Bab 1
Tali sepatu
Film Train to Busan sudah berakhir bahkan sebelum sempat aku melihat akhirnya. Aku tidak tahu bagaimana zombie zombie itu bisa dikalahkan. Atau para zombie yang mengalahkan manusia dan menghabisi seluruh penduduk Korea. Memang dasar aku saja yang payah tidak bisa mengurangi jatah tidurku. Baru saja mencapai gerbang kampus tali sepatu convers buluk yang kupakai lepas ketika aku memikirkan bagaimana akhir cerita dari film yang tidak tuntas aku tonton. Gerakan tanganku terhenti saat mengikatkan tali sepatu karena keberadaan seseorang yang tiba-tiba membuatku terkejut. Aku akan menendangnya ke jalanan kalau seseorang yang berhenti mendadak itu bukan Rama. Ayolah, aku tidak sanggup menendang pacarku sendiri.
"Kenapa masih dipake sih?" bukannya membantu pria yang sedang berdiri di hadapanku dengan setelan kaus polos putih yang dibalut kemeja kotak-kotak biru yang seluruh kancingnya dibiarkan terbuka justru malah ngomel.
"Yang buluk malah lebih nyaman dipake tahu." tandasku sambil mengencangkan ikatan di simpul terakhir, berharap tali tersebut tidak akan lepas tapi kenyataannya dalam sehari bisa sampai sepuluh kali aku mengikat tali sepatu. "Kaya aku sama kamu aja gimana," aku berdiri tegak sambil tersenyum padanya. "Makin lama malah makin tambah sayang."
Rama tergelak kemudian mengacak puncak kepalaku sebelum dia menarik diriku berjalan bersama dengan tangannya yang masih berada diatas kepalaku. Enggak enaknya jadi orang pendek ya begini. Ah tapi emang dasar Rama aja yang tingginya kelewat batas.
"Jadi, akhirnya gimana tuh para zombie? Mati?"
"Enggak tahu." aku mengangkat bahu. "Aku ketiduran jadi enggak tahu ending-nya kaya apa."
Kami berbelok menaiki tangga. Pagi-pagi begini kampus masih terlihat sepi. Baru ada beberapa mahasiswa yang nongkrong di sepanjang koridor. Emang dasar aku saja yang sial mata kuliah yang harusnya ada di jam dua siang dimajukan menjadi pagi jam 7, dan terpaksa pagi-pagi buta begini aku sudah keluyuran di kampus.
"Terus gimana sama artikelnya?"
Setelah melewati beberapa kelas akhirnya kami berhenti di ruang E125, dimana Bu Retno selaku dosen yang mata kuliahnya minta diganti memilih kelas ini untuk kami belajar.
"Aku udah pindahin filmnya ke handphone, biar nanti bisa aku tonton pas kuliah bu Retno selesai."
Karena didalam kelas belum ada satu penghunipun akhirnya aku memutuskan untuk duduk di lantai koridor. Kami para mahasiswa sepertinya tidak peduli dengan pakaian kami yang bisa saja kotor dengan duduk di lantai yang mungkin hanya di bersihkan satu kali dalam sehari padahal ada banyak kaki mahasiswa yang mondar-mandir di koridor. Ya mau bagaimana lagi kalau sudah nyaman duduk disini mana kepikiran bakal kotor. Sekali lagi kalau udah nyaman enggak mikir dampak negatif apa yang akan di timbulkan.
"Berapa artikel sih yang harus kamu tulis dalam sehari?"
Sudah dua bulan aku menjadi penulis artikel freelance di sebuah majalah. Majalah tersebut memang belum lama berdiri. Baru ada satu tahun jadi mereka membutuhkan pekerja sepertiku dan Lily langsung memberiku kabar tentang lowongan pekejaan freelance ini yang dia baca di internet. Lily tahu kalau menulis memang hobiku dari dulu jadi pekerjaan ini juga bukan semata-mata untuk uang tapi sebagai jalan mencari pengalaman menuju cita-citaku menjadi jurnalis profesional. Siapa tahu aku bisa menjadi seperti Najwa Sihab. Langkah awalnya bisa dimulai dengan menjadi penulis artikel freelance agar cara observasi, gaya bahasa, dan keakuratan yang ada di diriku terlatih. Kehidupan seseorang kan memang penuh kejutan.
"Aku kan freelance jadi tergantung permintaan mereka." jawabku. "Dan sekarang mereka minta aku buat nulis lima artikel tentang rekomendasi film-film horror atau thriller."
"Kenapa kamu harus nonton film? Kamu kan bisa rekomendasikan film-film yang udah kamu tonton yang menurut kamu layak untuk di nikmati."
"Ramaaa," sengaja aku menekan nada bicaraku merasa amat jengkel. "Sejak kapan aku suka nonton film horror dan thriller. Aku ini penggemar genre romance happy ending garis geras."
Aku kesal setengah mati tapi Rama hanya mengangguk-anggukan kepalanya santai seolah paham dan kalimatnya bukan sebuah kesalahan. Kami sudah bersama selama tiga tahun. Catat! Tiga tahun. Sejak kami masih sama-sama menjadi peserta ospek di kampus ini. Tapi hanya mengingat genre film favoritku saja dia tidak bisa.
"So?"
"So?" aku mengulang keheranan. "Apa yang bisa aku rekomendasikan kalau aku saja belum pernah nonton film horror. Jalan satu-satunya aku harus nonton film horror dong Ram."
"Kenapa kamu enggak nanya aja ke aku. Aku kan udah banyak nonton film horror."
"Rama, seorang jurnalis tidak bisa menerima kebenaran hanya dari mulut seseorang yang bahkan mungkin saja tidak bisa untuk di pertanggung jawabkan. Seorang jurnalis harus melakukan observasi, mencari sendiri kebenaran itu dan bukan dari satu pihak saja. Kalau aku harus nanya sama kamu itu artinya aku bukan mau nulis artikel tapi mau nonton buat kepentingan pribadi."
"Wah, enggak salah mereka milih kamu sebagai salah satu dari bagian mereka. Aku yakin itu majalah bakal jadi majalah nomor satu di Indonesia."
Emang dasar si kulit kapalan, gak peka. Dia pikir aku baik-baik saja dengan kalimatnya itu bukan kesal setengah mati.
"Aamiin." ucapku sambil melotot sebal padanya dan dia seperti biasa tertawa sambil mengacak pelan rambutku.
"Udah jam tujuh lewat nih, temen-temen kamu kemana? Kok masih sepi aja dari tadi." Rama melihat jam tangannya lalu menjulurkan kepalanya memeriksa keadaan kelas yang memang masih tak ada orang. "jangan-jangan kompakan buat enggak masuk kuliah terus kamu engga diajak."
"Enggak usah ngarang." aku mendelik lalu mengubek tas, mencari handphone. Setelah kutemukan smartphone yang berada di antara tumpukan buku-buku segera aku memeriksa aplikasi whatsapp. Kemudian seketika aku terserang serangan jantung mendadak setelah melihat isi chat di grup kelasku. "Ya ampun Rama aku salah ruangan. Bukan di E125 tapi G125."
"Itu kamu bukan lagi salah ruangan tapi udah salah kampus."
Setelah menepuk jidat keras-keras, aku berdiri menyampirkan tas lalu bergegas menuju gedung kampus yang jaraknya lumayan jauh dari gedung kampus ini. Kampus tempatku belajar memang memiliki gedung kelas yang berbeda lokasi dengan jarak yang tidak terlalu jauh.
Mengingat sudah dua kali mangkir dari kelasnya, alamat enggak bisa ikut ujian mata kuliah Bu Retno kalau sampai kali ini aku telat masuk kelas lagi. Aku melambai tangan pada Rama ketika dia mengatakan tidak bisa mengantarku ke gedung kampus sebelah karena praktikumnya akan di mulai sebentar lagi.