Read More >>"> Fall in Love with Yogyakarta
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Fall in Love with Yogyakarta
MENU
About Us  

"Sebentar lagi pesawat akan mendarat di bandara Adisucipto."

Lagi-lagi Luna menghembuskan napas kesal. Diliriknya ayah dan ibu yang sibuk bersiap untuk turun dari pesawat. Hari ini adalah hari di mana ia harus meninggalkan kota kelahirannya, Jakarta, karena ada sesuatu yang mengharuskannya untuk tinggal di Yogyakarta, kampung halaman orang tuanya.

"Ayo lho, Lun! Jangan cemberut gitu," ajak sang ibu melihat putrinya yang sejak berangkat tadi hanya cemberut.

"Ayo Lun siap-siap, nanti dijemput Bude," timpal sang ayah.

"Iya-iya!" Luna akhirnya menurut, lalu ikut menyiapkan barangnya.

Setelah turun dari pesawat, mereka disambut akrab oleh seorang perempuan dengan logat Jawa yang kental.

"Kadit, Nela! Piye kabare?" (Kadit, Nella! Gimana kabarnya?) ucap salah satu dari mereka. Tubuhnya agak pendek dan gemuk, rambutnya tertutup hijab rapi. Umurnya kira-kira lima tahun lebih tua dari ibu Luna. Wanita itu menghampiri lalu memeluk ibu Luna.

"Nella baik, Mbak. Kadit sama Luna juga," jawab Ibu Luna. Yap! Wanita itu adalah kakak dari Nella, Bude Melati. Nella bilang, Luna di sini akan dirawat oleh beliau. Sedangkan ibu dan ayah nya melanjutkan pekerjaan di Singapura. 

"Wah Luna sudah besar ya! Ayune cah." Wanita itu mengelus rambut Luna sayang. Sedangkan Luna dengan cuek memainkan ponselnya.

"Luna," tegur sang ayah tak suka. Kalau sudah kena teguran sang ayah, Luna sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Dengan terpaksa ia memasukkan benda pipih kesayangannya itu ke dalam saku, lalu menyalami tangan budenya.

"Siang, Bude," sapanya seramah mungkin. Gadis 14 tahun itu tentu harus terlihat manis di depan orang-orang.

Bude Melati tersenyum senang. "Nel, anakmu pokoknya aman deh sama aku!"

"Wah mbakyuku emang terbaik, deh!" Nella tertawa.

Tiba-tiba speaker bandara berbunyi, menginstruksikan kepada seluruh penumpang tujuan Singapura agar cepat naik ke pesawat, karena pesawat itu akan lepas landas.

"Mas, itu pesawat kita, kan?" tanya Nella pada suaminya. 

Kadit mengangguk.

Nela lalu menatap putrinya serius. "Kamu jangan bandel di sini, lho! Bantuin budenya, jangan sibuk nontonin Korea terus! Inget pesan Mama lho, Luna!" 

Kini giliran Kadit yang menghampiri Luna. Dipeluknya putri semata wayangnya itu. "Papa pergi ngurus pekerjaan dulu, ya. Kamu jangan nakal di sini ya, sayang."

Luna tentu saja tak kuasa menahan air matanya. Dalam pelukan sang papa, ia menangis kencang. "Papa sama Mama cepet pulang ya, nanti Luna kangen. Hiks.."

Kadit melepas pelukannya, lalu  membelai rambut Luna sayang. "Iya sayang, tungguin papa sama mama, ya!" 

Setelah melihat anggukan Luna, Nela dan Kadit mulai berjalan menjauh. 

"I will miss you, Mom, Dad!" teriak Luna seraya menghapus air matanya.

"Udah Luna, jangan nangis tho! Nanti ndak jadi ayu lagi!" ucap Budenya menghibur. Sedangkan Luna hanya bisa tersenyum kikuk menanggapinya.

Ia sadar, setelah ini, kehidupan barunya akan dimulai.

•••••••

Luna dan Budenya kini sedang jalan di jalan setapak menuju rumah Melati.

"Bude punya anak seumuran kamu, lho! Dia sekarang lagi di sanggar tari, nanti bude kenalin."

"Hmm.. oke." Sejauh ini, Luna lebih sering diam. Hanya satu dua kata yang ia keluarkan, sampai Melati heran sendiri.

"Luna di rumah pendiam, tho?"

"Hah? E-enggak kok."

"Keliatannya pendiam sekali sama bude."

"Hehehe."

"Luna capek?" 

Luna meringis. "Iya, kaki aku sakit. Masih jauh ya, bude?"

"Enggak kok, sabar ya."

Gadis itu mengangguk patuh. Tiba-tiba ia berhenti, seperti mengingat sesuatu. Dengan secepat kilat dikeluarkannya ponsel berlogo apel digigit itu dari saku celananya. Sikapnya itu tentu saja membuat Melati bingung.

"AAA ASTAGA MV BTS UDAH RILIS! AH SENANGNYA!" jeritnya antusias.
(*MV singkatan dari Music Video.
*BTS adalah boygroup asal Korea Selatan.)

Melati menganga dibuatnya. Melihat itu Luna meringis malu. "Maaf ya Bude, Luna berisik."

"Iya nggak apa-apa, nduk. Bude cuma kaget aja tiba-tiba kamu teriak."

"Hehehe.."

"Wes tekan, nih." (Sudah sampai, nih.)

Luna memandangi sebuah rumah sederhana di hadapannya. Ia tersenyum pahit.

Beda banget sama rumah Jakarta. -batinnya.

"Monggo masuk, nduk."

Luna menapakan kakinya ke teras rumah. Rumah ini nampak berbeda, keadaannya juga. For your information, Luna memang baru sekali datang ke sini. Dulu saat liburan, ia lebih sering diajak berlibur ke Bali atau luar negeri. Jadi pantas saja ia belum bisa beradaptasi dengan baik.

"B-bude, kamar Luna di mana?"

"Oh Luna lelah, ya? Mau istirahat?"

Gadis itu mengangguk.

"Kamu tidur sama anak bude, namanya Ayu. Dia sekarang lagi sekolah. Ayu itu seumuran kamu."

What the.. tidur berdua?! -batinnya.

Tapi di sini hidup Luna bergantung budenya. Mau tidak mau, suka tidak suka, dia harus terima.

Melati hanya tinggal berdua dengan putrinya. Suaminya mengelola bisnis kecil-kecilan di Sumatera. Jadi bisa dibilang mereka kesepian. Itu juga salah satu sebab mengapa Luna dititipkan di sini.

"Bude, Luna langsung ke kamar boleh?"

"Ayo bude antar." Melati mengambil alih koper mini bermotif kupu-kupu yang ditarik Luna sebelum menuntun Luna menuju kamar.

Dinding ber-wallpaper batik menyambut Luna. Batik Mega mendung berwarna biru langit yang cantik. Sprei nya pun berwarna biru. Benar-benar perpaduan yang cantik. Kamar itu rapi, membuat Luna nyaman memandangnya.

"Nah, kamu istirahat di sini ya."

"Iya bude, makasih."

Walaupun berbeda jauh dengan keadaan kamarnya di Jakarta, kamar ini cukup membuat Luna senang. Setidaknya ia bisa istirahat nyaman di sini. Sampai sebuah suara mengagetkannya.

"Assalamualaikum, Bu!"

Luna menatap Melati bingung. 

"Itu pasti Ayu, bude cek dulu, ya!"

Penasaran, Luna mengikuti langkah budenya. Seorang gadis dengan kerudung putih itu tampak seumuran dengannya. Senyumnya manis, mirip seperti Melati.

"Ayu! Ibu wes bilang tho yo, kalau masuk omah ki salam yang sopan! Ojo teriak-teriak, anak gadis ndak baik!" 

Luna mengedipkan matanya bingung mendengar ucapan budenya.

Bude ngomong apa, sih?

"Hehehe, punten, Bu. Habisnya aku lagi seneng!" Anak itu menghampiri Melati lalu mencium tangannya. "Bu, aku dipilih lomba membatik di sekolah! Katanya gambarku bagus!"

"Oh Alhamdulillah, jangan sia-siain kesempatan lho, Yu! Udah sana ganti baju dulu."

Ayu mengangguk lalu berjalan ke kamarnya, tapi langkahnya terhenti saat menyadari bahwa ada orang lain di rumahnya selain ia dan ibunya. "Ibu.. iku sopo?" (Ibu.. itu siapa?)

"Lah kan, ibu sampai lali e mau kenalin!" (Lah, ibu sampai lupa ya mau kenalin.) Melati menatap Luna dan Ayu bergantian.

"Luna, ini Ayu anak Bude. Sepupu kamu."

Luna mengangguk mengerti. Kini giliran Melati menatap Ayu. "Iki sepupumu lho, namanya Luna. Cah Jakarta, anak Pakde Kadit karo Bude Nela."

"Oh, sing ibu bilang mau tinggal neng kene?"

"He'em, bener."

Sedangkan Luna bingung menatap mereka berdua.

"Oalah! Kenalin, jenengku Ayu. Kembang Sekar Ayu. Jenengmu sopo?" 

Tidak mengerti apa yang diucapkan Ayu, Luna malah mundur. 

"Ayu, Luna belum ngerti bahasa kita," tegur Melati.

"Eh iya aku lupa! Maaf, ya. Namaku Ayu, namamu siapa?" Ayu mengoreksi otomatis.

"Luna. Lunaya Charlotta."

"Oke, salam kenal ya!"

•••••••

"Ayu, tolong ambilin gelas di dapur!"

"Iya, Bu!" Ayu berlari mengikuti perintah sang ibu. Kebetulan, dapur berada di dekat kamar Ayu. Jadi pasti Ayu akan melewati kamarnya saat menuju dapur.

"You can't stop me lovin myself! Ooo uuu ooo~"

Terdengar suara orang bersenandung dari dalam kamar. Tanpa pikir panjang, Ayu mengeceknya.

Terlihat Luna sedang asyik menulis sesuatu di buku hariannya, sedangkan kedua telinganya memakai earphone dengan volume full.

Ayu terkikik kecil mendengar Luna sesekali bersenandung mengikuti irama lagu yang didengarnya. Lagu luar, Ayu sama sekali tidak tahu lagu itu. Takut mengganggu Luna, Ayu pun segera pergi, melanjutkan perjalanannya ke dapur.

Sore harinya, Ayu sudah rapi hendak mengaji di masjid.

"Mau ke mana, Yu?" tanya Melati saat melihat Ayu merapikan hijabnya.

"Mau ngaji, Bu, di Masjid. Pak Ustadz Yusuf sudah sehat katanya."

"Oh, Alhamdulillah kalau gitu. Ajak Luna sana!" usul Melati. Pikirnya Luna pasti bosan hanya bermain di kamar. 

Usulan itu direspon antusias oleh Ayu. Dengan semangat ia menghampiri Luna yang sedang menyisir, habis mandi.

"Lun! Ikut aku, yuk!" 

"Eh? Ke mana?"

"Pengajian! Di sana seru tau!"

Luna mengernyitkan dahinya. "Pengajian? Ngapain ke pengajian?" tanyanya polos.

"Astaga!" Ayu menepuk jidat. "Ya ngaji Luna," ucapnya gemas.

"Ngaji itu ngapain?"

Ayu geleng-geleng kepala, tidak habis pikir dengan sepupunya ini. "Memangnya di Jakarta nggak ada pengajian?"

Luna tampak berpikir. "Emm.. kayaknya.. aku pernah denger."

"Kamu nggak pernah ngaji, Lun?"

Gadis itu menggeleng polos. 

"Kalau gitu kamu harus ikut aku sekarang!" Ayu mendekati lemarinya, lalu membukanya, dan mencari sesuatu di sana. Setelah ditemukannya, ia langsung menghadap Luna lagi. "Kamu bawa jaket?"

•••••••

Luna menatap jalan setapak bingung. Saat ini ia sedang duduk di sepada dengan Ayu yang mengayuh. Katanya, sih, mau ke tempat yang namanya 'pengajian'.

Tadi sebelum pergi, Luna diminta untuk memakai jaket yang ia bawa. Setelahnya Ayu dengan teliti memakaikannya kerudung berwarna merah miliknya. Luna tidak keberatan dengan itu, tapi masalahnya, Ayu dan budenya tidak memperbolehkannya membawa benda kesayangannya; ponsel. Hal itu menjadi alasan Luna cemberut saat ini.

Sepeda berhenti di depan sebuah Masjid bertuliskan "Al-Falah". Masjid itu tidak terlalu besar, tidak kecil juga. Catnya berwarna putih bersih dengan hiasan cokelat yang mempercantik tampilannya. 

"Wes tekan!" Ayu menginstruksikan agar Luna turun lebih dahulu. Setelah turun, Luna dipersilahkan masuk ke dalam.

Sampai di dalam, orang-orang menatap Luna aneh. Membuat gadis itu risih sendiri. 

"Assalamualaikum," ucap Ayu sebelum menyenggol lengan Luna. Luna tersadar, dan langsung mengucapkan hal yang sama.

"Waalaikumsallam," jawab orang-orang di sana. 

Banyak sekali yang ikut mengaji, kebanyakan seumuran Luna. Ada laki-laki dan juga perempuan. Pandangan Luna langsung tertuju pada bapak tua yang duduk di kursi roda. Bapak itu duduk bertolak belakang dengan para anak yang mengaji. Membuat Luna meyakini bahwa bapak ini adalah pembimbingnya.

Ayu menyuruh Luna duduk bersama anak-anak yang lain sebelum ia maju menghampiri bapak itu. "Punten, Pak. Saya hari ini bawa sepupu saya ngaji, dari Jakarta, Pak."

Bapak itu tersenyum ramah. "Tidak apa-apa, Ayu. Bagus kamu membawanya ke sini."

"Makasih, pak. Monggo dimulai."

Ayu duduk di sebelah Luna yang masih bingung. "Kamu bisa baca Qur'an, Lun?" tanya Ayu memecah perhatian Luna yang sedang menatap risih ke arah orang-orang yang menatapnya.

Gelengan Luna membuat Ayu menghela napas. "Belajar, ya, dari Iqro aja."

"Iya."

"Perhatikan anak-anak, hari ini kita kedatangan teman spesial dari Jakarta. Ini adalah teman baru kalian, silahkan Ayu, suruh sepupumu memperkenalkan diri," ucap bapak tua yang ternyata adalah Ustadz di sana.

"Lun, bangun ayo! Kenalin diri!"

"Hah? Ah, nggak mau! Nggak mau, aku malu."

"Ayo, Lun, teman-teman nunggu." Ayu terus mendesak, membuat Luna kesal.

"Aish, aku nggak mau, Yu! Aku malu!"

"Luna."

Mendengar suara berat itu, Luna sontak menoleh ke arah Ustadz Yusuf. Pak Ustadz memanggilnya, ia tidak salah dengar kan?

"Nama kamu Luna, kan?" Suara berat Pak Ustadz membuat seisi ruangan hening seketika. 

"I-iya, Pak." Luna menunduk takut.

"Hahaha, tidak usah takut begitu."

Luna dan yang lainnya menatap Ustadz itu bingung. 

"Coba kemari!"

Luna akhirnya menurut. Ia lalu berdiri dan menghampiri Ustadz Yusuf. Gadis itu duduk dengan lututnya di samping Ustadz Yusuf, untuk mensejajarkan tingginya dengan beliau.

"Nah anak-anak, ini namanya Luna. Benar?"

"Iya."

"Nak Luna ini asal Jakarta. Dia sepupu Ayu. Emm.. Luna bisa bahasa Jawa?"

"Enggak, Pak."

"Bisa baca Qur'an?"

"Enggak." Luna menggeleng malu. 

"Bisa nyanyi?"

"Eng—"

"BISA! SUARANYA LUNA BAGUS, PAK!" seru Ayu memotong ucapan Luna. 

"Ish, Ayu! Aku nggak bis—"

"Saya denger sendiri, Pak!" 

"Ish!" Sekarang Luna sudah kesal setengah mati. Andai saja Ayu itu bukan sepupunya, pasti sudah ia cincang sampai halus.

"Hahaha, kalau begitu coba senandungkan ayat Qur'an, nak."

"Astaga, Pak, saya nggak bisa." Luna memelas.

"Bisa."

"Nggak bisa, Pak."

"Jangan bilang nggak bisa kalau belum dicoba. Ayo, Nak, coba dulu." Ustadz Yusuf memberikan selembar kertas pada Luna. 

"Ayo Luna, pasti bisa!" seru Ayu.

"Luna! Luna! Luna! Luna!" Yang lain ikut menyemangati, membuat Luna terpaksa melakukannya.

"Ini nadanya gimana?" tanyanya pada Ustadz Yusuf.

"Begini.." Ustadz Yusuf memandu Luna untuk bernyanyi.

Akhirnya Luna mulai bernyanyi, menyenandungkan ayat-ayat Qur'an yang ditulis latin itu dengan suara merdunya. Anak-anak lain, bahkan Ustadz Yusuf terpukau dengan penampilannya. Hal itu membuat Luna tak bisa berhenti tersenyum sepanjang jalan pulang.

•••••••

"Subhanallah, walhamdulillah~" Semenjak kejadian di pengajian itu, Luna tak henti-hentinya bersenandung. Bahkan ia sampai mempelajari banyak lagu Islam yang mudah dihapal. Budenya sampai geleng-geleng kepala gemas.

"Lun, aku mau ke sanggar tari, mau ikut?" ajak Ayu di suatu siang.

"Di sana nanti ngapain?"

"Belajar nari, nanti ketemu teman banyak!"

"Dancing? Really?! Mau!!!"

"Yaudah ayo siap-siap!"

Setelah meminta izin pada Melati, mereka pun pergi ke sanggar menggunakan sepeda. Beberapa hari tinggal di Yogya membuat Luna agak terbiasa dengan lingkungan sekitar. Seperti pohon-pohon yang rindang di sepanjang jalan, buah mangga yang berjatuhan, daun putri malu yang bertebaran, serta ulat bulu di sekitar. Walaupun agak geli, tapi mereka semua sudah menjadi pemandangan sehari-hari Luna mulai sekarang.

"Sampai!" Ayu mengajak Luna turun dari sepeda. Sanggar tari itu cukup besar, bentuknya seperti saung namun lebih luas. Banyak anak-anak seumuran mereka yang sedang menari. Beberapa dari mereka pernah Luna jumpai di pengajian tempo hari.

"Mbak Yena!" Ayu memanggil seorang perempuan berkulit putih yang usianya kira-kira 5 tahun lebih tua dari mereka. Itu adalah sang pelatih. Cantik menurut Luna.

"Aku bawa sepupuku, nde'e arep ndelok kita latihan," jelas Ayu. Perempuan bernama Yena itu tersenyum menatap Luna. 

"Udu wong Yogya, tho?" bisiknya pada Ayu. 

Ayu menggeleng. "Asal Jakarta, cah kota."

Yena mengangguk mengerti. "Kamu, ke sini!" serunya seraya menunjuk Luna. Luna menurut, lalu menghampiri Yena.

"Mau belajar nari?" tanyanya ramah. Luna mengangguk antusias. "Iya! Apalagi dance Korea yang keren itu lho! BTS Idol, Blackpink ddu-du ddu-du, Twice What Is Love—" Luna berhenti saat semuanya menatapnya aneh. 

"Iku tarian opo tho? Aneh njenenge!" celetuk seorang anak. (Itu tarian apa, sih? Aneh namanya!)

"Hahaha!" Disusul gelak tawa dari yang lain. 

Mendengar itu Luna menunduk malu. Ia tidak pernah merasa malu seperti ini, rasanya sampai ingin menangis.

Yena dan Ayu yang melihat itu hanya bisa diam, bingung juga menanggapi Luna. 

"Ayu.." Luna berbisik. "Aku mau pulang."

•••••••

Gagal. Luna merasa gagal beradaptasi di tempat tinggalnya yang sekarang ini. Jakarta dan Yogyakarta, semuanya berbeda. Luna lelah membuat kedua kota itu menjadi sama di matanya. 

Semenjak kejadian di sanggar tari itu, Luna jadi lebih sering mengurung diri di kamar. Tidak lagi ikut Ayu mengaji, atau bermain bersama yang lain. Hal itu tentu membuat Melati merasa bingung. Maka dari itu, sore ini Melati memutuskan untuk menghubungi Nela, mengabarkan keadaaan putrinya. 

Mendengar kabar itu, Nela tentu saja khawatir. Tanpa pikir panjang lagi, setelah mengakhiri sambungan telepon dengan Melati, Nela langsung menghubungi nomor putrinya.

Wing wing wing wing Boomerang! 

Suara dering ponsel itu mengagetkan Luna yang sedang asyik menggambar sketsa wajah idolanya di selembar kertas. 

Mom's calling..

Melihat nama itu, Luna tersenyum dan langsung menggeser tombol hijau. 

"MAMA LUNA KANGEN, HUAA!" Sapaan itu membuat Nela yang berada di seberang sana terkikik geli. "Mama ke mana aja, sih? Kok baru telpon aku?" lanjut Luna dengan nada manja.

"Hahaha, maaf, dear. Susah sinyal di sini, sayang. Mama coba buat telpon ke sana nggak nyambung terus," jelas Nela.

"Iya-iya, Luna maafin. Mama apa kabar? Papa gimana?"

"Mama sama Papa baik-baik aja di sini. Kamu gimana di sana? Baik?"

Luna terdiam mendengar pertanyaan sang Mama. Bingung mau menjawab apa. Jika ia menjawab yang sebenernya, pasti Nela akan merasa khawatir. Namun, jika ia menjawab bertolakbelakang dengan keadaan, berarti dia berbohong pada ibunya. Sekarang ia harus memilih salah satu. 

"Emm.. Baik, Ma. Hehe," jawabnya kemudian.

Di sana, Nela tersenyum pahit mendengar jawaban putrinya. 
"Kenapa kamu bohong, Luna? Mama nggak pernah ngajarin kamu buat bohong."

Luna terdiam.

"Mama tau semuanya. Bude Melati yang cerita. Kenapa kamu nggak pernah ceritain masalah kamu sama dia?"

"Kok Bude tau aku ada masalah?"

"Luna, dengerin Mama. Mama nitipin kamu sama Bude Melati biar kamu bisa belajar mandiri, sayang. Kamu harus belajar menjadi dewasa."

"Tapi.. Luna capek, Ma. Hiks.." Tangisnya pecah. "Luna nggak betah di sini! Luna mau pulang ke Jakarta! Luna kangen temen-temen Luna di sana! Di sini temen-temennya nggak asik, nggak ada yang hobinya sama kayak Luna! Semuanya ngebosenin, hiks.. Luna capek."

Nela memberi waktu untuk putrinya mengeluarkan emosinya sebelum ia kembali berucap. "Luna, pernah denger kata pepatah? Kalau kita masuk kandang singa, kita harus berlagak seperti singa juga. Maksudnya itu, biar nggak ngerasa beda, kamu yang harus ikutin mereka, bukan mereka yang harus ikutin semua kemauan kamu. Itu namanya egois, Luna. Ngerti nggak?"

Mendengar penuturan mamanya itu, perlahan Luna berhenti menangis. Sudah lama sekali mamanya tidak bawel seperti ini, Luna jadi rindu.

"Kalau mau dapet temen banyak di sana, cobalah ngertiin mereka. Belajar kebudayaan, kebiasaan mereka. Pada akhirnya nanti akan indah, kok! Punya banyak temen itu asyik, sayang, jangan pernah sia-siakan kesempatan yang ada. Cari teman yang baik! Inget pesan Mama ya, Lun?"

Perlahan senyum Luna mengembang. "Makasih, Ma.."

"Jangan menghindar dari teman lagi, oke? Mama tutup dulu, jaringannya jelek nih, Papa juga udah minta makan. Bye sayang." 

"Dah, Mama!" 

Tut. Sambungan terputus. Luna mengelap matanya yang sembab. 

Saat ingin keluar kamar, ia melihat Ayu yang baru saja datang dari belakang. Sepertinya habis dari kamar mandi. Ayu sudah rapi dengan hijab kuning dan sepeda miliknya. 

"Ayu!" Luna memanggil, membuat Ayu kaget --karena ini pertama kalinya sejak kejadian itu, Luna kembali memanggilnya.

"Eh iya, Lun?"

"Mau ke mana?"

"Emm.. sanggar."

Luna menggigit bibir bawahnya. Sepertinya bingung dengan apa yang akan dia lakukan.

"Kenapa, Lun?" tegur Ayu.

Tiba-tiba Luna tersenyum. "Aku ikut, ya!"

••••••

Bisik-bisik saat Luna dan Ayu sampai di tempat sanggar membuat Luna risih. 

"Tenang aja, kamu duduk aja di sini," ucap Ayu menunjuk kursi kayu di pojok sanggar.

"Iya." Luna pun duduk di sana.

Tak lama, Yena datang. Ia tersenyum melihat Luna. Tanpa pikir panjang, ia menghampiri gadis itu. 

"Hai, Luna!" sapanya ramah.

"H-hai, Kak."

"Nggak usah gugup gitu sama aku." Yena tersenyum, membuat Luna ikut tersenyum juga.

"Kak.. Yena? Bener, kan?"

"Iya."

"Kakak cantik, kayak bukan orang Indonesia, hehe," puji Luna. Itu memang fakta. Dengan kulit putih dan matanya yang agak sipit membuat Yena sedikit berbeda.

"Aku emang bukan asli Indonesia! Aku asli Korsel, lho!"

Pernyataan itu membuat Luna menganga. "Demi apa?! Kok bisa?!"

"Iya, pas aku umur 10 tahun, orang tuaku pindah ke Indonesia karena urusan bisnis. Aku ikut, sampai sekarang tinggal di sini."

"Terus.. kakak kenapa nggak ngajar dance kpop aja? Kan keren! Kayak blackpink, BTS—"

"No! Aku sekarang tinggal di Indonesia. Aku harus belajar mencintai budaya dari sini. Lagipula tarian Indonesia nggak kalah bagus kok!"

Luna terdiam.

Yena menghela napas. "Luna, dulu aku juga seperti kamu. Susah banget buat beradaptasi di sini. Apalagi ini Yogyakarta. Tapi setelah lama tinggal, aku mulai terbiasa dan tertarik sama budaya Indonesia." Wanita itu mengusap lembut rambut Luna. "Kamu hanya belum mengenali budaya daerah kamu sendiri. Coba kenali, baru bisa kamu cintai."

Lama-lama senyum Luna pun terbit. 

"Jadi?" Yena tersenyum menatap gadis itu.

"Aku mau ikut nari, Kak!"

•••••

Sejak hari itu, Luna menjadi lebih friendly dari sebelumnya. Semakin hari ia semakin ingin menambah hal baru di hidupnya. Seperti menggambar batik, merajut, ibadah pun ia lakukan. Bahkan sekarang rambutnya yang indah itu sudah tertutup oleh kain hijab. Subhanallah.

Suatu hari, Ayu jatuh sakit. Tubuhnya demam, rasanya lemas. Hal itu membuat Melati khawatir serta bingung. Terlebih lusa adalah hari di mana Ayu seharusnya mengikuti lomba membatik dan menari. Bagaimana bisa jika ia sakit begini?

"Bu.." Ayu memanggil lirih.

"Iya?"

"Bilang sama Mbak Yena dan Bu Sri, aku nggak bisa ikut lomba."

"Kamu serius, Yu? Ini impian kamu." Melati menatap putrinya ragu.

"Serius, Bu. Lagipula Ayu udah lemes gini, nggak ada lagi waktu untuk latihan."

"Tapi, Yu.. Memegang piala serta piagam itu impian kamu.."

"Biar aku yang dapetin piala itu buat Ayu, Bude!" Tiba-tiba Luna datang dari arah pintu, berkata dengan mantapnya. "Ayu udah banyak bantu aku di sini, sekarang giliran aku yang bantu Ayu!"

Melati dan Ayu sama-sama terkejut melihat sikap Luna. Tak biasanya anak itu begini. 

"Aku mau latihan dulu!" Luna berlari ke luar kamar, membuat Melati dan Ayu terkekeh.

"Kayaknya Bude Nella sama Pakde Kadit bakal dapet kejutan," ucap Ayu disertai tawa geli.

••••••

Hari perlombaan.

Melati menatap panggung dengan bangga. Baru saja kelompok tarian Luna tampil, membawakan tari kecak dari Bali. Saking indahnya, ia bahkan tidak bisa berkedip. Hari ini ia datang ke acara perlombaan itu, sekadar untuk menjadi wali Luna. Sedangkan Ayu di rumah, kondisinya masih sangat lemah.

Tadi sebelum lomba tari dimulai, Luna sudah lebih dulu mengikuti lomba membatik, menggantikan Ayu. Gambarnya tidak cukup buruk, bahkan dengan perpaduan warnanya yang terang, batik itu terlihat indah.

Kini giliran pengumuman pemenang. Luna sudah berdiri di samping Melati, mengharapkan namanya dipanggil. 

"Bude, Luna deg-degan," ucapnya setengah berbisik.

"Bude juga, Lun."

Kini image Luna yang awalnya cerewet dan manja sudah berganti dengan sosok yang sopan dan lebih pemalu. Luna sudah berhasil beradaptasi di Yogjakarta. 

Luna dan Melati sontak teriak kaget saat mendengar MC menyebutkan nama Luna. Luna memenangkan kedua perlombaannya! Ia mendapat juara 3 untuk menari dan juara satu untuk menggambar!

Tanpa menunggu apa-apa lagi, setelah acara selesai Luna langsung mengabarkan orangtuanya. Membuat orangtuanya kaget setengah mati.

Yang lebih membuat Luna bangga adalah, ia berhasil mendapatkan piala yang Ayu inginkan.

Yogyakarta, kamu tempat terbaik rupanya, hihihi. -Luna.

--TAMAT--

Tags: bulbas35

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
12 Jam di Kota Kenangan
391      264     0     
Short Story
Pernahkah kau mengira kalau suatu pengalaman bisa mengubah pandanganmu akan suatu hal?