Kalau aku menyebut kota kenangan, kota apa yang pertama kali muncul di benakmu?
Mungkin… Bandung. Atau kota – kota lain diluar sana?
Bagiku, ada satu kota yang namanya melekat di hati.
Sejauh apapun aku pergi, selama apapun aku meninggalkannya, aku akan selalu kembali untuk berkunjung.
Dimana?
Jawa Tengah, 2018.
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Satu dari banyak kota besar di Indonesia, tapi satu dari sedikit kota di Indonesia yang mampu mempertahankan budaya dan ciri khasnya, dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Apa sih, yang membuatnya begitu istimewa? Pikirku saat menginjakkan kaki di kota ini untuk keberapa kalinya.
Dari tahun ke tahun, sudah menjadi tradisi untuk keluargaku mengunjungi kota ini, yang merupakan kampung dari almarhum kakekku. Sebelum beliau pergi, ia membangun kos – kosan tepat disebelah rumahnya untuk para mahasiswi di daerah Universitas Gajah Mada, dan kini menjadi tanggung jawab keluargaku untuk menengoknya setiap tahun.
Jujur, aku sedikit bosan. Selama kurang lebih 6 tahun berturut – turut aku menengok rumah ini, tidak banyak tempat yang aku kunjungi. Hanya tempat – tempat terkenal. Candi Borobudur, Malioboro…. dan beberapa tempat terkenal. Disitu – situ saja.
Sekarang, aku mempunyai kesempatan untuk mengeksplor kota ini dalam waktu 12 jam, mengunjungi tempat – tempat yang belum pernah ku kunjungi sebelumnya, dan beberapa tempat yang sudah aku kunjungi, dengan harapan ada sesuatu yang menarik, dan dapat membuat kenangan baru yang menghapus kenangan – kenangan yang kurang menyenangkan.
Tapi…. Darimana aku harus memulai?
Dan pikiran sempitku ini membawaku ke tempat paling ‘mainstream’ di Jogja: Malioboro. Terakhir aku menginjakkan kaki disini, trotoar nya kotor, macet, dan sangat ramai.
Sekarang?
Betapa terkejutnya diriku menemukan daerah ini sudah sangat bersih! Trotoarnya diperluas, jadi orang – orang tidak perlu berdesak – desakkan saat berjalan. Bahkan, ada banyak kursi taman yang dapat digunakan untuk duduk, atau sekedar berfoto. Tentunya, trotoarnya sangat dijaga. Walaupun tidak terlalu bersih, itu bisa dimaklumi karena banyaknya turis lokal maupun mancanegara yang datang berkunjung, tapi petugas kebersihannya juga diperbanyak, jadi kebersihannya sangat terjaga.
Aku melewati beberapa penjual dipinggir trotoar yang menjual berbagai hal, dari baju khas mereka yang bergambar sepeda dan bertuliskan ‘jogja’, hingga beraneka ragam kerajinan tangan yang sangat menarik. Aku memutuskan untuk membeli gantungan kunci yang terlihat unik, dan gantungan yang bisa kugunakan sebagai hiasan kamar yang dirajut, aku sangat menyukainya.
Tak lupa aku mengambil foto daerah sekitar Malioboro ini, kemudian duduk sambil menikmati jajanan khas Jogja yang dijual di depan Pasar Beringharjo.
Hari sepertinya sudah lumayan siang, apakah ada tempat dimana aku bisa menikmati pemandangan alam?
Aku menyempatkan diri untuk bertanya kepada penduduk lokal, dimana aku bisa mengamati pemandangan alam kota ini, dan salah satu penduduk menyarankanku untuk mengunjungi pantai.
Pantai?
Ya, ternyata ada pantai di Jogja! Karena aku begitu penasaran, aku memutuskan untuk mengunjunginya sekarang juga, karena jarak tempuh nya memerlukan sekitar 2 – 3 jam, dan masih ada tempat yang harus aku kunjungi malam ini.
Sepanjang perjalanan, satu – satunya pemandanganku adalah sawah, sawah, dan perkebunan. Sangat indah, mengingat di Jakarta, dimana aku dilahirkan dan tumbuh besar, yang aku lihat hanya gedung pencakar langit yang tinggi, dengan jumlah yang sangat banyak. Suatu pemandangan yang membuka mata, begitu menyegarkan.
Tak terasa, 2 jam perjalanan yang sedikit melelahkan, tapi semangatku tidak pudar, melihat pemandangan pantai yang begitu indah ini. Disisi kiri dan kanan, terdapat tebing yang sangat tinggi, dan di tengah – tengahnya merupakan laut Jawa yang terlihat begitu indah. Saat aku datang, banyak penduduk lokal yang tengah bermain di air, banyak anak kecil yang berlari – lari mengumpulkan kerang yang mereka temukan, dan bermain air. Ah, aku lega aku membawa baju ganti, aku pun memutuskan untuk mencelupkan kakiku ke air. Air laut yang dingin sekilas membawaku kembali ke memori masa kecilku, ketika aku berlari – lari tanpa peduli, bermain, dan tersenyum tanpa beban.
Setelah puas bermain air dan menatap terbenamnya matahari, aku pun membersihkan diri dan mempersiapkan diri ke tempat selanjutnya. Aku mengenal tempat ini dengan baik, walaupun aku sebelumnya hanya pernah datang sekali, tapi perasaanku mengatakan kalau kegiatanku setelah ini akan membekas di hatiku.
Dalam perjalanan, aku tertidur karena begitu lelah. Walaupun lelah, aku sudah sangat senang karena aku mampu membuka diri untuk kesempatan baru. Tapi, hari ini belum selesai.
Setelah beberapa jam, aku membuka mataku dan melihat kalau mobil yang kukendarai ini sudah memasuki kompleks Candi Prambanan. Ya, candi yang tak kalah terkenalnya ini adalah tempat dimana aku akan menghabiskan malam ku.
Kenapa, kau mungkin bertanya?
Aku akan bertemu dengan salah satu anggota keluargaku, yang diundang untuk menonton sebuah pertunjukkan teater yang bertajuk ‘Dionysus’, sebuah teater kolaborasi antara Indonesia dan Jepang, dan karena kebetulan aku sedang disini, kenapa tidak?
Sejujurnya, aku tidak tahu apa yang akan dibawakan di pertunjukkan teater ini. Aku tidak sempat mencari tahu, jadi aku menyempatkan diri untuk membeli buku yang berisi tentang pertunjukkan ini secara keseluruhan.
Dionysus merupakan seorang tokoh dari legenda Yunani, seorang yang angkuh, ingin menguasai dunia.Tapi apa yang spesial dari pertunjukkan ini, sampai mereka bisa bermain di tempat sehebat ini?
Sebelum aku bisa melanjutkan membaca buku itu, sebuah gong berbunyi, menandakan pertunjukkan segera dimulai, dan penonton diharapkan untuk masuk. Betapa terkejutnya diriku saat mengetahui kalau aku akan duduk diantara tamu – tamu undangan, dan duduk dibelakang sang produser itu sendiri! Aku menengok ke tante ku beberapa kali, dan mengedip tidak percaya.
Tidak lama kemudian, lampu sudah mulai meredup, dan pertunjukkan dimulai dengan seorang pria masuk memakai pakaian serba putih kerajaan dengan pengawal – pengawalnya, dan memulai dialog… dalam Bahasa Jawa!
Kemudian, si karakter yang berperan sebagai tokoh antagonis masuk, memeragakan sikap angkuh, dan menyampaikan dialognya dalam Bahasa Mandarin! Aku begitu terpana, melihat ada karakter yang menggunakan Bahasa Mandarin, Jepang, kemudian Jawa, dan bersilih ganti ke bahasa – bahasa daerah lainnya.
Pertunjukkan berdurasi 1 jam itu berakhir dengan adegan tragis yang membawa akhir yang tidak terduga di pertunjukkan itu. Saat pertunjukkan berakhir, semuanya berdiri untuk tepuk tangan, dan saat aku melirik ke kursi penonton dibelakang, aku menyadari banyak kursi yang kosong. Hmmm….
Dan dengan sekejap, hari itu berakhir begitu saja. Sangat disayangkan, ada banyak tempat yang ingin ku kunjungi, tapi 12 jam tidak cukup untuk melihat semuanya. Tapi aku bisa melihat, bahwa ditengah – tengah perubahan dunia yang sangat cepat, aku selalu bisa kembali kesini, untuk mengingat bahwa kebudayaan kami- Indonesia, ada. Dikenal luas, dan akan kami lestarikan sampai seluruh dunia tahu nama kami.
Disinilah kenanganku terbentuk, dan akan kuingat selamanya.
Daerah Istimewa Yogyakarta, engkau memang istimewa.