Titik Bukan Koma
Di sudut kota yang berderu geruji mesin , kumpulan debu mewarnai setiap kali sang raja timur menempati singgasananya. Sungguh menakjubkan pemandangan itu ketika menyaksikan para penghuni dunia beradu mengejar waktu, melantarkan huru hara itu semakin menarik. “Razka” , menjadi salah satu diantaranya. Dikayuhnya sepeda hitam baru itu kuat-kuat. Meski ia berada di keluarga terpandang dan hidup bukan lagi di jaman kolonial, ia tetap teguh untuk tidak mengikuti era yang melanda setiap insan. Hingga bosan kedua orangtuanya menawarkan kendaraan bermesin tapi ia menolak. Namun , tak pernah ia acuhkan detak jarum yang selalu terpasang tinggi di tembok kamar bercat putih itu, sampai tugasnya kelar. Hanya saja bila detakan itu semakin cepat tak terasa dan jam sekolah nya segera menginjak ia harus menyudahi tugas yang belum terpecahkan dengan paksa. Beruntung hanya nyaris terlambat.
“ Ka, tugasmu sudah selesai ?” , tanya Piko, teman sebangkunya.
“ Belum semua ko. Sudah kucari hampir di setiap kata di buku yang kubaca tapi tak kutemukan” , jawab Razka dengan nada kecewa.
Begitu bel berbunyi, sesosok pria tinggi dengan kemeja biru berdasi memasuki kelas itu.
“ Selamat pagi ! Kali ini coba kalian jawab dan jelaskan tugas yang bapak beri minggu lalu. Siapa yang maju untuk nomor 1? ”.
Tak diragukan lagi, Razka selalu yang pertama maju. Siswa cerdas ini akan selalu mengutarakan barisan kata ajaibnya. Setidaknya bukan nomor terakhir yang masih bersih belum tersentuh pena.
“ Saya akan menjelaskan tentang apa itu sebuah keadilan . Jadi menurut teori John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa "Keadilan adalah kelebihan pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran....” Razka melahap soal itu bak seorang ahli hukum. Panjang , lebar dan penuh bahasa tinggi.
Pak Husein hanya diam sedangkan seisi kelas riuh dengan tepuk tangan kepada Razka.
“ Ada jawaban lain ?”, tanya Pak Husein lagi.
Kali ini giliran siswa teladan kedua. Sosok sederhana , praktis dan tegas. Mengancungkan tangan dan berdiri penuh hormat.
“ Saya akan menambahkan jawaban Razka mengenai konsep pemahaman tentang keadilan. Sebenarnya, antara keadilan dan ketidakadilan itu berbeda tipis , orang bisa saja bentrok dan demo meminta keadilan. Tapi, kita tidak pernah tau bagaimana realita keadilan yang dilaksanakan dan apakah yang mereka tuntut itu benar. Seperti pohon yang hidup di pinggir jalanan kota, andai saja ia bisa bicara dan punya perasaan, mungkin ia akan menangis dan kesal karena ditempatkan di daerah yang kotor dan berpolusi. Padahal, kehidupannya itu bermanfaat bagi makhluk hidup lain. Lalu pantaskah ia menuntut keadilan kepada Tuhan bila kehidupannya tadi membawa kebaikan ? ”, jawab Ryan dengan tegas
Kali ini seisi ruang sejenak diam , semua mata tampak takjub. Sesaat tepuk tangan keras itu membangunkan semangat setiap siswa, lebih lagi suara itu mengalahkan tepukan untuk Razka sebelumnya.
“ Pemikiran yang bagus dan mudah dipahami. Terimakasih ”, komentar Pak Husein.
Razka hanya terdiam, ia sempat kagum namun juga penasaran dengan teman barunya itu. Ryan dulu bukan teman sekelasnya, dan Razka tak pernah berpikir bahwa ada orang yang akan menjadi saingannya di kelas. Ambisinya semakin kuat kali ini.
Sang surya telah tiga perempat siang menerangi , Razka bergegas merapikan buku di meja lalu pulang. Hanya sesaat saja ia mengeluh lelah meski sang angin selalu berusaha menghadang dan melawan arah pulangnya. Sesampainya di rumah ia segera membersihkan diri, berganti lalu makan siang. Untuk kali ini detakan jarum telah ada di pergelangan tangannya yang kuat itu. Lalu, dengan segera ia menyantap opor ayam di atas meja sambil berulang kali memandangi jam tangannya. Ia terus berpikir agar tidak terlambat di jam bimbingan belajarnya. Lebih lagi, sore ini waktunya pelajaran IPA. Hanya kurang dua sendok saja ia berhenti. Sang bunda terus bergumam kesal mengingatkan putra semata wayangnya itu untuk makan yang banyak. Ya, sosok Razka memang terkadang keras dan penuh tekad kuat. Ia tidak mau menghiraukan urusan lain sampai keinginannya terlaksana.
Saat sang mentari akan terlelap, ia beranjak pergi ke tempat sekitar 500 meter dekat sekolahnya. Tempat di mana ia biasa menanyakan tugas dan pr nya sekaligus mendapat ilmu tambahan yang biasanya tidak diajarkan di sekolah. Tempat itulah yang menjadi andalan setiap siswa untuk mengatasi permasalahannya. Razka pun demikian, meski ia memiliki koleksi buku sekitar satu rak lemari penuh, baginya itu kurang cukup sebagai sumber dan pedoman belajarnya. Dalam satu setengah jam , pr dan tugas fisika nya telah selesai dibantu oleh seorang guru muda lulusan universitas ternama di kotanya. Tak diragukan lagi, ia telah mantap dan siap untuk menulis jawaban soal itu di papan kelasnya besok.
Begitu usai dari satu setengah jam yang ia habiskan, ia tidak langsung beristirahat untuk melepas penat atau menghibur dirinya dengan menonton film atau tidur saja. Ia masih berlanjut untuk belajar dan mengerjakan beberapa essai yang diberikan hari ini. Usahanya semakin keras mengingat ada teman barunya “Ryan” itu.
Keesokan hari, Razka tidak mengulangi tabiat buruknya itu. Sekarang, ia tak pernah berhenti mengawasi setiap gerakan jarum panjang di jam dindingnya. Dengan berusaha efektif membagi waktu di pagi hari, tugasnya akan selalu ia utamakan tuntas di malam sebelumnya. Namun ada hal yang selalu mengusik hari-hari sekolahnya, yaitu pelajaran sastra dan seni. Meskipun ia terkenal sebagai sosok yang pandai, tapi sering kali ia merasa kesulitan dalam dua pelajaran tadi.
Sesampainya di kelas, tak pernah meleset dugaan Razka. Segera setelah Bu Rahma memasuki ruangan, ia maju dan menjawab soal pertama fisika tentang induksi elektromagnetik tersebut. Setelah ia selesai, beberapa siswa lain bergiliran maju dan menuliskan jawabannya pula. Sampai saat Ryan maju menjawab nomor 5 ia penasaran bagaimana anak itu akan menjawabnya.
“ Ah, mana cukup papan tulis itu. Nomor 5 kan jawabannya panjang sekali. Bagaimana dia akan menulis? Pasti akhirnya ia menunggu giliran“ , gumam Razka
Razka lalu berpikir, “ Untuk apa aku memedulikannya. Toh aku juga tidak membutuhkan jawabannya, aku kan sudah selesai.”
Sesaat kemudian Razka mengalihkan pandangan lalu memperhatikan papan tulis putih yang sekarang telah penuh dengan tulisan bertinta hitam. Tak ia duga sebelumnya, Ryan menjawab dengan cara yang singkat dan efektif. Razka sempat terkesima dengan hal ini. Melihat jawaban di bukunya yang menghabiskan hampir satu halaman berbanding terbalik dengan Ryan yang hanya membutuhkan beberapa baris saja.
Semua itu telah berlalu, kini giliran pelajaran favorit mayoritas siswa, tapi tidak untuk Razka, “ Seni “. Suatu mimpi buruk yang selalu terngiang di kepalanya. Dan ternyata itu lebih parah lagi, kali ini ada tugas untuk menciptakan lagu. Ya, meskipun hari itu bukan hari pengumpulan, tapi Pak Guru mengawasi setiap pekerjaan siswa tadi. Dan terpaksa Razka harus berpikir keras. Kali ini Ryan masih menjadi pusat perhatian Razka, ia lagi- lagi terlihat begitu mudah dan cepat mengerjakannya. Hanya dengan mengamati sekeliling saja, ia telah mendapat ide dan inspirasi. Razka semakin ingin mengenal Ryan, tapi ia seakan acuh tak acuh. Ia lebih memberatkan pada pamornya itu.
Setelah lama Razka berjelajah dengan pelajaran di sekolah, ia dengan sigat pulang. Menyusuri lorong dan berjalan pelan mengamati di setiap mading, barangkali ada lomba atau kompetisi yang bisa ia ikuti. Tiba – tiba sepasang mata nya langsung tertuju pada selembar kertas putih di papan itu. Ia membaca dan mengamati setiap kata yang tertera.
“Pemilihan ketua osis , ikutilah audisi dan tes wawancara nya lusa setelah pulang sekolah”, gumam Razka dengan lirih.
Razka tertarik untuk ikut, bukan apa – apa tapi hal itu juga menguntungkan di masa depannya. Semua teman sekelasnya juga turut mendukung , tapi mereka tak hanya mendukung satu. Nama “Ryan” tak pernah ketinggalan. Kedua orang tersebut layaknya poros roda kelas itu.
Hari itu pun tiba, Razka menapaki setiap anak tangga menuju ruang wawancara dengan penuh antusias. Seakan ia telah terpikat dengan atmosfirnya. Sesampainya di sana gelora semangatnya sempat menurun, ia melihat Ryan duduk di kursi kayu panjang, kira-kira 10 menit yang lalu ia tiba. Keduanya mengantri giliran wawancara. Namun kali ini, Razka optimis untuk menang, ia telah berangan – angan tentang pertanyaan dan mempelajari jawaban yang mungkin akan keluar nantinya. Bisa dikatakan, ia telah cukup matang. Lebih lagi Razka adalah idola di sekolah itu
Sesat kemudian keduanya dipanggil, namun dengan pewawancara yang berbeda.
“ Siapa nama anda ? dan bisa dijelaskan artinya? “ , tanya kakak kelas pewawancara
“ Saya Razka Wiratama dari kelas XI IPA 4. Arti dari Razka adalah rezeki sedangkan Wiratama adalah suci. Itulah kedua doa dan harapan orang tua untuk saya “ . Razka menjawab dengan yakin dan tegas.
Setelah beberapa pertanyaan berlanjut, ada satu teka-teki yang diuji dan ditanyakan.
“ Baik, saya akan memberi satu teka teki untuk anda.
Sifatnya keras , tapi ia kalah dan hancur bukan dengan sesuatu yang lebih keras lagi. Apa itu ? ”
Razka langsung menjawab tanpa berpikir panjang , “ Jadi sesuatu itu ibaratkan pemerintahan dan kepemimpinan negara yang keras sehingga kehidupan rakyat bisa sengsara, namun bila ada bentrok dan dibalas kekerasan justru menimbulkan kerusuhan. Sehingga jalan terbaik adalah kedamaian”
Wawancara pun usai, Razka jadi semakin yakin bahwa ia akan menjadi ketua OSIS SMAN Harapan Bangsa. Dan untuk saat ini ia memberanikan diri untuk kenal dan berbicara langsung kepada Ryan. Dalam tanda kutip, ingin mengetahui jawaban atas pertanyaan wawancara tadi.
“ Hai Ryan, bagaimana wawancaranya tadi?”, tanya Razka penasaran.
“ Hai ka, lumayan lancar”, jawab Ryan singkat.
“ Untuk pertanyaan terakhir, kamu jawab apa?”
“ Batu dan Hati”
Razka hanya diam dan terkejut . Ia lalu meninggalkan Ryan di luar ruangan itu sambil tersenyum dan menepuk pundaknya.
Dalam perjalanan pulang, Razka berpikir bagaimana mungkin seseorang seperti Ryan bisa berpikir sesederhana itu. Jawaban tadi malah terkesan ringan dan agak aneh. Ya, karena itulah ia semakin yakin akan kemenangannya.
Tiga hari berlalu, saat yang dinanti telah di depan mata. Kandidat ketua OSIS terpilih itu diumumkan semarak di lapangan sekolah. Ada tiga orang yang diumumkan. Razka tidak sabar menanti namanya disebut. Namun ternyata, ia merasa tulang- tulangnya seakan hancur tubuhnya tak berpenopang. Ia bak sebuah atom , kecil tak terlihat layak untuk terhempas dan diabaikan. Pupus semua angan dan harapannya selama ini. “ Ryando Angga “ justru malah terdengar berbisik keras di telinganya.
Razka terpuruk, tersungkur dan terpukul. Ia bahkan tak sempat mengucap salam sesampainya di rumah. Ayah dan bunda merasa cemas, apa yang terjadi pada putra tunggalnya.
Saat senja menyapa, ayah mengajak Razka untuk bercakap dan mencurahkan masalahnya. Agaknya, ia bisa membantu menyelesaikan permasalahannya. Akhirnya, Razka meluapkan semua kejadian yang membakarnya hari ini.
“ Yah, padahal di wawancara calon ketua OSIS itu aku menjawab sebaik mungkin. Dan kurasa apa yang kukatakan itu juga berbobot. Tapi, jawaban temanku yang sederhana justru terpilih. Batu dan hati katanya ”.
“ Nak, tidak semua masalah itu diselesaikan dengan cara rumit dan berbelit. Suatu hal yang sederhana itu justru menjadi penyelesainnya. Batu dan hati keduanya dikalahkan, diluluhkan bukan dengan batu besar ataupun hati yang keras. Batu akan kalah dan berlubang dengan air, begitupun hati yang hanya luluh dengan kelembutan. Jawabanmu tidak salah, Nak. Tapi, bila hal sederhana saja kamu sepelekan. Bagaimana nantinya kamu akan menjadi pemimpin ? Bagaimana kau akan membahagiakan orang lain dengan hati dan pemikiranmu yang keras? . Ayah sering melihatmu berpikir terlalu rumit pada setiap permasalahan. Ah, contohnya saja pada pr mu. Kau sering terlihat bingung dan bertanya kesana kemari. Buatlah penyelesaian sederhana nak, jangan mempermpanjang dan membesarkan masalah. layaknya titik, bukan koma.”