Loading...
Logo TinLit
Read Story - Aku Lupa Cara Mendeskripsikan Petang
MENU
About Us  

    Beberapa burung merpati berkumpul tepat di depanku. Kurasa mereka begitu paham dengan ingatanku yang seakan diiris sembilu ini. Satu persatu dari mereka memakan biji-bijian yang sengaja kutaburkan. Bahkan ada di antara mereka sengaja berlama-lama untuk mendengar ratapanku yang kian kisruh. Detik berikutnya pikiranku melayang. Aku tiba-tiba teringat tentang kampung serta petang yang menyenangkan. Petang yang senang memberiku oleh-oleh senyuman untuk ku bawa pulang. Semua selalu indah saat aku dipaksa memutar ulang memori kecil yang ku punya. Tepat 5 tahun yang lalu, aku pernah duduk di sebuah tribun lapangan pada waktu yang sama, hal yang membedakan adalah lukisan pada wajahku yang tidak lagi secerah hari itu. Lima tahun yang lalu, saat aku masih menggunakan seragam putih abu-abu dan senang berangkat pukul 7 dari rumah. Tas ransel tidak pernah lupa ku isi dengan seperangkat alat tulis. Dan yah, selain belajar tujuanku ke sekolah adalah untuk melihat seorang pria. Aku bodoh harus mengakuinya sekarang, karena hal itu adalah pengakuan yang menjadikanku menyesal.
    Aku kembali mendudukkan diriku pada sebuah bangku taman berwarna cokelat di sebuah kota besar di daerah Sulawesi. Matahari sedang bermetamorfosis menjadi senja dengan mencampurkan warna merah, kuning, dan biru di atas sana. Tentu dengan langit sebagai medianya. Tiba-tiba saja ingatanku berkumpul, menumpuk dan akhirnya berubah menjadi kerinduan. Rindu yang membuatku candu. Bahkan hampir mematikanku. 
    Hari itu di kampung, aku tertawa girang di waktu petang. Aku pernah menyambung bahagiaku bersama malam. Lalu lelap dengan harap bisa bertemu sang kasih dalam mimpi. Hanya dalam mimpi, aku bisa menggapai kasihku. Kasih yang bahkan tidak bisa ku jelaskan dengan rinci.
Aku duduk di lego-lego. Sebutan untuk teras rumah bagi masyarakat bugis Wajo. Daeng Rahmat, kakakku datang mengagetkan lamunanku petang itu. Begitulah panggilan kakak yang sejak kecil diajarkan padaku.
“Awwe anrikku, berhentilah melamun seperti ini. Ada baiknya kau turun dan bantu indo memasak, sebentar lagi ambo akan pulang dan jelas perutnya akan minta makan!” ujarnya.
“Iya daeng! Saya akan turun sebentar lagi. Saya sedang melukis mimpi yang akan menemani saya tidur” jawabku.
“Ah kau ndi, mimpimu tak perlu kau lukis lagi. Toh nanti dia akan dikirim dengan sendirinya oleh Tuhan” setelah menyelesaikan kalimatnya dia berlalu.
    Aku dan Rahmat adalah kakak beradik. Dulu saat kecil, kami sering main bersama. Kadang aku ikut dengannya ke lapangan desa untuk bermain bola. Atau dia yang mengikut padaku bermain masak-masak dengan anak tetangga. Kami memang sangat dekat. Semua yang ku inginkan selalu ia penuhi, dan semua yang ia perintahkan akan aku lakukan. Indo dan ambo mendidik kami dengan baik. Mereka tegas namun tetap sayang.
    Setiap pukul tujuh malam kami akan duduk bersama di sebuah meja makan kayu. Menyantap masakan indo yang selalu pas di lidah kami. Akan ada rentetan cerita unik tentang apa yang kami alami seharian di meja makan. Sambil sesekali tertawa cekikikan karena lelucon yang dilontarkan ambo atau panik karena aku yang sering menelan tulang ikan. Sesekali ambo biasa menegurku karena berbicara saat mulutku penuh dengan makanan.
    Setelah makan malam dan membereskan meja makan aku kembali ke lego-lego. Membawa sebuah ponsel dan beberapa cemilan buatan indo. Ponselku berbunyi. Tertulis nama Talib di layarnya. Tumben saja pria ini menelponku.
“Assalamualaikum, iye?” kataku
“Waalaikumsalam, Ca, kamu dimana ?” tanyanya.
“Di rumah kenapa ?” 
“Rahmat ada di rumah ? aku mau mampir bisa ?”
“Oh ada, silahkan Lib”
    Talib adalah teman kampus kakakku. Mereka sangat akrab satu sama lain. Talib memang sering mampir ke rumah. Malam itu Talib datang. Dia bercerita panjang lebar dengan daeng Rahmat di panrung-panrung, sebutan untuk bangku yang terbuat dari bambu di daerahku. Aku hanya menyimak percakapan mereka dari lego-lego. Mereka saling berbagi pengalaman, seperti orang yang lama baru berjumpa. Padahal hampir setiap hari mereka bertatap muka di kampus. Aneh.
“Ca, masuk nak, sudah malam. Tidak baik anak gadis masih duduk di lego-lego saat ayam sudah tidur” ujar ambo dari dalam rumah.
    Aku bergegas masuk dan meninggalkan dua orang sahabat itu bercakap. Sebelum berbalik aku menyempatkan pamit dengan Talib.
“Lib, saya masuk dulu!”
“Oh oke Ca!”    
    Meski Talib adalah teman kampus kakakku, tapi sebenarnya dia seumuran denganku. Kami memang dekat. Bahkan beberapa orang mengatakan kami memiliki sebuah hubungan spesial. Teman-teman yang iri denganku juga sering bergosip tentang kami. Dan yah, aku acuhkan begitu saja. Talib adalah pria baik hati yang selalu ada untukku. Dia penyayang, dan akan jadi pria nomor tiga yang akan selalu ku sayangi, tentu setelah ambo dan daeng Rahmat.
    Di sini pukul sembilan malam sudah menjadi jam keramat bagi anak gadis. Seharusnya pukul sembilan semua anak gadis sudah ada di dalam rumah. Bahkan beberapa lampu sudah mulai dipadamkan. Aku masuk ke kamar yang di dalamnya sudah tergantung sebuah kelambu putih. Suasana yang sangat menenangkan. Mataku terpejam setelah aku selesai mengingat ulang mimpi yang telah ku rencanakan.
“Ca!” teriakan pagi itu membangunkanku.
“Iya daeng!”
“Cepatlah mandi, hari ini kita ada agenda!”
“Apa daeng ?”
“Sudahlah, kau mandi saja dulu!”
“Indo dan ambo?” aku mengernyitkan kening pertanda bahwa aku sedikit bingung.
“Indo dan ambo sudah pergi ke kebun”
    Aku tidak lagi bertanya. Aku kenal betul daengku itu. Dia tidak akan pernah senang saat aku banyak tanya tentang apa yang ia perintahkan. Dengan kesadaranku yang sebenarnya belum sempurna, aku bersiap. Setelah lengkap dengan sebuah pakaian santai aku berangkat dengan daeng Rahmat. Kami pergi ke sebuah toko arloji dan membeli satu. Arloji itu dibungkus dengan rapi. Setelah melihat semua itu aku menyimpulkan sendiri bahwa hari ini adalah hari spesial seseorang. Dan benar. Ternyata hari ini Talib genap berusia 18 tahun. Kami ke kebun untuk meminta izin pada indo dan ambo.
“Indo, kami akan pergi memberikan kejutan untuk Talib sore ini, boleh?” ujarku.
“Tanya ambo mu nak”
    Daeng Rahmat meminta izin pada ambo dan kami diizinkan. Dengan syarat pukul 8 sudah harus tiba di rumah. Kami begitu senang karena setidaknya kami diberi izin menikmati liburan kali ini.
    Matahari sudah berada di atas kepala. Kami masih mempersiapkan kejutan untuk Talib itu. Sebenarnya aku pun tidak begitu paham dengan alur kejutan yang telah dijelaskan sebelumnya padaku. Aku hanya mengikut pada apa yang diperintahkan.
    Beberapa balon telah terpasang rapi di tribun lapangan desa, kue ulang tahun bertuliskan nama Talib beserta usianya juga sudah siap. Sedangkan arloji itu ku letakkan tepat di sebelahnya.
“Kau duduklah Ca, tunggu beberapa menit lagi Talib akan sampai di sini. Nyalakan lilinnya dan saat Talib sampai kau nyanyikanlah sebuah lagu untuknya” jelas daeng Rahmat padaku.
    Aku hanya mengangguk tanda paham. Kali ini aku paham dengan penjelasannya. Namun heranku adalah kenapa harus aku yang menyanyikannya, kenapa bukan kami ? ah sudahlah aku menurut padanya.
    Hari mulai petang dan Talib belum juga sampai. Lilin-lilin kecil yang sejak tadi siap bakar itu kurasa mulai menggerutu tak jelas. Atau beberapa antrian semut sudah tak sabar menikmati kue ulang tahun yang pasti super manis itu. Kami mulai gundah menunggunya. Takut terjadi apa-apa. Aku menghela nafas panjang pertanda bahwa aku pasrah. 
“Ca, Talib sudah datang!!! Bakar lilinnya!!” tiba-tiba daeng Rahmat memberi aba-aba
    Aku bangkit hampir terjatuh. Lilinnya langsung ku nyalakan. Aku berdiri sambil memegang sebuah kue ulang tahun untuk Talib. Dia datang dan mendekatiku. Sedangkan daeng Rahmat berdiri di belakangnya sambil memegang kamera. Sepertinya dia sedang merekam.
    Cahaya senja itu kian jingga. Lilin-lilin kue itu juga. Aku menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk Talib dengan suaraku yang alakadarnya. Dia tersenyum ringan.
“Terima kasih Ca!” ujarnya.
    Aku hanya tersenyum simpul. Nuansa senja kala petang itu membuatku semakin larut dalam indahnya kejutan yang kami buat ini. Terlebih senyum yang dibuat oleh bibir pria di depanku. Hal itu benar-benar membuatku hampir meleleh bersamaan dengan lelehan lilin. “Ca, aku menyukaimu!” 
    Talib kembali berujar. Kali ini ujarannya membuatku aneh. Bagaimana bisa sekarang malah aku yang bergetar? Bagaimana bisa malah aku yang dikejutkan? Mataku melirik ke arah daengku dan dia malah tersenyum. Aku kembali menyimpulkan, ini adalah rencana yang mereka buat. Aku menghamba pada perasaanku yang kurasa kagum pada Talib, atau aku suka padanya. Entahlah, aku tidak pernah seperti ini. Aku memang mengatakan dia pria ketiga yang akan selalu ku sayangi. Namun, definisi sayang untuknya hari ini akan berubah. Sayang yang bukan lagi sebagai seorang teman, melainkan sebagai kasih yang sering ku lukis sebelum tidur.
“Benar?” ujarku.
“Tentu Ca, kau berhak memilih menjadi pacarku sekarang atau istriku di kemudian hari”
“Aku memilih menjadi pacarmu sekarang” aku terbata. Sebelum menjawabnya ku tatap dua bola mata yang tidak ada keraguan di dalamnya. Meski terbata, ku rasa kalimatku cukup jelas.
    Petang kali itu benar-benar membuatku lupa pulang ke rumah. Kami bertiga duduk sambil menyantap kue ulang tahun. Bibirku tidak pernah berhenti tersenyum. Begitupun mereka. Kami bersama-sama mengabadikannya. Berharap jika kelak kami berpisah-pisah kami akan ingat hari ini.
    Aku tersadar. Aku masih di sebuah taman kota. Masih dengan burung merpati di depanku. Veri datang. Dia suamiku. Merangkulku dengan begitu hangat. Dia memang selalu seperti ini. Menyaksikanku yang sibuk menikmati petang yang tidak pernah sama dengan petang yang kurindukan. Petang yang tidak lagi bersama jingganya senja atau jingganya lilin.
“Sudahlah sayang, mari pulang!” ujarnya.
“Aku tidak bisa tenang sebelum aku menceritakanmu bagaimana petang yang kurindukan”
“Kalau begitu ceritalah, aku akan mendengarmu!”
“Aku lupa cara mendeskripsikan petang itu! Aku tidak bisa menjelaskannya padamu. Bantu aku, tolong!” aku menunduk.
    Hari itu setelah aku, daeng Rahmat, dan Talib pulang ke rumah, aku mendengar kabar Talib kecelakaan. Dia koma selama satu bulan. Dan akhirnya meninggal dunia sebelum aku sempat memilih menjadi istrinya. Sebelum aku berhasil melukis wajahnya jelas di dalam mimpiku sebagai kasih yang sebenarnya ada!

How do you feel about this chapter?

0 0 0 2 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags