Bel sekolah berbunyi menandakan usainya jam pelajaran sekolah.
"Sampai besok, Mentari!" beberapa teman melambaikan tangan mereka ke arah Mentari.
Maklum, Mentari adalah ketua kelas XI-A di SMA Nusantara Jaya di Bandung. Oleh karena itu, tidaklah aneh jika seluruh murid kelasnya berusaha berperilaku manis terhadap Mentari.
Mentari memang dikenal pandai, ceria, dan sangat sosial. Jangankan hanya di SMA Nusantara Jaya, Mentari tenar di seluruh Bandung.
Ketika semua teman sekelas Mentari telah pergi. Mentari mematikan lampu, bergegas meninggalkan kelas, dan kemudian menutup pintu.
Namun, Mentari tidak segera pulang. Melainkan, ia berjalan menuju ruang ekskul drum band yang letaknya paling pojok di lantai 3 bangunan sekolah.
Mentari celingak-celinguk untuk memastikan tidak ada orang yang membuntuti atau melihat dirinya. Kemudian, lekas-lekas ia masuk ke dalam ruangan dan menutup pintu.
"Mentari! Aku kangen banget!" sapa Marianne.
"Sorry, Marianne! Kemarin kelasku kan ada field trip ke Jakarta."
"Huh! Enak sih kamu bisa jalan-jalan ke Jakarta! Aku hampir mati bosan terjebak di gedung ini!" teriak Marianne.
Ya, Marianne adalah seorang hantu. Tepatnya hantu gadis Belanda yang sudah terjebak di gedung sekolah sejak tahun 1935.
"Kamu dulu sering kan pergi ke Batavia?" tanya Mentari.
Mentari ingat dari pelajran sejarah bahwa berpuluh-puluh tahun yang lalu, Jakarta dikenal dengan nama Batavia.
"Tentu saja! Ayahku dulu bertugas di Batavia! Tiap kali beliau pulang ke Paris van Java, ia selalu membawakan berbagai oleh-oleh dari pedagang India, Tiongkok, dan bahkan Arab Saudi. Sekali waktu ya, ayahku membawakan sebuah cermin yang cantiiiik sekali. Kabarnya, pemilik cermin itu adalah anak gadis Sheikh negeri seribu satu malam! Romatis sekali kaaaan?" Marianne memang selalu ceria sekali bila menceritakan kehidupan masa lalunya.
"Apakah cermin itu yang selalu kamu bawa-bawa?" tanya Mentari.
"Wah! Kamu memang pintar, Mentari! Ya, aku tidak pernah lupa membawa cermin ini. Sayang sekali, sekarang aku tidak bisa menggunakannya lagi."
"Kamu tidak perlu cermin kok. Kamu paling cantik di sekolah ini. Aku sama sekali tidak melebih-lebihkan!" kata Mentari.
Mata Marianne berkilap senang. Ia kemudian menceritakan betapa ibunya dan para pengasuhnya selalu menyisir rambut panjangnya setiap malam. Kala itu, Marianne akan menikmatinya sembari mematut diri di cermin.
Mentari sangat suka menikmati cerita-cerita Marianne. Cerita Marianne membuat Mentari melupakan segala masalah kehidupannya. Cerita Marianne membawa Mentari ke dunia yang berbeda. Dunia yang sebenarnya begitu nyata namun terdengar seperti cerita fiksi.
Suara telefon genggam membuyarkan lamunan Mentari. Marianne berhenti berceloteh dan menunggu Mentari untuk mengangkat telefonnya.
"Halo," kata Mentari.
"Iya, aku sudah mau pulang sekarang. Daging sapi 200 gram dan kecap manis saja kan?"
"Iyah, Bu. Aku tidak akan lama."
Mentari kemudian mematikan telefon dan mendesah.
"Ibumu?" tanya Marianne.
"Iya. Maaf, Marianne. Aku harus pulang."
"Oh, tidak apa-apa! Jangan lupa berkunjung besok ya!" katanya.
Mentari tersenyum kepada Marianne dan bergegas meninggalkan gedung sekolah. Ia berjalan menuju supermarket terdekat untuk membeli daging dan kecap yang dipesan ibunya. Kemudian ia pun berjalan memasuki gang dimana rumahnya berada.
"Aku pulang," kata Mentari sesampainya ia di rumah.
Seperti biasa, rumahnya terasa dingin dan pencahayaannya remang-remang.
"Kamu kemana saja?" kepala ibunya tersembul dari ruang dapur.
"Aku sibuk ngerjain tugas, Bu," jawab Mentari.
Mentari sebenarnya tidak suka berbohong kepada orang tuanya. Namun apa boleh buat? Jika ia mengatakan pada ibunya bahwa ia menghabiskan waktu bersama Marianne, sang noni Belanda cantik yang berusia hampir 100 tahun, tentunya sang Ibu akan syok. Dulu saja ketika Mentari bilang bahwa ia punya teman tak terlihat bernama Rumi, sang Ibu langsung membawanya ke psikolog.
"Ibu senang kamu rajin, Mentari. Tapi tolong bantu Ibu sedikit. Ibu tidak bisa menjaga adik-adikmu sembari memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah!" kata Ibu.
Mentari medesah lagi.
Ia ingin menjadi anak yang berbakti. Sungguh, ia ingin berbakti. Hanya saja, terkadang beban sebagai anak pertama di keluarga yang pas-pasan tidaklah mudah.
Ia merasa harus bertanggung jawab dalam segala hal. Ia harus bekerja keras agar tidak merepotkan Ibu dan Bapak. Bukan itu saja, Mentari harus bisa sukses supaya dapat meringankan beban orang tua dan mengirim adik-adik ke sekolah.
Tanpa berkata apapun, Mentari berjalan ke kamar untuk meletakkan tas sekolahnya. Mentari bahkan tidak ada waktu untuk duduk dan berganti pakaian karena adiknya, Lintang sudah berteriak-teriak minta dibantu mengerjakan PR.
Mentari membuka pintu untuk membiarkan Lintang, Langit, dan Gempita masuk ke kamarnya. Ketiga adik perempuan Mentari umurnya sangat berdekatan.
Lintang berusia 8 tahun, Langit 7 tahun, dan Gempita 5 tahun. Mentari sendiri berusia 17 tahun sehingga sudah selayaknya ia bertanggung jawab untuk membimbing adik-adik.
"Aku tidak mengerti cara mengerjakan perkalian ini, Kak!" kata Lintang.
"Kalau pengurangan ini bagaimana cara mengkotretnya, Kak?" tanya Langit, tidak mau kalah.
Gempita, si Bungsu, hanya senyum-senyum kemudian duduk di lantai di sebelah meja tulis. Ia sibuk sendiri mewarnai buku gambarnya.
'Untung saja, Gempita masih TK. Kalau tidak, bisa tambah pusing aku!' pikir Mentari.
"Iya-iya! Satu-satu ya! Lintang dulu. Ini cara perkaliannya kayak begini.." Mentari pun mulai membantu PR adik-adiknya.
Ia baru bisa berhenti ketika sang Ibu memanggil anak-anak gadisnya untuk makan malam. Ketika Mentari dan adik-adik keluar dari kamar, Ayah sudah berada di meja makan.
"Aduh, puteri-puteri cantik Ayah!" seru Ayah.
Lintang, Langit, dan Gempita berlarian ke pelukan Ayah.
"Ayah pulang cepat hari ini," kata Mentari.
"Iyah, Mentari. Ayah besok akan bertugas ke Batam. Oleh karena itu Ayah dipulangkan lebih cepat agar bisa beristirahat hari ini."
Ayah Mentari sebenarnya orang yang sangat pintar. Ia bergelar insinyur di bidang perikanan. Hanya saja, Ayah Mentari adalah orang yang sangat baik. Lebih tepatnya, tidak ambisius.
Ketika teman-temang seangkatannya berlomba-lomba berebut pekerjaan, Ayah Mentari mengalah dan membiarkan mereka. Oleh karena itulah ia hanya mendapat pekerjaan rata-rata. Oleh karena itulah, kehidupan finansial keluarga mereka begitu serat.
"Ayo-ayo, makan!" kata Ibu.
Keempat anak gadis keluarga Angkasa bergegas duduk di tempat masing-masing dan mulai menyantap hidangan yang Ibu mereka buat.
Sehabis makan, Mentari mencuci piring dan mengerjakan tugasnya hingga pukul 10 malam. Keesokan harinya, aktivitas di rumah keluarga Angkasa sudah dimulai dari dini hari. Ayah mengejar pesawatnya ke Batam, Ibu membuat sarapan untuk suami dan anak-anaknya. Sedangkan Mentari, ia harus memandikan Gempita dan memastikan Lintang dan Langit memakai seragam mereka dengan baik.
"Aku berangkat, Bu!" Mentari pamit diikuti oleh ketiga adiknya.
"Terima kasih udah bantuin PR aku ya, Kak!" kata Lintang.
"Terima kasih, Kak!" Langit membeo.
"Iyah."
Mentari ingin menjadi kakak yang baik. Sungguh, ia ingin menjadi kakak yang bisa diandalkan. Hanya saja, terkadang ia sangat lelah dan ingin hidup normal seperti teman-temannya.
Mereka pergi ke mall, makan di restoran mewah, dan minum kopi mahal di gerai-gerai kopi ternama. Belum lagi, mereka bisa membeli tas dan sepatu mahal yang kerap dipamerkan di Instagram. Mentari hanya bisa memamerkan wajah dan prestasinya. Bukannya prestasi tidak penting. Tapi Mentari juga ingin bisa membanggakan sesuatu yang dibelikan orang tuanya.
Tanpa sadar, Mentari sudah sampai di depan gerbang SMA. Ketiga adiknya sudah berpencar ke SD dan TK mereka.
Seperti biasa, Mentari sampai ke kelas tepat sebelum bel berbunyi. Meskipun demikian, ia jarang terlambat. Bagaimanapun juga, Mentari punya reputasi untuk dipertahankan sebagai ketua kelas yang teladan dan cantik.
"Teman-teman, beri selamat." kata Mentari.
Teman-teman sekelasnya berdiri dan memberikan selamat pagi kepada wali kelas mereka.
"Ya, selamat pagi, anak-anak."
Murid-murid kemudian kembali duduk.
"Hari ini, kita kedatangan murid baru."
Sontak, murid-murid kelas XI-A segera berbisik-bisik. Mereka berdebat apakah murid baru itu perempuan atau laki-laki dan dari sekolah mana ia berasal.
"Purnama, ayo masuk!" kata Ibu guru.
Murid baru itu masuk ke dalam ruangan. Murid-murid terdiam seribu bahasa. Murid baru itu sangatlah menawan.
"Yah, laki-laki," celetuk salah satu murid pria.
"Sshhh." Spontan, murid-murid perempuan segera mengisyaratkan agar ia diam.
"Selamat pagi, teman-teman. Nama saya Purnama Matahari. Salam kenal."
Para murid perempuan tidak bisa melepaskan mata mereka dari Purnama. Laki-laki itu tinggi semampai, mungkin sekitar 180 cm. Jelas bisa jadi pemain basket.
Hidungnya mancung dan matanya besar. Belum lagi rambutnya yang cokelat keemasan.
"Blaster ya, Mas?" celetuk seorang murid.
Purnama tertawa kikuk," Iya. Ayahku orang Indonesia. Ibuku asli Belanda."
"Wah, pantes ganteng!" seru murid laki-laki. Perkataannya disambut tawa anak-anak lain.
"Arti namanya apa?" tanya murid yang lain.
"Hmm. Ayahku seorang astronot dan senang dengan benda-benda langit. Oleh karena itu aku diberi nama seperti ini," jawabnya.
"Eh, di kelas kita ada juga loh yang namanya berarti matahari. The Sun!" kata murid itu lagi.
"Eh iyah! Bu ketu! Bu ketua kelas!"
Mentari berdiri dari kursinya untuk memperkenalkan diri.
"Perkenalkan. Aku Mentari Angkasa, ketua kelas XI-A. Kalau ada pertanyaan, jangan segan-segan tanya aku," kata Mentari.
"Ayah kamu suka benda langit juga?"
"Sebenarnya ibuku yang suka benda langit. Ayahku kerja di bidang perikanan."
"Oh, keren banget! Kita pasti cocok," kata Purnama.
Wajah mentari langsung merah padam karena malu.
"Cieeeee!" seru murid-murid sekelas. Rasanya teriakan mereka memekakan telinga.
Purnama hanya tersenyum tak bersalah seolah hal yang baru dikatannya adalah lumrah.
'Apa karena dia dibesarkan di luar negeri ya? Orang ini terang-terangan sekali bicaranya,' pikir Mentari.
Kelas pun dimulai. Purnama terlihat dapat mengikuti pelajaran dengan baik.
Jam istirahat tiba dan Purnama pun dikeroyok oleh para kaum hawa SMA Nusantara Jaya.
Ia terlihat seolah ingin menanyakan sesuatu pada Mentari namun para gadis tidak membiarkan Purnama beranjak dari kursinya. Mentari sendiri tidak terlalu mempedulikan Purnama.
Bel tanda istirahat telah berakhir membuat murid-murid terpaksa kembali ke kelas dan ke bangku masing-masing. Sepanjang sisa pelajaran sekolah, Purnama terus menerus menengok ke arah Mentari.
Begitu kelas usai, Mentari segera beranjak karena ia merasa tidak nyaman diperhatikan Purnama dan dijadikan candaan teman-teman sekelas. Seperti biasa, Mentari ingin bertemu Marianne dan menceritakan keluh-kesahnya. Terutama tentang si anak baru.
"Marianne!" panggilnya.
Saat itu Marianne sedang duduk merenung seraya memandang keluar jendela. Gaun putih dan rambut pirangnya terlihat bercahaya terkena cahaya matahari yang menerobos masuk dari jendela kaca.
"Marianne?" Mentari memanggil Marianne untuk kedua kalinya.
"Mentari sayang!" jawab Marianne.
Ia segera berubah ceria dan bergerak melayang turun dari jendela ke arah Mentari.
"Kamu tidak akan percaya apa yang terjadi hari ini?" kata Mentari.
"Apa yang terjadinya?" tanyanya.
"Ada seorang anak baru di kelasku! Ia tanpa basa-basi mengerjaiku sehingga aku ditertawakan oleh teman-teman sekelas!" protes Mentari.
Hanya di depan Marianne-lah Mentari bisa berperilaku apa adanya dan bertingkah sesuai dengan usianya. Itulah yang membuat Mentari merasa nyaman.
Marianne tertawa dan duduk di bangku tua, siap mendengarkan keluh keash Mentari.
Tanpa sengaja, matanya berpapasan dengan seseorang yang sedang berdiri memandang ke dalam ruangan dari celah pintu.
"Itukan anak barunya?" tanya Marianne.
Mentari berhenti berceloteh dan menengok ke belakang untuk melihat apa yang Marianne bicarakan. Benar saja, Purnama sedang berdiri di sana.
Mentari pun panik dan segera berlari ke arah Purnama.
"Ini tidak seperti yang kamu pikirkan? Aku tidak gila! Aku hanya berlatih naskah! Ya, naskah untuk pentas seni!" Mentari memutar otak dan mengatakan apapun yang melintas di kepalanya.
"Siapa wanita itu?" tanya Purnama. Matanya tetap menatap Marianne seolah ia tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya.
"Ka..Kamu bisa melihatnya?" Mentari sungguh kehabisan kata-kata.
Purnama mengangguk dengan mata terbuka lebar. Ia hampir tidak berkedip. Mentari pun melambaikan tangannya di depan wajah Purnama untuk memastikan ia baik-baik saja.
Purnama menepis tangan Mentari dan berjalan masuk ke dalam ruangan eskul.
"Aku Purnama. Nama kamu Marianne?" tanyanya.
Marianne pun sama terkejutnya dengan Mentari. Iya mengangguk.
"Kamu bisa melihatku?" Marianne mengulangi pertanyaan Mentari. Sekali lagi Purnama mengangguk.
Purnama berbincang-bincang dengan Marianne sedangkan Mentari merasa kepalanya berputar dan keringat dingin mulai mengucur.
'Bagaimana jika Purnama menyebarkan kepada semua orang kalau aku berteman dengan seorang hantu? Bagaimana jika orang-orang menganggap aku gila? Aku bisa kehilangan posisiku sebagai ketua kelas! Ayah dan Ibu akan sangat kecewa!' Berbagai skenario buruk bermunculan dan berputar-putar di kepala Mentari.
"Mentari!" panggil Marianne.
'Bagaimana jika ketiga adikku ketakutan? Aku akan dikirim untuk tinggal di kost-kostan!' Mentari merasa seolah hidup yang selama ini diketahuinya akan segera berakhir jika rahasianya sampai bocor.
"MentariiiI!" panggil Marianne lagi.
"Eh. Ya? Ya, ada apa?" Mentari tersentak sadar dari lamunannya.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Marianne. Ia terlihat sangat cemas.
"Eh, iya. Iya, aku baik-baik saja kok." Mentari pun mencoba tersenyum.
"Purnama bilang dia akan pulang sekarang tapi besok akan mengunjungiku lagi," kata Marianne dengan ceria.
"Oh, begitu. Bagus deh kalau begitu. Kita jadi punya teman baru," jawab Mentari sekenanya.
"Kamu masih mau di sini atau mau ikut pulang?" tanya Purnama.
"Aku ikut pulang deh. Aku harus membantu ibuku di rumah," jawab Mentari.
"Sampai besok!" kata Marianne.
"Sampai besok, Marianne!" sambut Mentari dan Purnama.
Keduanya bergerak meninggalkan gedung sekolah dalam diam. Purnama sibuk membenahi pikirannya sedangkan Mentari tak habis pikir bagaimana caranya ia dapat membungkam Purnama.
"Mentari."
"Purnama."
Mentari dan Purnama berkata di saat yang bersamaan.
"Kamu duluan," kata Purnama.
"Tidak apa-apa. Kamu duluan aja," kata Mentari.
"Aku tidak bermimpi kan?" tanya Purnama.
Mentari terdiam namun kemudian mengangguk.
"Oh baguslah kalau begitu. Sejenak tadi aku kira aku pasti sudah gila," kata Purnama. Ia tertawa sedikit.
"Kalau kamu gila berarti aku juga dong," kata Mentari.
"Lalu kamu tadi mau bilang apa?" tanya Purnama.
"Hmm... Itu.. "
"Ya?" Purnama berhenti melangkah dan menatap Mentari dalam-dalam.
"Itu... Boleh tidak aku minta kamu jangan bilang siapa-siapa tentang Marianne?"
"Ohhh, kamu mengkhawatirkan tentang itu ternyata!"
Mentari mengangguk. Ia menghindari tatapan Purnama. Ia sendiri pun tidak tahu mengapa.
"Baiklah! Aku tidak akan bilang siapa-siapa!" kata Purnama.
Mentari akhirnya dapat menghela napas. Lega rasanya.
"Terima kasih!"
"Jangan khawatir! Aku juga akan dianggap gila kalau orang lain tahu tentang hal ini! Hanya saja aku masih tidak mengerti mengapa aku bisa melihat Marianne. Ini pertama kalinya aku mengalami hal seperti ini." Purnama kembali berjalan seraya menendang batu-batu kecil perlahan.
Mentari melanjutkan langkahnya, berusaha mengimbangi irama langkah kaki Purnama.
"Aku juga tidak tahu mengapa. Aku sendiri mulai bisa melihat sejak kecil," kata Mentari.
"Apakah mungkin ini berarti sesuatu yang penting akan terjadi?" tanya Purnama.
"Ah, mungkin kamu berpikir terlalu jauh! Sudah-sudah! Jangan dipikirkan!" Mentari berusaha menenangkan Purnama yang terlihat resah sebagai ucapan terima kasihnya kepada Purnama yang sudah berjanji untuk melindungi rahasianya.
"Kamu benar! Mungkin saja ini tidak berarti apa-apa." Purnama akhirnya kembali tersenyum.
Mentari dan Purnama kemudian berpisah karena ternyata rumah keduanya tidak searah.
"Sampai besok!" kata Mentari.
"Ya, sampai besok!" kata Purnama.
Purnama melanjutkan perjalanannya. Namun ia merasa tidak dapat melepaskan pikirannya dari apa yang baru saja terjadi. Meskipun Mentari bilang mungkin semuanya tidak berarti apa-apa, Ia tetap merasa khawatir. Ia merasa semua ini terjadi bukan hanya karena kebetulan. Ada sesuatu yang lebih penting di balik pertemuannya dengan Mentari dan Marianne.
"Aku pulang!" Purnama berkata sesampainya ia di rumah.
Rumah Purnama cukup besar. Memang rumah itu tidak megah. Namun cukup nyaman, bersih, dan asri.
"Eh, kamu sudah pulang, Nak! Bagaimana hari pertama sekolah di Indonesia?" sambut ibunya.
"Baik, Bu. Aku sudah punya teman," jawab Purnama.
"Oh! Siapa namanya?"
"Mentari, Bu. Lucu yah namanya artinya sama dengan nama belakangku," kata Purnama.
"Wah, kebetulan sekali! Bagus deh kalau kamu sudah punya teman. Ibu jadi lebih tenang," katanya.
"Iya, Bu."
"Sudah sana kamu mandi dan ganti baju. Ibu akan buatkan camilan untuk kamu."
Hari-hari pun berlalu. Mentari dan Purnama sudah menjadi teman yang cukup akrab. Teman-teman sekolah mengira bahwa Mentari dan Purnama berpacaran. Namun karena keduanya tidak banyak berinteraksi dengan murid-murid lain, tidak ada satupun yang berani menanyakan kebeneran gosip itu kepada Mentari maupun Purnama.
Suatu hari, Purnama bertanya kepada Mentari.
"Malam ini kamu sibuk tidak?"
"Hmm.. Sepertinya tidak. Aku biasanya hanya membantu Ibu menyuci piring dan sebagainya. Kenapa?" tanya Mentari.
"Oh, aku mau mengundang kamu ke rumahku," jawab Purnama.
Tanpa disadarinya, Mentari merasa bahwa jantungnya mulai berdegup kencang. Rasanya aneh. Ia selalu menganggap Purnama sebagai temannya. Ia pun tidak pernah menggubris apa yagn dikatakan semua orang tentang dirinya dan Purnama.
'Tapi kenapa sekarang aku merasa seperti ini hanya karena ia mengundangku ke rumahnya?' pikir Mentari.
"Hari ini ulang tahun ibuku. Ia memintaku mengundang kamu."
Rasanya Mentari khawatir tak beralasan.
'Kirain dia mau minta aneh-aneh. Ternyata ulang tahun ibunya!' tawa Mentari dalam hati.
"Oh, tentu saja aku akan dengan senang hati datang! Kira-kira ibumu senang hadiah apa ya?" tanya Mentari.
"Ah, tidak usah repot-repot! Kamu datang saja, ia sudah pasti senang."
"Jangan begitu dong! Kan aku tidak enak kalau datang dengan tangan kosong!"
"Sungguh! Kamu tidak usah repot-repot."
"Hmm.. Nanti yah aku pikirkan baiknya membawa apa untuk ibumu," kata Mentari.
Purnama hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menatap Mentari dengan penuh kehangatan. Jika Mentari baru saja menyadari ada sesuatu yang berbeda dari Purnama, Purnama tidak begitu. Ia sudah merasa bahwa Mentari berbeda, bahwa ia menarik sejak lama.
"Kalau begitu sampai ketemu nanti sore yah! Ini alamat rumahku!" Purnama memberikan sepucuk kertas kepada Mentari.
Mentari pun bergegas pulang untuk siap-siap ke ulang tahun ibunya Purnama. Belum lagi ia belum sempat memikirikan apa yang harus dibawanya.
"Ibuuu!" panggil Mentari.
"Ya, nak?" sambutnya dari dapur.
"Bu, aku diundang ke ulang tahun ibunya teman aku malam ini!" kata Mentari.
Kepala ibunya menyembul keluar dari balik bingkai pintu dapur.
"Oh, tumben sekali! Teman dekat barumu itu?" tanyanya.
"Ah, Ibu bisa saja!"
"Kamu sudah tahu mau membawa hadiah apa?" tanya ibunya.
"Justru itu, Bu. Aku tidak tahu harus membawa apa. Ibunya Purnama baru pertama kali ini datang ke Indonesia. Aku khawatir ia tidak cocok dengan kue-kue khas Indonesia."
"Eh, kamu ngomong tentang kue-kue khas Indonesia, Ibu jadi ingat. Itu di kulkas ada bubur sumsum. Di meja ada klepon yang baru Ibu buat. Kamu bawa saja!"
"Kira-kira ibunya Purnama suka ngga yah, Bu?"
"Ibunya Purnama pasti senang sekali bisa mencoba kue-kue khas Indonesia. Kalau bukan kamu yang memperkenalkan, siapa lagi coba?" Ibunya menjawab seraya tersenyum.
"Betul juga, ya Bu," jawab Mentari.
"Kalau begitu aku mandi dulu dan siap-siap yah," lanjutnya.
Selesai mandi dan berdandan tipis, Mentari mengambil kue-kue buatan ibunya dan berangkat ke alamat yang diberikan Purnama.
"Eh, Mentari! Kamu cepat sekali! Kita baru saja selesai menyiapkan makanan!" kata Purnama.
"Mentari sudah datang, Nak?" Suara ibunya Purnama terdengar dari dalam rumah.
"Permisi, Bu. Selamat Sore!" Sapa Mentari.
Dengan tergopoh-gopoh, ibu Purnama menghampirinya.
"Selamat Sore! Ayo-ayo! Silakan masuk!" katanya.
Mentari tersenyum dan menyambut ajakan Ibu Purnama dengan ramah.
"Ini, Bu. Ada sedikit kue-kue khas Indonesia. Ibu saya yang buat," kata Mentari seraya menyerahkan bungkusan kue-kue tersebut kepada Ibu Purnama.
"Wah! Tidak usah repot-repot! Terima kasih ya!"
"Oh, iyah! Selamat ulang tahun, Bu!"
"Terima kasih, Mentari! Panggil saya 'Tante' saja. Kamu kan teman dekatnya Purnama," katanya.
"Baik, Tante."
Purnama tersenyum senang karena Mentari terlihat nyaman bercakap-cakap dengan Ibunya.
Di meja makan terletak berbagai hidangan dari masakan khas Belanda hingga lalapan khas Jawa Barat.
"Silakan, Mentari! Tidak usah malu-malu!" Ayah Purnama mempersilakan Mentari untuk menyantap hidangan-hidangan tersebut.
Mentari menganggukan kepalanya dan bersamaan dengan Purnama, mulai menyantap makanan yang disediakan di meja. Sebagai hidangan penutupnya, Ibu Purnama membawa bubur sumsum dan kue klepon hadiah dari Mentari.
"Kita makan ramai-ramai yuk!" ajaknya.
Mentari sangat senang karena keluarga tersebut menyambut dirinya dengan begitu ramah. Meskipun Mentari terkenal dan punya banyak teman, ia tidak pernah benar-benar memiliki teman dekat. Anehnya, Purnamalah orang pertama yang dekat dengannya. Mungkin karena mereka berbagi rahasia.
"Mentari, sini-sini! Tante mau kasih lihat sesuatu!" kata Ibu Purnama.
Mentari mengikuti Ibu Purnama ke ruang keluarga. Ia mengeluarkan sebuah album foto besar berwarna hitam.
"Kamu mau lihat foto-foto masa kecil Purnama?" tanyanya.
"Wah! Iya, Tante!" sambut Mentari dengan bersemangat.
Purnama yang mendengar percakapan ibunya dan Mentari segera berlari ke arah ruang keluarga untuk mencegah Mentari melihat foto-foto masa kecilnya yang memalukan.
"Eh, Tunggu!" serunya.
Namun Purnama sedikit terlambat karena Mentari sudah melihat foto TK Purnama. Ia tersenyum lebar di depan rumahnya di Amsterdam. Gigi depannya carang-carang karena gigi susu yang baru tanggal.
Mentari tertawa terbahak-terbahak.
"Ternyata Purnama yang terkenal ganteng dulunya pernah juga kayak gini ya!" katanya di sela-sela tawa.
Purnama menutup wajahnya dan mendesah.
"Eh, tunggu! Purnama, lihat ini!" seru Mentari.
"Apa?" Dengan enggan, Purnama mendekati Mentari dan melihat foto yang ditunjuk gadis itu.
"Ini! Orang ini mirip sekali dengan Marianne!" serunya lagi.
Purnama mengambil album foto itu dari tangan Mentari dan melihatnya dengan jeli.
"Kamu benar juga!"
"Bu, ini siapa ya, Bu? Wanita ini yang berdiri di sebelah aku dan Ibu?" tanya Purnama.
Ibu Purnama melihat foto itu dan tertawa.
"Aduh, ini kan sepupu kamu! Masa lupa sih, Nak? Dia pindah ke Jerman beberapa tahun yang lalu. Mungkin kamu tidak ingat karena masih kecil."
Purnama dan Mentari saling bertatap-tatapan.
"Memangnya Marianne siapa, Nak?" tanya Ibu.
"Eh, Marianne teman di sekolah, Bu," jawab Purnama.
Purnama tidak sepenuhnya berbohong. Marianne memang teman mereka yang tinggal di sekolah. Untungnya Ibu Purnama tidak bertanya lebih jauh dan memutuskan untuk memberikan waktu agar Mentari dan Purnama dapat bercakap-cakap dengan santai di ruang keluarga.
"Menurutmu ini apa maksudnya?" tanya Mentari setelah Ibu Purnama masuk ke ruang dapur.
"Aku juga tidak tahu. Mungkin kita bisa menanyakannya pada Marianne besok?" usul Purnama.
Mentari mengangguk setuju.
Keesokan harinya, Mentari dan Purnama bergegas ke ruang eskul selepas jam sekolah.
"Marianne!" seru mereka berdua.
"Wah teman-temanku!" sambutnya.
"Kami mau menunjukkan sesuatu!" kata Mentari.
Marianne yang sedan duduk di dekat jendela pun melayang ke arah Mentari dan Purnama.
"Ya?" tanyanya.
"Jangan kaget ya," kata Purnama.
Setelah Marianne mengangguk, Purnama mengeluarkan selembar foto dari tasnya.
"Ini," katanya.
Marianne mendekat dan melihat foto itu. Ia tersentak dan melayang pergi.
"Marianne?" tanya Mentari.
"Itu siapa?" tanyanya. Marianne terlihat terkejut dan juga takut. Baru pertama kali Mentari melihat sahabatnya seperti ini.
"Ini sepupuku di Belanda. Ia sekarang tinggal di Jerman. Foto ini diambil beberapa tahun yang lalu saat aku masih kecil," jawab Purnama.
"Kenapa wanita ini memiliki wajahku?" tanya Marianne. Ia terlihat seolah akan histeris.
"Kami juga tidak tahu, Marianne. Oleh karena itulah kami membawa foto ini kepadamu. Apakah mungkin wanita ini keturunanmu?" tanya Mentari.
Di benak Mentari, itulah satu-satunya kemungkinan yang masuk akal.
"Siapa nama wanita itu?" tanya Marianne.
"Lorelai van Elsen," jawab Purnama.
"Van Elsen? Aku tidak kenal nama itu." Marianne menggeleng-gelengkan kepalanya hingga rambut cantiknya terbang.
"Tapi kalau ia memang keturunanmu, mungkin ia mengambil nama suamimu," kata Mentari.
"Berhenti mengatakan ia adalah keturunanku!" Tiba-tiba Marianne histeris. Wajah cantiknya berubah seram!
Bagian putih di matanya menjadi merah! Kulit mulusnya terlihat membusuk dan hitam-hitam. Gaun putihnya dinodai tanah.
"AAAH!" Purnama dan Mentari menjerit. Mereka berlari dan memepetkan diri ke pintu.
Seolah terkejut, Marianna tersentak. Ia kembali menjadi Marianne yang cantik.
"Maaf! Aku tidak tahu apa yang terjadi," katanya. Ia memalingkan wajahnya karena malu.
"Ma..Marianne?" Mentari berusaha mendekati Marianne dengan takut-takut.
"A..Aku tidak tahu mengapa aku terjebak di sini selama hampir 100 tahun. Aku juga tidak tahu bagaimana aku meninggal dulu," jelasnya. Suara Marianne yang biasanya ceria kini terdengar sedih.
"Mu..Mungkin itulah mengapa kamu tidak tenang dan terjebak di sini," kata Purnama.
Marianne memberanikan diri untuk kembali menatap teman-temannya.
"Aku harus bagaimana? Tidak mungkin ada teman-teman dan keluargaku yang bisa menjelaskan kronologinya kepada aku! Mereka..Mereka pasti sudah tidak ada di sini," katanya. Suaranya yang pilu membuat hati Mentari menjadi sangat sedih.
"Aku kan mencari tahu semampuku. Apakah kamu ingat di mana tempat tinggalmu dulu?" tanya Purnama.
Marianne mengangguk.
"Di manakah alamatnya?" lanjut Purnama.
Marianne hanya tersenyum dan menunjuk lantai ruangan.
"Sekolah ini dulunya adalah rumahmu?" tanya Mentari.
Marianne pun mengangguk lagi.
"Tenang saja, Marianne. Kami akan membantumu!" kata Mentari.
Mentari dan Purnama pun pergi meninggalkan ruangan eskul. Tanpa mereka sadari, selama itu mereka berpegangan tangan.
Mungkin karena terkejut oleh Marianne, mereka mencari perlindungan dan ketenangan dari satu sama lain. Baik Mentari maupun Purnama tidak melepaskan genggaman mereka meskipun mereka sudah menyadari keberadaan tangan masing-masing.
'Biar saja sepert ini. Di saat seperti ini, aku butuh dukungan Purnama,' pikir Mentari.
Keduanya mencegat taksi karena ingin secepat mungkin sampai di rumah Purnama.
"Ibu!" seru Purnama.
"Ya, Nak?" jawabnya.
"Ibu di mana?"
"Di dapur!"
Purnama dan Mentari menemui Ibu di dapur.
"Eh, Mentari! Ada apa buru-buru sekali kalian berdua?" tanya Ibu yang mendapati Purnama dan Mentari pucat pasi dan dengan napas yang memburu.
"Bu, Ibu punya nomor telepon Lorelai?" tanya Purnama tanpa basa-basi.
"Sepertinya ada. Memangnya ada apa?" Ibu terlihat bingung.
"Aku ingin menanyakan sesuatu."
Ibu terlihat seolah ia menunggu kelanjutan jawaban Purnama.
"Teman kami, Marianne, ingin tahu tentang wanita itu. Ia juga merasa mirip dengan Lorelai," jelas Mentari.
Ibu pun mengeluarkan hape dari kantung celananya dan mengetik nama Lorelai. Dengan tergesa-gesa, Purnama mengambil hape itu dan menekan opsi "Telepon".
Suara nada sambung terus menerus terdengar.
Sekali, dua kali, tiga kali. Ketika Purnama hampir menyerah, Lorelai mengangkat teleponnya.
"Halo?" katanya.
"Oh, Halo! Ini dengan Lorelai?" tanya Purnama.
"Iya. Ini bukan Tante Anne?"tanyanya.
"Oh, saya anaknya Anne. Nama saya Purnama."
"Purnama! Ya ampun! Aku sampai tidak mengenali suaramu! Sudah lama sekali kita tidak bertemu! Apa kabar?" sambut Lorelai dengan ceria.
"Oh, aku baik-baik saja. Kami tinggal di Indonesia sekarang."
"Iya, aku sudah dengar dari ibuku bahwa kalian sekeluarga pindah ke Indonesia."
"Iya."
"Rasanya lucu ya. Dulu keluarga kita juga pernah tinggal di Indonesia. Saat itu namanya masih Hindia Belanda," kata Lorelai.
Purnama terdiam. Wajahnya bertambah pucat hingga Mentari dan ibunya khawatir. Kedua wanita itu segera memegang kedua tangan Purnama karena takut ia akan pingsan.
"Purnama?" tanya Lorelai.
"Eh, iya. Aku masih di sini."
"Iya. Lalu kita sekeluarga pindah ke Belanda setelah kematian Marianne, tante buyut kita."
"Ap..Apa?" tanya Purnama.
"Loh? Tante Anne tidak pernah cerita? Wah, aku kira kamu sudah tahu makanya pindah ke Indonesia," jawab Lorelai.
"Oh, belum. Ibu aku belum cerita. Nanti aku tanyakan. Salam buat keluarga kamu ya. Nanti libur tengah semester aku akan berkunjung ke Belanda," kata Purnama. Seolah ia berada dalam mode auto-pilot, ia mengatakan apapun yang terbersit di benaknya kemudian menyudahi telepon.
"Ada apa, Nak? Apa yang belum Ibu ceritakan?" tanya Ibu.
Purnama berjalan ke arah ruang keluarga dan menghempaskan dirinya ke sofa karena kakinya terasa lemas.
"Marianne, Bu. Dulu kita punya leluhur bernama Marianne yang tinggal di Hindia Belanda?" tanya Purnama. Lagi-lagi tanpa basa-basi.
Mentari menatap kedua ibu dan anak itu dengan cemas. Ia tidak menyangka akan seperti ini jadinya.
"Oh, iya. Ibu tidak bisa bercerita karena sebenarnya Nenek kamu ingin sekali melupakan Marianne. Oleh karena itulah Ibu kaget ketika kamu menyebut namanya kemarin," jelas Ibu.
"Marianne itu bukan lagi manusia, Bu," kata Purnama.
Ibu yang kaget langsung sempoyongan. Untung saja Mentari dengan sigap menangkap tubuh Ibu Purnama dan membantunya duduk di sofa.
"Nenek kamu adalah adik Marianne. Marianne terkena typus dan saat itu belum ada obatnya. Setelah kepergian Marianne, nenekmu begitu terpukul sehingga memutuskan untuk pergi dari Hindia Belanda agar bisa melupakan semuanya," jelas Ibu lagi.
"Lalu kenapa Marianne tidak bisa tenang, Bu?" tanya Purnama.
"Nenekmu tidak cerita banyak. Namun ia pernah bilang bahwa Marianne pernah jatuh cinta dengan seseroang. Ia meninggal sebelum sempat menyatakan cintanya. Mungkin karena itulah Marianne tidak tenang."
"Bagaimana caranya kita bisa menemukan pria ini?" tanya Mentari.
"Kamu tidak bisa menemukannya, Mentari sayang. Pria itu adalah ayahku. Dia adalah kakekmu, Purnama."
"Kakek hilang di medan perang dan meninggalkan dua anak gadis," kata Purnama. Matanya terlihat hidup kembali seolah-olah ia akhirnya berhasil menemukan jawaban atas semuanya.
"Iya. Kedua anak itu adalah Ibu dan kakakku, Ibunya Lorelai," kata Ibu.
"Jadi Nenek menikahi cinta pertama kakakknya?" tanya Purnama.
"Nenek selalu merasa bersalah karenanya. Tapi apalah daya. Ia begitu menyayangi Jan. Meskipun begitu, nenekmu tahu bahwa separuh hati Jan masih milik Marianne."
"Terima kasih, Bu!" Purnama memeluk ibunya kemudian meraih tangan Mentari.
Keduanya berlari ke luar rumah dan segera menuju sekolah.
"Marianne!" seru Mentari dan Purnama.
Kali ini Marianne tidak sedang melihat keluar jendela. Ia menatap Mentari dan Purnama dengan lelah.
"Aku tidak bisa ingat apapun!" keluhnya.
"Kami sudah tahu apa yang terjadi padamu!"
Mentari dan Purnama menceritakan semuanya kepada Marianne.
"Meskipun begitu. Jan mengatakan pada adikmu bahwa separuh hatinya tetap milikmu, Marianne," kata Purnama.
Mata Marianne berkaca-kaca. Rambutnya terbang dengan indah disinari cahaya matahari sore.
"Marianne, kamu.. bersinar.." Mentari kehabisan kata-kata.
"Terima kasih, Mentari. Terima kasih, Purnama. Sekarang aku mengerti mengapa kita bertiga dipertemukan."
"Marianne.."
"Aku akan pergi sekarang. Kali ini aku akan bilang dengan jelas kepada Jan bahwa aku mencintainya!"
Mentari mengangguk. Air mata tumpah dari matanya. Purnama merangkul Mentari erat seraya berusaha menahan perasaannya.
"Mentari, jangan takut-takut seperti aku! Nanti kamu menyesal!" Marianne mengedipkan matanya pada Mentari.
Perlahan-lahan ia menghilang. Namun senyumnya terlihat teramat sangat bahagia.
Purnama memeluk Mentari yang masih terisak. Setelah keduanya berhasil menenangkan diri, Mentari melepaskan diri dari pelukan Purnama.
"Purnama, aku sayang kamu! Aku tidak ingin menyesal seperti Marianne! Mulai sekarang aku akan hidup dengan lebih bersemangat, lebih terbuka, dan lebih mesyukuri semuanya!" katanya.
Purnama tersenyum dan menjawab pernyataan Mentari dengan kecupan di kening.
"Aku sayang kamu juga, wahai matahariku!"
***
Terima kasih sudah membaca cerita ini, teman-teman!
Semoga kalian menikmati 'Mentari dan Purnama'.
Salam hangat,
Tamago Tan.
Disclaimer: karakter dan alur cerita adalah fiksi.