Unspoken
***
"What if..."
***
"Akhirnya kelas dua juga." Suara Sad yang senang seusai pagi tadi ada pembagian rapor dan dia dinyatakan naik kelas.
Sekarang mereka semua sedang berkumpul di rumah Ran.
"Girang banget lo!" Celetuk Ran.
"Wah, Jelas! Bisa ngecengin anak kelas satu kan entar." Jujur Sad sembari menaik turunkan alisnya.
"Sok cakep!" Celetuk Dai.
"Gue emang cakep. Sirik aja lo, bocah."
Dai hanya menanggapinya dengan memeletkan lidah.
"Ran, gue izin ke toilet ya."
Itu suara Jul yang langsung Ran respon dengan anggukan. Gadis itu pun hilang di tikungan.
Melihat kesempatan, Sad kembali kepikiran sikap Jul beberapa minggu ini. Gadis itu berbeda dari biasanya. Sad ingin mencari tau sejak awal sebenarnya. Tapi berhubung dua minggu kemarin sudah masuk masa ujian, akhirnya Sad kesampingkan dulu niatan itu. Tadinya Sad kira cewek itu hanya sedang PMS. Tapi kok lama banget. Ya kalik PMS tiga minggu nggak kelar-kelar.
"Calkis." Cowok yang dari tadi sibuk mengelus-ngelus chopper itu menoleh, "Salju kenapa deh?"
"Salju?"
"Iya! Semenjak yang gue minta lo gantiin buat anterin dia pulang dari rumah Ran waktu itu. Dia jadi jutek banget sama gue masa. Hayo ngaku. Lo apain temen gue, Kis?"
"Nggak gue apa-apain." Kis menanggapinya dengan teramat santai, padahal Sad sudah bersungut-sungut.
"Bohong! Kalau gitu dia kenapa dong?"
"Dia kesel liat lo."
"Kesel kenapa?" Ditanya lebih lanjut, cowok itu malah kembali asik bermain dengan chopper.
Tapi beberapa detik kemudian, "Dia kira lo pergi sama nyokap lo."
"Ha?" Sad malah semakin terbengong. Iyalah dia mana ngerti, mana ngeh.
"Kok pikiran gue nggak nyampe sih?"
"Gimana mau nyampe, punya aja nggak!"
Oke, kalimat barusan nadanya memang santai sekali, tapi kok nyelekit banget gitu ya. Apalagi melihat tampang si Kis yang lempeng banget pas ngucapinnya. Mulut cabe emang, umpat Sad dalam hati.
"Sialan!"
"Hahaha."
"Nih bocah berisik amat ya!"
Dai hanya mencibir saat berhenti dari tawanya, "Abis jadi cowok PK sih, sekali-kali rubah ejaan dong jadi p-e-k-a."
"Hahaha."
Sekarang gentian Ran yang tertawa. Padahal dari tadi dia anteng aja sama gamenya. Sedangkan Kis ikut menyetujuinya dengan tawa sarkas.
Sad seketika melotot, "Ngaca woy!"
"Apa?" Tantang Dai.
"Ditaksir dari orok kok nggak tahu. Kayak lo peka aja sama perasaannya si... aduh. Apaan sih nih. Sakit anjir." Kalimat Sad terpotong oleh pekikkan kesakitan karena sebuah benda baru saja melayang tepat mengenai ubun-ubunnya.
Satu tangannya memegangi kepala yang terasa senut-senut. Sedangkan tangan lainnya mengambil barang yang menghantam kepalanya barusan kemudian terjatuh di paha. Mata Sad melotot seketika.
"Sori Sad. Kepleset dari tangan gue tuh."
"Tai banget lu, Ran! Kepleset tuh cewek kek, gue tangkep kan enak. Lah ini PSP, kena pala gue lagi. Sengaja ya lo?" Sad semakin bersungut-sungut.
"Berisik sih mulut lo." Responnya watados.
"Sialan lo."
Dai malah tertawa lagi. Jarang-jarang nih anak muka lempeng ketawa. Tapi nggak tau kenapa kalau liat kelakuan Sad pasti bawaannya pengen ngakak mulu.
"Jadi anterin gue balik kan, Kis?" Tanya Jul yang tiba-tiba saja muncul. Membuat Kis yang tadi ikut tertawa meski nggak seheboh Dai itu mengangguk.
"Loh, sama gue aja Jul. Kenapa jadi sama Calkis sih?"
Nah, ini perubahan dari Jul yang Sas maksud.
"Nggak apa. Gue biar sama Calkis aja." Dan jawaban Jul bikin Sad kicep.
"Yuk, Kis!"
"Mau sekarang?" Gantian Jul mengangguk, "Yaudah yuk!"
"Harus sekarang banget Jul?" Tanya Dai.
"Iya, Dai. Sori ya, gue belum packing soalnya."
"Oh iya. Gue juga." Kayak keingetan Dai ikut mengambil tasnya bersiap pulang. Ran yang melihatnya segera bersiap juga mengambil jaket dan kunci.
"Aselinya ini lo pada mau cabut?" Tahan Sad yang kebingungan.
"Gue mau anterin Ena dulu bentar. Kalau lo masih mau di sini. Tungguin aja, nanti juga gue balik." Respon Ran.
"Kapan lo pernah bentar sih kalo urusannya sama si bocah."
Entah ya, kenapa hari ini Sadlan Sadewa kayaknya uring-uringan terus sama semua orang. Ran hanya tertawa karena apa yang dibilang Sad benar adanya.
"Nggak asik lo pada ah."
"Dih sewot." Ledek Dai yang langsung dibalas delikan oleh Sad.
"Jul." Sampai di parkiran saat Ran dan Dai sudah pamit meluncur lebih dulu Sad kembali memanggil Jul yang baru akan memasuki mobil Kis, "Sama gue aja sih yuk!" Sengaja banget nih manusia mukanya di melas-melasin.
Jul menatap Sad dalam diam. Tanpa Sad tahu, Jul menimpali dalam hati.
Untuk saat ini gue masih belum bisa, Sad.
"Jul?"
"Gue sama Kis aja."
Karena gue harus menghindar dulu dari lo.
Sad berdecak, "Udah tiga minggu loh, Jul lo giniin gue."
Iya, gue tahu. Dan itu kayak udah lama banget buat gue.
"Giniin gimana?" Tanya balik Jul.
Meski gimanapun sakitnya gue bukan sepenuhnya salah lo.
"Ya kayak gini, gimana sih."
"Gue nggak gimana-gimana."
Gue cuma nggak bisa terus-terusan jadi kuat di depan lo, Sad.
Cowok itu menghela napas frustrasi, "Lo pengen gue ngapain biar lo nggak gini terus, Jul?"
Gue pengen lo tahu perasaan gue, Sad.
"Coba kasih tahu gue, Jul!"
Tapi gue nggak mau kasih tahu lo.
"Kalo gue salah. Gue minta maaf sama lo. Jul."
Apa gue juga salah punya perasaan semacam ini sama lo?
Sedetik, dua detik Sad menunggu respon dari Jul. Namun gadis itu tak bergeming. Hingga yang Sad paham saat itu hanyalah tidak ada gunanya mendebat di waktu yang tidak tepat seperti sekarang ini. Sad menghela napasnya berat.
"Oke, mungkin lo cuma lagi butuh waktu aja."
Ya, gue emang butuh waktu...
"Bye, Jul."
"Bye."
... Entah itu untuk mencari jawaban atau sekedar... pembenaran.
"Yaudah Kis. Gue titip Salju ya. Jangan lo belokin dulu. Langsung anterin balik."
"Emangnya gue lo."
"Sialan makin kesel aja gue. Tinggal bilang iya aja kenapa sih!"
Kis hanya menanggapinya dengan senyum meledek. Sebelum akhirnya mobil itu keluar pagar, menjauh dari Sad yang masih berpikir keras.
***
"Are you okay?"
Jul menoleh saat Kis bertanya, "Emangnya gue kenapa?"
Cause you're look so... hurt.
Kis hanya tersenyum mendengar Jul bertanya balik. Setelah itu mereka hanya diam. Sampai setengah jalan saat lampu merah menyala di pertigaan sana.
"Gue kira Sadlan nggak sebego itu buat tau." Gumam Jul kembali bersuara.
Yes, he is, Jul and you know it.
"Tau apa?" Kis merespon.
Kis menelan ludah kasar. Mungkin sudah saatnya dia mendapatkan jawaban. Jawaban dari pertanyaan yang muncul saat dia memutuskan untuk mencari tahu. Seburuk apapun kenyataannya. Meski ia sudah tahu. Dia masih belum ingin benar-benar memastikannya. He's not ready enough.
Tapi kemudian...
"Yah, gue suka sama dia."
I beg you, to not mentioned his name.
Entah kenapa hati Kis yang tadinya hanya berdebar cepat itu kini terasa mati rasa setelah mendengar dua kata selanjutnya.
"Sadlan Sadewa."
May I curse now?
Dan cowok itu hanya bisa diam di detik-detik berikutnya. Mencoba mengontrol diri lebih ekstra. menahan perasaan yang berkecamuk.
"I'll bet you know. Semenjak yang di mall waktu itu. Do you?"
Kepalanya menoleh dan menemukan Jul yang sedang menunggu jawabannya.
"Iya."
Gadis itu tersenyum. Senyum yang sama seperti beberapa minggu lalu. Senyum yang di tujukannya pada Sad dan salsa.
"I wondering hows great be like."
Kening Kis menyernyit, tak mengerti.
"Katanya kalau kita jatuh cinta diam-diam sama orang lain. Sebenernya ada yang lagi kayak gitu juga sama kita."
Tapi kemudian dalam hati ia menjawab.
For you, I think it's definitely right.
"Oh ya?"
Jul mengangguk, "Kadang kalau gue lagi capek... Gue bertanya-tanya gimana rasanya."
Tanpa bertanya lagi, Kis pasti mengerti kata capek di sana berlaku untuk apa.
Lalu terdengar helaan napas yang sesak.
"I wondering what it feels like... Be loved... Being his she and being his her. No matter what he's not my he and he's not my him..."
You're already be like, Jul.
"... I wondering too... is it to be good or bad... For know nothing."
"Kis."
"Ya."
"Lo..." Jul sengaja menggantungkan kalimatnya ragu tapi kemudian, "Pernah ngalamin silent love?"
Jelas pertanyaan itu membuat Calkis terperanjat, tapi tipis, kemudian he stay cool again.
Kis menimbang-nimbang sejenak sebelum akhirnya memutuskan jujur, "Masih."
Sedangkan Jul yang tadinya sempat duduk menghadap ke arah Kis. Kembali menatap lurus ke depan. Kemudian menghela napas sekali.
"Kis?"
"Ya?"
"How your feeling if someone who you like..." Cewek itu menjeda lagi, "Malah suka sama orang lain?"
It's not time 'if' again for me, Jul.
"Would it hurts you?"
It's already hurts me, Jul.
"Apa salah kalo kita ngerasa sakit untuk itu?"
And I don't know.
Okay, andai aja kalian tahu gimana dengan susah payahnya Kis menahan perasaannya yang entah kenapa seketika jadi meletup-letup di dalam. Entah lebih tepatnya meletup in the bad way or the good.
Tapi...
"Gue cuma pengen tau. Ini salah apa nggak." Lanjut Jul, "Kalo lo nggak mau cerita. It's okay, gue bisa ngerti. Hehe. Lagian apa banget deh gue kok tiba-tiba ngomongin ini sama lo."
Jul kembali ke her common mood.
Kis, jangan ditanya.
Dari luar emang keliatan tenang aja karena mukanya yang always lempeng.. Tapi nggak tau deh dalemnya yang tadi sempat meletup-letup.
"Sori ya, Kis."
Kemudian hening lagi.
Lampu merah selanjutnya.
Lampu merah terus.
Lampu merah lagi.
Rumah Jul emang jauh.
Tapi aseli sih ini kok berasa nggak nyampe-nyampe ya.
"Eh, ini kita nggak salah jalan kan ya?"
Perjalanan kali ini berasa lebih lama dari perjalanan-perjalan pulang Jul diantar Kis sebelumnya. Makanya dia berusaha menghilangkan kecanggungan. Namun yang ditanya malah diam tanpa respon. Cewek itu merutuk dalam hati dan jadi ketakutan sendiri. Takut salah ngomong atau bahkan takut dikira kepo.
Tapi kemudian disaat seorang Salju Christabell sedang berkutat dengan pikirannya sendiri...
"Ini semua salah."
Jul diam, menunggu lanjutannya.
"Salah kalau kita maksa mereka buat tau perasaan kita, tanpa pernah kita mau untuk menjelaskannya."
Meski sebenernya gue masih takut kalau lo tahu.
"Salah kalau kita menyalahkan mereka atas rasa sakit yang kita rasain."
Karena rasa sakit ini, sebenernya gue bikin sendiri.
"Salah kalau kita menyalahkan mereka, disaat mereka nggak tau apa-apa."
Ya, ini memang serba salah.
"Kesel wajar, sakit wajar, meski itu akan membingungkan mereka melihat kita menghindar."
Ya, gue juga nggak mau bikin lo bingung.
"Because that's couldn't fair for them."
Jul menatap Kis yang menatap lurus ke depan. sambil masih bertanya-tanya dalam hati akan apa yang belum mendapatkan jawabannya. Tanpa tau bahwa Kis juga masih bingung dan juga mencari jawaban atas perasaanya.
"Tapi untuk punya perasaan seperti ini..."
"Lo nggak salah, Jul."
"Perasaan lo... nggak salah."
"Suka sama orang itu nggak salah."
"Perasaan yang lo punya adalah hak lo sepenuhnya."
"Hati lo berhak buat milih, Jul."
"Termasuk milih untuk jadi egois karena menyimpannya sendirian."
"Gue? Egois?" Jul bertanya lirih.
Kis kemudian mengangguk, "Bukan cuma lo. Gue juga. To be honest, kita berdua egois, Jul."
"I'm egois for turtoring someone that I love to wondering."
"And I feel bad to know that... actualy."
Mobil Kis sudah berhenti tepat di tempat tujuannya mengantar Jul. Tapi cewek itu rasanya enggan untuk langsung keluar dari sana. Dia masih ingin mendengarkan. Sembari pikiran dan hatinya ikut mencerna.
"Tapi tanpa sadar gue juga udah menyiksa diri gue sendiri."
"I've turtoring myself to found she was hurted by the guy that she love."
I've turtoring myself to see you hurted by him, Jul.
"And nothing that I can do."
Di saat sebenernya gue bisa.
"Because I'm a coward."
I'm still being a coward.
As you said.
Hening lagi cukup lama, keduanya terlarut dalam pikirannya masing-masing. Sampai akhirnya Jul menanggapi kalimat demi kalimat dari Kis barusan.
"It's okay. Egois itu manusiawi."
Kis menatap Jul yang tersenyum teduh.
"Seenggaknya lo nggak kayak gue... masih bisa sebaik ini, Kis... Dalam hal memikirkan perasaan orang lain."
Bahkan hanya dengan melihat senyumnya lagi. Perasaan Kis bisa menjadi lebih baik sekarang.
Gadis itu akan pergi nanti malam, tak lama. Tapi akan cukup membuat kis rindu.
"Makasih ya, sekarang gue jadi nggak bertanya-tanya lagi."
Dan sebelum benar-benar keluar dari sana, gadis itu menggumamkan beberapa kalimat yang membuat Kis kembali menjadi seorang pengecut.
"She must be special."
Yes, she is.
"She lucky to have you."
I wish as you wish.
"And I already curious who's your she?"
What if you know that i's you, Jul?
It's always gonna be you, Salju.
***
"Serius lo mau pergi, Curut?"
Suara lemes Ran Si lelaki kesepian itu membuat Dai menghentikan langkahnya dan menoleh.
"Masa udah disini nggak jadi?"
Ran menatap sekelilingnya dan tiba-tiba nyengir. Iya juga sih, orang udah sampai bandara.
"Sehari kan?" Tanya lagi.
"Seminggu, Ran."
Cowok itu menghela napasnya berat. Iya dia tau. Seminggu. Tapi dia berharap Dai bisa berubah pikiran.
"Kelamaan."
"Alay!"
"Nanti siapa yang bakal nemenin gue makan seminggu nggak ada lo coba?"
"Bi Cupi. Sekalian lo temenin dia nonton india juga." Yeh malah ngeledek nih, Curut. Untung sayang.
"Ogah." Ran cemberut membuat Dai terkekeh. Meski aslinya dia juga sebenernya sedih, nggak tega sama Ran. Tapi mau gimana lagi. Dia harus terbang ke Singapur malam ini untuk menghadiri acara pernikahan Kakak sepupunya di sana. Emang nggak sampai seminggu sih acaranya, tapi Papa dan kedua kakaknya sudah sengaja ambil cuti buat menemani si bungsu kesayangan itu liburan sekolah.
"Ya udah Jul kan lagi pergi juga sama. Ntar gue telponin Bang Kis sama Bang Sad deh kalau perlu buat ngerusuh di rumah lo."
"Parah lo." Meski misuh-misuh, Ran ikut tertawa melihat Dai tertawa.
Tapi kemudian tawa itu memudar perlahan.
"I'm alone without you, Dai."
Dai tidak akan mengatai Ran alay kali ini. Karena kalimat ini berarti sesuatu untuk keduanya.
"But it must be no longer lonely." Dai menimpali, "Lo boleh vc gue sepuasnya deh."
Mata Ran membola mendengar penuturan Dai. Tumben-tumbenan. Biasanya boro-boro vc, suruh kirim vn aja susahnya minta ampun.
"Beneran loh yah?"
"Iya."
Senyum Ran melebar seiring dengan itu, "Curut terbaeks, Ini baru namanya..."
"Temen gue?" Potong Dai, seketika Ran menggeleng gemas. Dan dua kata dari Ran setelahnya berhasil terus terngiang di telinga Dai sampai ia berada di pesawat.
Oh bahkan bukan hanya sampai di pesawat. Tapi seminggu berada di Singapur telinga Dai terus mendengungkan dua kata yang harusnya bisa membuat Dai meneriaki Ran alay seperti biasanya. Tapi tidak.
"Kesayangan gue."
What if I replied as the same, Ran?
***
"Asli demi apa deh gue trauma sama yang begini?"
Itu suara Sad yang ngotot pengen banget ikut nganterin Jul ke bandara. Jul akan pergi ke Semarang buat pulang ke rumah ibunya. Padahal cewek itu juga nggak pergi sendiri sih. Jul udah dianter sama Om dan Tantenya, bahkan ponakan Jul yang menggemaskan itu ikut diajak juga.
"Begini gimana?"
"Ditinggal lo."
Gadis itu mendengus, "Lebay!"
Tadi sore, Sad yang nggak betah ambekan sama Jul itu pergi ke tempat cewek yang udah nyuekin dia tiga mingguan ini. Sambil nggak lupa bawain es krim coklat kesukaannya. Niatnya sih mau nyogok biar dimaafin, meski Sad masih bingung Jul sebenernya ngambek karena apa.
Dikirain bakal susah dan dijutekin lagi kayak tadi pas di rumah Ran. Ternyata, baru dibukain pintu aja, Jul malah udah balik sumringah dan pecicilan lagi kayak biasanya ke Sad.
Membingungkan. Tapi syukurnya sih. Sad jadi nggak akan kepikiran selama Jul pergi nanti.
"Biarin gue lebay, yang penting gue nggak jahat kayak lo."
Jul yang tadinya sedang fokus membaca tiket, reflek menoleh pada Sad. Kata jahat yang cowok itu ucapkan membawa Jul ke memori beberapa tahun silam. Tapi melihat tidak ada tanda-tanda kalau ucapan Sad barusan adalah untuk menyinggung kejadian itu. Jul memilih untuk memastikannya.
"Kapan gue pernah jahat?"
"Kemarin?" Jul menyernyit, "Tiga minggu Jul. Tiga minggu lo kalau gue ajak ngomong jutek banget kayak orang yang kulit ayamnya baru aja di embat. Kalau ditanya jawabnya singkat-singkat kayak orang sariawan. Setiap dianterin pulang malah milih sama Calkis, gue jemput juga selalu berangkat duluan."
Ya karena gue kesel sama lo!
"Oh."
"Lo pilih kasih ya kalau udah punya cowok!"
Lo yang pilih kasih, padahal belum punya cewek!
"Gue nggak jadian. Lo kalik yang jadian?"
"Sama siapa?"
"Salsa."
Mendengar nama itu disebut Sad malah senyum-senyum bikin Jul pengen jambak banget rambut cowok itu yang udah kelihatan gondrong. Sengaja nggak dicukur. Katanya, “Biarin, UAS udah selesai, rapor juga udah dibagi, tinggal nikmatin liburannya, jadi gondrong sah-sah aja.”
"Salju."
Panggilan itu menginterupsi, Tantenya Jul yang memanggil.
"Sebentar, Tante." Katanya yang dibalas Sang Tante dengan anggukan.
"Udah ya, gue udah harus pergi nih."
"Jul." Baru saja Jul akan melangkah menjauh, Sad sudah memanggilnya lagi.
"Kenapa lagi?"
Tadinya Jul sudah merasa kesal karena dari tadi mau pergi di tahan mulu sama Sad. Tapi ngeliat cowok itu yang sekarang malah tiba-tiba keliatan mellow, Jul jadi bingung.
"Sad."
"Apa menurut lo..." Cowok itu mendongak sebelum melanjutkan, "Am I good enough now?"
Jul yang tadinya kebingungan kemudian tersenyum hangat, "It doesn’t matter, Sad."
Membuat Sad tersenyum lega.
"Nah, sekarang gue bisa tenang deh sampai lo balik lagi nanti."
"Hm."
"Saljuku?" Sad kembali mengucap panggilan yang selalu dia ucapkan saat masih kecil dulu, Membuat Jul diam-diam menghangat hatinya. Tapi hanya sesaat, karena setelahnya. Kalimat Sad berhasil membuatnya kepikiran sepanjang masa liburannya jauh dari Sad. Karena kata-kata terpendamnya tak berhasil tersuarakan.
"You are still being my friend and you always be, Jul."
What if I say, I want you more, Sad?
***