Read More >>"> Selfless Love (5) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Selfless Love
MENU
About Us  

BAB 5

«Ego yang Luruh»

***

-Egoku luruh ketika melihatmu terluka. Seberapa banyak kau menyakitiku nyatanya hati ini selalu kembali untuk mencemaskanmu dan berharap kau baik baik saja. Ada atau tanpa adanya aku.- 

Bilang tidak, ya? Bilang tidak, ya?

Ajeng segera berbalik arah ketika siswa IPS nongkrong di koridor kantin sedang bersenandung. Niatnya untuk mengisi perut tertunda lagi, dia hendak menaiki tangga tapi telinganya mendengar suara pukulan dalam ruangan di sebelah kiri bawah tangga dengan pintu sedikit terbuka. Entah dorongan apa membuatnya mendekatkan diri untuk mengecek apa yang sedang terjadi.

"Ckck, lo semakin jago aja, nggak heran anak sama bokap sama-sama kuat," cibir lelaki yang menyeka darah di ujung bibir.

"Kalau gue bales lo terus lo masuk penjara pasti lo nggak takut. Toh, bokap lo bisa suap polisi, ’kan?"

Dak!

Ajeng menutup mulut ketika Aland melepaskan bertubi-tubi pukulan pada wajah lelaki yang memunggungi Ajeng. Haruskah dia menghentikan mereka atau melaporkan pada guru? Tatapan tajam mendadak dari Aland menemukan dirinya. Ajeng berniat pergi saja karena dia tidak suka mencampuri urusan orang lain apalagi bersangkutan dengan Aland, lelaki yang sudah membuat harinya terasa buruk.

"Awas!" jerit Ajeng tapi terlambat saat pukulan lawan telah mengenai pelipis Aland meninggalkan noda merah yang mengalir ke sisi wajah kiri Aland. Baku pukul pun terjadi, Ajeng masuk ke dalam berusaha mencari kontak lampu dan tidak lupa menutup pintu takut jika ada guru yang melihat dan bisa saja mereka dihukum.

"Tolong hentikan!" teriak Ajeng seraya melerai dengan cara mendorong keduanya tapi tetap saja kekuatan dia kalah.

Ajeng menarik Aland menjauhi Seno, kakak kelas yang diketahui Ajeng sangat berbahaya karena sering keluar masuk klub ditambah riwayat saudara Seno dikenal dengan preman sekolah di masa mereka dulu. Seno menyeringai sambil melangkah mundur.

"Urusan kita belum selesai, Land. Ada cewek sih gue nggak tega bikin lo berdarah."

Ajeng menahan Aland untuk membalas perkataan Seno, membiarkan lelaki itu keluar dari ruangan. Tinggallah keduanya tanpa ada yang bersuara. Ajeng baru sadar dia telah melakukan hal luar biasa seharusnya opsi melaporkan pada guru yang berwewenang lebih tepat agar Ajeng tidak terseret dalam masalah.

"Lo tunggu di sini!" putus Ajeng keluar menuju LKS untuk mengambil kotak luka dan mengobati Aland. Aland tidak sempat berkomentar karena punggung Ajeng secepat kilat lenyap dari pintu.

Menunggu?

Aland bukan penyabar dan tidak pernah menunggu seumur hidupnya. Tapi tiga menit berlalu lelaki itu masih betah dalam ruangan, menarik kursi lantas duduk di atasnya seraya menatap pintu cokelat.

Gue nunggu cewek itu?

Drtt!

Sosok Ajeng masuk buru-buru lalu mengunci pintu, berjalan mendekati Aland sambil menenteng kotak P3K.

"Sekarang lo merem, gue bersihin dulu luka lo," kata Ajeng membuka kotak dan mengambil antiseptik, dia tidak berani mendonggak karena mata mereka akan saling bersitatap yang akan menaikkan tempo jantung Ajeng.

"Gue bisa sendiri," ucap Aland mengambil kapas dari tangan Ajeng. Ajeng mengangguk pelan kemudian berdiri dari kursi mengambil jarak.

"Biar gue pegang." Ajeng membantu Aland berkaca agar memudahkannya mengolesi obat pada pelipis. Ponsel Ajeng berdering panggilan masuk dari Naura, dia meminta izin untuk mengangkat.

"Gue angkat dulu, ya!’’

"Angkat aja, bukan babu, ’kan harus nanya sama majikan.’’

"Hah?’’ Mata Ajeng melotot tajam.

"Udah angkat aja daripada kehujanan tuh jemuran lo.’’

Ajeng mungkin bisa saja tertawa setelah mengumel kesal tapi dia mengingat Naura yang pasti cemas menunggunya mengangkat panggilan karena itu dia memutuskan untuk menjauh sedikit dari Aland.

"Lo di mana? Gue di parkir nih tas udah gue ambil kita udah bisa pulang."

"Ra, cepetan lo jadi ’kan nemenin gue ke toko kaset?"

"Ra, lo pulang bareng Putri aja nggak apa-apa, ’kan? Tas gue lo titip aja sama satpam nanti gue ambil."

"Oke deh, tapi lo nggak apa-apa, ’kan? Nanti gue nggak mau di sleding sama mama Bela gara-gara lo nggak pulang."

"Iya, gue nggak apa-apa. Oke, hati-hati kalian. Gue tutup." Aland memperhatikan Ajeng sesaat, buru-buru dia memalingkan wajahnya ketika gadis itu berbalik dan kembali menghampirinya.

"Udah bisa pulang, biar gue yang simpan."

"Gue aja," tolak Aland menarik kotak dari tangan Ajeng. "Lo nggak usah baik sama gue yang udah jahatin lo." Ajeng terdiam karena perkataan Aland. Keduanya sama-sama berhenti di depan pintu.

"Kita setimpal. Gue juga udah jahat sama lo. Ya, gue minta maaf soal omongan gue tentang bokap lo," sesal Ajeng menunduk karena biar bagaimanapun emosinya dia tidak boleh menyakiti orang lain dengan mencaci orangtua mereka karena kesalahan anak tidak sepenuhnya harus dikaitkan dengan orangtua.

Hening. Ajeng menggingit bibirnya, dia lebih suka Aland marah ataupun membentaknya daripada terdiam seperti ini karena kupu-kupu terbang dalam hati Ajeng bertambah banyak.

Kruk ... kruk ...

Ajeng berdiri membelakangi Aland sambil menekan perutnya yang mengeluarkan suara bel minta diisi. Dia tidak bisa menggambarkan betapa malu sekarang ini berharap Aland tuli.

Krek.

Aland membuka pintu dan menyuruhnya segera keluar karena dalam lima detik kemudian pintu akan terkunci otomatis.

"Lo nggak mau mati kelaparan di dalam, ’kan?" Ajeng menggeleng dengan mata sayu menggemaskan, Aland mengulum senyum kecil.

"Timur ke Barat, Selatan ke Utara tak juga aku temukan. Oh Tuhan, di manakah Alaand!" suara bariton Ganda dari arah berbeda menghentikan langkah Ajeng yang spontans bersembunyi di belakang punggung Aland.

"Bapak bapak ibu ibu yang punya anak jodohkan dia dengan Aland yang bujangan padahal orangnya tampan nan menawan." Ganda semakin mendekat bersama Artha dan Revan.

Ajeng memikirkan solusi untuk kabur tapi terlambat ketika Artha berderham diikuti siulan Ganda dengan nyanyian menyebalkannya bercita-cita jadi vokalis WALI.

"Ada gajah di balik batu, batunya hilang gajahnya datang. Ada Ajeng di balik Aland, aku cemburu oh ...."

Ajeng menyapa mereka setengah kikuk lantas segera pamit dengan langkah lebar berharap segera menghilang dari sana. Dia masih sempat mendengar Revan dan Ganda mencandai Aland yang berduaan dengannya. Parkiran tampak lenggang hanya ada motor geng Aland dan mobilnya. Dia bergegas ke tempat satpam untuk mengambil tas titipan tapi pernyataan dari penjaga membuatnya harus menebak siapa gerangan lelaki yang mengaku kekasih Ajeng telah mengambil tas grey.

"Maaf, Neng, salah Bapak soalnya Bapak pikir dia emang pacar Eneng abis ada foto kalian berdua."

"Aduh, Pak, sekarang potoshop banyak. Eh, cirinya gimana, Pak?"

"Ini, Neng, dia ninggalin nomor HP."

Ajeng berjalan cepat masuk ke dalam mobil untuk menghubungi pemilik nomor tertera di kertas kecil. Dia sengaja menghindari Aland yang hampir mencapai parkir, biarlah dia menyelesaikan sendiri masalah baru ini. Ajeng melajukan mobil keluar dari perkarangan sekolah setelah mengetahui sosok tanpa kerjaan, tak lain ialah Seno yang menyuruhnya mengambil sendiri tas di alamat yang disebutkan tadi.

Evi: Ajeng lo kok buru-buru bawa mobilnya, tadi gue sama Salsa klaksonin lo pas di lampu merah, lo ada masalah?

Evi: kmi kehilngan jejak lo, lo ke mana?

Evi: please, Jeng bls lo bkin gue sama Salsa ketakutan. Putri sama Naura ke toko VCD mau borong bollywood, lo nggak langsung plg ke rumh. Sebenarnya lo ke mana?

Ajeng hanya membaca pesan tersebut tanpa berniat membalasnya, dia turun dari mobil ketika sampai ke gedung tak terpakai. Sekejap ras was-was menyelimuti Ajeng menapaki lantai kotor dengan tembok bercat pudar.

Seno dan kelima temannya berdiri depan motor sport masing-masing, memandang lurus pada Ajeng yang beringsut ngeri mengawasi keliling.

"Gue di sini!" seru Seno mengayunkan tas milik Ajeng. Ajeng semakin syok ketika tiba-tiba Seno mengeluarkan catatan kecil miliknya yang berisikan tulisan tentang Aland. Bahkan Naura yang sudah sejak lama berteman dengannya pun tidak tahu kalau Ajeng punya bakat mengarang. Buku sedang tidak pernah alpa dalam tas tengah diselipkan di antara kamus bahasa Inggris karena hanya itu tempat teraman yang tidak dijamah oleh sahabatnya.

"Balikin!" Ajeng berusaha merebut barangnya tapi Seno tidak akan memberinya begitu saja. Dia melemparnya ke teman secara bergantian membuat gadis itu harus capek berlari ke sana-sini.

"Gimana kalau gue sebarin ke anak biar mereka tau menteri keuangan diam-diam suka sama most wanted makanya kalau dia nggak kasih uang bulanan nggak apa-apa." Ajeng menghiraukan ancaman Seno terus berupaya mengambil bukunya.

Posisi Ajeng benar-benar terjepit berada dalam lingkaran. Teman Seno menertawakan upayanya melawan mereka.

"Nyokap lo ngasih nama Seno setidaknya lo sedikit ketular sifat Kak Seno tapi kok berbalik total. Lo nggak malu apa nyandang nama Seno?"

Bom. Perkataan Ajeng bukan hanya menghentikan kegiatan tawa para lelaki dayang tetapi juga berhasil membisukan Seno. Lelaki jangkung itu menatapnya datar tapi sedetik kemudian ujung bibir tertarik ke atas.

"Coba kita lihat lo bakal bisa ngomong lagi nggak, ya?"

Seno melangkah seiring Ajeng mundur tapi dia sadar akan posisi terjepit oleh teman Seno yang menjadi pagar. Seno semakin menepis jarak di antara keduanya sambil mencondongkan wajahnya bermaksud untuk mencium. Ajeng sudah berancang untuk memukul Seno tapi dia begitu tanggap menyuruh dua temannya memegangi tangan Ajeng.

"Gue mau ngerasain gimana bibir manis lo ini, apa semanis kata-kata lo," ucap Seno menakuti Ajeng.

Di pikiran Ajeng hanya satu yaitu menendang titik lemah Seno dengan lututnya namun Ajeng tidak perlu mengeluarkan tenaganya karena Seno telah ditarik oleh seseorang yang mendadak berada di sana sebagai penyelamatnya dari belakang dan Ajeng melihat dengan jelas bagaimana mata Aland menyala emosi ingin menghabisi Seno sekarang juga. Aland melepaskan bertubi pukulan tidak peduli dengan teman Seno yang mencoba melindungi bos mereka dan memukul Aland dari belakang karena teman Aland juga tidak tinggal diam.

Ajeng berhasil terlepas dari pegangan lawan dan berlari ke arah Salsa dan Evi yang baru saja datang setelah berlari kencang dari tempat memakirkan motor mereka. Keduanya tidak bisa menyusul Artha yang terlebih dulu masuk bersama Aland, Revan juga Ganda.

"Aland! Artha! Ganda! Revan! Cabut! Polisi!"

***

Cukup banyak sebab akibat dari setiap pertemuan. Dari menepi hujan di balik persimpangan hingga membelok tajam pada gang sempit tanpa orang. Alamat sudah tersesat hendak ke mana berteriak ketika arah angin selalu marah bila suaranya semakin rendah.

Tergugu kita pada waktu yang semakin menua, senja merah yang kian menghitam--malam yang meninggalkan sejuta kenangan harapan anyaman pagi hingga siang.

Kita yang penuh menerka-nerka, bahwa ada hati yang harus dijaga, lupa tentang sebuah nama yang sudah disandingkan dekat kita. Ialah dia pilihan sang Maha pejagat raya. Yang tidak pernah mengingkari janji meski satu kata. Bukan seperti daun luruh tertimpa kabut petang, berisi sajak sajak yang terbuang.

Tertinggal alasan yang tidak pernah kita baca dengan mata terbuka. Pada hamparan rumput padang, mengajarkan arti kesabaran bila terik menghujani tubuh telanjang. Tidak ada pesakitan lebih merajam dibanding mencabik jati diri dengan melumuri topeng-topeng bermuka dua tanpa sadar.

Alasannya sederhana, kita yang membuatnya rumit seperti rumus fisika. Seperti malam ini, kutempuh waktu panjang dalam menghela napas pelepasan. Adakah yang lebih melegakan selain berserah pada Dia yang Maha mengendalikan perasaan?

-Tosca-

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
Similar Tags