Hidup ini…! Aku benci hidupku. Hanya ada kekurangan dalam hidupku. Kemiskinan dan hinaan melengkapi nasib ini. Mengapa Tuhan tidak adil padaku. Kenapa Tuhan pilih kasih antara aku dengan mereka. Aku hanya hidup dengan ibuku. Setelah ayahku meninggal 10 tahun yang lalu. Ibuku hanya seorang buruh cuci harian. Yang penghasilannya cuma dapat untuk makan tiga kali dalam seminggu. Itu pun lauknya dengan tahu dan krupuk. Yang lebih parah lagi hanya nasi dengan garam. Di gubuk yang tak bisa disebut rumah lagi ini aku tinggal. Dinginnya malam menyentuh urat-urat jiwaku. Panasnya siang membara mengguyur tubuhku.
Namaku Adira Arumsari. Aku bersekolah di salah satu sekolah populer di daerahku. Entah kenapa aku berani untuk masuk ke sekolah itu. Dimana hanya ada anak orang kaya yang mampu bersekolah di sana. Kalau tidak kerena aku pintar, aku juga enggan menginjakkan kakiku di sana.
Pagi-pagi saat jam menunjukkan pukul 6.30.
“Ibu…! Cepet donk siapin sarapanya, aku udah telat ni!”
“Sabar nak, ibu kan lagi sakit. Uhuk… uhuk.”
“Ibu sakit?. Kalau ibu sakit, ibu nggak bisa kerja donk. Kalau ibu nggak kerja nanti kita mau dapat uang dari mana. Mau pake daun!”
“Yang sabar ya nak, ibu bisa hidup sama kamu saja ibu sangat bersyukur! Harusnya kamu lebih bisa bersyukur!”
“Bersyukur? Mau makan aja susah, malah disuruh bersyukur. Bu, aku tuh malu!. Setiap hari di sekolah uang sakuku paling sedikit.”
“Ibu itu perlu istirahat, nggak mungkin ibu kerja terus. Lagian temen-temen kamu anak orang kaya, jadi wajar… mereka punya uang saku lebih.”
“Ya aku pengen donk bu kayak mereka. Masa ibu nggak mau aku bahagia, aku bahagia kalau aku berteman sama mereka. Kalau mereka tau aku anak orang miskin, mereka nggak bakal mau temenan sama aku. Gini aja… kalau ibu nggak kerja, aku nggak akan menginjakkan kaki di rumah ini lagi.”
“Jangan gitu donk sayang, kamu adalah harta satu-satunya ibu. Kamu jangan pergi ya, ibu mohon!”
“Kalau ibu nggak mau aku pergi, kerja donk bu, kita tuh butuh uang!”
“Iya, ibu akan kerja. Meskipun ibu sakit keras ibu akan melakukan segalanya buat kamu.”
“Nah, gitu donk bu!. Ngomong gitu aja kok susah. Udah, aku mau berangkat!.”
Ibu menepati janjinya. Ia akan bekerja di salah satu rumah di pinggir jalan raya. Dengan langkah gontai ia terus berjalan. Menyusuri tepian jalan. Dengan keadaan kepala pusing dan raga antara sadar dan tak sadar.
Saat ia ingin menyeberang, tanpa sepengetahuannya sebuah mobil menghantam tubuhnya. Melemparnya kuat-kuat. Hingga mengalirlah darah di seluruh tubuhnya.
Pulang sekolah…
Seperti biasa aku naik angkot yang sempit di dalamnya. Setelah sampai di gang dekat rumahku, aku turun.
Tiba-tiba…
“Adira, ibu kamu” sambil terengah-engah karena lelah. “Ibu kamu kecelakaan, sekarang dia ada di rumah sakit. Rumah Sakit Mukti Jaya.” ucap salah seorang tetangga dekatku.
Segeralah aku pergi ke rumah sakit. Tanpa menghiraukan bagaimana keadaanku sekarang.
“Ibu… Ibu jangan tinggalin aku bu, aku sendirian.” batinku.
Akhirnya aku bertemu ibuku, tapi entah kenapa selimut putih itu menutupi seluruh tubuhnya. Apa Tuhan marah padaku, apakah karena banyaknya dosaku sampai-sampai Tuhan mengambil ibuku?.
“Ibu, maafkan Adira bu! Adira sudah durhaka sama ibu. Atas semua ketulusan ibu sama Adira, Adira cuma bisa balas dengan durhaka Adira.” ucapku yang cuma bisa menangis di atas tubuh ibuku.
Aku tau aku salah. Semua yang kulakukan tak lagi berguna. Entah bagaimana hidupku sekarang. Entah apa yang harus kulakukan. Di sini ku hanya berdoa semoga Tuhan memberikan tempat yang terindah untuk ibuku. Aku sadar bahwa Surga memang di telapak kaki IBU.
Rasulullah saw. Ditanya tentang peranan kedua orangtua. Beliau menjawab, “Merekalah yang menyebabkan surga dan nerakamu.” (h.R. Ibnu majah).