Read More >>"> CINLOV (KARENA CINTA PASTI LOVE) ( TULISAN KAPUR BIRU) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - CINLOV (KARENA CINTA PASTI LOVE)
MENU
About Us  

                                                                                                              Tulisan kapur biru

 

            Benar kata Malto bagi anak SMA skors yang di berikan oleh sekolah merupakan liburan gratis bagi mereka. Hari kedua mereka di rumahkan oleh sekolah, kedua gadis itu malah jalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan. Mala dan Fara saat ini ada di sebuah toko aksesoris wanita.

            "Yang ini bagus gak." Fara memperlihatkan sebuah kalung kepada Mala.

            "Kayanya gak cocok deh sama warna baju lo," ucap Mala.

            Waktu satu jam rasanya kurang bagi seorang gadis untuk memilih-milih aksesoris yang mereka inginkan. Setelah kurang lebih satu jam mereka lalu keluar dari toko itu dan langsung menuju sebuah kafe yang letaknya ada di lantai satu.

            "Jadi hubungan lo sama Malto gimana?" Fara menyesap es cokelatnya.

            Mala yang duduk di depannya mengangkat kedua bahu. "Masih belum jelas statusnya. Tapi kita udah saling tau perasaan masing-masing."

            "Oh... jadi ceritanya Qimala Hanindya tinggal nunggu di tembak aja nih!"

            Mala tersenyum ia tidak menanggapi perkataan teman wanitanya itu. Mala mengaduk aduk Vanila Latte yang ada di cangkir lalu ia menyesapnya.

            "Itu mereka!" Fara melihat kedatangan Malto dan Valdi yang masih memakai seragam SMA.

            "Hai sayang," ucap Valdi lalu duduk di samping pacarnya.

            "Ih jijik gue dengernya." Malto duduk di samping Mala yang sedang tertunduk.

            "Nanti juga kalau lo punya pacar lo pasti bakalan ngomong kaya gitu," kata Valdi.

            Malto terkekeh. "Gak perlu mesti punya pacar buat bilang sayang. Iya gak sayang," kata Malto sambil mendekatkan wajahnya ke arah Mala.

            "Maaf ya saat ini di hidup gue cuma dua orang cowok yang boleh manggil gue sayang, pertama Papah gue kedua kakek gua. Lo tau kenapa? Karena mereka cowok-cowok gue." Mala menatap Malto.

            Malto menarik napasnya. "Loh memangnya gue gak termasuk cowok lo?"

            Gadis itu tersenyum manis. "Buat sekarang belum."

            Malto mengerutkan alisnya. "Sampai kapan?"

            Mala tersenyum tidak menjawabnya sama sekali. "Gue duluan ya Val, Ra." Mala berdiri lalu keluar dari kafe. Ia berjalan di atas pedestrian.

            Langit sudah berubah warna menjadi jingga. Matahari sore perlahan terbenam di ujung barat. Angin sepoy-sepoy membuat beberapa daun berguguran dan jatuh ke atas jalan. Mala berjalan di pedestrian yang ada di sisi jalan Pajajaran. Di samping kirinya terdapat pagar panjang yang menjadi pembatas dari Kebun Raya Bogor. Gadis itu terus berjalan sambil menikmati pepohonan yang tumbuh dengan rindang.

            Malto berlari mengejar Mala. Ia memanggil-manggilnya namun gadis itu seakan acuh. Laki-laki yang masih memakai seragam itu kini berjalan pelan di sisi kanan Mala. Malto menatap mata Mala dari samping, ia melihat hidung, bibirnya, cantik pikirnya.

            "Sampai kapan?" Malto menanyakan kembali pertanyaan yang tadi  belum Mala jawab.

            "Sampai lo bilang sesuatu ke gue."

            "Maksudnya i love you atau aku cinta kamu," ujar Malto.

            Mala terus berjalan. "Jangan serakah pilih salah satu aja."

            Malto tertawa ia lalu merogoh saku celananya ia mengambil kapur tulis berwarna biru muda. laki-laki itu lalu berlari kecil dan tidak lama berjongkok lalu menulis sesuatu di atas lantai trotoar. Mala menaikan satu alisnya ia penasaran apa yang sedang dilakukan oleh Malto. Tidak lama laki-laki itu berdiri dan kembali melangkahkan kakinya.

            Mala berjalan dan melihat ada sebuah tulisan di tempat Malto tadi berjongkok.

            "Hai, Qimala Hanindya."

            Mala melihat Malto yang kembali jongkok beberapa meter di depannya. Tidak lama ia lihat Malto berdiri lalu jalan dan kembali berjongkok. Gadis itu lalu jalan dan berhenti di setiap tempat yang Malto singgahi.

            "Hai, gadis yang lahir di kota hujan."

            "Hai, teman gue dari SMP."

            Mala terus berjalan dan berhenti setiap beberapa langkah, untuk melihat apa yang di tulis oleh Malto.

            "Hai teman satu meja."

            "Udah banyak loh momen yang kita berdua lewati sebagai teman."

            "Tapi... belum ada satupun momen kita lewati sebagai sepasang kekasih."

            "Mulai hari ini, apa lo mau kita mulai lewati berbagai macam momen sebagai sepasang kekasih."

            Mala tersenyum melihat tulisan-tulisan di atas trotoar yang di tulis oleh Malto.

            "Mala..."

            "Gue Malto..."

            "Gue mau lo jadi..."

            "Teman yang luar biasa."

            "Teman istimewa."

            "Mala, gimana kalau kita berdua menjadi..."

            Mala menunduk melihat tulisan itu. Ia lalu melihat Malto berdiri mematung tidak jauh di depannya. Hati Mala berdebar kencang, saat Malto sedang menyatakan rasa cintanya. Gadis itu lalu berjalan pelan menghampiri Malto. Angin sore membuat helaian rambutnya berkibar-kibar. Ada beberapa daun yang berguguran di sekitar dirinya.

            Mala berhenti tepat di samping kiri Malto. Laki-laki itu tertunduk melihat tulisannya sendiri. Mala menunduk dan melihat apa yang baru saja di tulis oleh laki-laki itu. Mata gadis itu terbuka lebar. Ia melihat sebuah kata yang di tulis Malto dengan kapur biru di atas trotoar.

            "PACAR"

            Gadis itu tersenyum ia menatap Malto yang masih tertunduk melihat tulisannya sendiri. Mala melihat kapur yang di pegang oleh Malto. Ia lalu mengambilnya dan berlari kecil ke arah depan. Gadis itu lalu berjongkok dan menuliskan sesuatu di atas trotoar. Malto yang melihat hal itu tersenyum lalu berjalan pelan dan berhenti tepat dimana Mala tadi berjongkok.

            "Bukan cuma pacar tapi juga..."

            Malto kembali berjalan lalu berhenti setiap beberapa meter dan melihat tulisan yang di tulis oleh gadis itu.

            "Teman hidup."

            "Teman mengobrol."

            "Teman berantem."

            Laki-laki itu tersenyum dan kembali berjalan.

            "Teman curhat."

            "Pacaran sama lo pasti melelahkan. Tapi gue suka."

            "Pacaran sama lo pasti menegangkan. Tapi gue suka."

            Malto tertawa kecil. Ia melihat Mala berdiri mematung sambil melihat ke bawah. Laki-laki itu berjalan dan berhenti tepat di samping Mala. Ia menunduk dan melihat apa yang baru saja di tulis oleh Mala.

            "Pacaran sama lo, gue mau."

            Malto tersenyum ia lalu melihat Mala. Gadis itu juga menatap wajah Malto. Ini pertama kalinya mereka saling tatap dengan perasaan penuh cinta. Angin sepoy-sepoy datang melewati kedua orang itu. Cahaya matahari sore membuat bayangan mereka jadi memanjang. Gadis itu tersenyum Malto melihatnya cantik. Laki-laki itu tersenyum Mala melihatnya tampan.

 

                                                                                                                    ===

 

            Arin menggeleng-gelengkan kepalanya. Gadis itu sepertinya sulit untuk mempercayai dengan apa yang baru saja ia dengar. "Gue gak nyangka kalian berdua akhirnya jadian juga. Ternyata bener ya apa kata orang, jangan terlalu benci sama orang nanti bisa berubah jadi cinta."

            Mala dan Malto tertawa. Saat ini jam istirahat, mereka berada di kantin bersama dengan Arin, Datra dan Zalmi.

            "Berarti sekarang kita panggil mereka pasangan Malato," ujar Zalmi.

            "Malato?"

            "Iya Malato. Mala dan Malto, gimana keren kan."

            Mala dan Malto hanya tertawa kecil.

            "Daripada sibuk mikirin nama mendingan lo nyari cewek sana," ucap Malto.

            Zalmi menghela napasnya. "Sama siapa? Memangnya ada yang mau sama gue? Waktu itu hampir aja Mala jatuh cinta sama gue, tapi gak jadi."

            Mala menunjuk dirinya sendiri. "Gue! Kapan?"

            "Inget gak waktu GOMFEST gue jemput lo terus pas di motor kau peluk diriku mesra."

            Arin dan datra tertawa. Muka mala memerah ia ingat betul kejadian itu.

            "Gue gak sengaja meluk, sumpah deh!" kata Mala.

            "Semenjak kejadian itu gue merasa kayanya lo punya rasa sama gue. Eh tapi sekarang lo malah jadian sama ni kampret. Terus sekarang nasib gue gimana." Zalmi menaruh kepalanya di atas meja.

            Malto terkekeh. "Tenang aja Bro nanti gue bakalan cariin yang lebih cantik dari Arin sama Mala."

            Mala dan Arin menyipitkan matanya.

            "Iya Zal, lo mau yang kaya gimana? Tinggi, putih, rambutnya panjang punggungnya bolong," ujar Datra.

            "Itu sundel bolong kampret," geram Zalmi membuat teman-temannya tertawa.

            "Ssttt... ada yang dateng, ada yang dateng," bisik Arin.

            Syifa datang menghampiri Malto dan yang lainnya. Gadis itu melangkah penuh keraguan namun akhirnya ia sampai juga di meja kantin yang ada di ujung.

            "To gue mau ngomong sama lo empat mata," ucap Syifa.

            Malto menoleh ke arah Mala. Gadis itu meangguk pelan memberikan izin pasangannya untuk bicara dengan Syifa. Malto berdiri dan mengikuti langkah Syifa. Gadis itu membawa teman sejak kecilnya ke koridor yang ada di dekat lab. komputer.

            "Aku mau minta maaf sama kamu, karena aku udah berubah jadi seseorang yang kamu gak kenal. Sebenarnya aku sekolah di sini bukan kebetulan. Sebelum balik ke Bogor aku cari tau kabar kamu temen-temen SD kita sampai akhirnya aku tau kamu sekolah disini. Alasan aku sekolah disini sebenarnya karena pengen lebih deket sama kamu. Mungkin perteman kita dari kecil membuat aku berpikir bisa lebih dari sekedar teman sama kamu. Tapi ternyata ada cewek lain yang lebih berhak di samping kamu. Maaf ya Mal, udah buat pertemanan kita dari kecil jadi rumit."

            Malto menghembuskan napasnya. "Gak apa-apa. Perasaan cinta dan benci itu kan susah untuk di atur. Maaf juga kemarin aku udah marah sama kamu. Itu pertama kalinya aku marah sama kamu. Kamu pasti kaget ya."

            "Aku memang pantes di marahin."

            "Syifa, kita masih bisa berteman kan. Aku gak mau pertemanan kita dari kecil terputus hanya gara-gara hal kemarin."

            Syifa menggeleng. "Gak tentunya aku gak mau kehilangan teman sejak masa kecil aku." Ada air mata yang menggenang di kedua pelupuk mata Syifa. Kedua orang itu lalu tertawa kecil. Mereka mencoba untuk memulai semuanya dari awal.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tags: twm18 twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 0 1
Submit A Comment
Comments (1)
  • ajunatara

    jadi inget dulu pernah di jambak sama cewek gue di kelas

    Comment on chapter JAMBAKAN MALA
Similar Tags