Kala itu hujan menyebar. Walau demikian, rinduku belum juga berlayar dari dalam jiwa yang selalu berpijar.
***
Agatha mencoba berjalan tanpa menggunakan kursi rodanya. Lagi pula, dia tidak merasa sakit kaki, kenapa harus menggunakan alat bantu tersebut?
Kata Mama, ia sangat membutuhkannya, sebab Agatha tak boleh terlalu lelah. Namun, bila sekadar menaiki tangga yang meliuk untuk mencapai kamarnya, cewek itu bisa, malah jauh lebih sanggup.
Ah, tak perlu selebai itu. Kenyataannya, detik ini Agatha bisa tidur di kamarnya lagi, bermain ponsel dengan sesuka hatinya. Mendengarkan lagu sekencang-kencangnya.
Sepertinya, jantung baru ini sangat berjodoh dengan dirinya. ia merasa jauh lebih bertahan lama, dengan adanya jantung ini. Agatha merasa ia sudah keluar dari dalam goa gelap, lalu berhasil menemukan mataharinya.
Mars: Minum obat yang teratur, Agatha. Jangan bandel.
Mars lagi.
Sepertinya, hidup Agatha sudah tidak nyaman lagi, semenjak kehadiran Mars yang tiba-tiba tau segalanya tentang dia. Tapi, dari sekian juta manusia di dunia ini, kenapa harus dia yang Mars jumpai?
Cewek itu mengetikkan balasan untuk Mars.
Agatha: Di mana gue bisa nemuin keberadaan lo, Mars?
Iya, sepertinya ia harus bertemu dengan cowok ini. Mana mungkin Agatha harus terkekang seperti ini. Agatha sama sekali tidak mengenali Mars, bahkan untuk nama panjangnya saja, cewek berumur tujuh belas tahun ini tidak tahu. Namun, mengapa Mars tahu segalanya tentang Agatha.
Mars: Gue bakalan dateng, kalau lo bener-bener butuh bantuan. See ya?
Selang beberapa detik Agatha ingin menjawab pesan Mars, pintu kamar Agatha terketuk, lalu Papa masuk dengan membawa makan siangnya berupa semangkuk bubur dan air putih. Pusat perhatian Agatha teralih pada wadah kecil berisi beberapa pil obat.
Lalu, Agatha menarik napas, sepertinya ia akan menepati keinginan Mars.
Papa masuk ke dalam, lalu menutup pintu kamarnya. Dengan senyum lembutnya, lelaki paruh baya itu menyuapkan bubur untuk Agatha. Agatha tidak menjawab apa pun, selain terus menelan bubur yang terasa hambar untuk mengganjal perutnya yang kosong.
Beberapa kali suapan telah masuk secara lancar, walaupun sering kali cewek itu menahan mual karena bubur yang benar-benar masuk dalam kategori makanan yang ia paling benci.
Setelah bubur di tangan Papa tandas, Papa menyodorkan segelas air putih, dan wadah kecil berisi obat. Dengan rasa terpaksa, pada akhirnya Agatha menelan beberapa butir pil pahit untuk kesembuhannya. "Makasih, Pa."
"Iya, sana tidur," ujar Papa, sebelum benar-benar pergi meninggalkan ruang kamarnya.
Kalau Mars tidak memberi tahu di mana keberadaannya, berarti Agatha hanya bisa berbincang dengan Mars melalui dunia maya?
Lah, mengapa tiba-tiba Agatha memikirkan tentang Mars?
***
"Ngapain lo pagi-pagi udah di sini, Key?"
Keyla menunjukkan senyum lebarnya, "karena gue rasa lo bakalan ke sekolah hari ini. biar lo nggak capek-capek nyetir, gue jemput lo deh, kita berangkat bareng!"
Lalu Mama keluar dari dalam, membawa dua gelas teh hangat, "kalau bukan kamu yang ngomong gitu, Atha bakalan maksa buat bawa mobil sendiri, Key," ujar Mama, "yuk, diminum dulu."
"Padahal kan nggak capek."
"Nggak capek, tapi kalau tiap hari juga capek! Terus sakit lagi, gimana?" ujar Keyla sambil menyesap teh hangat buatan Mama.
Mama menggeleng berulang kali, sebab kesal dengan jawaban yang selalu dilontarkan oleh Agatha. "Tante itu belum ngebolehin Atha keluar buat sekolah, tapi dia maksa, alesannya mau ada ulangan."
Keyla menggaruk pelipisnya. Kesal juga dengan Agatha yang seperti ini. "Yey, jadi lo sekolah nggak ada restu dari Nyokap lo?"
"Nggak usah bawel, deh, Key!"
"Hmm. Ya udah, berangkat."
"Buru."
"Dih, kan elo yang lama."
Mama menghela napas panjang, "kalau deket berantem, kalau jauh nanyain kabar. Anak muda jaman sekarang kayak gitu ya?"
Lalu tawa mereka semua berderai.
***
Setelah sekian lama bergelut dengan jalanan pagi yang mulai padat akan kendaraan, pada akhirnya Keyla berhasil membawa mobilnya di parkiran SMA Nusa Bangsa. Agatha langsung turun, dan menunggu Keyla yang masih sibuk memberikan warna pada bibirnya yang katanya sudah mulai hilang minyaknya.
"Sekolah atau mau ke mall, sih?" Agatha nyaris meninggalkan Keyla karena lama berdandan.
Keyla melotot, "jangan heboh deh, masih banyak yang lebih menor dari gue. lagian gue kan cuma pakai lipbalm doang. Kesel, deh."
Agatha memanyunkan bibirnya, "Yey, udah. Buruan."
Mereka berjalan beriringan hingga mencapai bangku kelas, lalu mereka semua heboh dengan kedatangan Agatha. "Lo sakit apa, sih, Tha?"
"Lah, gue nggak sakit."
"Tapi tiga minggu yang lalu lo itu pingsan waktu olah raga, terus sekarang baru masuk."
Keyla berteriak, "kembali ke tempat masing-masing. Buruan. Jangan berisik."
"Yey, ketua kelas mulai ngamuk," kata cewek itu, lalu kembali ke bangkunya.
Agatha mulai berbisik ke telinga Keyla, "Key, lo nggak bilang kalau gue baru aja oprasi, kan?"
"Enggak."
Untungnya, kedua orang tua Agatha sudah lebih dulu mengirimkan surat izin, dan pihak sekolah mengijinkan Agatha untuk tidak hadir selama kurang lebih tiga minggu. Mungkin, kalau cewek ini sekolah di SMA Negeri, pasti tak akan pernah ada dispensasi seperti itu.
Dengan rasa malas, Agatha menyalakan ponselnya. Lalu, beberapa menit kemudian, notifikasi muncul secara merata, mungkin begini rasanya menjadi anak sosmed, ketika ponsel menyala, seluruh pemberitahuan akan menutupi wallpaper.
Yang paling membuat pusat perhatiannya teralihkan begitu saja ialah nama Mars yang tiba-tiba muncul dalam pemberitahuan. Mars baru saja mengirimkannya pesan.
Mars: Kalau ngerasa nggak enak badan, langsung ke UKS. Gue tau, lo bakalan nyalahin hape jam segini, dan chat-chat pagi yang masuk pasti bakalan kependem. Biar chat gue ngak kependem, makanya gue chat lo setelah aktifin hape.
LHAR.
Agatha: Lo cenayang ya?
Mars: Cenayang?
Agatha: Lo tau segalanya tentang gue. Lo dibayar siapa buat mata-matain gue? Berapa dia bayar lo buat ganggu hidup gue? Mars, gue nggak tau lo siapa.
Masa hanya karena Mars, semua pikiran Agatha teralihkan begitu saja. Selera makan Agatha mulai menyusut. Apa yang ia ingin kerjakan, sudah tidak ada lagi. seolah Mars berhasil mengambil semuanya. Mars itu aneh.
Mars: Hidup lo, itu hidup gue, Tha. Jadi, baik-baik jaga diri lo.
Agatha: Lo belum balas pesan gue yang tadi.
Mars: Gue bukan mata-mata. Gue bukan cenayang, paranormal, atau dukun. Bahkan gue nggak tau, jodoh lo siapa. Right? Gue nggak tau, mati gue kapan. Kalau gue paranormal, gue bakalan tau segalanya.
"MARS!"
Keyla langsung melotot, "Belom waktunya mata pelajaran Fisika, apaan sih, dari kemarin, Mars mulu!"
Agatha menggigit bibir bagian bawahnya, dan langsung menyembunyikan ponselnya ke bawah bangku. Oke, Agatha harus fokus. Bukankah Agatha selalu mendapatkan juara kelas, sebab dia selalu mendengarkan penjelasan para guru secara cermat. Lalu, mengapa cewek berumur tujuh belas tahun ini tiba-tiba berubah secara drastis.
Harusnya jantung baru ini akan membawa Agatha dalam semangat yang baru. Agatha tidak lagi merasakan nyeri pada dadanya, merasakan kembali keringat yang selalu berekresi dengan derasnya.
Ah, Mars. Tapi kejadian ini tidak sepenuhnya salah Mars. Bila Agatha tidak hanyut, pasti ia akan tetap menjadi Agatha yang dahulu.
***
Sudah beberapa kali Agatha menginjak tempat ini. tempat yang tidak pernah dijangkau oleh siapa pun. Entah karena tempatnya yang terlalu jauh, dan mereka enggan ke sini. Atau banyak para siswa yang tidak tahu tempat ini. ini untuk kali pertamanya Agatha datang ke rooftop ini lagi, setelah ia masuk sekolah kembali. Rooftop yang berada di lantai empat, lantai paling atas.
Sebenarnya, Agatha sudah tahu tempat ini sejak masa MOS kemarin. Dia sengaja menyembunyikan diri di sini, ketika jantungnya sakit secara mendadak. Bahasa kasarnya sih, penyakit Agatha yang kumat. Dia tidak mau mereka semua tahu sakit apa yang ia derita.
Eh? Kesannya kok kayak drama banget, ya?
Agatha tertawa receh.
Jangan tambah-tambah lagi, umur Agatha yang tidak akan lama, nanti kesannya malah kampungan abis. Lagi pula, Agatha tidak berada di dalam suatu perfilman seorang cewek yang menyembunyikan penyakitnya, lalu merahasiakan umur yang tak akan lama lagi. itu lelucon abis. Hanya ditemukan di dunia imajinasi perfilman saja.
Tapi serius, kali pertama Agatha mengetahui penyakit ini, dia mulai mengurung diri di kamar. Dia tidak mau lagi keluar pada saat hujan untuk bermain air bersama teman-temannya. Agatha bahkan melangkah mundur, ketika teman-temannya berkumpul untuk menjemputnya berangkat ke sekolah bersama menggunakan sepeda kayuh warna merah mudanya.
AHAHA, Agatha hanya takut, mereka menertawai jantung Agatha yang labil. Biarkan Agatha menyebutnya dengan kata labil. Bukankah itu terdengar lebih menggemaskan? Seperti bocah yang baru gedhe, yang selalu labil akan pilihannya.
Iya, jantung Agatha labil, terkadang berdenyut dengan sangat kencang, terkadang melemah, lalu kembali normal. Ia merasakannya sejak lama, sejak kecil. Tapi baru menyadari, baru mendapatkan jawaban itu ketika ia duduk di kelas lima SD.
Oh, masa kecil Agatha yang malang.
Agatha memejamkan matanya, menikmati semilir angin yang mengembus ke arahnya. Memporak-porandakan tatanan rambut lurusnya yang ia gerai. Sebelum tiba-tiba dada Agatha tiba-tiba terasa aneh. Tidak sesakit waktu itu, tapi ini untuk kali pertamanya cewek berumur tujuh belas tahun ini merasakan sakit pada jantung barunya. "Aaaahhh kenapa, sih?"
Dengan sigap, cewek itu langsung merogoh saku celananya. Sial. Ia tidak menemukan apa pun. Agatha meninggalkan tabung silinder isi obatnya di dalam tasnya. Tapi kenapa, ia bisa merasakan sakit ini lagi dengan jantung barunya.
Ah, jangan sampai komplikasi. Kok Agatha jadi ngeri, sih?
Lalu, Agatha berusaha mengambil ponselnya. Mengarahkan salah satu jarinya untuk membuka layar yang terkunci. Nama Mars tiba-tiba muncul lagi.
Mars: Lo nggak minum obat tadi pagi, makanya nyeri.
Tapi, belum sempat Agatha memejamkan matanya lagi, untuk meredahkan rasa nyeri, seorang lelaki tiba-tiba hadir, membawa sebotol air mineral dengan silinder yang segaja ia tinggalkan di dalam tas. "Lo nggak boleh lemah, Tha. Minum obat lo, buruan!"
Namun sayang sekali, wajah cowok itu tersiluetkan dengan adanya sinar matahari yang terlalu tajam. Seperti kejadian di taman, di mana seorang lelaki datang dengan penuh keanehan.
"Mars?" Agatha hanya bisa memanggil nama Mars.
Tapi cowok yang dipanggil Mars itu hanya diam, mengamati wajah Agatha yang terpejam dengan erat menahan nyeri, dan merasakan kontraksi obat yang baru saja masuk dalam tubuhnya.
"Gue di sini," kata cowok itu, sebelum Agatha tertidur dalam rengkuhan Mars.
Sepertinya, Agatha pingsan.
***