Dari kejauhan, di antara pepohonan yang rindang terdapat sebuah paviliun. Atapnya yang berbentuk kubah tertutup tanaman rambat hingga ke sebagian tiang yang menyangga. Gazebo dengan delapan tiang itu tak terlalu besar, mungkin hanya memiliki luas sekitar tiga atau empat meter. Cat yang seharusnya berwarna putih itu sudah tak terlihat putih dan telah mengelupas dibanyak tempat. Dan kesan yang seharusnya romantis mungkin bisa digantikan dengan kesan antara mistik, misterius, atau horror lebih dapat terlihat bahkan jika dilihat pada siang hari seperti saat ini. Ditambah letaknya yang berada di bagian sudut belakang gedung sekolah lama yang lebih dipenuhi pohon-pohon tinggi dengan cukup rapat, serta rhododendron yang hampir mengelilinginya, dan dikenal para siswa dengan “tempat yang harus di jauhi” karena berhantu.
Dengan langkah santai seorang laki-laki datang mendekati paviliun itu. Di sana telah duduk menyendiri seorang gadis, yang sepertinya sedang menikmati waktu senggang dengan teh serta cemilan, di atas meja bundar dari besi ditengah bangunan, yang telah ditarik hingga dekat di depan tubuh si gadis duduk. Ditangannya ia memegang sebuah cangkir teh beserta tatakannya di tangan yang lain. Sedang mata polos gadis itu masih terus menatap masuk jauh ke dalam pepohonan hutan di depan sana.
“Konnichiwa*.” sapa si laki-laki dengan sopan. Yang dilakukan dengan sengaja untuk mencegah kemungkinan isi cangkir teh itu tumpah dalam hitungan detik.
Gadis itu merasa terkejut, lalu tegang dan gugup. Tapi dirinya berhasil untuk tidak menampakkan semua itu dengan baik. Selain itu dirinya memang terkesan tak bisa mengekspresikan diri di depan orang asing. Bahkan dirinya merasa sedikit senang ketika sepupunya memuji dan mengatakan, “Dalam hal ini kau lebih baik dari ku.” Walaupun ia masih sedikit khawatir dengan kekurangan dirinya yang entah kenapa malah diirikan sepupunya itu.
“Konnichiwa.” jawab gadis itu menoleh sembari meletakkan cangkir dan tatakannya kembali ke atas meja, “can i help you?” tanya si gadis dengan sopan pula dan aksen inggris yang kental. Tapi dirinya seakan menangkap sesuatu pada laki-laki di depannya. “mungkin seharusnya saya mengatakan, ‘could you help me, please?’ benar?” katanya melanjutkan dengan cukup formal.
“Kira-kira seperti itu.”
“Sebelum melanjutkan tujuan Anda maukah Anda duduk dan bergabung untuk menikmati teh serta cemilan? Mungkin ini belum bisa dikatakan sebagai afternoon tea. Ini masih terlalu siang.”
Laki-laki itu duduk pada salah satu sisi bangku dari beton yang melingkari setiap sisi bangunan kecil itu, kecuali bagian pintu. Sisi yang ada di depan gadis itu. Dilihatnya cangkir teh yang hanya ada dua buah. Lalu cemilan yang juga masing-masing dua potong, dan beberapa tinggal sepotong. Mungkin sudah terlebih dulu gadis itu makan sembari menunggu. Menunggu? Ia mulai berpikir, apa mungkin gadis ini telah menyiapkannya sebelumnya atau cuma perasaannya saja. Dan laki-laki itu teringat suatu ucapan yang dikatakan dengan tak serius, “...kau akan disambut dengan hangat.”
Kemudian ia berpikir tentang kata ”hangat” itu dan melirik pada cangkir teh yang isinya masih sedikit mengeluarkan uap panas.
“Sepertinya kau membolos siang ini. Apa tidak apa-apa? Mungkin seseorang sedang dalam masalah karena apa yang kau lakukan.” Tanya si laki-laki dengan santai dan bahasa informal. Seakan-akan mereka saling mengenal dengan baik dan situasi seperti itu sudah biasa untuknya.
“Di kelas rasanya agak membosankan. Terlalu banyak yang harus masuk ke dalam otak hingga menguras banyak energi. Makanan manis bisa menambah energi. Dan bersantai seperti ini selalu bisa membuat ketegangan saya sedikit menguap. Sepertinya saya memang akan diceramahi setelah ini, tapi tidak apa-apa. Itu cukup setimpal. Apa Anda mau?” ucapnya cuek sembari menyodorkan sepotong muffin.
“Selalu melakukan sesuatu sesuka hati, lebih tepatnya semaunya sendiri. Dalam hal ini kalian sangat mirip.”
Gadis itu terdiam. Tampak ingin mengatakan sesuatu tetapi berusaha ditahannya. Menanggapi hal itu si laki-laki malah tersenyum kecut dan menghela napas kecil. Seakan tau apa yang ingin dikatakan atau lebih tepatnya ditanyakan gadis di depannya itu.
“Sebenarnya, dalam banyak hal kalian mungkin memang memiliki sesuatu yang bisa dikatakan ‘mirip’. Dia pernah mengatakan kalau kalian memiliki banyak kesamaan. Aku tidak tau maksudnya dalam hal apa. Tapi dia memang selalu berbicara seolah-olah itu adalah rahasia pribadinya. Yang anehnya sengaja ia bicarakan padaku tanpa ujung pangkalnya. Seperti memberi teka-teki atau puzzle dengan sengaja. Lalu membuatku bertanya-tanya apa maksud perkataannya. Aku tidak terlalu paham dengan kepribadiannya. Tapi dia memintaku untuk mengatakan semua yang baik-baik tentang dirinya padamu. Aku kurang tau di mana bagian baik dari kepribadiannya. Dilain sisi baik tapi saat itu juga dia berlaku buruk. Sudah puas dengan sedikit deskripsiku?”
Gadis itu mengangguk dengan cukup puas.
“Dia selalu mengatakan kalau mungkin kau akan merasa kecewa karena tidak bisa bertemu atau mengenalnya selama ini. Tapi kupikir, bukankah dia yang seharusnya lebih kecewa dari pada dirimu?” katanya dengan nada yang terdengar agak kesal.
“Apa dia juga sering membicarakan saya?”
“Mungkin lebih bisa dibilang berbicara atau mengobrol denganmu. Yang tanpa sengaja aku telah memergokinya.”
“Berbicara dengan saya? Tapi saya hanya selalu ‘berbicara’ dengan sepupu saya, tidak pernah dengan yang lain. Apa maksudnya itu? Mmm, bisakah saya bertemu dengannya? Di mana dia sekarang?” tanya si gadis sedikit sungkan.
Dari balik pohon seorang anak lelaki datang dan memanggil si gadis. Wajahnya terlihat kesal dan masam sebelumnya, tetapi ketika memanggil ekspresinya telah berubah menjadi sebuah kelegaan hingga tanpa sadar bibirnya menyunggingkan senyum satir. “di sini rupanya!”gumamnya.
“Ooi, Kazato, sensei mencarimu. Kalau mau bolos katakan padaku ke mana. Kalau harus mencarimu ke semua sudut sekolah akan sangat menyebalkan jadinya.” Katanya berteriak dan setengah menyindir. Walaupun dia tau sindiran tidak mempan untuk gadis tebal muka dan telinga rapat sepertinya.
Tamu si gadis segera berdiri dan menyerahkan sesuatu padanya. Sebuah surat dengan amplop berwarna merah jambu. Mungkin karena terkesan seperti surat cinta, si laki-laki terlihat sedikit bergidik ketika mengambil dari dalam saku jaketnya.
“Terimakasih, Joker-san.” Kata si gadis.
Laki-laki yang baru saja dipanggil Joker oleh si gadis sedikit terkejut, dan cuma tersenyum kecil padanya, “Kalian sangat menyebalkan! Sekarang tugasku sudah selesai. Selamat bersenang-senang dengan misimu, Windy.” Katanya tersenyum ramah lalu pergi. Meninggalkan si gadis yang masih berpikir dengan perkataannya yang kurang bisa dimengerti. Windy?!! Lalu, misi? Misi apa???
Si anak lelaki mendekati paviliun setelah mengamati si laki-laki pergi. Dengan dahi yang mengerut dan penasaran dia mendekat pada si gadis.
“Kau mengenalnya?” tanya si anak lelaki cukup tertarik.
“Tidak.” Kata gadis itu polos.
“Tidak? Dan kau berbicara cukup lama dengannya, bukan?! Dia orang asing dan kau berbicara dengannya?!” ulangnya, “Sepertinya kau mengalami kemajuan.” Baru saja memuji, si anak lelaki dibuat terkejut serta bingung.
“Bagaimana ini, aku takut sekali. Kenapa Kanou-san tidak datang dengan cepat?!!” ucap si gadis yang sudah kembali duduk dan mata yang hampir menangis.
“Eh? Jadi tadi itu kau ketakutan?” gumam si anak lelaki seakan baru memahami ekspresi wajah polos dan datar-ketika bersama laki-laki barusan, yang terlihat tak ada bedanya dengan ekspresinya selama ini.
“Kalau ada Shin pasti dia sudah melakukan sesuatu untukku.” lanjutnya jengkel, tetapi nadanya tetap tenang dan terkesan datar.
Si anak lelaki tersenyum masam. “Sudah berlalu juga, kan?! Sudahlah, ayo, cepat kita kembali ke kelas.”
“Kamu benar. Ayo, kembali, aku harus segera berbicara dengan Shin.” Katanya terdengar antusias dan bersemangat.
“Menyeramkan! Padahal kan bukan itu maksudku. Tapi terserahlah.” ucapnya menanggapi sikap si gadis yang berubah ketika berbicara mengenai Shin, berkebalikan dengan dirinya yang biasanya terlihat. Seolah-olah seseorang yang lain mengambil alih tubuh gadis yang selalu berekspresi polos, datar, serta cuek itu.
Sekilas si anak lelaki melihat isi surat dengan kertas yang hanya dilipat sekali dan tak lebih besar dari amplop merah jambu yang berada di tangan si gadis. Sebuah tulisan tangan kanji dan hiragana yang tidak terlalu bagus dan rapi, tapi terkesan dibuat sebagus mungkin. Sepertinya supaya bisa dibaca dengan baik. Walau sepenggal dirinya dapat segera menyimpulkannya, “...ganbatte, ne!” terbaca dengan mudah. Dan di luar lipatan surat itu hanya tertulis dua kata, yang bentuk tulisan tangannya terkesan agak aneh karena jelek.
We meet...
Mereka menuju kelas yang letaknya berada di gedung lain yang harus ditempuh dengan menyeberangi halaman yang cukup luas beserta pepohonan dan tamannya untuk sampai gedung itu.
Sembari berjalan tiba-tiba gadis itu berkomentar, “Tidak sopan.” katanya terdengar agak tajam tanpa emosi.
“Eh?” si anak lelaki merasa tersindir karena diam-diam telah membaca surat yang sekarang sudah masuk ke dalam saku seragam sekolah si gadis. Hampir-hampir ia meminta maaf, tapi gadis itu segera memotongnya.
“Surat ini selalu datang dari tangan orang lain.”
“Yang namanya surat selalu begitu, kan?! Aku tau, kecuali surat cinta!”
“Bagaimana menurut Kanou-san, dengan orang yang selalu menyembunyikan diri dan menggunakan orang lain sebagai pengganti dirinya?” tanyanya polos.
Hanya seperti sebuah gumaman ia menjawab, “entahlah.” Dengan nada hambar dan seperti menyembunyikan sesuatu.
“Walaupun kali ini sebagian dia yang menulisnya sendiri. Ini menjengkelkan.” Setelah mengatakan itu, dengan tiba-tiba kakinya terhenti.
Dari kejauhan seorang wanita dengan pakaian formal yang tampak sedikit kotor berjalan ke arah mereka berdua dengan langkah lebar dan ekspresi yang mematikan. Wajahnya terlihat menegang dan bibirnya membentuk garis lurus. Dengan nada tenang namun tegas dikatakannya dengan penekanan dalam nada suaranya, “Datanglah ke ruangan ku setelah sekolah selesai. Ada yang harus kita bicarakan, Kazato-san.” matanya menatap tajam pada si gadis. Lalu berjalan ke arah gedung yang lain dari tujuan kedua anak itu.
“Sepertinya kau dalam masalah besar. Tapi kupikir bukan tentang membolos.” Kata si anak lelaki.
“Ya, sepertinya begitu.” Katanya enteng tanpa mengubah ekspresinya dan terus melanjutkan langkah kaki. Ia tak terlalu peduli, paling-paling ia akan mendapat hukuman atas apa yang telah dilakukannya belakangan ini, begitu pikirnya. Yang terpenting sekarang adalah isi surat itu. Dia harus segera membicarakan ini dengan sepupunya. Tanpa disadari ia telah hafal dengan sendirinya kalimat-kalimat dalam surat itu. Ia menggumam tanpa suara, mengulang isi dari surat itu.
Apa artinya dengan “we meet”? misi? Dan Windy! batinnya.
Tangannya bergetar, seketika rasa takut menjalari tubuhnya. Dia hampir roboh, tapi kakinya masih terus berjalan dengan normal. Bagaimana kalau orang lain tahu? Apakah dia bermaksud baik? Atau jahat? Shin, aku takut!
Cat. kaki:
*konnichiwa: sebuah kata sapaan, artinya, “selamat siang”. Sering digunakan juga di pagi dan malam hari dan diartikan semacam "hai".