Dasar lo cowok gratisan
Sepulang sekolah Mala dan Valdi pergi kesebuah mall. Mereka makan siang di sebuah restoran ayam goreng cepat saji. Valdi memakai jaket hitam yang membuat kulitnya yang putih semakin terlihat bersinar. Mala tersenyum ke arah Valdi yang sedang mengantre untuk memesan makanan. Ia paling suka melihat Valdi memakai jaket hitam karena menurutnya ketampanan Valdi naik jadi tiga level.
Valdi membawa sebuah mangkuk pelastik berisi penuh sayap ayam. Mala mengambilnya dan langsung memakannya.
"Pelan-pelan makannya." Valdi mengusap sisi bibir Mala yang terdapat remah ayam.
"Abisnya Aku laper banget. Dari pagi belum makan."
"Bukannya tadi di gudang Malto udah kasih kamu makanan."
"Loh kok kamu tau aku ke gudang."
"Ya taulah orang Malto sendiri yang cerita," ucap Valdi.
"Iya sih. Tapi cuma makan wafer, gak kenyang. Kamu pernah ke gudang sekolah?"
Valdi meanggukan kepalanya. Ia sudah menghabiskan tiga buah sayap ayam. Terdengar ponsel Valdi berbunyi ia segera mengelap jari-jarinya dengan tisu dan melihat ke arah layar ponselnya. Sesaat Valdi tersenyum seolah ia sedang mendapatkan berita baik.
"Dari siapa?" tanya Mala penasaran melihat mimik wajah Valdi yang terlihat bahagia.
"Oh, bukan siapa-siapa. Gak penting." Valdi memasukan ponselnya ke saku jaket dan kembali melahap ayam goreng.
Sudah lebih dari lima bulan mereka berpacaran. Namun sepertinya itu bukan waktu yang cukup bagi Mala untuk benar-benar tahu siapa Valdi. Selama ini entah kenapa ia merasa seperti ada dinding tipis transparan di antara mereka berdua. Mala belum benar-benar tahu karakter asli dari seorang Valdi. Layaknya seorang pacar yang baik, yang selama ini Mala lihat hanya kebaikan dari sosok Valdi. Bukannya Mala tidak suka ia memiliki cowok yang baik hanya saja ia ingin tahu semua sifat dari pacarnya itu.
Berbeda dengan Malto. Bagi Mala ia sudah tahu semua sifat asli dari laki-laki itu. Mulai dari yang baik, jahat, marah, egois bahkan sifat mesum dari Maltopun ia sudah tahu. Oh tidak, tidak kenapa ia malah memikirkan Malto. Ia tidak boleh memikirkannya karena dengan memikirkannya saja akan membuat kepala Mala seperti akan meledak.
"Kenapa geleng-geleng gitu. Pasti lagi mikirin Malto ya," ucap Valdi melihat Mala menggerak gerakan kepalanya.
"Mmm.. enggak cuma kepala aku agak sedikit sakit aja."
"Iya pasti karena Malto kan. Di bumi ini siapa sih orang yang bisa bikin kepala Mala sakit kalau bukan Malto."
"Aduh! udah deh, gak usah ngomongin dia mendingan ganti topik aja."
Tok.. tok.. tok.. tok. Terdengar suara dinding kaca bening yang ada di samping meja mereka ada yang mengetuk. Mala menoleh ke arah samping. Matanya terbelalak melihat siapa yang ada di luar. "Aaaaa!!" Mala segera menutup mulutnya. Ada beberapa orang yang melihat ke arahnya karena mendengar teriakannya. Di luar ternyata ada Malto yang sedang tersenyum ke arahnya.
Malto masuk dengan girangnya. Ia menghampiri Mala dan Valdi yang sedang makan berdua. "Oh, kalian makan disini."
"Tuh kan aku bilang juga apa jangan ngomongin dia. Orangnya malah dateng kan," ucap Mala.
Malto berkacak pinggang. "Oh jadi dari tadi kalian ngomongin gue. Pantesan aja dari tadi gue kentut terus gak taunya kalian ngomongin gue."
"He! Yang ada juga bersin-bersin bukannya kentut," ucap Mala.
"Itu buat orang-orang biasa. Buat orang luar biasa kaya gue ya kentut."
"Udah-udah banyak orang, gak enak diliatin," ucap Valdi.
"Ok, bagi ya." Malto yang tidak tahu malu langsung duduk di samping Valdi. Ia lalu mengambil ayam goreng dan langsung memakannya.
"Kok lo bisa ada di sini sih?" tanya Mala.
"Ciee penasaran juga ternyata," ucap Malto.
"Gue cuma aneh aja tiba-tiba lo ada disini. Atau jangan-jangan lo ngikutin kita ya. Supaya bisa dapet makanan gratis kan," tuduh Mala.
Malto masih menguyah ayam goreng. Sesekali ia mencocol sambal sebelum memakan ayam itu. "Emang dasar lo ya pikirannya buruk aja ke gue. Tadi tuh gue abis dari toko buku nyari kamus. Terus pas mau pulang ngeliat kalian disini."
Mala mendengus. "Bohong! Speak aja lo," kata Mala.
Malto tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Ia menjilati jari jemarinya lalu membuka tas. Remaja itu mengeluarkan sebuah kamus yang masih dibalut oleh pelastik putih. "Nih! Ini namanya kamus bahasa Inggris. Harganya seratus dua puluh lima ribu. Gimana percaya sekarang?"
Mala menelan ludahnya. Ia sedikit malu karena sudah menuduh Malto. Gadis itu meminum es strawberry untuk membasahi tenggorokannya.
"Udah mendingan sekarang kita makan aja. Jangan ribut ok!" ucap Valdi.
"Tuh denger cowok lo aja gak masalah, nah lo dari tadi berisik terus, kaya makananya lo aja yang bayar," ucap Malto.
"Berisik lo! Udah cepetan makan," bentak Mala.
===
Baru masuk satu langkah kedalam kelasnya Mala sudah melihat beberapa berlarian kesana kemari. Gadis itu sudah tahu betul apa yang di lakukan oleh teman-temannya. Ya mereka sedang saling mencontek satu sama lain. Biasanya mereka selalu mencotek sama Bunga murid terpintar di kelas 12-E. Namun hari itu Bunga sakit sehingga mereka harus mencari orang lain untuk bisa mereka conteki.
Sebenarnya yang perlu di ketahui adalah, adanya sedikit unsur pemaksaan dalam setiap aksi mencontek. Yang di mintai contekan biasanya takut jika mereka tidak memberi contekan dirinya pasti akan di musuhi oleh satu kelas. Sehingga dengan terpaksa orang itu memberikan contekan karena takut di musuhi.
Contohnya Bimo murid terpintar kedua di kelas. Ia adalah orang paling pelit sedunia bagi yang lainnya. Bimo tidak suka memperlihatkan jawaban dari PRnya dan hasilnya bisa di tebak. Ia dimusuhi oleh hampir sebagian murid dari kelas 12-E. Dan Bimo memiliki cara cerdik ia biasanya masuk ke kelas sesaat setelah guru masuk, agar tidak ada temannya yang meminta jawaban dari PR yang ada hari itu.
"Kebiasaan nyontek lagi." Mala lihat Malto sedang menyalin jawaban di LKS Valdi.
"Siapa yang nyontek sih. Gue cuma lagi liat jawabannya Valdi."
"Sama aja kunyuk!" ucap Mala.
"Ya beda dong."
Bagi Malto mencontek dan melihat jawaban orang lain adalah dua hal yang berbeda. Menurutnya mencotek adalah kegiatan mengintip jawaban teman secara diam-diam dengan cara melirikan mata. Sementara melihat jawaban teman adalah suatu kegiatan yang legal karena biasanya ia akan meminta ijin terlebih dahulu kepada orang itu.
Bel masuk telah berdering entah dapat kekuatan dari mana tiba-tiba gerak tangan mereka yang sedang mencotek bergerak sangat cepat dari sebelumnya. Mungkin itu yang di sebut dengan The Power Of Kepepet. Ibu Tujay guru bahasa Indonesia masuk dan langsung duduk di kursinya. Selesai berdoa Ibu Tujay memerintahkan untuk membuka LKS ia ingin memeriksa PR yang pernah ia berikan tiga hari lalu.
Hanya ada dua bel di semua sekolah di bumi ini yang paling di sukai oleh para pelajar, pertama bel istirahat kedua adalah bel pulang sekolah. Mala berdiri sambil memegang piring siomay. Ia menoleh kesana kemari untuk mencari kursi kosong.
"Tuh kosong di sana aja yuk," ucap Arin teman Mala namun berbeda kelas. Arin murid kelas 12-D yang dimana kelasnya bersebelahan dengan kelas Mala.
"Ha! Di sana." Mala melihat satu meja di dekat Malto kosong. Arin menarik Mala mereka berdua menghampiri meja di dekat Malto. Mala meletakan piring berisi penuh siomay di atas meja.
"Widih ternyata lo baik juga. Makasih ya," ucap Malto mengira piring berisi siomay itu untuk dirinya.
"Enak aja, beli sendiri!" kata Mala menarik kembali piring yang tadi di ambil Malto.
"Lo To duit banyak tapi hobinya minta makanan orang," ucap Datra.
"Dalam hidup kita itu harus berhemat. Gak boleh boros. Bener kan."
"Iya bener tapi kalau lo ngambil makanan orang, uang jajan orang yang jadi boros," timpal Arin. Gadis itu lalu menyuapi Datra batagor. Mereka berdua memang sudah pacaran selama setahun lebih.
"Nah itu lo sendiri makan makanan orang," ucap Malto.
Datra tertawa kecil, duduknya sangat rapat dengan Arin. "Yee... sirik aja gue sama dia kan pacaran jadi makanan dia ya makanan gue juga."
"Peraturan dari mana tuh? Berarti uang jajan lo uang jajan dia juga dong," ujar Malto yang membuat mata Arin langsung bersinar terang seolah dirinya sedang mendapatkan ilham.
Datra melihat wajah Arin tersenyum aneh. Jangan sampai pacarnya itu terilhami dengan perkataan dari Malto. "Lo To jangan pengaruhin otak cewek gue deh."
Arin memperlihatkan telapak tangannya ke arah Datra seolah dirinya sedang meminta uang jajan ke Datra.
"Tuh cewek lo minta uang jajan udah cepetan kasih. Kan uang lo uang dia juga," kata Mala meledek.
"Yaelah ini orang sama aja. Udah sayang gak usah dengerin mereka. Mereka mah duo bandit." Datra mengelus elus rambut Arin.
Mala tersenyum namun wajahnya sesekali menatap kelayar ponsel. Dirinya tidak fokus ia sedang membalas pesan dari Valdi. Saking tidak fokusnya ia tidak sadar kalau sejak tadi Malto memakan satu persatu siomay miliknya dengan sendok yang Malto ambil dari meja di sampingnya. Datra dan Arin yang melihatnya hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
Mala menunduk melihat ke arah piring siomaynya. Ia lihat Malto sedang menyendok siomay miliknya. "Ihhh... dasar lo ya maling!"
"Yaelah minta dikit doang pelit amat sih. Dasar Mala alias Malampir."
"He buluk! Kalau minta itu bilang-bilang. Kalau gak bilang itu namanya maling," ujar Mala.
"Makannya kalau makan tuh fokus. Lagian lo lagi chat-an sama siapa sih? Dari tadi senyam senyum, senyam senyum gak jelas."
"Mau tau aja urusan orang. Dasar kepo."
"Paling sama cowoknya To, siapa lagi," kata Datra.
Mala tersenyum seolah ia mengiyakan pernyataan dari Datra.
"Ya ampun La lebay banget sih. Cowok lo tuh lagi rapat osis terus tadi kan di kelas lo ketemu sama dia," ucap Malto.
"Sirik aja sih lo cowok-cowok gue kenapa jadi lo yang repot. Makannya punya pacar supaya lo gak ganggu hidup gue terus."
Malto mendengus ia bergeser mendekati Mala lalu merangkul pundaknya. Wajah mereka berdekatan kedua orang itu saling tatap. Malto berdecak dan menatap sinis Mala. "He, Malampir gue tuh gak perlu punya pacar kalau yang perhatiin gue aja udah banyak." Malto menengadah ia melihat seorang gadis sedang berjalan. Malto mengangkat tangannya gadis itu melihat lalu menghampiri Malto.
"Ya Kak," ucap Gadis itu yang bernama Citra. Dirinya murid kelas 10 dan selalu tersipu malu jika berada di dekat Malto. Sebenarnya teman-teman Citra tahu kalau dirinya menyukai Malto. Namun layaknya seorang gadis yang masih remaja, tentu saja Citra tidak mau mengakuinya. Meskipun dari mimik wajahnya sudah sangat terlihat jelas kalau Citra menyukai Malto.
Malto tersenyum ia menggunakan pesona wajahnya yang tampan untuk menarik perhatian dari gadis-gadis yang ada di sekolah. "Hai Citra yang kinyis-kinyis Ka Malto haus nih enak kali ya kalau minun es teh," ucap Malto wajahnya di bikin se manis mungkin.
Citra mengaitkan rambut di belakang telinganya. Hatinya berdebar dan wajahnya memerah. "Iya Kak biar saya beliin."
"Makasih ya Citra." Malto tersenyum ke arah Mala ia menyombongkan dirinya pada gadis itu. "Lo liat sendiri kan, meskipun gak punya pacar tapi banyak yang sayang sama gue."
Mala mendecakan lidahnya. "Lo gak mikirin perasaan dia ya. Jangan ngasih harapan ke orang kasian dia."
"Siapa yang ngasih harapan sih. Orang gue cuma menggunakan pesona wajah gue yang tampan ini buat dapetin minuman gratis."
"Dasar lo cowok gratisan. Nanti kena batunya baru tau rasa," ucap Mala.
Citra datang dengan segelas es teh manis. Gadis itu berjalan sambil sedikit tertunduk. Ia melangkah dengan malu-malu. Jalannya tidak stabil sehingga secara tidak sengaja ia menginjak kakinya sendiri. Dan bisa di tebak, air teh yang ada di gelas tumpah mengenai tubuh Malto. Seragam laki-laki itu basah. Malto berdiri karena merasa terkejut.
Mala tertawa bahagia melihat Malto kebasahan. Ia merasa apa yang baru saja di ucapkannya datang dengan cepat. "Tuh bener kan kata gue, lo kena batunya."
"Aduh maaf Kak, saya gak sengaja," ucap Citra panik.
Malto tersenyum ramah. "Udah gak apa-apa kok. Bukan salah kamu juga."
Mala masih tertawa ketika memasuki kelas. Ia lihat Valdi dan Fara sedang mengobrol. Valdi langsung tersenyum ke arah Mala ketika ia tahu pacarnya itu masuk sambil mentertawakan Malto.
"Kenapa lo To kehujanan? Perasaan di luar cerah," ucap Valdi.
Mala duduk di kursinya. "Di siram gara-gara suka tebar pesona sama adek kelas."
Malto mengipas ngipaskan buku ke bajunya. "Bukan di siram tapi kesiram."
"Tau darimana? Bisa aja kan dia sengaja gara-gara sebel sama kelakuan lo yang sok kecakepan."
Malto tersenyum sinis ia bersandar pada kursi. "He, gue ini udah cakep jadi gak perlu sok lagi."
"Idih cakep darimananya cakepan juga Valdi," ucap Fara.
Valdi melirik ke arah Fara dengan cepat. Dirinya seolah terkejut dengan pernyataan Fara. Sementara Fara langsung menggigit bibirnya ia seperti orang yang merasa bersalah karena sudah mengatakan hal itu apalagi di depan Mala. Valdi menghembuskan napasnya seakan dirinya mencoba menghilangkan ketegangan yang sedang ia rasakan.
"Valdi cakep? Yaelah muka kaya ginimah banyak di pasar induk." Malto memegang dagu Valdi.
"Muke lo tuh banyak di pasar malem," timpal Valdi.
"Bukan di pasar malem Di, tapi di comberan," ucap Mala.
"Sembarangan aja. Curut dong gue!"
Perdebatan mereka terhenti ketika ada seorang guru bahasa Sunda yang masuk kedalam kelas.
jadi inget dulu pernah di jambak sama cewek gue di kelas
Comment on chapter JAMBAKAN MALA