-Jangan terlalu berharap, mungkin kamu dekat hanya untuk sesaat-
Langit tampak mendung tapi berbeda dengan suasana hati Ajeng begitu panas. Bahkan dia menurunkan kaca jendela mobil. Sosok di kursi kemudilah yang sudah berhasil membuat suhu pendingin tidak terasa adem melainkan seperti bara api. Karena baru kali ini Ajeng hanya berduaan bersama Aland.
Aland!
Ajeng tidak pernah membayangkan hari bahagia terwujud seperti doanya karena dia sadar diri Aland bukan tipikal yang mudah ditaklukkan. Meskipun kejadian hari ini merupakan suatu keajaiban tapi Ajeng bersyukur karena peristiwa tadi memberinya waktu untuk dekat dengan Aland. Temannya berpencar ketika teriakan sirine polisi masuk wilayah gedung tempat Aland berkelahi dengan Seno,DKK.
Aland sendiri mengambil alih mengemudi mobilnya karena Ajeng gemetaran hebat dan takut kalau Seno akan mengikutinya dari belakang karena itu lelaki yang sudah sering bolak-balik BK itu berinisiatif mengantar Ajeng pulang.
"Lo panas?"
Ajeng menoleh ketika Aland bertanya setelah beberapa menit perjalanan mereka dalam keheningan hanya terdengar suara klakson pengemudi terjebak kemacetan.
"Eng-gak," jawab Ajeng cepat.
"Muka lo merah gitu, AC masih fungsi, ’kan?" tangan Aland menekan remote untuk menambah volume. Jujur kulitnya terasa sejuk karena suhu di atas normal tapi berpikir Ajeng membutuhkan pendinginan jadi dia rela menahannya.
"Eh, en-ggak kok." Ajeng menurunkan volume, "standar aja."
Ajeng menyampingkan wajahnya berusaha tidak bersitatap dengan lensa hitam Aland. Bersyukur lelaki itu tidak menyadari kegugupan yang ditutupinya.
Entah lo nggak peka, Land apa emang pura-pura nggak tau kalau gue selain malu juga merona di dekat lo.
Kruk!
Hari ini mungkin bisa jadi sejarah baru bagi Ajeng, hari memalukan yang bakal diingatnya hingga kelulusan nanti. Bagaimana bisa lupa akan rasa lapar yang menerjang bersama seseorang yang sejak dulu Ajeng berusaha menjaga image di depannya. Ajeng menutup muka menggunakan tas, Aland mendengar jelas suara nyanyian makhluk dalam perut.
Ajeng merasakan mobil telah berhenti ketika dia mendonggak tatapannya terkunci oleh mata tajam Aland.
"Perut lo butuh suapan, turun!"
"Iya."
Ajeng menurut, membuka mobilnya. Dia mengikuti Aland masuk ke warung sederhana. Dia pikir lelaki tajir ini akan memilih tempat mewah ternyata Aland sama sekali tidak menunjukkan rasa ilfeel malah dia terlihat bersahabat dengan pemilik warung sate.
"Cewek, Land?" tanya Mang depan tungku sate menunjuk gadis yang tertunduk malu.
"Temen," jawab Aland, "dua porsi, Mang. Lo padang apa kacang?
"Eh, Sa-ma aja."
"Wah, seleranya sama. Jodoh sih, cocok."
Ajeng tersipu padahal Aland menanggapinya biasa saja. Dia sudah lebih dulu duduk di kursi paling pojok, Ajeng segera menghampiri ke meja daripada dianggap pemimpi di siang bolong hanya karena jenaka Mang sate. Ajeng memainkan ponselnya menunggu sajian dengan membalas chat dari Salsa dan Evi yang memberitahu sudah sampai ke rumah setelah diantar oleh Ganda dan Revan.
"Temen gue udah sampai."
"Syukurlah."
Ajeng kembali menekan tuts, dia tidak tahu harus memilih topik apa sebagai bahan bicara agar tidak sunyi seperti ini. Dia teringat akan balas budi yang belum ditunaikannya. Ajeng menyimpan ponsel dalam saku.
"Land, thanks udah datang dan nolongin gue."
Aland mengangguk sekilas lantas meneguk jus jeruk.
"Barang lo nggak ada yang hilang, ’kan?"
"Hah?" Ajeng sedang sibuk melihat anak kecil di meja sebelah sehingga dia tidak terlalu jelas mendengar pertanyaan Aland.
"Lo nanya apa?"
"Budeg."
Ajeng mencibir karena balasan Aland. Apalagi pelanggan mendengar suara bass Aland, orangtua bocah terkekeh karena melihat tingkah frontalnya. Mungkin mereka mengira keduanya sedang dimabuk asmara. Gaya pacaran zaman now.
"Lo tadi nanya barang gue? Ya, enggak ada yang hilang kok." Cuma rahasia gue terbongkar.
"Baguslah. Lo kenapa nggak bilang sama gue kalau Seno suruh lo ke gudang? Lo nggak pikir apa lo bakal diapa-apain gitu?"
Karena gue tau gue bukan siapa-siapa lo, Land.
"Lain kali lo nggak usah ikut campur kalau gue sama Seno berantem. Jadi, Seno nggak bakal gangguin lo, ngerti?"
"Iya."
Ajeng memainkan jemarinya, dia mengaku salah karena Seno bersikap seperti itu juga atas tingkah lakunya sendiri sok pahlawan melerai perdebatan antara Seno dan Aland. Mang menyajikan dua porsi sate lengkap dengan lontong. Ajeng tidak bisa menahan untuk segera melahapnya karena sedari tadi aroma bumbu padang sudah menusuk penciumannya. Aland sendiri sudah terlebih dulu menikmati sate ayam tersebut.
Ajeng, lo nggak bisa elegan sedikit apa makan depan Aland?
Jarum jam telah menunjukkan angka tiga, mereka masih terjebak kemacetan di jalan. Gerimis mulai turun menutupi sebagian pemandangan kaca depan.
"Land, makasih ya buat satenya udah mau bayarin. Gue lupa narik uang di atm soalnya udah abis ketutup ...." Ajeng tidak melanjutkan kalimatnya.
"Land, udah lampu hijau," tegur Ajeng mengalihkan perhatian semoga Aland tidak menuntutnya atas kalimat gantung tadi.
Aland memasuki halaman rumah Ajeng, sebagaimana interuksi pemilik rumah dia menyimpan mobil ke dalam garansi karena hujan turun membasahi bumi. Ajeng juga mengajak Aland untuk singgah terlebih dulu karena tidak memungkinkan untuk pulang akan kebasahan lebih baik menunggu jemputan Artha di dalam.
"Sepertinya nggak ada orang di rumah. Mama masih kerja di rumah sakit, papa kayaknya juga kerja. Ayo, Land, masuk!" ajaknya membuka pintu. Aland melangkah di samping Ajeng, interior ruang tamu begitu rapi dan mewah dilengkapi barang impor juga susunan bingkai foto di dinding.
Ajeng masih merasa hari ini seperti dalam mimpi. Aland mengantarnya pulang, makan bersama dan sekarang dia berdua di rumah. Kesempatan yang tidak boleh disia-siakan karena esok hari mungkin detik terlewati tidak akan bisa terulang lagi.
Ajeng waras, Ajeng!
"Duduk dulu, Land, gue simpan tas di kamar. Lo mau ganti baju, gue punya kaos lelaki kok itu punya kakak sepupu."
"Enggak usah," tolak Aland duduk di sofa single. Dia mengamati sebuah foto keluarga di atas nakas.
Ajeng menaiki tangga cekatan menuju kamarnya. Memilih mengganti baju apa saja secara cepat agar tidak terlalu lama membuat tamu menunggu. Hanya lima menit dia kembali ke lantai dasar. Perhatian Aland masih tertuju pada foto berukuran sedang di atas nakas belum sadar akan kehadiran Ajeng.
"Foto tahun lalu saat gue kumpul bareng sepupu dan keponakan," ungkap Ajeng mengenai gambar tujuh saudara di depan halaman rumah.
Aland tidak mengatakan apa pun meski ada sedikit rasa penasarannya untuk gadis di barisan pertama atau sebelah kiri yang memegangi gitar. Dia merasa pernah melihat perempuan tersebut. Dan satu lagi keheranan Aland terhadap gambar tersebut pada wajah Ajeng yang tidak memiliki kemiripan dengan ke enam saudara lainnya. Tapi dia tidak berniat menanyakan karena bukan urusannya mengomentari kehidupan Ajeng. Seperti Aland dan Dylan meski lahir dalam jam sama tapi mereka bukan kembaran identik sehingga wajah keduanya tidai tercetak sama seratus persen, bahkan hanya dua puluh persen saja kesamaan pada hidung mancung. Apalagi dengan Ajeng yang jelas beda orangtua meski masih satu garis keturunan.
Ajeng masuk ke dapur untuk membuat secangkir teh hangat. Saat dia kembali ke ruang tamu Ajeng mendengar suara motor di halaman depan karena hujan sudah reda.
"Sepertinya Artha yang datang." Ajeng beringsut membuka pintu dan benar saja sosok Artha turun dari motor sedang melepaskan helm di kepalanya.
"Gue cabut," pamit Aland berdiri samping Ajeng sedikit mengejutkan gadis itu.
"Iya, makasih ya. Hati-hati." Ajeng membalas sapaan Artha. Dia menunggu setia di teras hingga dua lelaki itu menghilang dari pandangannya.
Senja, rona dalam cangkir belum hilang retak telah menelan.
"Gue persis kayak striker yang berselebrasi karena goal offside, Land. Hari ini lo bicara banyak buat gue, Land tapi sepertinya gue nggak bisa egois berharap esok terulang lagi. Kedekatan kita hanya sesaat seperti jingga pamit pada senja karena keberadaan bintang menggantikan posisinya.
Ajeng bersenandung senang memasuki rumah Naura yang tampak sepi. Dari tadi dia ingin menghubungi Naura tapi diurungkannya karena gadis hobi masak itu akan bersikap berlebihan kalau tahu Aland ke rumahnya. Dia menyapa bibi dan menanyakan keberadaan orang rumah.
"Tante sama om di luar, Naura di kamar sama dek Orlin."
Orlin Hermasyah, bocah imut dan tampan adalah tetangga baru mereka yang menetap di rumah seberang. Usianya masih lima tahun tapi Orlin begitu pintar bicara. Pertama kali berkenalan saja sudah membuat mereka terpana dengan leluconnya. Setiap sore dia akan ke rumah Naura maupun Ajeng untuk menemaninya bermain. Keduanya terpaksa tidak bisa menolak, mengingat Orlin merupakan anak dari guru yang mengajar di kelas mereka.
Ajeng membuka pintu pelan setelah beberapa ketukan tidak ada sahutan. Naura memeluk punggung Orlin. Keduanya terlelap di atas kasur dengan musik bollywood menggema di kamar. Ajeng tahu betul ketakutan Naura akan suara halilintar.
Ajeng mendekat ke ranjang dan menutupi tubuh manusia yang telah terbuai ke dalam mimpi dengan selimut tebal lalu mematikan MP3 karena hujan telah reda. Dia kembali ke rumahnya karena tidak ingin mengganggu Naura, tidak lupa melarang bibi memberitahu pesoal Aland datang ke rumah.
Sampai di kamarnya dia menyibukkan diri merangkai kata-kata karena hanya dengan kegiatan itulah membuat Ajeng bisa menahan diri untuk stalker linimasa sosmed Aland.
***
Pagi ini kulihat embun mengumpul bersama, bisikannya terdengar lirih dari pagi kemarin. Aku menguping samar-samar mendengar percakapan melalui ranting. Katanya tadi pagi ada daun yang jatuh di rumput bening. Memang benar, warnanya kuning.
Aku meninggalkan obrolan yang tak penting. Melanjutkan langkahku dalam hening. Mengingat tentang sisa kenangan kemarin. Ialah antara aku kau yang sempat melalui fase flying. Aku tertawa sambil mengumam sedikit nyaring. Adalah itu nyata atau hanya mimpi yang belum kering.
Karena kau berbeda dari beberapa lelaki yang mengetuk jendelaku dengan suara nyaring. Bahkan bunyi jejakmu tak kudengar dari samping. Sesaat kau berada di dekatku dengan senyum menyinyir. Lalu beberapa detik kemudian kau membisu menganggapku hanyalah kicauan angin.
Kau memang berbeda, senyummu yang mengembang berhasil mencipta gelombang di hati berdesir. Alirannya merambat hingga rongga-rongga perasaan begitu lancar mengalir. Tidak kutemukan celah untuk menepis semua bisikan miring. Namun, nyatanya kaulah jua yang membuatku memilih minggir.
Dari sini, kutatap kauerat dengan kata yang kuukir. Bahwa kau tidak mungkin mengiraku adalah sosok di hatimu yang kau lampir; aku hanya angin sembilir.
-Tosca-
nice story author :)
Comment on chapter 1