Hujan benar-benar turun deras malam itu. Suara gemuruh serta kilatan-kilatan petir saling bersahutan dengan kerasnya suara angin yang menarik ulur ranting-ranting pohon. Suara retakan dahan ranting yang patah oleh kuatnya angin. Lalu guntur kembali menggelegar. Gelap. Menakutkan. Hancur.
Sama seperti hatinya. Si gadis yang tengah menangis kencang di sudut kamarnya.
Kalau saja sang guntur tak marah dan si hujan tidak turun sederas malam ini, mungkin kalian akan mendengarnya dengan jelas. Suara tangisannya yang begitu memilukan. Mungkin kau tidak akan tahan mendengarnya. Suara tangisan itu akan menyayat-nyayat hatimu, seakan ingin memberitahumu bagaimana pedihnya luka yang tengah ia rasakan saat ini. Luka karena ia telah kehilangan seseorang—ah, bukan, separuh jiwanya. Hidupnya. Cintanya.
Tadi pagi, segalanya masih baik-baik saja. Ia masih bangun lima menit setelah alarmnya berbunyi. Lalu membersihkan diri, kemudian bersiap-siap. Kekasihnya, Adam, berjanji akan menjemputnya pagi ini dan mereka akan menghabiskan akhir pekan bersama. Mengunjungi tempat wisata di daerah perbukitan lalu menghabiskan waktu dengan piknik berdua di salah satu bukit disana. Adam sudah pernah kesana katanya, dan pemandangannya sangat indah. Mengajaknya kesana sudah menjadi keinginan Adam sejak dulu. Dan ia tentu saja mengiyakan.
Rencana yang indah di hari yang indah ini. Langit tampak cerah dan tak sedikit pun ada tanda awan hitam. Ia pun tersenyum hangat saat melihat cuaca yang indah pagi itu. Entah mengapa ia merasa sangat bahagia hari ini.
Tapi senyumannya sirna kala mengangkat telepon dari Adam setelahnya. Bukan, bukannya ia tidak senang mendapat telepon dari Adam, namun kabar yang didapatnya pagi itu yang membuat hatinya seakan tertusuk ribuan duri.
“Maafkan aku. Aku harus turun ke lapangan. Ada masalah di lokasi proyek tadi malam dan aku harus mengeceknya pagi ini. Ava, kau tidak apa-apa?”
Ia menggigit bibirnya menahan kecewa. Tidak, tentu saja dia tidak baik-baik saja saat ini. Dia sudah lama menantikan hari ini setelah 3 minggu mereka tidak bertemu sama sekali. Semua ini karena Adam sibuk dengan pekerjaannya. Tidak bisakah dia menyisihkan waktunya sedikit saja untuk dirinya?
Adam mengerti. Ava pasti kecewa dengannya. “Bagaimana dengan sore ini saja? Aku akan mengajakmu jalan-jalan, lalu kita makan malam di tempat pilihanmu. Setuju?”
“Entahlah, Adam,” keluh Ava. “Ini sudah kesekian kalinya kau berjanji dan sudah kesekian kalinya juga kau mengingkarinya. Apa menurutmu, aku masih bisa mempercayaimu setelah ini, Dam?”
“Ava…” bujuk Adam terdengar putus asa. “Maafkan aku. Mungkin aku sudah banyak mengecewakanmu. Tapi satu janjiku yang tak akan pernah kuingkari; meninggalkanmu. Ingat? Jadi kumohon, bersabarlah untukku. Aku akan selalu berusaha untukmu, Ava.”
“Aku perlu bukti, Adam. Bukan hanya sekedar janji,” tutup Ava dan mematikan ponselnya. Isakan tangis mulai mengisi ruangan itu. Ava tidak bisa lagi, ia tidak bisa menahan tangisnya lagi. Kekecewaannya sudah bertumpuk dan ia tidak kuat menyimpannya lebih lama lagi. Maka ijinkanlah ia menumpahkan segalanya saat ini.
Walaupun diam-diam, dalam hati kecilnya, ia masih menyimpan harap pada Adam untuk menepati janjinya.
---
Adam tidak datang.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul enam sore dan Ava tidak mendengar denting bel pintunya berbunyi sama sekali. Dan dia hanya bisa menunggu. Ia duduk di sofa sambil menatap ke bawah, ke jalanan yang padat akan kendaraan. Diam-diam ia mencari-cari apakah mobil Adam ada di antara kepadatan itu. Namun nihil. Tidak ada dia disana, maupun di ponselnya. Adam tidak meninggalkan pesan apapun, tidak juga meneleponnya. Kemana dia?
Perlahan, rintikan hujan mulai membasahi bumi. Tak butuh waktu lama bagi gerimis untuk berubah menjadi hujan yang cukup deras. Guyuran hujan yang membasahi bumi tak hanya membuat jendela apartemen Ava basah, namun juga membuat hatinya semakin kalut. Ava melirik jam yang sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Perasaannya mulai tak tenang.
Entah ia merasa kecewa, atau intuisinya memang berkata bahwa ada sesuatu yang salah?
Ting tong
Suara dentingan bel apartemennya membuat Ava sontak terkejut dan menoleh ke arah pintu. Gadis itu terdiam beberapa saat. Benarkah? Atau hanya halusinasi saja?
Ting tong
Ava tersenyum lega. Ia mulai beranjak dari sofa dan bergerak menuju pintu. Tanpa curiga, ia langsung membuka pintu dengan senyuman lebar—
—“Hai!” serunya senang, namun hanya sepersekian detik karena kini ia malah justru keheranan karena yang didapatinya justru—“…Reza?”
“Hai,” sapa Reza kembali dengan senyuman muram. Reza adalah sahabat Adam dan bekerja di tempat yang sama dengan Adam. Tapi mengapa Reza yang datang? Bahkan dengan seikat bunga dan… sekotak cincin?
“A-ada apa, Rez?” Ava bertanya, tapi ia sendiri ragu menerima jawaban apapun dari Reza.
Tak langsung menjawab, Reza malah memberikan bunga serta kotak cincin itu kepadanya.
“I think these things belong to you,” ujar Reza pelan. “From him. And I think that’s gonna be the last thing he would ever give to you. Last yet the best one.”
Ava memandang kotak cincin dalam genggamannya itu dengan tatapan nanar. Air matanya menumpuk di pelupuk mata, membuat segalanya terlihat buram. Seburam perkataan Reza yang sebenarnya tak berani ia tarik kesimpulannya. Ia tahu, ia hanya terlalu takut mengakui segalanya. Mengakui kenyataan bahwa—
“Yes, Ava. He broke his promise, again. And this time, it’s for forever. Adam…”
—sudah tiada.
---
“Kecelakaan kerja. Dia sudah menceritakannya padaku sebelumnya. Semuanya. Semua rencana kalian pagi ini dan rencananya untuk melamarmu disana. Dia sudah mempersiapkan segalanya, Ava. Namun panggilan kerjanya tadi pagi memang sangat penting, mereka membutuhkan Adam disana. Aku juga disana saat itu. Aku melihatnya. Bagaimana sedihnya ia saat selesai meneleponmu dan betapa hancurnya dia karena lagi-lagi mengecewakanmu, gadis yang sangat dicintainya. Aku mencoba menghiburnya. Dia bilang baik-baik saja. Tapi dia berbohong padaku. Dia tidak fokus selama di lapangan dan saat balok besi itu jatuh menimpanya, ia tidak sempat menghindar. Adam sekarat. Tapi dia mencegahku memberitahumu. Sebaliknya, ia malah menyuruhku memberikan semua ini. Semua yang telah dia siapkan untuk hari sempurna kalian. Dan setelah itu, Adam mengucapkan sesuatu sebelum ia pergi untuk selamanya.”
‘Maafkan aku selalu mengingkari janjiku sendiri, Ava. Bahkan untuk tidak meninggalkanmu pun aku mengingkarinya. Maafkan aku dan kepergianku, sayang. Aku mencintaimu.’
---
Hujan benar-benar turun deras malam itu. Suara gemuruh serta kilatan-kilatan petir saling bersahutan dengan kerasnya suara angin yang menarik ulur ranting-ranting pohon. Suara retakan dahan ranting yang patah oleh kuatnya angin. Lalu guntur kembali menggelegar. Gelap. Menakutkan. Hancur.
Sama seperti hatinya. Si gadis yang tengah menangis kencang di sudut kamarnya.
Kalau saja sang guntur tak marah dan si hujan tidak turun sederas malam ini, mungkin kalian akan mendengarnya dengan jelas. Suara tangisannya yang begitu memilukan. Mungkin kau tidak akan tahan mendengarnya. Suara tangisan itu akan menyayat-nyayat hatimu, seakan ingin memberitahumu bagaimana pedihnya luka yang tengah ia rasakan saat ini. Luka karena ia telah kehilangan seseorang—ah, bukan, separuh jiwanya. Hidupnya. Cintanya.
Dia Ava. Gadis yang tengah menangis kencang sampai-sampai ia lupa caranya bernafas. Hatinya terlalu sakit. Tenggorokannya tercekat. Rasanya begitu sesak, begitu menyakitkan. Penyesalan akan selalu datang di akhir, Ava tahu. Tapi dia tidak pernah tahu bahwa rasanya akan sesakit ini. Sepedih ini. Suatu penyesalan yang bahkan tak mengijinkannya untuk memiliki kesempatan kedua.
Karena tak pedui bagaimana ia berteriak, memohon, dan meminta, Adam-nya tak akan pernah kembali. Adam-nya tidak akan pernah menemuinya lagi. Rindunya tak akan pernah terobati lagi. Justru sebaliknya, rindu itu malah akan memberikan luka yang tidak akan pernah terobati. Luka yang akan terus membekas disana seumur hidupnya. Luka yang akan menyiksa hari-harinya.
Gemuruh mulai mereda, menyisakan hujan yang tak lagi sederas tadi dan angina yang masih bertiup cukup kencang. Begitupun dengan Ava. Jeritan dan teriakannya kini hanya menyisakan isak tangis yang tak kunjung reda. Masih di sudut yang sama, meringkuk dengan memeluk kedua lututnya. Tangannya menggenggam erat cincin pemberian Adam. Hanya itu satu-satunya penenangnya saat ini. Hanya tinggal itu bagian dari Adam tersisa. Hanya itu yang mampu ia miliki, sebab raganya sudah pergi tanpa ia ingini.
“A-dam… Kembalilah…” panggil Ava disela-sela isak tangisnya yang memilukan. “Aku membutuhkanmu, Adam… Jangan pergi… A-aku merindukanmu, Dam…”
Ketika Ava membisikkan permohonannya, hujan di luar sedikit demi sedikit mereda. Angin pun mencuri masuk melalui celah-celah jendelanya. Berputar pelan dan melingkupi Ava. Hangat. Familiar. Ini seperti… pelukan Adam.
Karena setelahnya, tangisan Ava pun perlahan mereda. Tak menyisakan isakan sedikitpun. Kepalanya terkulai di lututnya. Wajahnya begitu tenang dengan kedua matanya yang terpejam. Senyuman kecil terukir di bibirnya. Ia kelelahan. Sepertinya ia tertidur.
Namun sebelum ia benar-benar tertidur, Ava membisikkan sesuatu.
“Aku tahu kau disini, Adam. Terima kasih. Aku sangat merindukanmu…”
Setelah itu, Ava tertidur dengan tenang.
Dan di dalam heningnya kamar gelap itu, sayup-sayup terdengar sebuah suara lain yang terdengar selain bunyi hujan yang terhempas ke kaca jendela.
“Aku juga merindukanmu, sayang. Tenanglah. Aku akan selalu disini…”
Itu Adam.
Yang kini tengah memeluk Ava dalam gelapnya malam.
.
.
[270617—14.49]
baperan ih mbak yg bikinnya ππ