Aku mendadak membuka mata saat merasakan sakit melanda perutku. Sebenarnya rasa kantuk begitu menggodaku untuk kembali terlelap dibalik selimut, namun karena mules di perut ini sudah tak terkontrol lagi aku segera beranjak dari tempat tidur, melirik sekilas pada jam dinding yang menunjukkan pukul 10 malam, dan bergegas menuju toilet di lantai bawah.
Sekitar 15 menit kemudian, aku bernapas lega setelah keluar toilet. Benar saja aku mengalami diare, mungkin karena kebanyakan makan sambal goreng balado yang super pedas saat makan malam tadi. Aku melangkah cepat menuju kamarku, tak sabar ingin kembali melanjutkan tidur. Namun langkahku perlahan melambat saat sayup-sayup mendengar suara dari kamar Ayah-Bunda. Karena penasaran, aku memutuskan berdiri di sisi kiri pintu yang tertutup rapat untuk memastikan bahwa telingaku tidak salah dengar.
“Bun... Ayah, kan, sudah bilang Ayah ndak akan nurutin kemauan ibu. Ayah sayang Bunda dan Airin, Ayah ndak setega itu.”
Kudengar Ayah berkata pelan dan bergetar dalam nada suaranya. Untuk saat ini aku sangat berterima kasih kepada telingaku atas ketajaman pendengarannya. Di sisi lain, otakku berputar memikirkan apa maksud perkataan Ayah tadi. Menuruti kemauan ibu? Berarti menuruti kemauan nenek, kan? Pasti yang Ayah maksud adalah nenek di Jogja—ibu kandung Ayah. Tapi memangnya apa kemauan nenek? Apa hubungannya denganku dan Bunda?
“Jangan begitu, Yah. Surga ada dibawah telapak kaki ibu, ridho ibu juga ridho Allah. Ibu pasti tau apa yang terbaik bagi Ayah. Turuti kemauan ibu. Bunda ikhlas, Yah...”
Suara lembut Bunda terdengar begitu menyejukkan di telingaku, apalagi kata-kata bijak yang ia lontarkan. Dibalik perkataan bijaknya itu, aku tahu Bunda sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja, terdengar dari suaranya yang seperti orang flu.
Aku tersadar. Aku tidak boleh berada di sini terlalu lama. Tidak baik menguping pembicaraan orang lain, apalagi pembicaraan orang tua. Aku pun memutuskan kembali ke kamarku dengan langkah pelan berharap Ayah dan Bunda tidak menyadari kehadiranku.
“Tapi Airin pasti ndak setuju begitu saja, Bun. Ayah akan bilang ke ibu, Ayah dan Bunda ndak akan pisah demi Airin. Ibu pasti bisa ngerti.”
Langkahku langsung terhenti mendengar Ayah menyebut namaku dalam perkataannya. Kakiku mendadak lemas saat mendengar kata ‘pisah’ yang terlontar dari mulut Ayah. Aku bersumpah itu adalah kata yang sangat tidak ingin didengar oleh siapapun di dunia ini apalagi dalam konteks keluarga. Tapi kenapa Ayah mengucapkannya? Itukah kemauan nenek?
“Sampai sekarang Bunda belum bisa menghasilkan keturunan, nggak ada yang bisa diharapkan dari Bunda, Yah. Ibu pasti mau menimang cucu yang berasal dari darah daging Ayah.”
Aku spontan membungkam mulutku yang hampir berteriak tak terima. Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku saat tahu kenyataan yang selama ini kuterima adalah palsu.
Aku bukan anak kandung Ayah-Bunda.
Kenapa mereka merahasiakannya? Lebih baik aku mengetahuinya sejak dulu dan berusaha mengabaikannya seakan aku tak pernah tahu, daripada mengetahuinya sekarang dengan cara yang tiba-tiba, meskipun keduanya sama-sama pahit.
“Bunda ndak boleh ngomong begitu, ndak baik. Semuanya sudah diatur Allah---”
Perkataan Ayah itu menjadi yang terakhir kudengar. Kini aku sudah berbaring di kasurku, menutupi seluruh tubuh dengan selimut—berusaha meredam suara tangisku yang mulai pecah. Aku tak pernah menyangka akan menerima kenyataan pahit ditengah malam seperti ini.
***
Sudah seminggu ini aku bolak-balik pergi antara rumah-sekolah-rumah sakit. Setelah insiden ‘kenyataan pahit’ yang kualami malam itu, keesokan paginya Bunda dilarikan ke rumah sakit karena anemia yang dideritanya 2 tahun belakangan tiba-tiba memburuk.
Sekuat apapun aku berusaha agar tidak menangis, akhirnya tangisku pecah tak terkontrol saat mendengar anemia yang diderita Bunda telah memicu perkembangan penyakit lain, leukimia. Apalagi saat dokter mengatakan leukimia itu sudah berada pada stadium lanjut, dunia tempatku berpijak seketika berguncang. Aku hampir pingsan jika saja Ayah tidak menahan tubuhku dan memberi kalimat motivasi yang syukurnya ampuh memberiku kekuatan. Akhir-akhir ini Bunda memang terlihat cepat letih dan rentan mengalami demam ringan atau pusing, namun Bunda selalu bisa mengatasinya tanpa perlu diperiksakan ke dokter sehingga membuatku dan Ayah percaya Bunda baik-baik saja. Kenyataannya, dibalik itu tersembunyi penyakit ganas dalam tubuh Bunda.
Hari ini adalah jadwal transplantasi sumsum tulang untuk Bunda, setelah kemarin aku, Ayah, dan anggota keluarga lain diperiksa untuk mengetahui apakah sumsum tulang belakang kami cocok. Karena sumsum tulangku maupun Ayah tidak cocok, maka Tante Ina—adik kandung Bunda-lah yang mendonorkan sumsum tulangnya. Aku sedih saat menyadari aku bukan anak kandung Bunda sehingga aku tidak bisa mendonorkan sumsum tulangku untuknya, aku kecewa karena tidak bisa membantu Bunda di saat seperti ini.
Sambil menunggu proses medis, aku hanya bisa duduk sambil berdoa. Semoga semuanya berjalan lancar, semoga Bunda bisa cepat sembuh. Disela kekhawatiranku terhadap kondisi Bunda, Ayah tiba-tiba mengajakku pergi ke taman rumah sakit—sekedar untuk menenangkan diri dan beristirahat di sana. Namun entah kenapa aku merasa Ayah memiliki sesuatu yang penting untuk dikatakan padaku dilihat dari ekspresi wajahnya.
“Yah... Ayah pasti mau ngomong sesuatu, kan?” tanyaku saat kami sudah mendudukkan diri disalah satu bangku panjang. Aku menarik napas panjang perlahan, bersiap mendengar kemungkinan Ayah akan mengatakan kejujuran—bahwa aku bukan anak kandungnya dan Bunda.
“Kamu tau kenapa sumsum tulangmu ndak cocok buat Bunda?”
Aku menatap gusar rerumputan dibawah kakiku, bingung ingin menjawab ‘tidak’ seakan berpura-pura tidak tahu atau ‘ya’ namun harus mengakui telah melakukan kesalahan karena menguping pembicaraan Ayah dan Bunda. Pada akhirnya aku memilih opsi kedua.
“Airin tau, Yah...” ucapku lalu berhenti sejenak hanya untuk melihat respon Ayah yang kini menampakkan ekspresi cemas di wajahnya, “Maaf, waktu itu Airin nguping pembicaraan Ayah Bunda.” sambungku.
Karena jawabanku yang mengejutkan itu, Ayah berkali-kali meminta maaf karena selama ini sudah merahasiakan fakta bahwa aku bukan anak kandung. Cerita panjang kisah hidupku pun Ayah jelaskan mulai dari Bunda yang tidak bisa memiliki anak dan aku yang diadopsi sejak usia 2 tahun dari panti asuhan. Juga perihal kemauan nenek, Ayah jelaskan karena sudah kukatakan aku menguping pembicaraan tentang itu.
Dari situlah aku mulai mengerti masalah yang Ayah-Bunda hadapi. Ternyata Nenek di Jogja menginginkan Ayah-Bunda berpisah karena Bunda tidak bisa menghasilkan keturunan dan di Jogja sana Nenek memiliki seorang wanita yang ingin dijodohkannya dengan Ayah.
Sebenarnya Nenek menyodorkan 2 pilihan pada Ayah, menceraikan Bunda atau melakukan poligami. Namun tentu saja Ayah tak ingin melakukan keduanya, meskipun Bunda seringkali berkata ikhlas jika Ayah melakukan hal itu. Karena masalah itu, Nenek memutuskan komunikasi dengan Ayah.
Aku tertegun mendengarnya. Bunda pasti banyak pikiran karena masalah itu, mungkin itu salah satu penyebab anemianya memburuk dengan cepat. Kasihan Bunda, ingin sekali aku memeluknya saat ini dan memberinya penyemangat.
Setelah tuntas menjelaskan semuanya, Ayah mengajakku kembali karena ia mendapat pesan bahwa proses transplantasi Bunda sudah selesai dan berjalan lancar. Alhamdulillah...
***
Beberapa waktu lalu dokter mengatakan pencangkokan sumsum tulang Bunda berhasil, tinggal menunggu apa dapat tumbuh didalam tubuhnya. Seminggu sudah berlalu, penyakit Bunda justru bertambah parah. Rambut Bunda mulai rontok akibat efek kemoterapi yang dijalaninya. Meskipun dalam kondisi seperti itu, senyum tak pernah pudar dari wajahnya, Bunda selalu kuat dan memiliki semangat tinggi berjuang melawan penyakitnya. Shalat lima waktu tak pernah sama sekali Bunda tinggalkan, meskipun ia hanya bisa melaksanakannya sambil berbaring dengan gerakan yang terbatas karena tubuhnya yang begitu lemah. Subhanallah... Bunda-lah bidadariku yang selalu memberiku teladan menjadi gadis sholehah sesungguhnya.
Sepulang sekolah aku bergegas menuju rumah sakit. Entah mengapa aku tak sabar ingin menemui Bunda. Meskipun terakhir kali aku menemuinya adalah tadi pagi sebelum pergi sekolah, rasanya kangen sekali...
Sesampainya disana, aku melihat Ayah duduk di kursi tunggu di depan ruang rawat Bunda. Tumben sekali, biasanya setiap aku datang Ayah selalu berada didalam menemani Bunda.
“Ayah kenapa diluar?” tanyaku ketika sudah menghampiri Ayah.
“Bunda...”
Kudengar suara Ayah bergetar. Ia tak mampu melanjutkan ucapannya, seperti tertahan begitu saja di kerongkongannya. Melihat Ayah begitu, naluriku berkata hal buruk sudah terjadi. Aku pun masuk ke dalam ruang rawat Bunda dengan perasaan tak karuan.
Kosong. Tak kutemui Bunda didalam sana. Air mata mulai mengalir, kakiku melemas, dan akhirnya aku terduduk di lantai ruangan.
Bunda... secepat inikah ia pergi...
Ayah datang menghampiri dan langsung memelukku yang mulai terisak hebat. Ia mengusap punggungku berusaha menenangkan, “Airin, Bunda pergi karena Allah sayang sama Bunda. Allah ndak mau Bunda sakit terus...”
Perkataan Ayah membuat tangisku semakin menjadi. Bunda... aku bahkan tidak bisa ada di sisimu di saat-saat terakhirmu. Maaf, Bunda...
“Airin harus ikhlas, ndak boleh nangis. Bunda pasti ndak suka kalo Airin begini.” ucap Ayah masih berusaha menenangkanku. Untungnya aku mulai bisa meredakan emosiku sehingga kini aku hanya sesenggukan—mencoba menghentikan tangis.
“Bunda ada titip sesuatu sama Ayah buat Airin.” Ayah menyodorkan secarik kertas dari saku kemejanya padaku.
Aku menerimanya dengan tangan bergetar. Setelah membuka lipatannya, aku mulai membaca dalam hati kata demi kata yang tergores disana.
Airin... Mungkin saat Airin baca surat ini, Bunda sudah pergi. Tapi Airin jangan sedih, tetap kuat & bahagia sama Ayah, ya. Bunda pesan sama Airin: jangan lupa shalat 5 waktu, jangan lupa rajin belajar, & sukses terus buat Airin. Semoga Airin & Ayah selalu diberi kesehatan & perlindungan oleh Allah. Aamiin...
Aku tak kuasa menahan tangis. Bunda sudah tiada. Bidadariku sudah pergi. Tak pernah kubayangkan pertemuanku tadi pagi dengan Bunda adalah pertemuan terakhir kali diantara kami.
Mulai detik ini aku akan belajar mengikhlaskan.
Selamat jalan Bunda, Airin akan selalu mencintai dan mendoakan Bunda...