Read More >>"> CINLOV (KARENA CINTA PASTI LOVE) (KESEMPATAN) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - CINLOV (KARENA CINTA PASTI LOVE)
MENU
About Us  

                                                                                                                 Kesempatan

 

            Jam pelajaran pertama hari ini adalah pelajaran olahraga. Ini adalah hari dimana para gadis di kelas 12-E akan tampil maksimal. Pasalnya mereka sangat menyukai guru olahraga yang bernama pak Arda. Para gadis itu menyukainya karena wajah pak Arda yang tampan ada sedikit kumis dan brewok tipis yang menghiasi wajahnya. Usia pak Arda juga masih muda yakni dua puluh delapan tahun.

            Pak Arda sedang memerintahkan lima muridnya untuk bersiap di posisi mereka masing-masing. Hari ini pak Arda akan mengambil nila olahraga untuk kategori atletik. Pak Arda meniupkan peluit dan kelima orang itu berlari dengan cepat. Beberapa murid wanita mesem-mesem tidak jelas ketika pak Arda melintas di depan mereka.

            "Dasar cewek alay. Guru sendiri di taksir mau jadi Sangkuriang lo pada." Malto terduduk di pinggir lapangan bersama yang lainnya.

            "Sirik aja sih lo. Lagian Sangkuriang itu jatuh cinta sama orang tuanya sendiri. Bukan sama gurunya," ujar Bunga yang duduk di depannya.

            "He, Bunga bangke sama aja kali. Lo pernah denger kan kalau guru itu adalah orang tua kedua kita. Jadi tetep gak boleh lah."

            "Orang tua kedua kita? Terus kenapa lo masih suka ngelawan sama guru lo? Kenapa lo masih suka bikin kesel mereka? Itu artinya lo sama aja gak sayang sama orang tua lo dong," ujar Bunga. Di sampingnya ada Mala yang mendengarkan sejak tadi.

            Malto terdiam ia seakan di tampar oleh perkataan Bunga. Laki-laki itu jadi mengingat ibunya. Selama ini ia juga sering melawan pada ibunya. Malto bangkit lalu pergi dari sana.

            "Idih kenapa dia? Ngambek? Cowok kok ngambek," kata Bunga.

            Mala melihat Malto pergi ke arah belakang sekolah. Ia yakin laki-laki itu pasti menuju gudang sekolah. Mala merasa Malto mungkin tersinggung dengan perkataan Bunga. Pak Arda memanggil nama Bunga, Tita, dan Mala. Mereka bertiga dalam posisi siap untuk berlari. Pak Arda meniupkan peluitnya dan mereka langsung dengan cepat berlari saling mendahului.

            Malto menutup kedua matanya. Ia menyilangkan kedua lengan di depan dada. Ia terbaring di atas sofa yang sudah sobek di beberapa bagian. Ada sebuah earphone yang terpasang di telinganya. Laki-laki itu sedang mendengarkan musik di dalam gudang.

            Mala masuk kedalam gudang ia membawa sebuah minuman cokelat dingin dengan topping parutan keju di atasnya. Ia duduk di depan Malto yang masih belum menyadari keberadaanya. Gadis itu lalu menarik earphone yang terpasang di telinga Malto.

            "Nih gue beliin minuman cokelat dingin. Buat dinginin hati lo."

            Malto tersenyum ia lalu bangkit dan terduduk saling berhadapan dengan Mala. "Lo tau darimana hati gue lagi panas."

            "Gue udah kenal lo dari SMP jadi gue taulah ekspresi muka lo kalau lagi nahan marah. Kenapa? Lo marah sama kata-kata Bunga barusan."

            Malto menyedot minuman dingin itu. Ia lalu memegang kedua tangannya sendiri. "Iya gue marah. Gue marah karena menganggap orang lain sebagai orang tua kedua, sementara gue masih sering buat kecewa orang tua kandung gue sendiri."

            Mala menghela napasnya. Ia sangat tahu betul permasalahan yang sedang di hadapi oleh temannya itu. "Ini pasti soal ibu lo yang menikah dengan pria yang lebih muda. Iya kan."

            Malto meangguk tatapannya mengarah ke bawah.

            "Malto menurut pendapat gue, lo seharusnya kasih kesempatan pria itu buat nunjukin kalau dia gak seperti apa yang lo pikirin. Lo harus simpen dulu rasa curiga dan rasa benci dan juga marah lo. Seandainya, ini seandainya ya, kalau dia memang terbukti pria yang gak baik buat ibu lo, lo baru boleh keluarin semua rasa marah dan juga benci lo sama dia. Tapi selama itu gak terjadi lo harus percaya sama dia dan kasih dia kesempatan buat nunjukin kalau dia adalah suami sekaligus ayah sambung yang baik."

            Malto menatap mata Mala yang sedang bicara panjang lebar padanya. "Kesempatan. Gue cuma perlu kasih dia kesempatan buat nunjukin kalau dia adalah laki-laki yang baik."

            Mala meangguk. "Iya betul kesempatan cuma itu yang dia butuhin."

            Malto tersenyum dan berubah menjadi tawa kecil ia lalu menyandarkan tubuhnya di sofa. "Kalau gitu apa lo sendiri bisa kasih gue kesempatan?"

            Mala menatap Malto. Setiap kali laki-laki itu bicara sesuatu yang menurut Mala mencurigakan, maka ia harus berpikir keras untuk menebak arah pembicaraan Malto. "Kesempatan? Kesempatan apa?"

            Malto mencondongkan tubuhnya kedepan. "Kesempatan buat nunjukin kalau gue adalah laki-laki yang baik. Di mata lo selama ini pasti ngeliat sebagai cowok yang suka seenaknya, mesum, gak tau malu. Mulai hari ini gue bakalan tunjukin kalau gue adalah laki-laki manis yang baik hati. Supaya lo bisa menganggap gue sebagai laki-laki yang pantas."

            "Laki-laki yang pantas untuk apa?"

            "Untuk selalu ada di sisi lo."

            Jantung gadis itu berdebar ia sendiri tidak tau kenapa. Tapi ia belum pernah melihat Malto seserius itu. Ada apa dengan dirinya? Apakah mungkin kini secara perlahan dirinya mulai tertarik pada Malto bukan sabagai teman sejak SMP tapi sebagai seorang laki-laki. Mala sesekali melihat mata Malto yang masih memperhatikannya. Biasanya ia selalu menatap tajam mata Malto namun entah kenapa dirinya seakan tidak kuat untuk sebentar saja menatap Mata Malto.

            "Kalau lo aja mau kasih kesempatan sama ayah sambung lo, kenapa gue harus nolak ngasih lo kesempatan itu." Mala lalu bangkit wajahnya sedikit memerah. Ia lalu berjalan cepat keluar dari gudang itu.

 

                                                                                                                         ===

 

            Hari sudah malam. Malto masuk kedalam rumahnya dan langsung menuju dapur. Langkah kakinya terhenti ketika melihat ayah sambungnya Ginto sedang ada di meja makan. Seketika laki-laki itu teringat akan ucapan Mala tadi pagi di gudang sekolah. Ia Ialu berjalan menuju kulkas dan mengambil sebotol air mineral. Malto duduk di dekat ayah sambungnya dan meminum air itu.

            Ginto sedikit terkejut melihat Malto duduk di dekatnya. Karena biasanya anak itu tidak suka berada dekat-dekat dengan dirinya. Dengan sedikit ragu laki-laki dewasa itu memberanikan diri untuk memulai percakapan. "Tadi di sekolah belajar apa?"

            Malto menarik napasnya. Ia harus ingat kesempatan yang tadi sudah ia bicarakan dengan Mala. Dirinya tahu akan terasa sedikit canggung namun Malto mencoba untuk bersikap senormal mungkin. "Tadi pagi aku olahraga, terus belajar matematika."

            Ginto meangguk angguk pelan. Ia juga berusaha agar tidak canggung. "Matematika, dulu Papah paling gak suka sama Matematika bikin pusing malah pernah sampe muntah."

            Malto tersenyum kecil. "Masa sih?"

            "Beneran saking gak sukanya malah Papah sering kabur setiap pelajaran Matematika."

            "Kabur loncat tembok belakang sekolah?"

            "Iya! Biar Papah tebak kamu juga pasti pernah ya."

            Malto hanya diam sambil tersenyum. Ia menatap Mata Ginto lalu tidak lama mereka berdua tertawa karena pernah melakukan kenakalan yang sama. Tanpa mereka sadari sebenarnya sejak tadi Sulis memperhatikan mereka. Wanita dewasa itu merasa bahagia melihat sepertinya Malto sudah mulai bisa menerima kehadiran Ginto di rumah itu.

            Sulis berjalan ke arah mereka berdua. Ia lalu duduk di dekat Malto. "Kayanya seru banget nih. Lagi pada ngomongin apa sih?"

            Malto dan Ginto saling tatap. Mereka berdua seakan adalah bromance yang sedang melakukan persengkongkolan.

            "Jangan kasih tau Pah, ini rahasia kita."

            Sulis dan Ginto terdiam mereka terkejut mendengar Malto mengucapkan kata Papah pada Ginto.

            "Udah ah aku mau mandi dulu." Malto bangkit lalu berjalan beberapa langkah. Namun ia berhenti dan kembali berbalik. "Oh iya Pah, Mah, nanti kita jalan-jalan ke pantai ya. Udah lama aku gak kesana." Malto lalu pergi menuju kamarnya.

            Sulis tersenyum ia menggenggam tangan suaminya. Ginto menatap mata sulis sangat dalam ia merasa sangat bahagia karena Malto mau memanggilnya papah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tags: twm18 twm18

How do you feel about this chapter?

0 1 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • ajunatara

    jadi inget dulu pernah di jambak sama cewek gue di kelas

    Comment on chapter JAMBAKAN MALA
Similar Tags