Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dessert
MENU
About Us  

Bab 2

Sang Editor


Setelah berkutat dengan segudang tugas kuliah serta project menulis lima artikel hiburan tentang rekomendasi film horror terbaik akhirnya hari ini aku bisa menyerahkan hasil karyaku kepada Mba Uchi selaku tim redaksi. Ini kali keduanya karyaku akan dimuat secara online setelah dilakukan pengeditan oleh editor. 
Beruntungnya pagi ini jalanan Jakarta tidak terlalu padat. Mungkin karena ini hari Sabtu jadi para karyawan tidak terlalu memadati jalanan karena libur. Tapi kantor majalah Hypee tidak pernah tutup walau hari minggu. Setelah membayar tagihan ojek online aku langsung masuk ke gedung bertingkat yang ridak terlalu ramai seperti biasa. Gedung perkantoran ini terdiri dari beberapa perusahaan termasuk Hypee yang ada di lantai 25. Aku selalu suka berada disini. Berjalan diatas lantai marmer yang bersih, seluruh ruangan yang dingin, kaca besar yang tembus dengan pemandangan kota Jakarta yang luas.

Aku menekan angka 25 setelah masuk kedalam lift. Ada yang menahan pintu lift saat akan menutup. Laki-laki disana terlihat sedang terburu-buru, napasnya tersengal saat memasuki lift. Aku harus menggeser badan agar tidak bertubrukan dengannya, karena gerakan tubuhnya yang tersaruk-saruk. Jarinya terhenti tidak jadi menekan tombol. Ku pikir dia akan menuju lantai yang sama denganku karena membiarkan tombol di angka 25. Setelah lift bergerak naik aku melirikan ekor mataku padanya. Laki-laki jangkung di sampingku sedang menaikan lengan kemejanya sampai ke siku lalu membenarkan letak id card yang dia gantung di leher. Sekilas aku bisa melihat ada nama dan foto dia disana. Tapi aku tidak bisa membacanya. 


Dia terperanjat ketika dering handphone-nya berbunyi. Di masukan tangannya ke saku celana jeans denim miliknya kemudian menempelkan benda pipih itu ke telinga. 


"Iya gue lagi di lift. Suruh orangnya tunggu sebentar lagi." Dari nada bicaranya pasti dia sedang di tunggu seseorang.


"Lagian kenapa mesti pagi-pagi banget sih." dia mengacak rambutnya yang sedikit gondrong. Mungkin karena telat mencukur rambut jadi gayanya sedikit acak-acakan. Kaya Rama. 
Begitu pintu lift terbuka di lantai 25 dia langsung melesat keluar dengan sedikit berlari. Aku menghela napas melihat gerak-geriknya. Dia yang buru-buru kenapa jadi aku yang ngos-ngosan. 


Mas Ramdan menyapaku ketika aku sudah masuk ke Hypee. Sejak pertama kali aku menginjakan kaki di Hypee dia sosok yang sangat ramah banget. Selalu tersenyum, menyapa dan kadang suka ngajak makan siang bareng. Katanya aku mirip adiknya yang udah meninggal. Tapi Mba Silfi bilang itu cuma modus dia doang. Kemudian Mba Silfi dan Mas Ramdan akan adu mulut kalau aksinya di interupsi oleh Mba Silfi. Aku ramal mereka pasti berjodoh. 


Mba Uchi sedang duduk menghadap komputer ketika aku datang. Seperti biasa wanita cantik ini selalu terlihat ceria. Kulitnya yang putih, rambutnya yang panjang ikal di bagian bawah dan di cat coklat terang begitu sangat memesona. Aku saja yang cewek betah liatnya. Apalagi cowok. Kalau aku udah jadi karyawan beneran dan punya gaji aku akan perawatan kaya Mba Uchi. Biar cantik engga kucel gini. 


"Terima kasih ya Daisy sudah menyelesaikan tugas sebelum deadline. Mungkin tulisan kamu akan dimuat bulan depan setelah melalui proses editing."


Senyuman lega tercetak di wajahku setelah Mba Uchi selesai memeriksa lima artikel yang aku tulis. Dia mengibaskan rambutnya lalu aroma parfumnya  yang wangi menguar ke hidung. Dia pake parfum apa ya, wanginya lembut dan bikin betah. 


"Sama-sama Mba Uchi itu memang kewajiban saya."


"Dan tulisan kamu kali ini akan saya serahkan sama Raja untuk proses editing."


"Editor baru Mba?"


"Bukan," Mba Uchi tertawa kecil. "Justru Raja salah satu penggagas majalah ini. Kamu mungkin yang belum kenalan."


"Oh," sebagai tanggapan aku tersenyum kecil sambil mengangguk. "Nanti sekalian aja sambil kenalan sama Pak Raja."


"Masih muda kok Sy belum bapak-bapak." 


Informasi Mba Uchi memunculkan gelak tawa dari kami berdua. Dan aku pergi dari meja kerjanya Mba Uchi setelah urusanku selesai dan siang nanti aku akan bertemu dengan Raja editor yang akan menyeleksi tulisanku. 
Masih ada waktu beberapa jam lagi untuk bertemu editor, jadi aku bisa mengikuti kuliah Pak Riadi jam 10. Aku langsung memesan ojek online begitu aku keluar dari gedung majalah Hypee. Karena tempat ini adalah tempat pemangkalan ojek online jadi aku tidak perlu menunggu lama. Kayanya wanginya parfum Mba Uchi masih nempel di hidungku. Pasti harganya mahal deh. 


"Kok telat?" 


Lily berbisik tepat saat aku duduk di bangku sebelahnya. Pak Riadi memang termasuk dosen yang tidak terlalu banyak omong, selalu membiarkan mahasiswanya masuk kelas walau telat.


"Abis nyerahin tulisan ke Hypee."


"Wah udah beres semua?" Lily membulatkan kedua bola matanya tampak terkejut senang. 


"Alhamdulillah."


"Abis kelas ini selesai kita nge mall yuk, ada yang mau gue beli nih."


"Yah enggak bisa Ly, siang ini gue mau ketemu editor Hypee."


"Harus siang ini banget ya?" Wajahnya terlihat kecewa. Tapi sekaligus lucu. Tipe wajah Lily mirip sama Mba Uchi cuma bedanya Mba Uchi di rawat pake sabun cuci muka dari dokter kecantikan  sedangkan Lily pake sabun cuci muka yang beli di supermarket.


"Iya, orangnya minta siang ini masa gue tolak." Lily mengangkat kedua bahunya tidak bisa memaksa lagi lalu memalingkan perhatiannya kepada Pak Riadi yang berdiri di depan kelas sedang menjelaskan materi kuliah. "Sama Fredi aja sih." ucapku tiba-tiba memberi saran.


"Fredi?" Seketika Lily mendelik heran padaku seolah baru saja aku mengeluarkan kata aneh.  "Mana bisa di harepin sih si Fredi Sy, dia itu lagi ada rapat BEM terus abis itu mau rapat lagi buat naik gunung minggu depan."


"Loh Rama ikutan dong?"


Sekarang giliran aku yang kebingungan. Kemudian dengan cepat memeriksa handphone dan tidak menemukan pemberitahuan apapun dari Rama. Kalau Fredi ikut rapat BEM dan naik gunung besar kemungkinan Rama juga ikut serta. 


"Pasti Sy, dua cecunguk itu kan kaya kembar siam beda rahim."


"Kok Rama enggak ngabarin gue ya. Whatsapp gue juga cuma di baca doang."


"Koran kali ah di baca doang."


Lily terkikik dan aku cemberut kesal.


*


Setelah kelas Pak Riadi selesai aku menolak pergi ke kantin bersama Lily, aku lebih memilih datang ke gedung Fakultas Ilmu Komputer dimana ruang rapat BEM berada. Seperti biasa jurusan yang di dominasi oleh kaum adam ini selalu ramai jika melihat makhluk berjenis kelamin perempuan berkunjung ke gedung mereka. Dari ujung ke ujung koridor aku bisa menghitung berapa banyak mahasiswa cewek disini, sisanya para Aligator yang sejak aku menginjakan kaki disini matanya terus memerhatikanku. 


"Ehem ... Yang baju putih jangan sampe kaburrrr!"


Salah satu cowok berambut gondrong yang sedang bergerombol berkoar nyaring. Bukannya aku geer atau apa, tapi nyanyian ala-ala film warkop itu ditujukan untukku. Memangnya siapa lagi orang yang pake baju putih lewat di depan mereka.


"Neng, kenalan neng!!"


Aku semakin mempercepat langkahku ketika aku mendengar ada yang berkoar norak lagi. Berjalan di koridor ini seperti sedang berjalan di atas cat walk aja. Setelah pupil mataku melihat tulisan sebuah ruangan yang menunjukan para mahasiswa teknik informatika sedang melakukan rapat BEM. Segera aku mengeluarkan handphone menghubungi Rama bahwa aku sudah ada di depan ruangan. 
Enggak nunggu lama Rama keluar  dengan memakai jaket almamater. Aku melirik pintu yang sedikit terbuka kemudian langsung memberondong Rama dengan kalimat yang sejak tadi ingin aku keluarkan.


"Kebiasaan banget sih Ram enggak pernah ngasih kabar."


Rama menutup ruang rapat, sebelum pintu tertutup aku melihat di dalam ada beberapa mahasiswa yang memerhatikan kami. Aku di bawa melipir menjauh dari ruang rapat lalu duduk di tangga.


"Tadi enggak sempet sayang, ini aja belum kelar."


"Masa cuma ngetik enggak nyampe semenit aja enggak ada waktu."


"Maaf ya sayang,"


Selalu. Laki-laki senjatanya emang satu. Minta maaf terus ngulangin lagi. 


"Ya udah, anterin aku ketemu Mas Raja di kantor Hypee."


"Mas Raja siapa?" kedua alisnya bertaut bingung.


"Editor Hypee yang bakal ngedit tulisanku. Dia minta ketemu jam dua siang di Hypee."


"Sekarang?"


"Iya sekarang masa tahun depan." Aku menjejakan kaki ke lantai tangga. Rama menaruh telunjuknya di bibir agar aku memelankan nada suaraku. Siapa suruh jadi orang nyebelin banget.


"Kayanya aku enggak bisa nganterin deh, masih belum selesai Sy. Palingan entar sore baru selesai."


Biasa deh. Kalau soal BEM dan naik gunung selalu enggak bisa diganggu. Prioritasnya dia memang organisasinya. Aku di nomor entah ke berapa. Tapi kalau aku membahas ini pasti dia bilang aku enggak gitu. Kamu juga penting buat aku. Maka dari itu untuk hari ini aku tidak mau berdebat. Jadi tanpa sepatah kata aku berdiri lalu pergi dari hadapan Rama. Dan dia pasti ngejar.


"Pulangnya aja aku jemput ya. Kan sorenya mau nonton." Dia menahan lenganku. Inginnya sih langsung pergi aja tapi malu dilihat banyak orang diaini. Nanti dikira lagi main drama. 


"Terserah kamu." Lalu aku pergi tanpa pengejaran lagi dari Rama. 


*


Baru aja nyampe di Hypee Raja si editor itu nelpon dan ngabarin buat ketemu di restoran cepat saji deket kantor. Kebiasaan laki-laki kali ya kalau enggak ngabarin pasti telat ngasih kabar. Tapi karena disini aku yang butuh jadi aku simpan makian dan melesat menuju lokasi. Raja memberikan deskripsi tentang dirinya dan aku mencari sosok yang mirip dengan ciri-ciri yang dikasih Raja. Eh sopan enggak ya ngomong Raja Raja tanpa embel-embel Pak atau Mas. 


Ketika mataku sedang beredar mencari sosok Raja aku melihat ada laki-laki yang melambaikan tangannya ke arahku. Dia duduk di pojok dekat jendela. Itu Raja bukan ya. Kalau dilihat dari ciri-cirinya sih kayanya iya deh. Demi membuang rasa penasaran aku berjalan mendekat.


"Hallo," 


Dia berdiri saat aku sampai di hadapannya.


"Hai," Aku menjawab canggung.


"Raja." 


Aku tersenyum dan menyambut uluran tangannya.


"Daisy."


"Freelance?"


"Iya Mas, baru dua bulan."
Kami sama-sama duduk. Kulihat di meja ada chicken fillet, dan dua gelas plastik minuman soda. 


"Enggak nyoba buat ngelamar jadi karyawan beneran aja?"


"Saya masih kuliah tingkat tiga Mas belum lulus, emang boleh?"


"Ooh, kalau gitu nunggu lulus aja dulu. Enggak usah pakai surat lamaran langsung saya terima."


Dia tertawa kecil. Dan aku ikut tertawa. 


"Emangnya yang nentuin disini Mas Raja?"


"Kan bisa saya rekomendasikan ke bagian HRD."


"Hahaha, terima kasih banyak Mas tawarannya, nanti setelah lulus saya coba."


Cowok didepanku menganggung-anggukan kepalanya. Lalu dia memusatkan perhatiannya kepada sebuah laptop yang sejak tadi terbuka. Seperti sedang memeriksa sesuatu disana. Saat aku memerhatikan dengan seksama akhirnya aku mengenali cowok ini. Dia kan cowok grasak-grusuk yang aku lihat tadi pagi di lift. Eh iya bener. Bajunya aja sama. Potongan rambut yang sedikit acak-acakannya sama. Ooh jadi dia Raja. 


"Saya udah baca tulisan kamu," 


Beda banget sama Mas Ramdan yang rapi. Aku kira karyawan itu selalu berpenampilan keren dan rapi kaya Mas Ramdan tapi yang ini santai banget. Kaya mau main.


"Daisy," Aku mengerjap saat Raja menjentikan jarinya di depan wajahku. Duh ketahuan deh lagi ngelamun.


"Maaf Mas." Dengan rasa malu aku menunjukan cengiran tapi dia justru tersenyum simpul.


"Makan dulu sana, enggak fokus banget kayanya kamu. Mau saya pesenin?"


"Oh enggak Mas," Reflek aku menahan dirinya dengan menggantungkan kedua tanganku di udara saat dia beranjak dari tempat duduknya. "Saya udah kenyang."


Dia terkekeh geli. "Oke, kalau gitu bisa kita lanjut?" 


"Bisa Mas. Silahkan. Tanya apa tadi?"


Lagi-lagi dia tertawa. Lama-lama denger ketawanya kok aku malah suka ya. Renyah dan mengalir begitu saja tanpa di buat-buat. 


"Tulisan kamu sudah pernah dimuat juga ya bulan kemarin?"


"Iya mas baru satu tulisan."


"Satu juga udah bagus." Dia mengatakannya dengan begitu tegas. "Kekurangan kamu disini cuma pemilihan diksi." Jarinya bergerak di touch ped sedangkan matanya fokus ke layar. "Coba sering-sering baca buku. Buku apa aja biar perbendaharaan kosakata kamu lebih banyak. Dan bisa menempatkan diksi dengan tepat."


"Banyak banget dong Mas yang harus saya perbaiki?"


"Cuma pemilihan diksinya aja sih Sy, untuk yang lainnya udah oke."


"Jadi kapan saya harus perbaiki?"


"Sekarang disini juga boleh. Saya bantuin nanti. Biar sekalian belajar soal diksi."


Aku menatapnya sebentar kemudian melirik jam di pergelangan tangan. Sore ini kan aku ada janji sama Rama mau nonton film di bioskop. Kalau aku batalin kira-kira dia marah enggak ya. Tapi kalau aku nolak tawaran dari Raja nanti dikira aku enggak profesional dan mengulur-ulur waktu. Mba Silfi bilang semua karyawan yang kerja di Hypee itu dikejar deadline. Waktu satu detik saja berharga banget. Kalau Raja nawarin untuk di edit hari ini pasti deadline-nya mepet atau ada project lain yang sedang dia kerjakan. Enggak sopan banget kalau aku harus nolak cuma karena mau nonton sama Rama. 


"Jadi, gimana Sy? Udah ada janji ya?"


"Eh?"


Seiring dengan senyuman manisnya Raja aku menggeleng lemah.

 

to be continue ....

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags