Meninggalkan Mala di sudut lapangan
Mala terduduk di samping Arin. Mereka berada di taman belakang sekolah. Mala menceritakan soal Whatsapp Valdi yang ia lihat kemarin. Mereka berhenti bicara ketika ada adik kelas yang melintas di dekat mereka.
"Ya ampun La! Itu sih udah jelas banget kalau mereka selingkuh," Arin membuka matanya lebar-lebar.
"Tapi gue butuh bukti yang lebih kuat."
"Qimala Hanindya, please deh! temen biasa tuh gak mungkin kirim chat semesra itu."
"Malto sering kok kirim chat mesra ke gue," kata Mala.
"Ya dia sih memang gak waras kan. Semua cewek juga sering dia gombalin. Terus intinya sekarang lo mau ngapain. Kalau mereka beneran selingkuh itu artinya lo sama Valdi harus putus. Gak ada pilihan lain, lo pastinya gak mau kan di duain."
Mala menghela napasnya. Ia menatap kosong kedepan. Gadis itu tidak tahu apa yang harus ia pikirkan. Bunyi bel masuk mengembalikan kesadarannya. "Udah masuk, nanti aja kita obrolin lagi."
Mala masuk kedalam kelas. Dilihatnya Fara sudah duduk di kursinya. Di belakang Fara, Valdi juga sudah duduk. Pacarnya itu sedang mengobrol dengan Malto. Mala berjalan ke mejanya. Gadis itu sempat melirik ke arah Malto. Di saat yang sama teman sejak SMPnya itu juga melirik ke arah Mala, tatapan mereka bertemu Malto tersenyum kecil lalu mengalihkan tatapannya.
"Lo udah ngerjain PR?" tanya Fara ketika Mala duduk di sampingnya.
"Itu bukan urusan Lo DASAR CEWEK SIALAN!!!"
"La? Lo udah ngerjain PR?" tanya lagi Fara.
Mala tersadar dari khayalannya. Rasanya ia ingin sekali mengucapkan kalimat yang baru saja ia khayalkan. Mala tersenyum manis. "Udah," ucapnya singkat.
"Pagi semuanya. Ayo kita belajar," ucap Pak Bono guru fisika yang selalu ceria. Jam pertama sudah belajar fisika membuat banyak murid merasa malas. Hanya ada beberapa orang saja terlihat semangat. Sementara yang lainnya terlihat malas-malasan.
Jam istirahat dipakai Malto untuk bermain basket bersama Datra dan Zalmi. Remaja itu sedang mendribble bola. Ia menggiringnya lalu memasukan kedalam ring.
"Poin gue lima belas ya," ucap Malto.
"Lo curang sih. Badan lo jangkung kaya kangkung," kata Datra.
Malto tersenyum ia berusaha mencuri bola dari Zalmi. "Bukan salah gue kan." Malto berlari untuk mengambil bola namun Zalmi sudah terlanjur memasukannya kedalam ring.
Napas Malto terengah-engah. Ia berhenti sejenak sambil berkacak pinggang. Tatapannya menuju koridor yang ada di depan kelas 10. Ia melihat Mala dan Valdi sedang berjalan berdampingan. Malto mendesis seperti ular. Ia merasa kesal pada Valdi yang ia tahu sudah menduakan Mala. Tapi Malto juga kesal pada Mala yang masih saja berdekatan dengan Valdi, padahal dirinya sudah tahu apa yang dilakukan oleh pacarnya itu.
"Besok kita nonton yuk. Udah lama lo kita berdua gak nonton." Mala menatap Valdi dari samping sambil berjalan pelan.
"Besok ya. Mm... kayaknya gak bisa deh. Soalnya aku harus ikut sama mama aku. Ada saudara yang nikahan jadi aku harus dateng. Lain kali aja ya." Valdi menggaruk hidungnya.
Mata Mala memicing ketika melihat Valdi menggaruk hidungnya. Ia pernah baca di sebuah buku, bahwa salah satu ciri orang berbohong adalah ketika selesai bicara orang itu langsung menggaruk hidungnya. Tapi apakah benar Valdi berbohong. Bisa saja kan hidungnya gatal lalu ia menggaruknya.
"Oh, yaudah gak apa-apa. Lain kali aja." Mala menghembuskan napasnya. Ia berjalan sambil sedikit menundukan kepalanya. Tiba-tiba ia mendengar suara hantaman yang cukup kencang.
Duubbkkk... Mala melihat Valdi oleng dan jatuh ke lantai. Ada sebuah bola basket yang memantul mantul di lantai.
"Ya ampun sory, sory. Lo gak apa-apa kan Val." Malto membantu Valdi berdiri.
"Gak, gak apa-apa. Gue cuma kaget aja," ucap Valdi ia merapihkan rambutnya.
"Sory ya. Tadi gue lagi main basket terus gak sengaja bolanya kelempar."
Seperti biasa Valdi selalu ramah. Ia malah tersenyum pada Malto. "Udah santai aja. Gue juga gak kenapa-napa kan."
Mala melihat mata Malto. Ia tahu betul sifat Malto. Gadis itu merasa Malto sengaja melemparkan bola basket ke kepala Valdi. Tapi kenapa? Apa tujuannya? Ia tahu betul Malto bukan tipikal orang yang suka membully atau suka mencari ribut. Kecuali kalau ia merasa di ganggu atau ia melihat ada temannya yang di sakiti, pasti ia akan berubah sok jagoan.
"Ayo," ucap Valdi mengajak Mala pergi dari sana.
Malto mengedipkan sebelah matanya pada Mala. Gadis itu melihatnya, ia merasa dugaannya benar, kalau Malto memang sengaja melakukannya. Meskipun curiga Mala tetap pergi dari sana, mengikuti Valdi menuju ruang osis.
Arin sedang mengipas ngipaskan tubuh Datra dengan kipas tangannya. Sementara Malto dan Zalmi terduduk sambil menjulurkan kedua kakinya. Mereka berada di pinggir lapangan. Ada keringat yang bermunculan di punggung Malto sehingga baju seragam bagian belakangnya terlihat basah.
"Widih berasa raja lo Tra di kipasin sama cewek lo," ucap Zalmi.
Datra tersenyum bangga. "Makannya punya pacar. Jadi kalau lo kepanasan enak ada yang ngipasin. Kalau lo kedinginan enak ada yang melukin. Kalau lo lagi kepengen enak ada yang layanin." ucapan Datra membuat Malto dan Zalmi tertawa. Tapi tidak dengan Arin yang mendengarnya. Ia malah menjewer dengan kencang kuping Datra hingga pria itu meringis kesakitan.
"Dasar!!! Jorok!!!"
"Iya ampun... ampun. Ampun sayang. Maksud aku kan, kalau lagi kepengen... makan enak ada yang layanin, buatin makanannya sayang. Itu maksud aku." Datra menyentuh telinganya yang terasa panas.
"Pembohong! Otak kamu sama otak-otak mereka berdua tuh sama aja kaya lantai kelas, KOTOR!"
"Lah kok kita jadi dibawa bawa sih. Justru gue sama Malto tuh otaknya udah di kotorin sama cowok lo. Cowok lo itu biangnya tau gak," kata Zalmi.
"Diem lo. Lo tuh lebih parah tau gak," Arin lalu menjewer kuping Zalmi. Ketika Datra tertawa geli Arin kembali menjewernya. Untung saja Malto duduk agak jauh dari Arin sehingga ia tidak terkena jeweran maut dari tangan Arin.
"To, gue mau ngomong sama lo." Mala berdiri di dekat Malto. Kehadiran Mala membuat Arin berhenti menjewer kedua laki-laki itu.
"Setahu gue kalau ada orang cara ngomongnya kaya gitu dia pasti mau menyatakan cinta," kata Malto enteng tanpa melihat wajah Mala yang serius.
"Gue serius."
"Kalau mau serius mah nanti aja La, kita masih sekolah. Apalagi gue belum kerja kan. Berat bebannya La kalau kita harus serius sekarang."
Mala mendengus ia sudah sering menghadapi tingkah Malto yang seperti itu jadi dia harus sabar. "Ramalto Sanjaya, ayo ikut gue."
Malto yang dalam kondisi terduduk di bawah menengadahkan kepalanya. Ia tahu betul ketika Mala menyebutkan nama lengkapnya itu berarti cuma ada dua kemungkinan. Yang pertama karena Mala kesal dengan tingkahnya, atau yang kedua karena ada sesuatu hal yang serius yang ingin Mala bicarakan.
Mala berjalan ke ujung lapangan. Di belakangnya ada Malto yang mengikuti langkahnya. "Lo tadi pasti sengaja kan ngelempar bola basket ke Valdi." Mala berhenti tepat di ujung lapangan.
"Menurut lo?"
Mala menarik napasnya. "Sengaja,"
"Seratus buat lo. Tapi karena gue gak punya uang seratusan jadi gue kasih seribu tapi kembalian ya sembilan ratus." Malto mengambil uang seribu dari saku bajunya.
Mala menyipitkan matanya. Ada ide licik di dalam kepalanya. Dengan cepat gadis itu mengambil uang seribu yang Malto arahkan padanya lalu memasukanya kedalam saku seragamnya. "Gak ada kembalian jadi semuanya aja buat gue."
Malto tersentak maksudnya hanya bercanda. "Yah jangan dong itu kan buat beli ciloknya Ceu Odah."
"Berisik! Kenapa lo lakuin itu. Lo ada masalah sama Valdi?" tanya Mala.
Malto menghela napasnya. Akhirnya ia mengikhlaskan uang itu. "Ya karena dia udah jahat sama lo, dan gue gak suka ngeliat lo di jahatin sama laki-laki manapun."
Mata Mala bergerak gerak. Ia jadi teringat kejadian di SMP. Waktu itu ada kakak kelas yang membuatnya menangis karena kaka kelas itu menggunakan cermin kecil yang di taruh di kakinya untuk melihat warna celana dalam Mala. Dan ketika istirahat, Malto menyiram kakak kelas itu dengan seember air yang ia tumpahkan dari lantai dua.
"Kenapa lo gak suka ngeliat gue di jahatin?" tanya Mala
"Ya karena..." Malto terdiam sesaat ia menelan ludahnya. Dalam otaknya ia berpikir jawaban apa yang harus ia keluarkan dari bibirnya yang kelu. Malto jalan beberapa langkah. Ia membelakangi Mala kedua lengannya disilangkan di depan dada. "Ya karena kita kan udah temenan lama dari SMP dan harus saling peduli. Sebagai teman gue gak suka aja ngeliat ada temen gue yang di sakitin sama orang lain." Malto menghela napasnya sambil memejamkan mata.
Mala meangguk pelan ia tidak mempertanyakan lagi alasan Malto melakukan hal itu. Tapi di telinganya terasa ada sesuatu yang janggal. Gadis itu tau betul ketika Malto berbicara sambil membelakangi dirinya itu berarti ada sesuatu yang di tutupi olehnya.
"Ok," ucap Mala lalu gadis itu berbalik meninggalkan Malto. Namun ketika beberapa langkah ia berhenti dan kembali membalikan badannya. "Oh iya, tiga hari lalu gue ketemu nyokap lo. Gue tau ini bukan urusan gue. Tapi seperti yang lo bilang tadi, kita ini temenan udah lama dan kita harus saling peduli. Gue cuma pengen bilang jangan terlalu lama marah sama orang tua. Kita gak tau kan bisa ketemu lagi sama mereka atau enggak."
Malto berbalik badan, ia menatap Mala wajahnya merengut. "Seperti yang lo bilang tadi itu bukan urusan lo, jadi lo gak usah ikut campur urusan gue." Malto berjalan cepat namun Mala mencengkram lengan Malto ketika pria itu berjalan melewatinya. Kini kedua orang itu saling berhadapan jarak mereka sangat dekat.
Mala sedikit mengangkat wajahnya karena tubuh Malto yang lebih tinggi darinya. "Lo bilang sendirikan tadi kalau lo gak suka ngeliat temen-temen lo di sakitin. Sementara kalau gue, gue gak suka ngeliat teman gue nyakitin orang lain. Nah dengan sikap lo kaya gitu, lo tuh udah nyakitin nyokap lo. Nyokap lo tuh orang baik. Setiap kali gue main kerumah lo. Gue pasti masak bareng sama dia, malah inget gak kita bertiga pernah bikin kue bareng."
Malto mendengus kali ini dirinya yang berhasil dibuat kesal oleh Mala. Dari raut wajahnya, pria itu tidak suka dengan pembicaraan yang sedang mereka lakukan. Malto menggerakan pundaknya ia menatap tajam Mala. "Kalau dia baik, dia gak akan bikin sakit hati anaknya. Mendingan lo urus aja cowok lo. Gak usah urusin hidup orang lain." Malto berbalik badan dan pergi meninggalkan Mala.
"Lo bukan orang lain..." ucap Mala, mampu menghentikan langkah Malto. Laki-laki itu terdiam. Kedua kakinya seperti ada yang menancapkan paku. "lo temen gue Malto. Teman dari SMP."
Malto menghela napasnya dalam. Ia pikir Mala akan mengatakan sesuatu hal yang lain. Laki-laki itu berjalan cepat meninggalkan Mala di sudut lapangan.
===
Mala berjalan masuk kedalam kelas. Lagi-lagi ia melihat Fara dan Valdi sedang mengobrol. Namun anehnya ketika Valdi mengetahui keberadaan Mala, Valdi langsung menghentikan obrolannya dengan Fara dan tersenyum manis pada kekasihnya itu.
Fara membetulkan posisi duduknya ketika ia tahu Mala masuk kedalam kelas. "Malto mana?" tanya Fara ketika Mala sedang menggeser meja untuk duduk.
Mala mengangkat kedua pundaknya. Sebenarnya tadi ia baru saja bertemu dengan Malto, namun entah kenapa mulutnya terasa berat untuk menjawab pertanyaan Fara. Lagipula ada apa sih Fara menanyakan keberadaan Malto. Seumur-umur Mala satu kelas dengan Fara baru kali ini ia dengar Fara menanyakan keberadaan Malto.
Dari arah pintu masuk Malto berjalan dengan santai menuju kursinya. Ia sama sekali tidak melirik ke arah Mala padahal baru saja ia melewatinya.
"To, nanti ngerjain artikelnya di rumah gue aja ya. Gimana bisa kan," ucap Valdi.
"Terserah. Gue sih ikut aja," ujarnya singkat tanpa embel-embel kalimat aneh yang sering di ucapkan olehnya.
jadi inget dulu pernah di jambak sama cewek gue di kelas
Comment on chapter JAMBAKAN MALA