku bisa pulang sendiri naik bis. Makasih sebelumnya sudah nemanin, takut lo dicari bonyok lo di rumah” ucap Asila dengan sedikit kekehannya karena sahabatnya itu terlihat seperti anak manja, padahal tidak sama sekali. Arina yang mendengar kata ’bonyok’ hanya menghela nafas dan menganggukan kepalanya.
Tak lama kemudian nomor antrian Asila dipanggil, segera ia datang ke meja kasir mengambil sekaligus membayar pesanannya. Kemudian kedua sahabat itu keluar bersamaan dari cafe dan langsung berpisah ketika sebuah mobil mewah menghampiri mereka, siapa lagi kalau bukan supir dari Arina sahabatnya.
Tak pernah sedikitpun keluar dari benak Asila untuk merasa iri kepada takdir sahabatnya yang memiliki pemberian rezeki yang berlebih. Tak sedikitpun. Bagaimana pun hidup setiap insan dan jalan kehidupannya harus di sertai rasa syukur kepada Tuhan pencipta alam.
Asila merasa sangat berkecukupan dengan hasil kedua orang tuanya. Dimana abinya bekerja di Kementrian Agama. Keluarga dimana Asila merasa nyaman dan aman. Bahkan Asila selalu merasa bersyukur karena Allah SWT telah memberinya keluarga yang dianggapnya sangat sempurna itu.
*****
Suara derap kaki mungil itu terdengar di lorong sekolah yang sudah sepi. Kaki mungil itu melangkahkan kakinya menuju lapangan basket. Tak membutuhkan waktu yang cukup lama karena gerbang sekolah dan lapangan basket tidak terlalu jauh. Sesampainya Asila di pinggir lapangan ia segera mencari sosok yang membuatnya harus berada disekolah bahkan seusai pelajaran berakhir.
Dilapangan basket itu terdapat 2 tim yang sedang berlatih. Tim 1 memakai kaos berwarna hijau dan tim lainnya memakai kaos berwarna kuning. Sebenarnya Asila sudah tau dimana Zidan berada di lapangan dengan memakai kaos berwarna hijau itu sedang berlatih basket. Dan Asila pun punya niatan untuk meninggalkan minuman itu disini tanpa harus memanggil sang pemilik minuman. Tetapi Asila bahkan tidak tahu dimana tas Zidan berada dimana. Karena di pinggir lapangan ini banyak tas dengan berbagai bentuk dan warna.
Asila hanya duduk diam di pinggir lapangan dengan menonton pertandingan basket tersebut sambil sesekali ia memperhatikan gerak gerik dari Zidan. Kalau boleh jujur ini pertama kalinya ia menonton latihan basket disekolahnya. Karena seusai pelajaran selesai Asila akan langsung pulang.
Merasa diperhatikan, konsentrasi Zidan sedikit buyar. Segera ia melihat disekelilingnya dan melihat seorang gadis sedang duduk dengan memegang segelas minuman. Zidan bahkan lupa dengan gadis itu sudah datang karena terlalu serius bermain. Zidan juga tak menyangka bahwa gadis itu akan benar benar membawakannya minuman pesanannya.
Zidan yang baru beberapa detik melihat gadis mungil itu dari jauh, ia langsung saja menghentikan permainan dan melangkahkan kakinya ke arah tempat duduk gadis itu. Entah sudah berapa jam gadis itu menunggunya karena langit sudah menunjukkan warna jingganya. Bahkan minuman yang dibawa gadis mungil itu sudah tak dingin lagi.
“Makasih” timpal Zidan dengan mengambil minuman di tangan Asila yang sudah tidak dingin lagi.
Merasa urusannya telah selesai, Asila hendak meninggalkan lapanggan basket itu, hingga Zidan menarik tasnya dari belakang dan Asila tertarik kebelakang. Sebenarnya Asila sedikit kesal dengan kelakuan Zidan terhadapnya.
“Jam segini gak ada bus lewat udah mau malam. Lebih baik lo, gue antar” Ucap Zidan sesekali menyesap minuman yang berada di tangannya.
“Terimakasih atas tawarannya tapi gue bisa pakai jasa online” jawab Asila dengan senyumnya yang manis.
“Nggak perlu pesan jasa online, gue bakalan antar lo. Tunggu gue mau ganti pakaian” timpal Zidan dengan cepat dan meninggalkan Asila di lapangan basket itu sendiri. Asila yang melihat kelakuan seenaknya aja dari Zidan hanya menghela nafas, berdoa agar Mamanya tak khawatir karena ia pulang lambat kali ini.
Setelah menunggu beberapa menit akhirnya Zidan keluar dari ruang ganti dengan memakai pakaian santainya. Dan langsung berjalan ke arah lorong meninggalkan Asila di lapangan. Dengan cepat Asila melangkahkan kaki mungilnya mengikuti arah Zidan. Asila lagi lagi hanya mendengus kesal dengan kelakuan Zidan. Asila hanya bisa membatin semoga Zidan dapat merubah sedikit perilakunya kepada teman temannya. Teman? Apakah Asila sudah menganggap Zidan sebagai temannya? Mungkin iya. Hanya Asila dan Allah yang mengetahuinya.
Sesampainya di parkiran Zidan langsung masuk ke kendaraan beroda empat berwarna merah yang terparkir dilapangan.
“Masuk” Ucapnya dengan dingin kepada lawan bicaranya Asila. Asila lagi lagi hanya membalas dengan anggukan dan senyumannya.
Selama diperjalanan, kedua insan itu enggan untuk memulai pembicaraan. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing masing. Bahkan hanya suara radio yang menemani kesunyian di dalam mobil tersebut. Setelah menempuh dua puluh menit dengan jarak yang cukup jauh, akhirnya mobil Zidan sampai di depan rumah Asila. Rumah yang sangat sederhana menurut Zidan.
Setelah mobil berhenti, Asila melepaskan sabuk pengamannya dan membuka mobil. Tapi sebelum keluar dia tak lupa mengucapkan terima kasih serta senyum manisnya. Langsung saja Asila masuk ke pekarangan rumahnya. Sesampainya di dalam rumah tak lupa mengucap salam. Asila langsung diberi banyak pertanyaan yang membosankan, siapa lagi kalau bukan abangnya, Bang Aldo.
“Diantar siapa Sil? Pakai mobil lagi. Terus abang lihat yang nyetir cowok. Pacar baru Sisil ya? Hayo ngaku, abang kasih tau mama sama papa ah~” Goda Bang Aldo kepada adik bungsunya itu.
“Ih, abang apaan sih. Sok tau banget. Bukan tau, dia teman sekolah Sisil. Udah ah, ribet kalau ngomong sama Bang Aldo, gak ada kena kenanya” Ucap Asila sambil melangkahkan kakinya ke kamarnya. Bang Aldo yang melihat tinggah Adik bungsunya hanya tertawa.
“Teman apa TTM Sil?” Goda Bang Aldo lagi dengan kekehannya.
“BANG ALDO”