Loading...
Logo TinLit
Read Story - Janjiku
MENU
About Us  

Sebab tak ingin melihat kawan menggantang asap mengukir langit, tak sampai hatinya melihatnya ditolak Lina hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu, sampai Senin lagi. Ditolak pagi, siang, sore, dan malam, full time, berkali-kali Danujar, Broto, dan Dasimur mengingatkan Woko agar melupakan Lina.
“Dia melirikmu? Sama saja dengan bebek mengeong, mustahil,” kata Broto.
“Mending kamu beralih pada perempuan lain,” saran Danujar.
“Berdasarkan pengamatanku, rasa sayang Lina padamu lebih kecil daripada rasa bencinya. Kita tahu, Ko, kalau kamu amat ingin mendapatkannya. Tapi kamu yakin bisa mengajak si perempuan pandai macam dia dengan kamu yang, maaf, nilai rapot saja banyak angka duanya macam bebek berenang, hah ?” kata Dasimur.
“Aih, kawan. Bukannya kalian mendukung aku. Lagipula perempuan mana yang kamu maksud, hai, Danujar?” mata sayu Woko melirik perawakan Danujar yang gemuk tetapi tegap. Wajar ia selalu makan kacang rebus dari saku seragamnya saban apel pagi.
“Si Ida, siapa lagi? Anak kelas sebelah, puterinya Pak Camat, tak kalah cantik dari Lina. Ia pun peringkat dua paralel di SMA ini, di bawah Lina. Kabarnya sih, mereka kejar-kejaran nilai,” sedikit terkekeh Danujar bicara.
Woko tak terpengaruh oleh suara-suara yang mengecilkan hati itu. Baginya itu bunyi distorsi radio lama di toko kelontong Pak Cik, tetangga sebelah, menguing-nguinglah sesuka kalian. Dia fokus kepada Lina. Dia tak mau dan tak pindah ke frekuensi lain.
Untuk keperluan itu dia punya mata-mata, yaitu salah seorang kawan terdekat Lina, si Zubaida, yang senang saja disogok Woko dengan buah salak hasil kebun bapaknya.
Di bawah pohon beringin, di belakang sekolah, sambil memamah biak salak, Zubaida berkisah bahwa Lina suka main kasti. Kasti? Berdebar dada Woko.
Woko yang tak pernah suka olahraga, yang badannya seperti mau retak kalau ditiup angin selatan tatkala senja, tiga minggu berikutnya terpilih masuk tim inti tenis meja SMA. Lain waktu Zubaida berkata kalau Lina suka lari sprint. Tak ada angin tak ada badai, tahu-tahu Woko menggondol juara pertama lomba lari sprint tingkat SMA. Gayanya berlari macam rusa menahan kencing. Zubaida bertepuk tangan.
Lain hari, lain pula Zubaida bercerita. Saban ia bertemu Woko, wajahnya berseri-seri  menanti salak sekresek penuh, sejatinya bukan menunggu Woko. Kali ini ia serius. Ia tak segera merebut salak itu. Zubaida menggandeng tangan Woko, lalu menariknya ke balik pohon beringin.
“Zubaida, kenapa kamu? Tak ada orang di belakang sekolah, kenapa harus sembunyi? Aneh.”
“Aku mau cerita mengenai Lina. Kamu belum tahu kabarnya baru-baru ini,” Zubaida terdiam sejenak, tiba-tiba sepi, senyap, lalu memecah petala langit lagi suaranya, “Lina lagi dekat dengan Jomy.”
KRAKKK
Sekonyong-konyong Woko memukulkan kepalan tangannya ke batang pohon beringin. Kering kerontang tulang jemari tak berdaging, kulit berlebih. 
Dalam hatinya, ia dendam dengan Jomy, sekelas dengan Zubaida. Tetapi apalah daya, Jomy memiliki semuanya. Wajah rupawan Tom Cruise ia miliki, kulit eksotis Beyonce, rambut gondrong Jang Geun Suk, mulut lembut macam kelopak mawar, mata tajam bak mata preman, lengkap dengan perawakan yang ideal, semua ada pada diri Jomy. Ya, Jomy, anak semata wayang Pak Banu dan Bu Ema, Pak dan Bu Kepsek di SMA ini. Siapa berani macam-macam dengan Jomy, tinggal menunggu akhir riwayat saja, bisa-bisa tidak naik kelas bahkan dikeluarkan. Sadis. Ingat akan semua itu, nyali Woko menciut seketika. 
    Nun jauh di pojok paling selatan kampung, Woko duduk sendiri di beranda rumah. Hatinya menangis keras bukan kepalang, sehingga kayu-kayu yang menopang atap rumbia menggeletar. Paku-pakunya mau copot. Tikus-tikus kabur ketakutan. Ia mengamati garis-garis nasib di telapak tangan kirinya, yang tampak nyata di bawah sinar jingga mentari sore. Dia ingin menaklukkan hati Lina. Woko yang sentimental, lembut, dan perasa. Air mata liar berjatuhan di telapak tangan kirinya itu. Tangan kanannya teguh menarik kerah seragam sekolahnya.
    Woko sadar bahwa segala hal yang dia lakukan selama ini, semangat yang tumbuh di sendi-sendi tubuhnya, setiap tarikan nafasnya, adalah demi perempuan pujaannya, Lina. Tak bisa dialihkannya pikirannya dari Lina. Pernah ia mengerjakan soal tes matematika, ia bubuhkan nama ‘Lina Mariana’ di lembar jawabnya. Pak guru bingung ada dua nama Lina yang sama, yang satu dapat angka sepuluh, lainnya angka nol besar macam telur ayam kalkun Pak Peno, tetangga sebelah. Woko tak mau ambil pusing, Lina malu dibuatnya. Maka mengerjakan tes ulanglah si Lina itu.
    Kuda dan keledai nyaris sama. Kambing dan domba serupa. Dua anak kembar, teman satu kelas Woko, sulit dibedakan. Namun, tak ada persamaan sama sekali antara Woko dan Jomy.
    Woko Priyono adalah anak kedua Pak Prihatin dan Bu Tini, sama-sama buruh tani. Mereka punya kebun salak di belakang rumah, namun sangat sempit. Hasil panen salak itu pun tak seberapa. Sering juga mereka ada panggilan dari Pak Lurah –Bapak kandung Lina– untuk menggarap sawahnya. Diam-diam Woko ikut bekerja, dengan begitu ia bisa melihat Lina saban hari, meski hanya berkelebat sepintas, dan hal itu lebih dari cukup untuk membuatnya berangkat tidur dengan keadaan tersenyum lebar, dan bangun tertawa. Semakin sering ia ikut ayah-ibunya bekerja, Woko segera hafal sepak terjang Lina, misalnya pukul berapa dia keluar rumah, pukul berapa dia pulang, dan akhir-akhir ini ia hafal hari apa lelaki sempurna –Jomy– itu mengantarnya pulang. 
    Adapun Jomy Rizaski anak satu-satunya Pak dan Bu Kepsek di SMA dia sekolah, rumahnya di kampung sebelah yang terpisah jembatan bambu. Ia jago main basket. Di rumah, ia tak betah karena kurang kerjaan, sebabnyalah Jomy sering keluar rumah tiap pulang sekolah, main basket, jalan-jalan dengan Lina di taman, pulang-pulang ia langsung tidur. Enak nian hidupnya.
    Woko banyak bicara, tetapi masalah asmara ia pandai menyembunyikan perasaannya. Jomy flamboyan, sifatnya dingin dengan semua perempuan kecuali Lina, sebabnyalah banyak perempuan di SMA yang patah hati. Meski begitu, ia tetap selebritas lokal nomor satu di sekolah.
    Apa lagi? Semuanya berbeda antara Woko dan Jomy, yang sama hanya satu, keduanya sedang jatuh cinta dengan perempuan yang sama.
    Kamis, Lina dan Jomy makan bareng di kantin. Woko tak terkejut karena sudah tahu cepat atau lambat mereka pasti akan melakukannya. Ia pun berpura-pura membaca buku di samping mereka.
    “Sejak kapan kamu suka baca?” tanya Jomy ke Woko dengan ekspresi singa-nya.
    “Suka-suka aku lah. Situ ngapain?” timpal Woko.
    “Kamu tak lihat kita lagi berdua, hah?”
    Woko kesal, sensinya cepat muncul. Ia menggubrak meja degan buku tebalnya lalu pergi, jauh, semakin jauh, kemudian tak terlihat. Kejadian itu pun menarik perhatian orang-orang sekitar, lalu terlupakan. 
    Hanya sehari setelah meluapkan emosi, Woko telah berada di balai desa, tepatnya di kantor Pak Lurah. Bukan satu-dua orang yang mengingatkan tokoh kita itu soal watak Woko, bahwa dia memang orang berpendirian teguh, tetapi berkepala batu. Kalau bicara sekehendak mulutnya. Barangkali satu batalion tentara kavaleri pun tak dapat menghalangi langkahnya menuju Lina. Menghadapi Pak Lurah, Woko sadar betul bahwa dia memasukkan kepala bebeknya itu ke mulut harimau.
    “Maksudmu ke sini ada keperluan apa, Nak?” tanya Pak Lurah.
    “Mau bicara dengan Pak Lurah,” Woko tertunduk takzim.
    “Pasti mengenai Lina, bukan?” Tak ada angin tak ada badai, Pak Lurah naik tensi. “Pertama! Sudah dua bulan yang lalu, aku mengizinkan Lina berpacaran dengan Jomy.”
    “Ya, Pak.”
    “Kedua!” suara Pak Lurah makin tinggi. “Kamu bukan pacar Lina. Kalaupun itu terjadi, aku tak sudi menjadi besan bapakmu.”
    “Iya, Ba... Ba...”
    “Pak! Itulah panggilan sopan santun orang di kantor balai desa!”
    “Iya, Pak.”
    Sekarang terungkap mengapa Jomy dan Lina muntab.
    “Namamu, siapa, Nak? Lupa saya!”
    “Woko bin Prihatin.”
    “Kalau menjawab, tegas! Jangan seperti orang kurang lemak begitu!”
    “Woko bin Prihatin!”
    “Mencintai anakku perlu ketegasan! Sikap bijaksana, tidak ragu, setia! Orang-orang yang berjiwa lemah dan penguntit tidak pantas untuk Lina!”
    Penguntit? Bagaimana Pak Lurah bisa tahu selama ini ia menguntit Lina? Pikir Woko.
    “Pasti kamu memikirkan bagaimana saya bisa tahu semua itu. Lina bicara sendiri dengan saya,” kumis Pak Lurah macam sungut lele itu naik sebelah.
    “Iya, Pak.”
    “Berapa nilai rata-rata rapormu?”
    “Empat.”
    “Saya dulu enam.”
    Siapa yang bertanya?
    “Bisa matematika?”
    “Sedikit.”
    “Apa benar kudengar kabar temanmu kalau kamu mengerjakan soal matematika berkeringat kalau menghitung duit tidak?”
    “Benar, Pak.” Woko tersenyum.
    “Kalau melihat muka kamu, sebenarnya saya tidak mau menerima. Tertekan batin saya melihat muka itu.”
    Woko tersenyum lagi.
    Sejak itulah Woko sangat akrab dengan Pak Lurah. Misi pertamanya berhasil.
    Selebihnya, semua berlangsung sediakala. Sabari bangun subuh, mengurus ayam, berangkat sekolah, pulang, mengurus ayam lagi, ikut orang tua menggarap sawah Pak Lurah, pulang, ngobrol dengan ibunya, tidur tersenyum, bangun tertawa. Soal mata-mata, ia tak lagi butuh Zubaida. Sementara itu, Zubaida yang sudah terbiasa melakukan hal konyol itu bahkan memohon-mohon pada Woko agar membutuhkan jasanya lagi.
    “Woko, butuhkan aku lagi. Sudah terlalu senang aku lakukan itu, tak masalah jika kamu tak memberiku salak,” Zubaida memelas. Woko tidak peduli.
    Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, tak terjadi hal luar biasa sampai suatu hari Broto membisiki dua sejoli –Danujar dan Dasimur– di kedai kopi seberang sekolah membicarakan siapa sebenarnya lelaki berkacamata hitam di kelasnya.
    “Itu Woko, berbahaya!”
    “Maksudmu?”
    “Woko telah berubah menjadi lelaki cap luwak!”
    “Cap luwak?”
    “Istilah masa kini, artinya lelaki yang memanfaatkan orang yang pada akhirnya senang dimanfaatkan.”
    “Yang benar kamu, Brot.”
    “Lina sampai mau putus dengan Jomy, rankingnya turun, dibuatnya.”
    Terperanjat Dasimur.
    “Maksud Woko berdandan rapi dan gemar belajar, sebenarnya dia ingin mecerai beraikan hubungan Lina dan Jomy?”
    Berdiri bulu kuduk Dasimur.
    “Jomy? Hebat benar tuh bocah.”
    “Tentu Jomy, siapa lagi?”
    Broto mendekatkan bangkunya ke Danujar dan Dasimur lalu berbisik, “Ulangan harian matematika tadi, trigonometri, hanya Broto yang nilainya sembilan. Tak tahulah mimpi apa dia.”
    Dasimur memukul meja.
    “Bahaya!”
    Tak ambil tempo, keesokannya mereka langsung menginterogasi Woko.
“Wok! Apakah kamu tahu maksud kami memaggilmu?”
    Pagi buta, bahkan belum sempat piket kelas, Woko kalang kabut.
    “Ti..tidak.”
    “Apakah kamu merasa ada yang salah?!”
    Woko mengamati dirinya sendiri, dari atas ke bawah, ia membersihkan kacamata hitamnya dengan baju seragam.
    “Ini bukan soal penampilanmu itu,” lanjut Broto, “Jadi, kamu tak tahu mengapa kami memanggilmu?”
    “Tidak.”
    Watak Woko semakin dingin.
    “Kita memanggilmu karena Jomy!”
    Woko kaget.
    “Mengapa Jomy?”
    “Kamu sengaja bikin Lena putus dengan Jomy, kan?”
    Woko kaget lagi, tetapi dengan cepat menguasai diri.
    “Ya.”
    “Nah, ketahuan belangmu!”
    Woko melirik jam tangan yang dibeli dari hasil panen salak. Sudah lima menit. Ia sudah terbiasa disiplin sekarang. Woko tersenyum. Hidup ini memang dipenuhi orang-orang yang kita inginkan, tetapi tak menginginkan kita, mereka tetap berusaha mendapatkannya meski hal licik dilakukannya, dan Woko tetap tersenyum.
    Ujian Nasional tinggal sebulan lagi. Woko tak mau membuat dirinya malu di hari pengumuman kelulusan. Saban hari ia mengurung diri di kamar, buku berserakan di mana-mana, setiap kali rehat ia selalu bersisir di depan cermin. Wajahku kian hari semakin tampan. Orang tuanya menjadi kerap ditanyai Pak Lurah tentang Woko, tak biasanya ia tak ikut bekerja.
    “Dia belajar, Pak,” begitu jawab mereka.
    Pak Lurah mengangguk-angguk sembari mengelus kumis sungut lelenya itu. Hmm, nampaknya ia serius menyukai anakku. Dia tertawa kecil.
    Lina, oh, Lina, perempuan yang telah membuat Woko senewen karena kasmaran. Cinta pertamanya, belahan jiwanya, segala-galanya. 
    Waktu bergulir merambat merantai perjuangan Woko. Hasil ujian diumumkan. Hal yang paling mustahil didengar adalah ketika Woko mendapatkan nilai sempurna pada matematika. Hari ini, sudah tidak berlaku, Woko terpilih menjadi juara paralel pertama. Matematikanya sepuluh, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan Sains-nya nyaris sempurna. Lina kalah dua angka. Teman-temannya di acara perpisahan itu menganga tidak percaya. Tepuk tangan memantul riuh di sudut-sudut aula. 
    Siang itu Pak Lurah memanggil Woko dan menawarinya untuk menikahi Lina. Lina ada di situ, duduk membatu menghadapi meja. Woko bergemetar. Bagai api tak berasap, dalam hatinya berkata tidak mungkin. Tetapi ia pernah membaca sebuah ungkapan, orang akan pamrih pada apa yang ia usahakan. Dan kini, Woko bebas memutuskan. Ia mau.
    Si angin mengarak si awan ke timur. Awan mengintip ke beranda rumah Pak Lurah, takjub melihat seorang lelaki yang mencintai perempuan di seberang meja itu lebih dari apa pun di dunia ini, mereka akan segera menikah. Cinta sungguh-sungguh ajaib.
    Woko bersanding dengan Lina adalah pemandangan paling mustahil yang pernah dilihat teman-temannya semasa SMA. Danujar, Broto, dan Dasimur duduk bersanding di bawah hiasan daun-daun kelapa. Jomy dengan balutan blazer hitam duduk manis berhati pahit  di kursi tamu undangan. Woko tepat di depan mereka. Sulit mereka memahami apa yang terjadi dalam waktu singkat. Berkali-kali mereka mengucek mata bahwa Lina telah bersuamikan Woko.
    Untuk kamu yang bernama Lina
    Terima kasih telah membenciku
    Maaf, aku selalu mengejarmu
    Tapi biar kamu tahu, seberapa dalam lautan cintaku
    Hari ini terbayarkan
    Janjiku

Tags: Romance

How do you feel about this chapter?

0 0 3 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Apakah kehidupan SMA-ku akan hancur hanya karena RomCom? [Volume 2]
1777      824     0     
Romance
Di jilid dua kali ini, Kisaragi Yuuichi kembali dibuat repot oleh Sakuraba Aika, yaitu ia disuruh untuk bergabung dengan klub relawan yang selama ini ia anggap, bahwa melakukan hal seperti itu tidak ada untungnya. Karena godaan dan paksaan dari Sakuraba Aika terus menghantui pikirannya. Akhirnya ia pun terpaksa bergabung. Seiring ia menjadi anggota klub relawan. Masalah-masalah merepotkan pun d...
The Secret
420      289     1     
Short Story
Aku senang bisa masuk ke asrama bintang, menyusul Dylan, dan menghabiskan waktu bersama di taman. Kupikir semua akan indah, namun kenyataannya lain. Tragedi bunuh diri seorang siswi mencurigai Dylan terlibat di dalam kasus tersebut. Kemudian Sarah, teman sekamarku, mengungkap sebuah rahasia besar Dylan. Aku dihadapkan oleh dua pilihan, membunuh kekasihku atau mengabaikan kematian para penghuni as...
Praha
315      195     1     
Short Story
Praha lahir di antara badai dan di sepertiga malam. Malam itu saat dingin menelusup ke tengkuk orang-orang di jalan-jalan sepi, termasuk bapak dan terutama ibunya yang mengejan, Praha lahir di rumah sakit kecil tengah hutan, supranatural, dan misteri.
Cinta Dalam Diam
765      507     1     
Short Story
Kututup buku bersampul ungu itu dan meletakkannya kembali dalam barisan buku-buku lain yang semua isinya adalah tentang dia. Iya dia, mungkin sebagian orang berpendapat bahwa mengagumi seseorang itu wajar. Ya sangat wajar, apa lagi jika orang tersebut bisa memotivasi kita untuk lebih baik.
Coldest Husband
1669      835     1     
Romance
Saga mencintai Binar, Binar mencintai Aidan, dan Aidan mencintai eskrim. Selamat datang di kisah cinta antara Aidan dan Eskrim. Eh ralat, maksudnya, selamat datang di kisah cinta segitiga antata Saga, Binar, dan Aidan. Kisah cinta "trouble maker dan ice boy" dimulai saat Binar menjadi seorang rapunsel. Iya, rapunsel. Beberapa kejadian kecil hingga besar membuat magnet dalam hati...
Tower Arcana
798      588     1     
Short Story
Aku melihat arum meninggalkan Rehan. Rupanya pasiennya bertambah satu dari kelas sebelah. Pikiranku tergelitik melihat adegan itu. Entahlah, heran saja pada semua yang percaya pada ramalan-ramalan Rehan. Katanya sih emang terbukti benar, tapi bisa saja itu hanya kebetulan, kan?! Apalagi saat mereka mulai menjulukinya ‘paul’. Rasanya ingin tertawa membayangkan Rehan dengan delapan tentakel yan...
Me & Molla
568      338     2     
Short Story
Fan's Girl Fanatik. Itulah kesan yang melekat pada ku. Tak peduli dengan hal lainnya selain sang oppa. Tak peduli boss akan berkata apa, tak peduli orang marah padanya, dan satu lagi tak peduli meski kawan- kawannya melihatnya seperti orang tak waras. Yah biarkan saja orang bilang apa tentangku,
Aku Lupa Cara Mendeskripsikan Petang
575      395     2     
Short Story
Entah apa yang lebih indah dari petang, mungkin kau. Ah aku keliru. Yang lebih indah dari petang adalah kita berdua di bawah jingganya senja dan jingganya lilin!
Anikala
2173      831     2     
Romance
Kala lelah terus berjuang, tapi tidak pernah dihargai. Kala lelah harus jadi anak yang dituntut harapan orang tua Kala lelah tidak pernah mendapat dukungan Dan ia lelah harus bersaing dengan saudaranya sendiri Jika Bunda membanggakan Aksa dan Ayah menyayangi Ara. Lantas siapa yang membanggakan dan menyanggi Kala? Tidak ada yang tersisa. Ya tentu dirinya sendiri. Seharusnya begitu. Na...
My LIttle Hangga
791      514     3     
Short Story
Ini tentang Hangga, si pendek yang gak terlalu tampan dan berbeda dengan cowok SMA pada umunya. ini tentang Kencana, si jerapah yang berbadan bongsor dengan tinggi yang gak seperti cewek normal seusianya. namun, siapa sangka, mereka yang BEDA bisa terjerat dalam satu kisah cinta. penasaran?, baca!.