?BRUUUUKKK!
Aku terjatuh dan menubruk sesuatu. Sungguh pagi ku ini begitu sial. Bangun kesiangan, dan kini terlambat masuk ke kelas manajemen.
"Heh lo."
Aku mencoba untuk berdiri. Buku yang tadi aku pegang berserakan di koridor kampus ini. Tapi begitu mendengar suara itu aku langsung merinding. Takut. Dengan perlahan aku mulai menegakkan tubuh. Berdiri meski tahu kalau di depanku ada pria yang membenciku.
"Sorry."
Hanya itu yang aku ucapkan saat melihat wajah galaknya. Matanya sudah menatapku dengan marah dan juga rahang yang mengeras.
"Lo lagi lo lagi. Lo ngikutin gue ya?"
Aku terhenyak mendengar ucapannya. Siapa juga yang mengikutinya?
Aku berusaha untuk menegakkan tubuh. Lalu menatap pria yang sudah sejak dua bulan yang lalu memusuhiku. Sungguh. Aku juga tidak menyangka akan mendapatkan malapetaka seperti ini.
Sejak aku pindah ke kota ini dan ke kampus ini. Hidupku selalu sial. Di awali dengan pindahnya aku ke sini. Ikut dengan papa. Aku sebenarnya tidak mau tapi keputusan pengadilan memberikan hak asuh sepenuhnya kepada papa daripada mama. Yang notabene memang tidak layak untuk mengasuhku. Karena toh mama juga pergi meninggalkan kami dengan pria lain.
Kenyataan itu membuat Aku kacau. Mama papa bercerai. Dengan mama pergi tanpa mempedulikan aku. Di tambah aku sejak kecil memang tidak pernah akrab dengan papa. Dan di usia 19 tahun ini aku sudah harus menemukan jati diriku sendiri.
Papa memilih untuk pindah dari Jakarta. Memilih jauh dari mama yang sudah menorehkan luka. Papa mengajakku ke sini. Ke Bandung. Kota kelahiran papa. Beliau pulang ke rumah nenek dan kakek yang sudah almarhum. Dan aku harus ikut.
Di sini aku kesepian. Papa yang selalu sibuk dengan pekerjaannya. Dan aku yang hanya ditinggal sendiri di rumah. Meski ada pembantu di rumah. Tapi hidupku tidak sama lagi. Tidak ada teman dan juga sahabat yang bisa aku ajak berbagi.
Di kampus ini aku juga tidak mempunyai teman satu orang pun. Sejak di pindah ke sini aku hanya menjalani aktivitasku seperti robot. Masuk kelas, keluar masuk lagi. Begitu saja. Teman-teman yang aku kenal juga tidak bisa aku dekati karena aku orang asing di sini.
Sampai suatu hari aku bertemu dia. Pria yang sekarang ini ada di depanku dan menatap dengan galak. Romeo. Kakak tingkatku ini dari awal memang sudah membenci dan membuatku takut.
Saat itu aku tidak sengaja memecahkan jam tangan mahal yang akan diberikan Romeo kepada kekasihnya. Sungguh, aku tidak sengaja. Aku terlalu kuat berlari saat mengejar kelas dan menubruk Romeo yang sedang memegang jam itu. Jam itu jatuh dari lantai dua dan pecah begitu saja. Rusak.
Dari situ awal kesialanku. Romeo memakiku di depan semua mahasiswa yang ada saat itu. Lalu meminta ganti rugi. Tapi aku tidak sanggup membayar. Uang saku ku saja pas-pasan. Papa tidak pernah memanjakanku dengan memberikan uang saku yang berlebih. Cukup untuk naik busway dan juga makan di kantin.
Alhasil tiap kali melihat Romeo aku ketakutan. Dia mengancam akan mencelakaiku kalau beredar di orbitnya lagi. Meski dia sudah tidak lagi meminta ganti rugi. Tapi satu minggu kemudian aku mendapat kabar kalau Romeo putus dengan kekasihnya. Hal itu makin membuatku takut. Jangan-jangan karena aku merusak jam hadiah itu hubungan Romeo dan kekasihnya jadi putus.
"Gue gak sengaja. Gue buru-buru mau masuk kelas."
Aku akhirnya menjawab meski dengan lirih. Tatapan Romeo yang menghujam dan penuh kekesalan sudah membuatku tak mau berurusan lagi dengannya.
Dia kini berkacak pinggang dan menatapku lagi.
"Lo minggir!"
Bentakannya membuat aku berjenggit dan langsung bergeser. Romeo kini melangkah melewatiku tanpa mengucapkan apapun. Aku menahan nafas. Dan menghitung sampai tiga menunggu dia menghilang dari hadapanku.
Setelah aku tahu dia tidak lagi berada di dekatku kini aku berjongkok lagi dan memunguti buku yang berserakan.
"Hati-hati."
Aku terkejut mendengar suara itu. Dan melihat sebuah tangan membantuku untuk memunguti semua buku.
"Hai."
Saat aku mendongakkan wajah kulihat wajah yang familiar membuatku tertegun.
"Gue Nathan. Teman sekelas kamu di manajemen."
Aku mengulas senyum kaku dan mengangguk mengiyakan. Mungkin aku terlalu tertutup selama ini jadi tidak pernah mengenal siapapun.
Dia memberikan buku yang dia pungut kepadaku. Lalu kami berdiri bersama.
"Di galakin lagi sama Romeo ya?"
Aku mengernyitkan kening saat dia menanyakan hal itu.
"Gue tahu kok. Lo Tasya kan? Yang tempo hari ngerusakin jamnya si Romeo?"
Aku hanya kembali menganggukkan kepala. Nathan kini tersenyum lebar kepadaku. Tampak begitu ramah dan santai.
"Udah gak usah dipikirin. Romeo memang begitu orangnya. Kamu kan anak baru ya di kampus ini jadi belum terlalu kenal sama dia."
Aku kembali hanya menatap Nathan yang kini membenarkan tas ransel yang di cangklongnya itu.
"Kalau dia macam-macam lagi sama lo. Bilang sama gue."
"Lo siapa nya Romeo emang?"
Aku mengatakan itu karena refleks. Nathan menatapku bingung. Tapi kemudian tertawa.
"Gue sahabatnya si songong itu."
Aku menggelengkan kepala. Kenapa pria sombong kayak Romeo mempunyai sahabat? Baik pula.
"Jangan bengong kayak gitu ah. Udah yuk ke kelas."
Nathan kini mengajakku untuk berjalan lagi. Menuju kelas yang sepertinya sudah ada dosennya. Sial.
******
"Sya..Kamu balik ke Jakarta ya sayang. Mama kangen."
Air mataku merebak mendengar suara mama di ujung sana. Hari ini aku masuk ke kampus dengan suasana hati campur aduk. Papa semalam marah-marah tidak jelas. Lalu keluar lagi malam harinya. Aku ditinggal di rumah sendirian. Paginya papa juga belum pulang. Dan sekarang saat aku tengah berada di perpustakaan kampus. Duduk dan sedang mengerjakan tugas mama meneleponku.
"Mah. Kenapa mama baru sekarang kangen sama Tasya? Kemarin-kemarin saat mama pergi ninggalin Tasya mama kemana?"
Aku bisa merasakan tenggorokanku tercekat. Air mata sudah menggenang di pelupuk mataku. Selalu sedih kalau mengingat mama tidak pernah ingat denganku.
"Mama khilaf Sya. Kemarin itu kan mama sibuk dengan Ridwan. Suami mama yang baru. Tapi dia pecundang. Mama ditinggalkan gitu aja Sya. Sekarang mama kesepian. Kamu balik ke sini. Mama tahu kamu tidak bahagia di sana sama papa kamu. Setidaknya kamu di sini punya teman. "
Ucapan mama membuatku tergugu. Aku menutup mulut agar tangisku ini tidak terdengar. Ada beberapa mahasiswa yang juga ada di sini.
"Udah ma cukup. Jangan sakitin Tasya lagi."
Aku langsung mematikan ponselku. Sudah terlalu sering mama membuatku menangis. Mama tidak pernah ada sejak dulu. Aku hanya hidup dengan bibi. Pembantu yang mengasuhku selama ini. Mama yang senang kehidupan malam dan papa yang sibuk di kantor.
"Dilarang nangis di perpustakaan. Kalau mau nangis di kamar mandi."
Suara itu membuat aku yang baru saja menelungkupkan wajahku di atas meja kini membuatku terbangun dari posisiku.
Di depanku kini duduk Romeo yang masih menatapku dengan tatapan galaknya. Dia ini berandal banget. Menurut cerita dari Nathan kemarin, Romeo ini memang terkenal nakal di kampus dan ditakuti. Siapa yang membuat gara-gara sama Romeo pasti diubernya sampai anak itu keluar dari kampus saking takutnya. Aku merinding kalau hal itu terjadi denganku
"Gue lagi gak mengganggu siapapun."
Aku mengatakan itu dan melihat kini Romeo mengangkat satu alisnya. Suasana hatiku sedang buruk. Dan aku tidak mau membuat semakin runyam.
"Dengan tangisan lo itu ganggu gue. "
Aku mengernyitkan kening saat dia menunjuk dengan telunjuknya ke arahku. Lalu mengedarkan ke seluruh ruangan perpustakaan ini.
"Lo kapan di sini?"
Romeo kini berdecak sebal dan bersedekap di depanku.
"Gue udah dari pagi kali di sini."
Aku kembali mengernyit. Kapan dia di sini? Setahu ku saat masuk ke perpustakaan ini hanya ada mbak nya yang jaga dan dua orang mahasiswa yang sedang sibuk dengan laptop nya. Tidak ada Romeo. Kalau tahu ada dia di sini aku pasti sudah pergi.
Aku akhirnya mengusap air mata yang sudah membasahi wajah. Dan memberesi buku-buku di depanku lalu memasukkannya ke dalam tas ransel. Malas berurusan lagi dengan Romeo.
"Jangan pergi gitu aja di saat gue ada di sini."
Suaranya yang keras membuat beberapa mahasiswa yang ada di sebelah kami tampak terganggu. Tapi Romeo memberikan tatapan galaknya lagi kepada semuanya. Yang pasti langsung membuat nyali mereka ciut. Terutama aku.
Aku akhirnya duduk kembali dan kini berdoa agar Romeo tidak macam-macam kepadaku.
"Lo gak minta maaf udah ganggu tidur gue?"
Kuhela nafasku saat mendengar bentakannya lagi. Dan kali ini aku harus bisa menahan semuanya.
"Ok. Gue minta maaf."
"Gue gak butuh maaf lo."
Astaga.
Aku menatap Romeo yang kini masih bersedekap dengan tatapan mengintimidasi.
"Mau lo apa sih?"
Akhirnya aku mengumpulkan keberanianku. Padahal aku tahu kalau nyaliku ciut.
"Hei Rom. Gue cari juga. Tahunya di sini."
Aku hampir meloncat karena saking leganya. Dari arah belakang Romeo aku bisa melihat Nathan yang melangkah ke arah kami.
"Woii ada Tasya juga."
Aku hanya mengangguk dan tersenyum saat Nathan menepuk bahu Romeo. Membuat pria itu menoleh ke arahnya dengan malas.
"Apa sih lo jijik pakai nyariin gue segala."
Ucapan Romeo yang kasar itu malah membuat Nathan makin menyeringai lebar.
"Sensi banget lo. Lagi pms?"
Ucapan Nathan kontan saja membuat aku tersenyum. Tapi kemudian aku mengalihkan pandanganku karena Romeo sudah menatapku dengan galak.
"Gue ada kelas."
Romeo tiba-tiba berdiri dari duduknya dan berlalu begitu saja. Meninggalkan ku dan Nathan.
"Lo gak di ganggu kan ama Dia?"
Kali ini Nathan sudah duduk di kursi yang di tempati Romeo tadi. Aku menggelengkan kepala.
"Tapi kenapa wajah lo merah gitu. Lo dibuat nangis sama Romeo?"
Aku langsung menggelengkan kepala dengan cepat.
"Enggak. Bukan. Gue nangis sendiri kok."
Nathan mengernyitkan keningnya. Tampak menatapku dalam diam.
"Beneran. Sahabat lo itu gak mengganggu gue. Suer."
Aku akhirnya menunjukkan dua jariku dan membuat Nathan akhirnya tersenyum.
"Ya udah. Mumpung di perpustakaan nih. Lo juga lagi ngerjain tugas dari Pak Samsul kan? Gue nebeng ya?"
Akhirnya kuhela nafasku dan tersenyum. Nathan selalu bisa mengalihkan perhatianku.
******
"Papa."
Aku berdiri mematung saat ini. Menatap nanar ke arah pria yang sudah aku kenal seumur hidupku. Papa ku kini ada di seberang jalan. Tampak mesra sedang mengganddeng seorang wanita cantik.
Itukah pacar Papa? Sejak kemarin aku mendengar selentingan dari bi Asih. Asisten rumah tanggaku yang berbisik-bisik dengan Mang Usman suaminya yang juga tukang kebun di rumahku. Mereka mengatakan kalau papa kemarin malam membawa pulang wanita cantik. Aku tidak percaya mendengar itu semua.
Tapi saat ini aku bisa melihat dengan jelas kalau papa memang sangat mesra. Mungkin suatu kebetulan aku di sini. Di depan toko buku. Setelah pulang dari kampus aku memang mampir ke sini. Membeli beberapa novel untuk menghilangkan kejenuhan dan kesepianku selama di rumah.
"Paaaa."akhirnya aku berlari. Ingin menyusul papa yang jauh di seberangku. Sudah satu minggu aku tidak pernah bertemu papa. Pagi beliau sudah berangkat kerja. Dan malam aku sudah tertidur saat papa pulang. Aku kangen sama papa. Sungguh.
Aku berlari dan tidak mempedulikan suara klakson mobil. Mataku tetap fokus ke arah papa yang mulai belok di pertigaan jalan.
Tiiiiiiiiìiiiiiiinnn
Aku berhenti seketika dan jantungku berdegup dengan kencang saat suara klakson itu menghantamku. Aku gitu tp telingaku dan berjongkok di tengah jalan. Sudah siap untuk mendapatkan hantaman dari mobil.
"Gila. Lo mau cari mati?"
Saat itulah aku mendengar suara Romeo. Aku merasakan kepalaku di usapnya dan dengan ketakutan aku menengadahkan wajahku. Di depanku ada beberapa orang yang mengelilingiku. Tapi pria yang kini berada di dekatku persis itulah yang membuat aku terkejut.
*****
"Maaf."
"Udah gue bilang. Gue gak butuh maaf lo."
Aku duduk di sini di dalam cafe dengan menyesap coklat panas. Satu jam setelah kejadian aku berjongkok di tengah jalan itu akhirnya membawaku ke sini. Dengan Romeo di depanku.
Mobil yang akan menabrakku itu adalah milik Romeo. Dia mengerem tepat waktu. Sehingga membuat aku tidak jadi tertabrak.
"Lo punya otak gak sih, percuma orang tua lo nyekolahin lo kalau lo sendiri gak bisa make otak lo."
Ucapan kasar itu hanya membuatku mengangguk. Aku memang tidak punya otak.
"Gara-gara lo. Gue telat buat ketemu seseorang."
Romeo kini menatapku dengan tatapan yang melebihi kekesalannya tempo hari. Aku memang bodoh.
"Maafin gue."
Romeo kini mengacak rambutnya. Lalu menghembuskan nafasnya dengan lelah
"Lo perlu ke rumah sakit jiwa. Periksain tu jiwa lo. Atau enggak mata lo. Punya mata di pakai buat ngelihat. Dari pertama ketemu sama lo. Adanya lo nabrak sana-sini."
Aku hanya terdiam mendengar omelan Romeo. Duniaku sendiri sudah berakhir sejak papa mengajakku pindah ke sini. Aku sendiri dan kesepian.
Tanpa terasa air mata sudah menetes lagi. Membasahi wajahku yang sudah pasti tidak karuan rupanya.
"Kenapa harus pakai nangis. Ah woman."
Romeo kini mengambil tisu yang ada di atas meja. Lalu dengan kasar memajukan tubuhnya dan mengusap wajahku dengan tisu itu
"Jangan nangis dong. Entar gue dikira pacar yang lagi kdrt ceweknya."
Mendengar ucapan Romeo aku sendiri tersenyum.
"Gila kan Lo? Tadi nangis sekarang tersenyum. Bisa sinting gue kalau ada di sini."
Dia membuang tisu yang baru saja di buat untuk mengusap wajahku.
"Ya udah tinggalin gue. "
Romeo kini menatapku dengan sebal lagi.
"Lo pikir gue mau di sini sama Lo?"
Aku hanya menggelengkan kepala lagi.
Romeo kini menatap jalanan. Kami memang duduk di pojok cafe dan di depan jendela cafe.
"Lo itu aneh. Cewek aneh yang udah buat gue kesal."
Aku menberengut mendengar ucapannya. Dia tidak menatapku. Hanya menatap lalu lintas yang padat di jalan.
"Lo ceweknya Nathan ya?"
Tiba-tiba dia menoleh ke arahku dan menanyakan hal itu. Refleks aku menggeleng.
" Enggak. Bukan."
"Sahabat?"
Aku kembali menggelengkan kepala.
"Tapi kenapa dia melarang gue buat gangguin Lo?"
Tentu saja ucapannya itu membuat Aku bingung. Nathan dan aku memang menjadi teman akrab karena kami satu kelas dan satu jurusan. Tapi tidak ada kode romantis.
"Dan kenapa lo juga mau banget gangguin gue?'
Akhirnya aku berani menanyakan itu. Yang membuat Romeo kini berdecak sebal lagi.
"Lo nyebelin. Udah. Gue anterin lo pulang."
*****
Sejak kata 'lo nyebelin' itu dan Romeo mengantarkanku pulang. Beberapa hari ini dia tidak terlihat di kampus. Sebenarnya membuat aku senang. Tidak lagi ketakutan karena bertemu dengan Romeo. Hanya saja entah apa yang membuatku tidak nyaman.
"Sya. Balik bareng yuk."
Nathan sudah mensejajari langkah ku. Dia selalu manis denganku.
"Gue mau ke perpus. Cari buku."
Nathan kini mengangkat bahunya mendengar jawabanku.
Lalu mengulurkan tangan untuk mengacak rambutku.
"Ya udah. See ya. Mungkin besok gue bisa nganterin pulang. Bye."
Nathan sudah berlari-lari kecil Meninggalkan ku yang berjalan menuju perpustakaan.
Saat itulah aku melihat sosok Romeo. Dia berdiri di ambang pintu perpus dengan tatapan yang seperti biasa. Sebal kalau melihatku.
"Hai."
Aku menyapanya saat masuk ke dalam perpus. Dia tidak menjawab. Tapi aku tahu dia mengekoriku.
Aku melangkah menuju rak buku dan mencari apa yang sedang aku butuhkan.
Aku tahu Romeo ada di sampingku. Tapi dia tidak mengucapkan apapun. Suara dering ponselkulah yang membuat aku terkejut. Aku segera merogoh saku celana jinsku dan mengambil ponselku dengan cepat. Sebelum terkena marah penjaga perpus karena membuat gaduh
"Halo."
"Sya ini papa. Papa gak pulang ya dua hari ini. Papa mau menikah. Dan papa harus ke Solo untuk menikahi calon ibu kamu. Jadi kamu baik-baik ya dirumah. Jangan main sampai malam."
Klik
Sebelum aku menjawab sambungan sudah di putus. Tiba-tiba tubuhku limbung. Papa menikah?
"Hei.."
Punggungku di sangga oleh tangan Romeo. Dia sudah berdiri di belakangku.
"Lo sakit?"
Aku hanya menggelengkan kepala.
Tapi air mata sudah menggenang lagi di pelupuk mataku. Kenapa semuanya pergi meninggalkan aku?
"Heh. Jangan nangis. Shit!"
Romeo mengumpat tapi dia mengusap air mata yang membasahi wajahku.
******
"Jangan cengeng. Cuma masalah kayak gitu gak buat lo mati kan?"
Ucapan kasar Romeo membuat aku langsung menatapnya dengan kesal. Percuma aku bercerita kepada Romeo kalau dia hanya menanggapi dengan ucapan kasar itu.
Kami masih di perpus. Duduk di pojok ruangan di balik rak yang membuat kami tidak terlihat. Sudah satu jam juga aku menangis dan melampiaskan semua kemarahanku rasa sedihku selama ini.
Romeo dengan sabar menunggu aku menyelesaikan cerita ku. Tapi aku menyesal mendengar ucapannya itu.
"Lo gak ada di posisi gue."
Dia berdecak sebal dan kali ini menatapku dengan tajam
"Lo beruntung masih punya mama papa. Meski mereka nyuekin lo. Gue gak punya satupun. Gue sebatang kara di dunia ini."
Mendengar ucapannya itu aku terdiam dan menatap Romeo dengan muram.
"Gak usah natap gue dengan mata sendu lo. Gue gak perlu di kasihani. "
Dia mengibaskan tangannya di depan wajahku. Dan membuat aku menghela nafas lagi. Aku tersadar kalau ada orang yang masih kurang beruntung daripada aku.
"Lo yang kuat. Yang fight, Hidup lo masih panjang."
Ucapan Romeo membuat aku mengangguk. Lalu tiba-tiba dia mengulurkan tangan dan mengacak rambutku.
"Dan yang pasti ada gue di sini. Nemenin lo."
Bersambung
Hai Salam Kenal ...Ikuti Terus CeriTA mereka Bertiga Ya