Read More >>"> Love Warning (Berawal dari sebuah kenalan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Love Warning
MENU
About Us  

Kisah ini berawal ketika aku dan keluarga pindah ke sebuah rumah baru. Kami pindah ke perumahan yang pengawasannya ketat, setiap ada warga baru yang masuk ke perumahan itu, selalu diminta KTP. Perumahan tersebut juga memberikan suasana yang asri, pohon dan tanaman yang begitu rapi, dirawat setiap hari. Jika rumput sudah panjang, selalu ada tukang yang memotongnya hingga rapi. Itulah mengapa ayah dan ibu memilih perumahan ini.

Saat kami pindah ke rumah baru, ayah meminta anggotanya untuk ikut membantu kami. Begitu banyak barang-barang yang kami bawa, hingga aku sendiri pun merasa lelah. Untunglah ada dua anggota ayahku yang disuruh dan juga ada pembantu rumah tangga kami untuk membantu kami. Aku melihat ayah begitu semangat dengan rumah baru yang akan ditempati.

Sesampainya kami di rumah baru, aku, ayah, ibu, saudara laki-lakiku (abang), dan anggota ayah, sibuk meletakkan barang-barang kami. Tidak lupa bibi (pembantu rumah tangga) menyapu dan mengepel lantai terlebih dahulu. Sungguh-sungguh lelah kami mengerjakannya. Lalu kami melihat warga sekitar rumah yang berjalan melewati rumah kami, sesekali kami tidak lupa untuk menyapa mereka. Namun kami tidak melihat tetangga depan rumah kami keluar dari rumahnya, mungkin mereka sedang pergi.

Hari sudah mulai sore. Pekerjaan memindahkan barang sudah hampir selesai. Aku sudah semakin lelah. Lalu istirahat di teras sambil meminum segelas air putih. Si ayah tetap semangat dan merapikan barang-barang yang sudah di letakkan di dalam rumah.

Hari sudah mendekati malam, pekerjaan kami sudah selesai. Lalu aku mandi dan istirahat di kamar. Aku tidur-tiduran di tempat tidur. Ayah memanggilku untuk makan malam. Kami makan malam pertama di rumah baruku. “Wah, nyaman juga tinggal disini.” pikirku.

Aku pergi ke teras, melihat rumput-rumput dan tanaman yang di tanam oleh anggota ayahku sebelum kami pindah. Begitu indah, begitu sejuk. Lalu ku potretkan dan kumasukkan ke akun media sosialku. Banyak temanku yang berkomentar, “Bagus juga ya halaman rumahmu.” Wah, ternyata mereka sepikiran denganku. Beruntungnya aku tinggal di tempat yang begitu nyaman.

Hingga jam 10 malam aku menunggu di teras, tidak ada nyamuk yang menggigitku. Dari tadi aku melihat tetangga kami namun tidak untuk depan rumah. Ayahku jalan ke arahku, duduk bersama denganku, membawa segelas teh manis hangat. Ya kebiasaan ayahku adalah minum teh manis hangat sebelum tidur. Alasannya supaya tidurnya nyenyak. Aku tidak tahu darimana teori itu berasal. Mungkin hanya bapakku aja yang merasakan,

“Yah, dari tadi aku belum melihat tetangga depan rumah kita. Aku jadi penasaran nih.” ucapku sambil memandang ayahku.

“Oh ayah sudah lihat kok dek (panggilanku dek selama berbicara dengan ayah ibuku).” jawab ayahku.

“Apa ayah sudah kenalan dengan mereka?” tanyaku.

“Sudah. Yang tinggal disitu suami istri, anaknya ada tiga, tapi dua lagi di luar kota, dan ada satu anak perempuan tinggal bersama serta ada anak lak-laki, anak dari saudara si ibu. Kemarin bapak melihatnya membersihkan mobil.” jawab bapakku.

“Oh ya. Kira-kira umur berapa anak laki-laki itu yah?” tanyaku penuh semangat.

“Kemarin bapak sempat menghampirinya. Bercerita sebentar. Dia bilang umurnya masih 19 tahun, kuliah disini juga, sama seperti abangmu.” jawabnya.

“Rajin juga dia ya yah membersihkan mobil. Pasti orangnya baik ya yah?” tanyaku sambil senyum-senyum.

“Ya coba aja kamu kenalan dengannya dek. Kan tidak ada salahnya kalau hanya sekedar kenalan.” jawab ayahku.

“Serius tidak apa-apa yah?” tanyaku balik.

“Sejak kapan ayah melarang kamu untuk kenalan sama orang lain dek? Ayah cuma tidak ingin kamu salah pergaulan saja. Dan untungnya anak ayah masih baik dan turut pada ayahnya.” jawab ayahku sambil pegang-pegang kepalaku.

“Ayok kita masuk ke dalam rumah. Sudah saatnya kita untuk tidur. Lagipula ayah sudah sangat lelah.” ajak ayahku sambil masuk ke rumah membawa gelas.

“Ia ayah sebentar lagi.” jawabku.

Aku masih duduk di teras, menunggu tetangga aku yang tidak kunjung datang. “Ah sudahlah. Untuk apa harus menunggu terlalu malam? Toh besok atau lusa aku bisa melihat mereka” pikirku. Akupun masuk ke dalam rumah, mengunci pintu, dan pergi ke kamar.

Hari sudah pagi. Badanku masih terasa sangat lelah. Aku membuka tirai dan jendela kamarku. “Wah, sudah terang ternyata?” tanyaku dalam hati. Aku melihat jam dinding dan ternyata sudah jam 8 pagi. Aku keluar dari kamarku, menyapa ibu di dapur. Namun aku tidak melihat ayahku.

“Kemana ayah, bu?” tanyaku pada ibu yang sedang masak.

“Kamu kayak tidak tahu ayahmu aja dek. Seperti biasa, dia lari pagi kelilingi komplek perumahan ini.” jawab ibu.

“Kalau abang kemana bu?” tanyaku lagi.

“Kalau abangmu pergi ke rumah temannya jam 7 tadi. Ada urusan katanya. Ibu tidak dikasih tahu urusan apa.” jawab ibu.

Aku melihat-lihat makanan yang ada di meja. Aku memakan roti dan air putih yang sudah dibuat oleh ibu. Aku hendak pergi ke teras. Tapi ibu menyuruhku untuk cuci muka sebelum ke teras. “Oh ia aku lupa cuci muka.” pikirku.

Setelah selesai cuci muka, aku pergi ke teras. Aku melihat sekeliling rumah. Aku pamitan ke ibu untuk jalan-jalan memutari komplek. Tak lama, ayahku pulang dengan keringat yang mengalir dari wajahnya.

“Yah, aku pergi keliling komplek ya?”

“Hati-hati ya dek.” ucap ayahku.

Aku mulai berjalan-jalan dari gang rumahku, kemudian jalan ke gang lain. Kulihat ada pembangunan tahap kedua, lalu aku jalan kesana. “Ternyata luas juga perumahan ini?” pikirku.  Kulihat ada kolam renang juga, aku mencoba untuk masuk, namun ditanya oleh pejaga wanita.

“Selamat siang Mbak. Ada yang bisa kami bantu?” tanya si penjaga.

“Oh saya ingin masuk. Ingin melihat-lihat. Bolehkah?” tanyaku.

“Apakah Mbak tinggal di perumahan ini?” tanya si penjaga lagi.

“Ia mbak. Tinggal di depan. Saya baru tadi malam tinggal disini. Bisakah saya masuk?”

“Baik mbak. Mungkin kalau hanya sekedar melihat-lihat bisa. Tapi untuk berenang dan olahraga, Mbak harus bayar. Kalau boleh tahu, siapakah nama Mbak?”

“Nama saya Dinda, Dinda Mardania, Mbak.”

Penjaga wanita tersebut mengizinkan aku untuk masuk melihat-lihat arena kolam renang. Tidak begitu besar, tapi tempatnya nyaman, karena ditutup oleh sebuah kanopi sehingga kalau berenang di siang hari tidak akan terkena cahaya matahari. Lalu aku pergi ke ruangan olahraga, ternyata disediakan tempat fitness. Lumayan pikirku. Lalu aku keluar dan menemui penjaga wanita yang tadi aku temui.

“Kalau boleh saya tahu, berapa ya biaya untuk olahraga dan berenang disini?” tanyaku.

“Untuk penghuni rumah di perumahan ini, kita ada potongan harga. Jadi untuk Mbak Dinda, biaya masuk 35 ribu, tapi untuk yang bukan penghuni disini, biaya masuk 45 ribu. Dan biaya masuk sudah bebas untuk berenang dan fitness.” jawabnya.

“Terima kasih untuk infonya Mbak.”

Aku pergi meninggalkan tempat tersebut dan berjalan mengelilingi perumahan. Ternyata lelah juga untuk berjalan aja, begitu luas perumahan ini. akupun kembali ke rumah. Duduk di teras, meminta tolong ke bibi untuk untuk mengambil air putih. Kuminum air ini seteguk demi seteguh. “Ah, baru jalan saja aku sudah kelelahan, bagaimana dengan ayahku sambil berlari?” tanyaku dalam hati.

“Lelah dek?” tiba-tiba ayahku datang dan bertanya kepadaku.

“Sangat lelah yah. Padahal aku hanya berjalan saja. Tapi aku tadi juga sudah ke arena kolam renang. Ternyata mahal juga uang masuknya, sekitar 35 ribu.”

“Oh ya, sekali-sekali kita renang kesana ya dek. Ayah yang bayarin.” gurau ayahku.

“Boleh yah. Janji ya? Hehe.” gurauku.

Namun hingga menjelang siang hari, aku masih penasaran dengan tetangga depan rumahku. “Bagaimana sih rupa dari lelaki yang dibilang ayahku?” tanyaku dalam hati sambil tertawa.

Setelah keringat ini hilang, aku masuk ke dalam rumah, pergi ke kamar mandi sambil membawa handuk. Selesai mandi, aku masuk ke kamar menggunakan baju santai, menyisir rambut di depan cermin kamarku. Lalu aku ke ruang TV, menonton acara TV. Seperti biasa, aku mencari berita gosip seputar artis.

Jam sudah menunjukkan sekitar jam 12 siang. Ayah mengajakku untuk makan siang bareng bersama ibu. Kami duduk di meja makan yang sudah dihidangkan makan siang kami oleh bibi. Ayah memimpin doa untuk makan siang kami. Kami menyantap makan siang kami sambil bercanda gurau. Ayah dan Ibu akan berkunjung ke rumah tante Citra yang baru saja melahirkan anak pertama. Aku diajak oleh mereka, namun aku menolak karena ingin bersantai di rumah.

Ayah dan Ibu pergi membawa mobil. Aku di rumah bersama bibi. Aku menyuruh bibi untuk istirahat karena aku melihatnya sudah lelah membersihkan rumah. Sambil nonton, akupun tertidur. Sekitar satu jam aku tidur, aku mulai sadar. Ku buka ke dua mata ini secara perlahan, aku melihat TV sudah mati, mungkin saja dimatikan oleh bibi. Aku masuk ke dalam kamar, mengerjakan tugas sekolahku.

Akhirnya tugas sekolahku selesai. Aku langsung mandi karena sudah merasa gerah. Selesai mandi, aku masuk kamar. Ku dengar ada suara pagar dibuka, aku langsung membuka tirai sambil melihat pagar siapa yang dibuka. Ternyata tetangga depan rumah. Begitu lama aku melihat mereka, banyak barang yang dibawa di dalam mobil. Ada seorang lelaki mengeluarkan semua barang dari dalam mobil. Kemudian dia memarkirkan mobilnya di luar. Tak berapa lama, aku melihat dia menyuci mobil. Wah sungguh rajin dia, padahal sudah hampir maghrib tapi masih saja menyuci mobil.

Aku pergi ke teras sambil membawa handphone. Pura-pura kulihat handphone-ku, sesekali aku melihat wajah lelaki yang sedang menyuci mobil. “Wah gantengnya?” pikirku. Hmmm, aku ingin sekali untuk menyapanya, tapi belum berani. Ah sudahlah, lain waktu saja. Toh kami akan sering bertemu. Lalu aku masuk ke dalam rumah, berbicara ke bibi bahwa tetangga depan sudah pulang.

“Ternyata ganteng juga mas depan rumah kita ya bi?” ucapku.

“Ah masak dek?” si bibi melihat jendela keluar.

Si bibi menemuiku kembali, “Ia dek, lumayan cakep. Rajin juga masnya nyuci mobil malam-malam.”

“Hmm, ia sih. Aku pengen nyapa tapi segan bi. Lain waktu aja deh.” balasku.

“Yaudah dek. Toh tetanggaan kok. Tidak susah untuk bertemu.” ucap si bibi sambil tersenyum kepadaku.

Tidak lama berselang, ayah dan ibu pulang, membawakan makan malam kami. Biasanya untuk Minggu malam, ayah selalu membeli makanan dari luar. Kami menyiapkan makan malam kami, lalu ayah, ibu, dan aku, kumpul bersama untuk makan malam. Ibu bercerita tentang lucunya anak tante Citra, tapi kondisi tante Citra masih lemah. Ibu memintaku untuk mendoakan tante Citra supaya cepat sembuh.

“Oh ia dek, sudah pulang tetangga depan kita. Sudah kamu lihat lelaki itu?” tanya ayahku.

“Hehe, sudah yah.” jawabku sambil malu. “Ternyata ganteng juga yah. Bibi juga mengatakan seperti itu.”

“Apa kamu tidak mengajak dia bicara selagi dia menyuci mobil di luar?” tanya ibuku.

“Tidak bu. Aku belum berani. Lain waktu saja.” jawabku.

Selesai makan, ayah pergi keluar rumah. Tidak kusangka ternyata ayah berbicara dengan tetangga depan rumah. Entah mengapa aku jadi sedikit deg-degan. “Jangan-jangan ayah ingin memperkenalkan aku padanya.” pikirku. Aku melihat mereka bercerita begitu panjang, kadang-kadang mereka tertawa. Ingin sekali rasaku untuk menghampiri ayahku, tapi sudahlah, diri ini masih saja belum berani.

Ayah masuk kembali ke rumah, menghampiriku dan mengatakan bahwa lelaki tersebut belum mempunyai pacar.

“Kok bisa ayah bertanya seperti itu padanya?” tanyaku.

“Tadi bapak bertanya padanya kenapa nyuci malam-malam, apaka tidak menghampiri pacar, dia malah senyum-senyum ke ayah dan mengatakan bahwa dia tidak punya pacar. Cobalah kamu hampiri dan ajak bicara.” jawab ayahku sambil menepukkan tangannya ke bahuku.

“Hmm. Mungki tidak sekarang ayah. Aku masih belum berani.” jawabku malu.

“Ya sudah tidak apa. Ayah sudah mengizinkan kamu untuk bertemu dengannya, karena ayah lihat dia orangnya baik.” jawab ayahku.

“Ia ayah terima kasih.” balasku.

Aku masuk ke dalam kamar, melihat-lihat media sosialku, sambil membalas pesan dari teman-teman yang belum sempat kubalas. Aku merapikan buku pelajaran untuk sekolah besok. Lalu aku membaringkan diri di tempat tidur dan mulai tertidur.

Alarm berbunyi. Jam sudah menunjukkan jam 05.00 WIB. Sejenak aku mengambil nyawa, rasanya malas untuk berangkat sekolah. Lalu aku bangkit dari tempat tidur, kuambil handuk dan mandi. Ah, segarnya. Aku mengambil pakaian sekolah dari lemari, berpakaian, keluar kamar membawa tas. Aku langsung memakan sarapan yang sudah disediakan oleh bibi. Aku berpamitan ke ibu dan ayah karena ayah biasanya pergi membawa mobil sendiri, sedangkan aku berangkat dengan seorang supir bernama om Andre.

Aku keluar rumah. Tiba-tiba aku terdiam, melihat lelaki ganteng tetangga depan rumahku. Aku maju selangkah demi selangkah ke mobil, masuk ke dalam mobil bagian tengah. Dari dalam aku melihatnya terus menerus yang sedang menyapu halaman rumah. Sangat rajin lelaki ini pikirku. Lalu kami berangkat ke sekolah.

Sampailah aku di sekolahku. Semakin lama waktu yang ditempuh, kurang lebih 45 menit, padahal dari rumah yang lama hanya 20 hingga 25 menit. Aku berpamitan ke om Andre dan mengatakan bahwa aku dijemput jam 5 sore saja karena ada les tambahan. Aku masuk ke dalam sekolah, meletakkan tas di bangku yang berhadapan dengan meja guru. Aku mulai mengeluarkan dasi dan topi untuk persiapan Upacara Bendera di Senin hari.

Lonceng sudah berbunyi, jam sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB, murid-murid berkumpul di lapangan untuk mengikuti upacara. Seperti biasa, bagi siswa yang tidak membawa topi dan dasi, disisihkan dari barisan upacara, berdiri di samping guru-guru. Mereka akan diberikan sanksi yaitu bersih-bersih halaman.

Selesai upacara, kami memasuki ruang kelas masing-masing. Pelaran pertama yaitu Matematika. Pak Andi memasuki ruangan kelas. Ketua kelas berdiri sambil memberi hormat, dan selanjutnya kami berdiri sambil memberi hormat. Kami kembali duduk, lalu aku mengeluarkan buku pelajaran Matematika. Jika Pak Andi masuk di jam pertama, beliau menyuruhku untuk mengabsen satu persatu murid satu kelas. Aku maju ke depan dan mulai membaca nama siswa di kertas absen. Selalu saja ada yang membuat candaan setiap aku memanggil nama Rico, karena banyak yang mengatakan bahwa Rico menyukai aku, tapi dia tidak pernah mengungkapkannya.

“Cie cie, Rico dipanggil Dinda tuh. Majulah, ungkapkan hatimu padanya.” canda salah satu teman satu kelas.

Pak Andi tiba-tiba berdiri. “Rico, berani maju atau tidak? Sudah berapa kali dinda memanggilmu? Kalau kamu emang cowok, ungkapkan sekarang.” Pak Andi pun ikut tertawa

Aku melihat Rico hanya malu-malu saja. Lalu aku melanjutkan nama setelahnya. Setelah semua selesai aku absen, aku kembali ke bangku. Risma teman satu mejaku juga menertawakan aku karena selalu dihubungkan dengan Rio. Aku hanya senyum-senyum saja. Pelajaran dimulai, Pak Andi mengajari kami dengan sedikit serius sambil tertawa.

Sudah 1,5 jam Pak Andi di dalam kelas. Beliau pamitan ke kami dan menuju ruangan lain. Pelajaran berikutnya yaitu Bahasa Inggris. Bu Lidia memasuki ruangan. Setiap kali bu Lidia bertanya, teman-teman selalu menyuruhku untuk menjawab. Karena mereka tahu aku mahir berbicara Bahasa Inggris. Ya, aku pernah mengikuti lomba debat bahasa Inggris tingkat nasional dan aku menjuarainya tiga kali berturut-turut, sehingga teman sekelas dan sekolah memanggilku dengan sebutan, “Dinda, si Ratu Inggris.”Ah, sebuah panggilan yang lucu.

Jadwal bu Lidia mengajar kami sama seperti pak Andi yaitu 1,5 jam. Setelah itu beliau berpamitan dan kami beristirahat. Aku dan Risma pergi ke kantin, membeli kue-kue kering karena lapar. Waktu istirahat kami hanya 15 menit, lalu kami kembali ke kelas.

Ah, ternyata ngantuk juga karena harus bangun setengah jam lebih awal. Aku menahan ngantuk selama jam pelajaran. Aku baru ingat, pelajaran selanjutnya yaitu pelajaran Fisika, pelajaran yang selalu membuat aku mudah mengantuk. “Aku harus bisa menahannya.” pikirku. Sangat tersiksa duduk berhadapan langsung dengan guru, karena beliau langsung melihat aku ketika aku sedang mengantuk. Pak Tris masuk ke dalam kelas, beliau melihat aku dan menghampiriku.

“Dinda, apakah kamu mengantuk? Matamu begitu merah.” tanya pak Tris.

“Sedikit pak, mungkin efek makan kue kering saat istirahat.” jawabku.

“Kalau begitu kamu silahkan ke kamar mandi untuk cuci muka.” tawar pak Tris.

Lalu aku pergi ke kamar mandi. Pak Tris memang guru yang baik. Jika ada siswa yang mengantuk di kelas, beliau selalu mengizinkan untuk pergi ke kamar mandi. Setelah aku mencuci muka, aku kembali ke kelas. Aku menulis semua yang ditulis pak Tris di papan tulis. Pak Tris sabar menunggu aku hingga aku selesai. Dia meminta siswa lain untuk menghapus tulisan yang ada di papan tulis. Dan kembali menulis sambil mengajarkan kami. Terkadang aku berpikir pak Tris begitu baik untuk mengajarkan kami, tapi karena aku sangat lambat menerimanya, aku harus belajar berulang kali ke beliau.

Lonceng pulang sudah dibunyikan, lalu pak Tris memberikan sedikit tugas untuk dikumpulkan Senin depan. Agak malas menerima tugasnya, tapi mau tidak mau harus dikerjakan juga. Lalu pak Tris pamitan dan kami keluar ruangan.

Sebelum mengikut les yang disediakan oleh pihak sekolah untuk Ujian Nasional (UN) jam 14.00 WIB, aku dan Risma memakan bekal yang kami bawa masing-masing di kantin. Bibi memasakkan ayam goreng untukku, lalu aku saling bertukaran lauk dengan Risma. Setelah selesai makan, aku dan Risma saling curhat. Aku curhat soal rumah yang baru kami tempati dan lelaki tampan tetangga aku. Risma semangat menanyakan nama dari lelaki tampan yang aku maksud, tapi aku juga tidak tahu namanya karena belum sempat berbicara dengan lelaki tersebut. Risma kecewa karena dia ingin mencarinya dari media sosial.

“Oh ya DInda, aku ingin bertanya, tapi kamu jangan marah ya. Apakah pernah Rico menyatakan hatinya ke kamu? Soalnya beberapa siswa mengatakan bahwa Rico sudah menyatakannya ke kamu tapi kamu tolak. Makanya aku ingin bertanya langsung ke kamu.” tanya Risma tiba-tiba.

“Kenapa kamu bertanya seperti itu? Aku saja bahkan belum pernah berbicara dengannya sejak teman-teman mencomblangi aku dengan Rico.” jawabku dengan sedikit bingung.

Risma menanggapinya dan berkata, “Oh berarti gosip-gosip yang beredar tidak benar ya Din? Okedeh lupakan saja.”

Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 13.50 WIB. Aku dan Risma berjalan ke ruang kelas. Jadwal les untuk hari Senin di kelas kami yaitu Fisika. Pak Tris memasuki ruangan kami. Les dimulai. Selama tiga jam, kami tidak hanya diajarkan di papan tulis. Pak Tris mengajarkan kami dengan datang ke meja siswa yang belum paham. “Begitu sabarnya pak Tris sampai-sampai harus ke meja kami.” pikirku.

Les tambahan telah selesai. Semua siswa-siswi kelas 3 keluar, ada yang ke parkiran sepeda motor, ada juga yang menunggu angkot dan jemputan. Aku dan Risma berpisah di luar sekolah. Risma di jemput oleh ayahnya yang kebetulan tempat kerjanya dekat dengan sekolah kami, dan aku di jemput oleh om Andre.

“Hai dek. Lelah sekali saya lihat.” tanya om Andre sambil melihat aku dari cermin supir.

“Ia om. Mata pelajaran hari ini membuat saya lelah. Saya ingin istirahat dulu ya om.” mintaku.

Aku bersandar di bangku dan om Andre sepertinya tidak menggangguku selama perjalanan pulang. Ah, macetnya perjalanan. Sesekali aku melihat handphone-ku dan membalas pesan dari ayah yang menanyakan sudah dijemput om Andre atau belum. Aku membuka kiriman teman-teman di media sosial. Ada beberapa video lucu menemaniku selama perjalanan.

Perjalanan pulang hampir satu jam. Aku menyapa ibu dan bibi di dalam rumah. Aku meletakkan tas ransel ke kamar, mengganti bajuku, dan mandi. Ibu mengajakku untuk makan malam bersama.

“Dimana ayah, bu?” tanyaku lemas.

“Ayah mungkin pulang agak malam. Ada masalah di kantornya.” jawab ibuku.

“Kalau mas Adit belum pulang dari kuliah bu?”

“Oh dia sudah pulang tadi sore. Hanya mandi di rumah dan langsung pergi menemui mbak Nia (pacarnya).”

“Bu, kalau aku pacaran boleh gak ya? Soalnya aku lihat teman-temanku banyak yang sudah pacaran.” tanyaku sambil tertawa.

“Emangnya sudah ada yang mendekatimu dek?” tanya ibuku sambil tertawa.

“Belum sih bu. Ada yang mendekatkan aku dengan teman satu kelas, namanya Rico, tapi Dinda tidak tahu apakah Rico suka sama Dinda atau tidak.”

“Lah kenapa?” tanya ibuku kaget.

“Dia belum ada mengungkapkan perasaannya ke aku, bu.” jawabku.

“Oh. Tunggu saja dulu dek. Mungkin Rico belum berani mengungkapkan hatinya. Sama seperti ayah dan ibumu, semasa SMA, kami sama-sam malu. Ayahmu tidak berani mengungkapkan perasaannya ke ibu, padahal ibu sudah membuka jalan padanya.”

“Lantas bagaimana ayah dan ibu berpacaran?” tanyaku heran.

“Untungnya orang tua kami saling kenal. Jadi ibu di bawa ke rumah ayah oleh kakek nenekmu, lama-lama ayah mendekati ibu dan berani menyatakan perasaannya.”

“Oalah, ternyata cinta susah di tebak ya bu?”

“Semua itu berawal dari perkenalan dek. Kalau cocok, kita bisa melangkah lebih jauh. Ibu tidak melarang kamu untuk pacaran, tapi pilihlah yang mempunyai sifat yang baik seperti ayahmu ya?” minta ibuku.

“ia bu.” jawabku.

Aku berjalan ke teras. Aku melihat lelaki tersebut menunggu di jalan, menggunakan kaos berkerah, celana panjang, dan bersepatu. Tidak lama menunggu, ada kawan yang menjemputnya lalu mereka pergi. Aku mulai berpikir, “Kapan aku berani mengajak dia berbicara?”

Aku masuk ke kamar, melihat jadwal pelajaran dan les untuk besok hari. Aku mencoba mengerjakan tugas dari Pak Tris. Sudah aku coba dan coba, tetap saja aku tidak bisa. Lama-lama aku mulai menyerah. Aku membuka kamus Bahasa Inggris untuk menambah kata-kata baru (vocabulary). Sebenarnya keinginanku adalah menjadi Duta Besar Indonesia. Tapi ayah menginginkanku untuk menjadi seorang Engineer. Hmm, sangat bertolak belakang.

Hari demi hari berlalu. Setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah, aku selalu melihatnya menyapu halaman depan rumah. Terkadang, aku merasa kagum dengan dia. Sangat jarang lelaki untuk meyapu halaman rumah, tidak seperti abangku yang kerjanya hanya menyuruh-nyuruh bibi dan om Andre untuk membersihkan mobilnya.

Hari ini adalah hari Sabtu. Aku tidak ada kegiatan sekolah. Aku melihat dia sedang menyuci mobil dari jendela kamarku. “Rajin sekali dia, pagi-pagi sudah menyuci mobil.” pikirku. Aku keluar kamar dan pergi ke teras rumah. Aku sangat berniat untuk menyapanya. Lalu aku berjalan ke arahnya. Semakin ku mendekatinya, semakin berdebar jantung ini. Selalu ada tanda tanya dalam diri ini, “Apakah aku berani aku berbicara dengannya? Ah Ah.” Tanganku mulai keringat dingin. Aku semakin gugup. Belum pernah aku segugup ini mendekati seorang lelaki.

“Hai!” sapanya tiba-tiba ke arahku.

Aku sangat gugup. Tiba-tiba dia menyapaku. Aku bingung mau bilang apa. “Aduh Tuhan aku kok gugup kali ya?” pikirku. Aku hanya bisa terdiam di dekatnya.

“Nama kamu siapa ya?” tanyanya sambil menghentikan pekerjaannya.

“Eh anu, namaku...... (aduh kenapa sih aku gugup sekali) Namaku Dinda, mas. Namanya mas siapa ya?” aku benar-benar sangat gugup.

“Perkenalkan, namaku Joshua Nainggolan. Panggilanku Josh.” jawab dia sambil memberikan tangannya untuk menyalam aku dan memberikan senyuman.

Aku mulai menghilangkan kegugupan ini. Aku mulai memberikan tanganku untuk menyalamnya. Sangat dingin tangannya. Sedikit terdiam.

Tiba-tiba dia melepaskan tangannya dari genggamanku dan mulai bertanya, “Oh ya, kalau aku boleh tahu, kamu sekolah dimana ya?”

“Hmm (aku menghela nafasku). Aku sekolah di  salah satu SMA Negeri, mas. Kalau mas sekarang kuliah atau sudah kerja?” tanyaku sedikit gugup.

“Aku sedang kuliah. Sekarang lagi semester enam. Oh iya Dinda, jangan panggil aku mas ya. Karena baru kali ini aku dipanggil mas oleh seorang cewek cantik.” candanya.

“Aghhhhh. Aku kok jadi gugup seperti ini ya. Dibilang cantik pula.” pikirku. “Jadi aku bisanya manggil apa dong, mas?” tanyaku sambil tersenyum.

“Bebas. Kamu bisa memanggil aku dengan sebutan nama, kamu bisa juga memanggil aku dengan abang. Bebaslah kalau itu. Tapi aku mohon jangan dipanggil mas.” jawabnya dengan santai.

“Oh, oke deh bang.” jawabku.

By the way, aku bisa gak ya melanjutkan kerjaanku? Nanggung, tinggal mengeringkan saja. Setelah ini kita bisa ngobrol-ngobrol.” mintanya.

“Oh ia bang, maaf.” jawabku.

Dia melanjutkan kembali pekerjaan dia. “Ganteng, rajin, dan ramah. Sangat jarang aku melihat lelaki sepertinya.” pikirku. Aku menunggunya di dekat mobil. Setelah selesai mengeringkan bagian luar, dia juga menyapu-nyapu bagian dalam mobil.

Setelah lama aku menunggu, dia memintaku untuk menunggu sebentar karena ingin memasukkan mobil ke garasi. Aku menunggunya. Lalu dia meletakkan perlengkapan cucinya ke dalam garasi di sebuah ember.

“Oh ya, enaknya kita ngobrol dimana ya? Gak enak juga ngobrol di jalan.” tanyanya.

“Emangnya abang tidak sibuk?” tanyaku.

“Kerjaanku sudah selesai kok. Lagipula keluargaku lagi pergi keluar kota. Hanya ada adek sepupu di rumah. Apakah kita ngobrolnya di teras rumah saja?” tanyanya.

“Oh boleh bang.” jawabku penuh semangat.

Kami mulai berjalan ke teras rumah bang Joshua. Dia menyuruhku menunggu. Dia menyiapkan dua gelas air putih dan memberikan satu gelas kepadaku.

“Oh ya, abang kamu kerja kah Dinda?” tanyanya.

“Tidak bang. Dia juga sedang kuliah semester enam, sama seperti abang.” jawabku. Oh ia, abang ngambil jurusan apa?” tanyaku.

“Teknik mesin.” jawabnya langsung.

“Wah mantaplah bang. Kalau abang saya jurusan Manajemen. Tadi abang mengatakan ada adek sepupu di rumah, berarti abang siapanya pemilik rumah?” tanyaku ingin tahu.

“Bisa dikatakan aku menumpang. Pemilik rumahnya abang dari ayahku. Aku diminta ayahku supaya tinggal bersama disini supaya keluargaku mudah untuk memantau aku.” jawabnya.

Sejenak aku diam. Tidak tahu mau menanyakan apa lagi. “Apakah abang sudah sarapan?” tanyaku dengan sedikit begok.

“Belum Din. Palingan nanti aku masak telor di dadar. Aku tidak bisa masak.” jawabnya sambil sedikit malu.

“Kalau gitu aku bawakan sarapan kami kesini ya bang? Supaya abang bisa sarapan.” tawarku.

“Eh Din, jangan deh. Aku merasa gak enak aja. Kita baru kenal, aku sudah ditawari makan saja.” jawabnya sambil menahan aku.

“Tidak apa-apa bang. Lagipula ibu baik kok, dan kita juga tetanggaan, pasti saling membutuhkan kedepannya.” tanggapku sambil pergi ke rumah mengambil makanan untuk sarapan bang Joshua.

“Bu, bang Joshua tetangga depan rumah kita tidak punya sarapan. Bisakah aku memberikan dia sarapan?” tanyaku pada ibu.

“Oalah dek. Bawalah dek. Kamu juga belum sarapan, kan? Bawa juga sarapanmu supaya makan bareng kalian ya.” minta ibuku sambil membuatkan sarapanku dan bang Joshua.

Ibu memasukkan sarapan kami ke dalam sebuah rantang kecil. Ada nasi, ikan goreng dikasih sambel, dan juga sayur. Ibuku memang sangat baik, sangat suka menolong orang lain. Dia juga sering memberikan nasi bungkus ke panti asuhan. Ibuku di ajarkan oleh kakek nenek untuk saling memberi kepada orang yang membutuhkan. Aku sangat ingin seperti ibu juga suatu hari nanti.

“Bu, aku baru ingat, ada juga adek sepupu bang Joshua. Sepertinya belum makan. Bisakah aku buat satu lagi?” tanyaku.

“Boleh kok. Kalau mereka mau, mereka boleh kok makan siang di rumah kita. Jangan segan-segan bilang ke dia ya, dek?” jawabku sambil menawarkan.

“Baik bu, nanti adek bilang ke bang Joshua.”

Aku membawa sarapan ini dan memberikan ke bang Joshua. Dia memintaku untuk masuk ke dalam rumahnya dan pergi ke dapur. Dia mengajak sepupunya untuk sarapan bersama. Kami berkumpul di meja makan dan menyiapkan sarapan kami. Lalu kami duduk untuk mulai sarapan.

“Oh ya Din, kita doa masing-masing ya?” minta bang Joshua.

“Oke bang.” jawabku.

Aku sangat kaget, ternyata dia berbeda keyakinan denganku. Aku mulai sedikit bingung. Namun aku tidak bisa sekarang memikirkannya karena aku sudah terlanjur seperti ini. Aku berdoa menurut ajaranku. Setelah selesai berdoa, aku melihat tidak ada yang berbeda. Bang Joshua dan adeknya makan seperti biasa saja.

“Din, perkenalkan adekku ini bernama Jessica. Dulunya dia alumni dari sekolahmu juga.” bang Joshua memperkenalkan aku dengan adeknya.

Aku hanya menganggukkan kepala karena tanganku yang bercampur nasi dan ikan.

“Kamu sekarang kelas berapa, Dinda?” tanya kak Jessica.

“Sekarang sudah kelas 3 kak, 3 IPA 2.” Jawabku.

“Tapi kenapa kita tidak pernah jumpa ya?” tanya kak Jessica heran.

“Akupun tidak tahu kak. Lagipula aku juga selama kelas 1 dan 2 tidak terlalu aktif kak makanya kakak tidak mengenal aku.” jawabku.

“Aku juga gak aktif kok. Yasudahlah, tidak perlu dibahas lagi. Toh sudah kenalan juga disini. Rencana mau ambil jurusan apa dek?” tanya kak Jessica.

“Ayah menginginkan aku untuk mengambil jurusan Teknik Elektro atau Kimia. Tapi aku inginnya Hubungan Internasional.” jawabku.

“Jadi intinya kamu mau mengikuti kata hati atau kata ayah?” tanya kak Jessica.

“Aku belum sempat memikirkannya kak. Semoga ayah mau menerima keinginanku. Karena aku ingin sekali untuk menjadi Duta Besar biar bisa keliling dunia.” jawabku.

“Sebaiknya kamu bicarain baik-baik dengan ayahmu. Karena banyak orang yang menerima kehendak orang tua tapi tidak sanggup menjalaninya.” minta kak Jessica.

“Suatu saat aku pasti aku membicarakannya. Terima kasih sarannya kak.” Jawabku.

Setelah selesai sarapan, kak Jessica meletakkan piring dan gelas kotor ke tempat cucian piring dan mencucinya, sedangkan aku di ajak ke teras oleh bang Joshua.

“Terima kasih untuk sarapannya, Din. Padahal kita baru kenalan, tapi sudah dikasih sarapan saja” ucap bang Joshua.

“Tidak apa-apa kok bang. Malah ibu menyuruh abang untuk makan siang di rumah. Apakah abang mau?” tanyaku dengan sedikit ragu.

“Tidak perlu repot-repot dek. Rencananya kami nanti mau makan di rumah saudara, sudah dititip oleh bapak Jessica.” jawabnya tenang.

“Yasudah kalau begitu bang.” jawabku.

Kak Jessica mengembalikan rantang kecilku. Dan dia juga mengucapkan terima kasih atas sarapan paginya. Aku izin untuk pulang ke rumah, menemui ibu, dan berbicara dengannya.

“Ternyata tetangga kita berbeda dengan kita bu.” ucapku sedih.

“Apa ada masalah jika berbeda dek? Kita diciptakan berbeda, tetapi bukan berarti kita harus memisahkan diri dengan mereka. Kita diajarkan untuk saling mengasihi. Jujur, ibu sangat senang dengan sikapmu tadi memberi makan kepada mereka. Walaupun berbeda, kalau kamu ingin berteman dengan mereka, ibu tidak akan melarang dek.” Ibu menanggapi ucapakanku tadi.

Handphone ibu berdering, ibu segera menjawab panggilan. Setelah selesai, ibu mengatakan bahwa yang menelepon adalah tante Citra. Kondisi dia sudah pulih dan bisa pulang ke rumah. Ibu ingin aku ikut menemui tante Citra nanti malam di rumahnya.

Di sore hari, kami bersiap-siap untuk pergi ke rumah tante Citra. Tidak lupa ibu membawakan makanan ringan. Ayah mengajak abangku dan memintanya untuk membawa mobil. Perjalan kami sekitar satu jam. Sesampainya di rumah tante Citra, kami langsung di sambut oleh om Bintang, suami dari tante Citra dan ibu langsung memberikan makanan yang dibawa dari rumah. Aku langsung masuk ke kamar tante Citra dan melihat anaknya. “Lucunya adekku ini.” kataku sambi mencubit-cubit pipinya.

“Dinda, tolong jaga adek ya. Tante mau ke ruang tamu untuk bicara ama ayah dan ibumu.” minta tante Citra.

“Oke tante. Nanti aku panggil tante ya kalau si dedek bayi nangis terus. Aku kan belum pernah jaga bayi.” candaku pada tante.

“Ia Dinda.” jawab tante.

Hampir satu jam aku menjaga dedek bayi. Senang juga bisa mencubit-cubit pipinya dan saling ber-selfie. Saat di ajak selfie, eh si dedek malah pengen ikutan. Jadi gemes deh ama dia.

“Dinda, ayuk makan malam?” ajak tante Citra.

“Oke. Oya tan, siapa ya nama dedek ni?” tanyaku.

“Oh belum dikasih tau ibumu ya? Namanya Reza Firmansyah.” jawab tante.

“Bagus juga namanya ya tan. Hmm. Kamu menggemaskan dek.” jawabku sambil menyubit pipi dedek dan pergi keluar kamar.

Tante Citra tinggal di kamar menjaga Reza, dan aku makan bersama ayah, ibu, abangku, dan om Bintang. Makanan sudah dihidangkan, dan aku tinggal makan bersama mereka. Om Bintang merupakan teman sekantor ayah sehingga obrolan selama makan adalah tentang pekerjaan. Aku tidak mengerti dengan yang sedang mereka bicarakan, hanya sebagai pendengar.

Setelah selesai makan, ayah melanjutkan pembicaraan dengan om Bintang, sedangkan aku masuk ke kamar melihat Reza. Reza diberikan ASI oleh tante Citra. Aku diminta untuk jangan mengganggu karena takut Reza terganggu. Aku perlahan keluar dari kamar. Akhirnya aku menyendiri sambil menonton TV. Untungnya ada acara komedi di TV sehingga aku tidak bosan.

“Dek, ayuk kita pulang?” ajak ibuku.

“Oh iya bu.” jawabku sambil melihat jam dinding yang sudah menunjukkan jam 10.

Tante Citra keluar dari kamar tanpa menggendong Reza dan kami berpamitan untuk pulang. Selama perjalanan, aku tertidur hingga tidak sadar sudah sampai di rumah. Aku keluar dari mobil, dan melihat rumah bang Joshua. Sepertinya mereka sedang pergi karena tidak ada mobil terparkir di garasinya. Lalu aku masuk ke rumah, ke kamar mandi untuk mencuci muka, dan ke kamar untuk tidur.

Aku terbangun di pagi hari dari tidurku. Aku beranjak dari tempat tidurku, kumelihat matahari begitu cerah menerangi pagi ini dari jendela kamarku. Tak lupa, aku melihat bang Joshua sibuk menyuci mobil. Aku pergi kamar mandi untuk mencuci muka dan menyapa ibu yang sedang sibuk memasak.

“Pagi bu. Hari ini ibu masak apa?” tanyaku sambil meminum segelas air putih.

“Hari ini ibu memasak opor ayam kesukaan ayahmu. Mungkin hari ini kita tidak makan di luar.” jawab ibuku sambil menyiapkan bumbu masakan. “Ini permintaan ayahmu. Dia ingin istirahat karena besok subuh harus dinas keluar kota. Rencana dia akan pergi ke Jepara bersama om Bintang.” jawab ibuku.

“Hmm. Sekarang ayah dimana bu?” tanyaku tiba-tiba.

“Seperti biasa, keliling komplek. Oh ya, lagi menyuci mobil tetanggamu itu. tidak kamu sapa?” tanya ibuku.

“Oh ya bu. Aku tadi tidak melihatnya.” jawabku pura-pura.

“Kalau kamu tidak ada kegiatan, sapa saja. Ajak ngobrol, karena ibu lihat kasihan juga dia sendiri. Tanyakan juga apa dia sudah makan atau belum. Kalau belum, nanti ibu sisihkan untuk dia dan adeknya.”

“Ia bu nanti adek tanya ya.” Jawabku.

Aku pergi ke luar rumah, mendekati bang Joshua yang sedang sibuk.

“Pagi bang.” Sapaku dengan penuh semangat.

“Pagi juga dek.” jawabnya sambil menyabun mobil.

“Abang begitu rajin ya. Padahal kemarin sudah menyuci mobil, tapi pagi ini menyuci mobil lagi.” Ucapku sedikit bangga.

“Oh, tadi malam aku dan Jessica pergi ke rumah saudaraku. Kebetulan jalannya yang masih jelek membuar aku harus membersihkan mobil ini lagi. Capek sebenarnya dek.” tanggapnya.

“Kalau abang capek, mengapa masih dicuci mobilnya?” tanyaku heran.

“Percuma yang bawa ganteng kalau mobilnya enggak.” canda bang Joshua.

“Ia juga ya bang. Haha.” jawabku. Aku ingin sekali untuk pergi bersama. Aku memberanikan diri untuk bertanya sambil sedikit gugup, “Ka... Kalau boleh tahu, abang punya kegiatan hari ini?”

“Ibadah dek jam 10 siang. Makan siang di luar bersama Jessica. Setelah itu, aku tidak ada kegiatan. Memangnya kenapa?” tanyanya sambil menghentikan pekerjaannya.

“Hmm. Anu. Hmm.” jawabku terbata-bata. “Aduh kenapa aku jadi gugup gini? Tolong mulut, bicaralah. Jangan buat aku malu.” kataku dalam hati sambil melawan rasa gugup.

“Hei, kamu kenapa dek? Kok diam?” tanya bang Joshua sambil mengagetin aku.

“Sebenarnya aku ingin mengajak abang jalan-jalan nanti malam. Apakah bisa?” tanyaku sambil ketakutan.

“Kenapa kamu tiba-tiba mengajakku? Padahal kita baru kenal sehari.” tanyanya sedikit heran.

“Aduh begoknya aku. Kenapa tiba-tiba aku menanyakan ini ya. Aduh.” pikirku dengan penuh kegugupan. Aku mulai menenangkan diriku. Perlahan rasa gugup ini hilang. Akupun menjawab pertanyaan bang Joshua, “Aku bosan saja di rumah. Aku ingin jalan-jalan. Aku tidak tahu siapa yang mau aku ajak, makanya aku mengajak abang.” Dan hatiku mulai lega.

“Bisa aja dek. Tapi apakah kamu mau kita jalan-jalan dengan sepeda motor? Lagipula orang tuamu pasti tidak mengizinkan.” tanyanya.

“Hmm. Aku sebenarnya tidak apa-apa bang. Nanti aku izin ke ayah ibu. Tapi abang bisa, kan?” tanyaku dengan penuh semangat.

“Bisa dek. Nanti ya aku tunggu jam 7 malam.” Jawabnya.

Akupun sangat senang. Lalu aku pamit pulang ke rumah. Kulihat ayahku menunggu aku di teras rumah. Aduh malunya aku, pasti aku akan ditanya ayah. Ah sudahlah, jawab saja. Semoga ayah mengizinkanku.

“Ngobrol apa saja kalian dek? Kelihatannya kamu senang sekali?” tanya ayahku.

“Kenapa ayah bisa bilang aku senang sekali?” tanyaku pura-pura heran.

“Ayah sudah mengenalmu 18 tahun. Tidak mungkin ayah tidak tahu kapan anak ayah sedih dan senang. Ceritalah dek kepada ayah.” minta ayahku.

“Hmm. Aku jadi malu yah. Aku tadi mengajak bang Joshua untuk jalan-jalan nanti malam. Untungnya dia bisa. Apa aku boleh pergi sama sama dia, yah?” tanyaku sambil meminta.

“Oh. Mau kemana memangnya kalian dek? Bawa kendaraan apa?” tanya ayahku.

Ayahku sebenarnya tidak pernah mengizinkan aku untuk menaiki sepeda motor. Dia pernah mengendarai sepeda motor yang sedang membawa aku yang masih kecil dan ibu, dan kami mengalami tabrakan. Dia hanya takut aku mengalami kecelakaan. Tapi aku coba untuk menanyakannya dan berkata jujur. “Sebenarnya adek belum tahu mau kemana. Tadi hanya mengajaknya jalan-jalan saja. Ya mungkin kami pergi dengan sepeda motor bang Joshua. Apakah boleh yah?” tanyaku dengan sedikit takut karena di tolak.

“Hmm. Sebenarnya ayah mengizinkan kamu untuk pergi dengan dia, karena dia tetangga kita dan mudah untuk mencarimu. Tapi ayah tidak setuju kalau kamu pergi dengan sepeda motor. Yaudah, ayah izinkan kamu bawa mobil ayah, tapi dengan syarat kamu harus tiba di rumah jam 10 malam. Bagaimana?” tanya ayahku.

“Benar yah aku boleh bawa mobil?” tanyaku kaget.

“Ia benar. Ayah hanya takut kamu mengalami kecelakaan karena ayah masih trauma.” ucap ayahku yang teringat masa lalu.

“Baik yah. Adek janji akan pulang sebelum jam 10 malam.” jawabku.

“Tapi jangan kamu yang mengendarai. Dia saja yang mengendarai.” minta ayahku.

“Ah ayah. Aku juga belum mahir mengendarai mobil. Ayah suka ngejek aja.” jawabku sambil tertawa.

Lalu ayah masuk ke dalam rumah, mengajakku untuk makan malam. Aduh, aku lupa menanyakan bang Joshua apakah sudah sarapan atau belum. Ibu pasti marah nih. Aku melihat bang Joshua telah selesai menyuci mobil dan tidak ada di luar rumahnya lagi.

Aku masuk ke dalam rumah. Aku melihat ibu sedangmenghidangkan sarapan. Dia mengajak aku, ayah, dan bang Adit untuk makan bersama.

“Hmmm. Enaknya. Menu sarapan kita hari ini nasi goreng telur ditambah udang ya. Ibu yakin pasti kedua anak ibu suka. Ibu yakin ayah juga pasti suka.” ucap ibuku dengan yakin.

“Sudah lama aku tidak makan nasi goreng masakan ibu. Pasti rasanya lezat bu.” ucap bang Adit.

“Ia bu. Aku juga udah lama tidak makan nasi goreng masakan ibu. Ayuk kita makan.” ucapku dengan penuh semangat.

“Mari kita doa bersama ya.” ucap ayahku sambil memimpin doa untuk sarapan kami.

Kami mulai makan. Rasanya memang lezat. Ibu tahu saja kalau aku lagi ingin nasi goreng masakan dia. Ibu pernah bercerita bahwa semasa kecil dia rajin membantu nenek untuk masak. Dia selalu menanyakan bumbu-bumbu racikan nenek. Sesekali, ketika ada acara keluarga, ibu sering diminta untuk memasak makanan kami. Ibu emang terbaik untuk urusan masak-memasak.

“Dek, apa sudah kamu tanya tetanggamu sarapan dimana dia?” tanya ibu tiba-tiba.

“Lupa bu. Adek keasikan ngobrol sehingga lupa menanyakannya.” jawabku sambil tersenyum.

“Yaudah tidak apa-apa.” tanggap ibuku.

“Oh ya dek. Abang pernah liat dia ketika abang makan malam sama kak Nia. Sepertinya dia kuliah disini juga. Tapi abang belum tahu dia jurusan apa. Jurusan apa dia dek?” tanya abangku.

“Jurusan Teknik Mesin bang. Sekarang, dia sedang menjalani semester enam, sama seperti abang.” jawabku.

“Oh! Ternyata kami seangkatan?” tanya abangku sedikit heran. “Dia sering juga dilihat oleh kak Nia di Perpustakaan kampus kami. Suka menyendiri kalau sedang di Perpustakaan. Kak Nia pernah mengajaknya bicara. Dia mengatakan kalau Joshua mahasiswa berprestasi di jurusannya dan sedang mempersiapkan diri untuk mengambil beasiswa S-2.” ucap abangku.

“Benarkah itu bang? Aku belum pernah menanyakan hal seperti itu.” jawabku.

“Ya coba saja kamu tanya dia.” minta abangku.

“Ia bang, nanti Dinda tanya.” jawabku.

“Tadi adek bicara apa saja dengan bang Joshua?” tanya ibuku.

“Sudahlah bu. Jangan ditanyakan kepadaku. Tanya saja ke ayah. Aku sebenarnya malu untuk bercerita.” jawabku malu.

“Tidak apa-apa dek. Kamu kan anak ibu, ibu berhak tahu juga dong.” jawab ibuku sambil memaksa aku menjawab pertanyaannya.

“Aku tadi mengajaknya jalan-jalan dan dia setuju. Kami berangkat jam 7 nanti malam. Ayah sudah mengizinkanku untuk membawa mobil karena aku tidak boleh pergi dengan sepeda motor. Mungkin aku nanti malam tidak makan di rumah. Tidak apa-apa bu?” tanyaku.

“Kalau sudah diizinkan ayah, ibu tidak mungkin menolak. Yang terpenting kamu hati-hati di jalan.” minta ibuku.

Kami meletakkan piring bekas makan kami ke tempat cucian piring dan selanjutnya adalah tugas bibi untuk menyuci piring. Aku masuk ke dalam kamar, sambil mengingat apa saja tugas yang belum aku kerjakan. Ya ampun, aku baru ingat bahwa tugas dari Pak Tris bekum selesai dikerjakan. Aku mencoba untuk menyelesaikannya. Hanya tiga soal, tapi aku masih belum bisa mengerjakannya.

Setelah dua jam mencoba untuk mengerjakan tugas, akhirnya aku hanya bisa menjawab dua soal. Aku tidak tahu apakah jawaban ini benar atau tidak. Bagiku, sudah berusaha menyelesaikannya saja sudah puas. Aku bergerak ke kamar mandi untuk mandi, lalu rebahan di kamar. Ku lihat handphone dan aku membalas pesan-pesan dari teman kelasku. Banyak juga yang chat aku sehingga jariku pegal. Saat sedang asik-asiknya balas chat teman, aku tertidur. Sekitar satu jam aku tertidur, ibu mengetuk pintu kamarku dan aku langsung tersadar.

“Ada apa bu?”tanyaku dengan mata masih sangat ngantuk.

Lalu ibu masuk ke dalam kamarku, menghampiri aku, dan mengajakku bicara. “Ibu mau bicara-bicara sebentar amamu dek. Apakah kamu ada rasa dengan tetangga kita?” tanya ibuku dengan suara yang pelan.

“Ha? Kata siapa bu?” tanyaku heran. Aku terbangun dan duduk di samping ibu.

“Jawab jujur saja dek. Karena ibu merasakan kamu seperti ada hati dengan Joshua. Ibu kaget aja dengan ajakanmu ke dia.”

“Apakah karena aku mengajaknya jalan-jalan, ibu langsung mengatakan aku punya hati dengannya?” tanyaku sambil menyandarkan kepala di bahu ibuku.

“Ibu pernah mengalami sesuatu seperti yang kamu alami dek. Ibu pernah berpacaran dengan laki-laki beda agama sebelum dengan ayahmu. Tapi tidak ada satupun keluarga yang menyetujui hubungan kami. Akhirnya ibu harus berpisah dengannya, padahal ibu sudah pacaran tiga tahun. Sudah berusaha, namun tetap saja tidak direstui” jawab ibu sambil mengelus-ngelus kepalaku.

“Kenapa tidak ada yang menyetujui bu?” tanyaku.

“Keluarga ibu sangat keras dengan agama. Untuk urusan menikah, kakek nenek melarang kami untuk menikah dengan yang berbeda agama. Untuk urusan berteman, kakek nenek tidak pernah melarang berteman dengan siapa saja.” jawab ibuku.

“Berapa lama ibu melakukan pendekatan dengan ayah?” tanyaku.

“Setelah setahun ibu putus dengan lelaki yang beda agama, kakek memperkenalkan ibu dengan ayahmu. Awalnya ibu menolak karena masih sakit hati dengan kakek nenek, akhirnya ibu menerima ayah. Kami pacaran setelah dua bulan melakukan pendekatan. Tidak ada setahun kami pacaran, ayah mengajak ibu untuk menikah. Sebenarnya ibu sedih karena hubungan ibu tidak direstui oleh kakek nenek, tapi ibu senang karena dapat membanggakan mereka.” jawab ibu.

“Cepat juga ibu menikah dengan ayah ya? Hehe.” tanyaku sambil tersenyum.

“Kamu belum menjawab pertanyaan ibu. Apakah kamu ada rasa dengan Joshua?” tanya ibuku lagi.

“Bagaimana aku mengatakannya ya buk? Sebenarnya aku tertarik dengannya karena kegantengannya. Aku juga belum pernah didekati laki-laki. Aku juga ingin jalan-jalan berdua dengan lawan jenisku. Teman-temanku mengatakan bahwa Rico menyukai aku, tapi sampai sekarang dia tidak pernah mengungkapkan perasaannya kepadaku. Jadi sebenarnya aku hanya ingin mencari tau bagaimana jalan dan makan berduaan bersama lawan jenis yang bukan saudaraku bu. Itu saja.” jawabku.

“Ibu tidak melarangmu untuk dekat dengan dia. Tapi satu hal yang perlu kamu ingat, Joshua berbeda dengan kita. Ibu tidak ingin suatu saat kamu terluka. Itu saja nak.” minta ibuku sambil memelukku erat.

“Ia bu, Dinda tahu. Dimana om itu sekarang bu?” tanyaku.

“Terakhir kali ibu dengar kabarnya, dia kerja di Singapore. Tapi ibu tidak tahu dimana dia sekarang. Oh ya, makan siang sudah selesai dimasak. Ayuk kita makan siang.” ajak ibu sambil menyuruhkan berdiri.

Ibu berjalan ke meja makan, sedangkan aku mengetuk pintu kamar bang Adit untuk mengajaknya makan. Kami berjalan ke meja makan bersama ayah dan kami makan siang bersama. Ayah meminta bang Adit untuk memimpin doa dan kami langsung makan.

Selesai makan, ayah meminta ibu untuk menyiapkan baju dinas besok. Ayah mengatakan akan menginap di Jepara sehingga ibu memasukkan baju dinas selama dua hari.

Jam dinding sudah menujukkan pukul 5 sore. Aku pergi ke teras rumah sambil melihat rumput-rumput yang indah. Aku mengambil selang dan menyiram rumput dan bunga. Aku melihat bang Joshua pulang dari lari sore.

“Hai dek. Rajin juga nyiram bunga sore-sore.” sapa bang Joshua mendekati aku.

“Ia bang. Hari ini sangat panas. Aku takut rumput dan bunganya mati, jadi aku menyiramnya sore hari.” Jawabku.

“Mantap dek.” ucap bang Joshua sambil memberikan jempol kanan kepadaku. “Oh iya, nanti jam 7 jangan lupa ya?” bang Joshua mengingatkanku.

“Ia bang, aku tidak lupa. Tapi nanti kita bawa mobilku aja ya bang? Ayah meminta aku untuk tidak naik sepeda motor karena ayah trauma dengan kecelakaan kami.” ucapku.

“Yakin? Kalau diperbolehkan oleh ayahmu, aku tidak ada masalah.” jawabnya.

“Yakin bang. Sudah berapa kilo abang jalanin komplek ini? Aku melihat abang begitu capek.” tanyaku sedikit perhatian.

“Palingan dua hingga tiga kilo. Sedikitlah. Aku hanya mencari keringat saja supaya tetap sehat. Aku masuk ke dalam rumah ya. Mau istirahat sekaligus bersiap-siap untuk nanti malam.” candanya.

“Siap bang.” jawabku senyum.

Aku masuk ke dalam rumah dan mandi. Aku berdandan di depan cermin. Aku sebenarnya tidak tahu mau mengajak bang Joshua pergi kemana, tapi aku ingin tampil cantik malam ini. Aku mencari-cari baju di lemariku. Satu per satu aku coba. Cantik semua, tapi aku bingung memilih baju yang pas. Akhirnya aku menggunakan baju kaos berwarna biru, oleh-oleh dari ibu saat pergi ke Italy, dengan celana jeans ketat berwarna biru. Aku menggunakan sandal bagus yang ternyata telah disediakan ibu.

Tiba-tiba ada ketukan pintu depan rumahku. Aku tidak tahu siapa yang mengetuk. Aku membuka pintu. Aku kaget ternyata yang mengetuk adalah bang Joshua dengan tampilan kemeja pendek, menggunakan celana jeans biru ketat, dan sepatu cats berwarna hitam dengan campuran putih di pinggirannya.

“Hai bang. Ayuk masuk ke dalam rumah. Aku lagi bersiap-siap.” ajakku.

“Oh ya, sebentar aku lepaskan sepatu.” ucapnya. Lalu dia masuk ke dalam rumahku, duduk di sofa, dan menunggu aku yang sedang sibuk untuk berdandan.

Aku masuk ke dalam kamar. Aku meminta ayah untuk berbicara dengan bang Joshua. Ayah langsung berdiri dari tempat duduknya dan langsung menemui bang Joshua.

Setelah aku selesai menggunakan make up, aku keluar kamar. Aku melihat ayah dan bang Joshua tertawa. Aku tidak mendengar apa yang mereka bicarakan. Aku dan bang Joshua pamitan kepada ayah dan ibu. Ayah memberikan kunci mobil dan STNK dan meminta bang Joshua untuk mengendarai mobil. Ayah juga mengingatkanku untuk pulang sebelum jam 10 malam. Lalu kami pergi dengan menggunakan mobil yang biasanya membawaku ke sekolah.

“Kamu terlihat cantik hari ini dek.” gombal bang Joshua sambil mengendarai mobil.

“Kayaknya enggak bang. Aku bingung mau memakai baju apa. Tapi abang juga terlihat rapi dengan kemeja abang. Baru kali ini aku melihat abang menggunakan kemeja.” balasku sambil menggombal.

“Sebenarnya tidak perlu kamu bingung dengan pakaianmu. Saat kamu berpakaian biasa seperti saat kamu menyiram bunga, kamu juga terlihat manis dek.” gombalnya lagi.

“Udah ah bang. Aku jadi senyum-senyum sendiri dengan gombalan abang. By the way, kita mau jalan-jalan kemana nih?” tanyaku.

“Kamu maunya kemana?” tanya bang Joshua.

“Terserah abang aja. Tempat yang nuansanya bagus dan cocok untuk makan malam.” jawabku.

“Oh, aku tahu tempatnya. Tempat dimana kita bisa melihat indahnya malam di kota ini dan menu makanan yang enak.” jawabnya.

“Dimana itu bang?” tanyaku.

“Nanti kamu juga bakalan tahu. Pengunjungnya pasti sangat ramai untuk Minggu malam ini.” jawabnya.

“Oh ya? Kemanapun abang membawaku, aku siap deh bang. Haha.” candaku.

Setelah perjalanan sekitar dua puluh menit, kami tiba di tempat makan. Kami memarkirkan mobil, lalu keluar menuju tempat makan. Aku sedikit gugup saat berjalan di sampingnya. Bang Joshua memegang tangan kiriku saat menaiki tangga pendek. Belum pernah aku dipegang seperti ini. jantungku semakin berdebar.

“Hati-hati ya dek.” ucapnya.

“Ia bang.” Jawabku sambil perlahan menaiki tangga.

Pengunjungnya begitu ramai. Kami memesan meja makan kepada pelayan untuk tamu dua orang. Pelayan menunjukkan mejanya lalu kami duduk berhadapan. Kami memesan makanan dan minuman yang berbeda dan meminta kami untuk menunggu.

“Sudah lama aku tidak kesini bang. Mungkin sudah satu tahun aku tidak kesini.” ucapku memulai obrolan.

“Hmm. Aku tidak tahu dimana tempat yang memberikan suasana yang indah. Aku hanya tahu tempat ini saja. mungkin lain kali kita bisa ke tempat lain dek.” jawabnya.

“Oh bukan begitu bang. Aku hanya mengatakan terakhir kali aku makan disini bersama keluarga setahun yang lalu karena kami jarang makan di luar.” ucapku.

“Sebenarnya aku sering ke tempat ini bersama Jessica saat om dan tanteku pergi. Makanan disini bisa dikatakan harganya terjangkau.” ucapnya.

“Wah berarti abang seperti pacarnya kak Jessica dong? Haha.” candaku.

“Ya banyak yang mengira kami pacaran bagi mereka yang tidak tahu. Haha.” candanya.

“Oh ya bang, sebenarnya aku belum pernah makan berdua dengan lawan jenis yang bukan saudara. Dan sebenarnya aku sangat senang saat abang setuju dengan ajakanku.” ucapku dengan polos.

“Bagaimana bisa perempuan cantik yang ada dihadapanku tidak pernah diajak makan dengan lelaki lain?” tanya bang Joshua sambil bercanda.

“Ia bang. Aku jujur. Aku sebenarnya jadi malu deh bang bicara seperti ini.” jawabku sambil menutup muka.

“Tenang saja dek. Tidak ada perlu dipermalukan. Jujur saja, aku juga tidak pernah makan berdua seperti ini kecuali dengan Jessica.” jawabnya dengan tenang.

“Memangnya abang belum punya pacar ya?” tanyaku polos.

Aduh bodohnya aku. Kenapa aku bisa mempertanyakan hal ini padanya?. Aku mulai menatap mata bang Joshua dan siap untuk mendengarkan jawaban darinya. Jika sudah punya pacar dan mereka sedang LDR, putuslah harapanku.

“Hmm. Belum.” jawabnya cepat.

Hmm. Syukurlah. Untunglah dia belum punya pacar. Pikiranku mulai sedikit tenang dengan nafas yang sedikit teratur. Aku mulai bingung mau bertanya apa lagi ke dia.

“Eh, ini makanan kita sudah datang. Nanti aja kita lanjutkan obrolan kita ya.” ucapnya.

Makanan dihidangkan di meja makan kami. Kami berdoa sesuai ajaran masing-masing. Kami langsung menyantap makanan kami.

“Enak juga makanannya ya dek? Pengen nambah tapi takut buncit perut ini,” candanya.

“Haha, nambah aja bang. Biar sedikit gemuk. Badan abang terlihat kurus.”

“Ah benar nih dek? Kemaren aku menimbang badanku, sudah 65 kilo. Mau seberat apalagi aku ni?”

“Tapi abang terlihat kurus. Mungkin karena abang tinggi ya?”

“Ya mungkin saja dek.”

“Bagaimana dengan sekolahmu? Apakah semua aman-aman saja?”

“kalau dibilang aman, ya aman bang. Tapi hingga sekarang aku masih belum bisa memahami pelajaran Fisika. Terlalu berat untuk bisa dimengerti.”

“Lebih susah mana untuk dimengerti, Fisika atau cinta? Hahah.”

Ah gila, bang Joshua bisa-bisanya menanyakan seperti itu. Aku bingung mau jawab apa.

“Gimana kalau aku jawab cinta bang?” jawabku sambil menatap penuh mata bang Joshua.

“Ternyata apa yang kamu pikirkan sama dengan yang aku pikirkan. Fisika hanya butuh rumus awal untuk bisa mengerti, sedangkan cinta, mau setinggi apapun ilmu kita mempelajari tentang cinta, kalau cinta itu hanya mempermainkan kita, kita pasti akan kalah juga.”

“Hmm. Kalau begitu aku mau menanyakan sesuatu kepada abang.”

“Apa itu?”

“Abang tampan, punya badan bagus dan tinggi, kudengar juga abang mahasiswa berprestasi, lantas, kenapa abang belum memiliki cinta di dalam hati abang?”

“Jawabannya simple, karena belum ada saja yang cocok dengan jiwa ini. Tidak semudah ini untuk mencari dan mendapatkan cinta, apalagi kami dari keturunan suku Batak. Aku pernah menyukai seseorang, tapi ketika aku tahu dia semarga dengan aku, pupuslah harapanku.  Pernah juga dekat seorang wanita, tapi sifatnya yang membuat aku mundur untuk mendekati dia.”

“Kriteria perempuan seperti apa yang abang sukai?”

“Tidak ada kriteria yang kuinginkan. Asalkan sudah nyaman ketika PDKT, aku pasti akan mencoba mendekatinya lagi.”

“Apa tidak ada kriteria dari segi fisik?”

“Tidak. Aku hanya butuh sebuah kenyamanan. Untuk apa cantik kalau tidak nyaman? Kalau perempuan yang sedang bicara dengan aku sekarang bisa membuatku nyaman, aku pasti akan secepat mungkin menyatakan hati ini.”

Tiba-tiba aku terdiam. Satu sisi aku malu, satu sisi aku sudah merasa nyaman dengan kedekatanku dengannya hari ini. Tapi aku juga khawatir dengan yang dikatakan ibu. Jika benar ini terjadi, apakah kami bisa lanjut ke hubungan yang lebih serius?

“Dek, hari sudah larut malam. Kita pulang yuk?” ajak bang Joshua.

“Oh ia bang hampir lupa. Aku minta bill-nya ya bang.”

Aku memanggil pelayan dan meminta bill. Bang Joshua langsung mengeluarkan uang dari dompetnya. Biaya makan malam kami tidak melebihi seratus ribu rupiah. Aku sedikit segan karena aku yang mengajaknya makan.

“Kenapa jadi abang yang bayar? Padahal aku yang mengajak abang keluar?

“Tidak apa-apa. Masak semua-semua aku gratis? Anggap aja aku yang mengajak kamu. Oh ya, kita bisa foto bareng gak?”

Bang Joshua mengeluarkan handphone-nya dan meminta pelayan untuk mengambil foto kami. Lalu dia meminta nomor WA dan membagikan foto lewat WA.

“Kamu manis juga ya kalau di foto?” gombalnya sambil melihat handphone.

“Ah abang bisa aja. Aku jadi malu. Eh tapi, kalau kenyataannya aku jelekkah?” tanyaku tiba-tiba.

“Manis juga. Dan aku sedikit nyaman bicara denganmu. Ayuk kita pulang? Nanti kamu dicariin bapakmu.”

Seketika telingaku mulai naik mendengarkan gombalan bang Joshua. Kami langsung berdiri dan berjalan ke arah parkiran mobil. Dia memegang tanganku ketika berjalan di tangga. Aku jadi sedikit gugup. Lalu bang Joshua membuka pintuku. Ah, jadi terkesima aku melihat kelakuan bang Joshua. Aku kira sifatnya kaku, ternyata asik juga.

“Silahkan masuk.” Bang Joshua menyuruhku.

“Eh si abang. Ngapain repot-repot? Aku kan bisa sendiri.”

“Aku ingin mmbuat kencan pertama denganmu mempunyai kenangan. Paling tidak, aku sudah sangat senang bisa makan malam denganmu.”

Aku tersenyum mendengar omongannya. Aku masuk ke dalam mobil dan bang Joshua menutup pintu. Dia masuk ke dalam mobil melalui pintu pengemudi. Kami keluar parkiran menuju rumah kami.

“Bang, terima kasih untuk makan malam pertama kita ya. Aku benar-benar menikmati dari awal hingga akhir.”

“Oke dek. Jika ada kesempatan lagi, maukah kamu untuk makan bersamaku?”

“Hmmmm. Mau gak ya?” tanyaku sambil bercanda. “Aku mau-mau aja asalkan abang bisa izin ke ayah dan ibuku.

“Oke. Semoga diizinkan dek.”

Sesampainya di rumah, ayah sudah menungguku di teras rumah. Kami keluar dari mobil dan bang Joshua menghampiri ayah sambil mengembalikan mobil dan mengucapkan terima kasih. Ayah pun senyum kepadanya sambil menepuk bahu bang Joshua. Lalu bang Joshua pulang ke rumahnya, dan aku masuk ke dalam rumah bersama ayah.

“Bagaimana makan malam pertamanya dek?” tanya ayah.

“Senang yah. Dia baik, suka ngegombal, dan perhatian.”

“Mantap itu. Ayah senang melihat bahagiamu dek. Semoga tetap bahagia ya.”

“Ia ayah.”

Aku masuk ke dalam kamar, terbaring di tempat tidur sambil menghayalkan kencan pertamaku dengannya. Sungguh senang sekali rasanya hari ini. Apakah dia juga merasakan kebahagian ini ya? Hmm. Aku tidak boleh memikirkan ini terlalu jauh. Ini masih awal. Semoga semua baik-baik saja. Dan aku mulai tertidur nyenyak.

Tags: Twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • SusanSwansh

    Nice your story. Anyway chapternya panjang banget. Hehe

    Comment on chapter Berawal dari sebuah kenalan
Similar Tags
When I Was Young
8239      1654     11     
Fantasy
Dua karakter yang terpisah tidak seharusnya bertemu dan bersatu. Ini seperti membuka kotak pandora. Semakin banyak yang kau tahu, rasa sakit akan menghujanimu. ***** April baru saja melupakan cinta pertamanya ketika seorang sahabat membimbingnya pada Dana, teman barunya. Entah mengapa, setelah itu ia merasa pernah sangat mengenal Dana. ...
CATCH MY HEART
2451      907     2     
Humor
Warning! Cerita ini bisa menyebabkan kalian mesem-mesem bahkan ngakak so hard. Genre romance komedi yang bakal bikin kalian susah move on. Nikmati kekonyolan dan over percaya dirinya Cemcem. Jadilah bagian dari anggota cemcemisme! :v Cemcemisme semakin berjaya di ranah nusantara. Efek samping nyengir-nyengir dan susah move on dari cemcem, tanggung sendiri :v ---------------------------------...
Run Away
6667      1493     4     
Romance
Berawal dari Tara yang tidak sengaja melukai tetangga baru yang tinggal di seberang rumahnya, tepat beberapa jam setelah kedatangannya ke Indonesia. Seorang anak remaja laki-laki seusia dengannya. Wajah blesteran campuran Indonesia-Inggris yang membuatnya kaget dan kesal secara bersamaan. Tara dengan sifatnya yang terkesan cuek, berusaha menepis jauh-jauh Dave, si tetangga, yang menurutnya pen...
Flowers
359      247     1     
Inspirational
Zahra, remaja yang sering menggunakan waktu liburnya dengan bermalas-malasan di rumah, menggunakan satu minggu dari libur semesternya untuk mengunjungi tempat yang ingin dikunjungi mendiang Kakaknya. Bukan hanya demi melaksanakan keinginan terakhir Kakaknya, perjalanan ini juga menjadi jawaban atas semua pertanyaannya.
Coldest Husband
1305      675     1     
Romance
Saga mencintai Binar, Binar mencintai Aidan, dan Aidan mencintai eskrim. Selamat datang di kisah cinta antara Aidan dan Eskrim. Eh ralat, maksudnya, selamat datang di kisah cinta segitiga antata Saga, Binar, dan Aidan. Kisah cinta "trouble maker dan ice boy" dimulai saat Binar menjadi seorang rapunsel. Iya, rapunsel. Beberapa kejadian kecil hingga besar membuat magnet dalam hati...
injured
1218      657     1     
Fan Fiction
mungkin banyak sebagian orang memilih melupakan masa lalu. meninggalkannya tergeletak bersama dengan kenangan lainya. namun, bagaimana jika kenangan tak mau beranjak pergi? selalu membayang-bayangi, memberi pengaruh untuk kedepannya. mungkin inilah yang terjadi pada gadis belia bernama keira.
CAFE POJOK
3199      1077     1     
Mystery
Novel ini mengisahkan tentang seorang pembunuh yang tidak pernah ada yang mengira bahwa dialah sang pembunuh. Ketika di tanya oleh pihak berwajib, yang melatarbelakangi adalah ambisi mengejar dunia, sampai menghalalkan segala cara. Semua hanya untuk memenuhi nafsu belaka. Bagaimana kisahnya? Baca ya novelnya.
Hati Yang Terpatahkan
1843      836     2     
Romance
Aku pikir, aku akan hidup selamanya di masa lalu. Sampai dia datang mengubah duniaku yang abu-abu menjadi berwarna. Bersamanya, aku terlahir kembali. Namun, saat aku merasa benar-benar mencintainya, semakin lama kutemukan dia yang berbeda. Lagi-lagi, aku dihadapkan kembali antara dua pilihan : kembali terpuruk atau memilih tegar?
Move on
63      42     0     
Romance
Satu kelas dengan mantan. Bahkan tetanggan. Aku tak pernah membayangkan hal itu dan realistisnya aku mengalami semuanya sekarang. Apalagi Kenan mantan pertamaku. Yang kata orang susah dilupakan. Sering bertemu membuat benteng pertahananku goyang. Bahkan kurasa hatiku kembali mengukir namanya. Tapi aku tetap harus tahu diri karena aku hanya mantannya dan pacar Kenan sekarang adalah sahabatku. ...
Glad to Meet You
249      190     0     
Fantasy
Rosser Glad Deman adalah seorang anak Yatim Piatu. Gadis berumur 18 tahun ini akan diambil alih oleh seorang Wanita bernama Stephanie Neil. Rosser akan memulai kehidupan barunya di London, Inggris. Rosser sebenarnya berharap untuk tidak diasuh oleh siapapun. Namun, dia juga punya harapan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Rosser merasakan hal-hal aneh saat dia tinggal bersama Stephanie...