BAB 4
«Bu(da)kan Cinta»
***
-Kata maaf bukan sebatas permainan, tinggal kamu mulai dari awal jika cara mainmu kurang memuaskan. Ini hati bukan mesin tanpa perasaan. Mengerti?-
Tempat paling sunyi di sekolah ialah perpustakaan. Ajeng meminta pengertian pada sahabatnya agar tidak mengikutinya karena dia butuh ketenangan dan menyendiri. Beruntung, guru sedang berhalangan jadi tidak masalah jika dia tidak berada di kelas. Terlebih lagi hanya diberi tugas essai, Ajeng akan mengerjakaannya nanti saja.
Di sudut dekat jendela, Ajeng membaca novel yang dia ambil secara acak pada rak fiksi. Caranya mengusir kesedihan dengan menyelami kisah remaja berjudul Dear Heart, Why Him? Tapi sudah lima belas menit berlalu, Ajeng tak kunjung menamatkan bab satu. Perasaannya sekarang benar-benar kacau.
Benci dan cinta itu setepis benang.
Benar. Ajeng pun sedang membuktikannya sendiri. Perasaan terpendam selama setahun itu hilang seketika untuk Aland karena ketidaksopanan lelaki itu memperlakukan gadis. Jika dulu dia hanya mendengar dari gosip tentang bagaimana buruknya sifat Aland, Ajeng mencoba mengerti mungkin saja lelaki itu masih meraba-raba dalam menemukan jati diri. Namun, Aland sudah kelewat batas. Seburuk-buruknya sifat seseorang, setidaknya dia tidak menyamakan manusia seperti binatang, bukan?
Ajeng memang menyukai Aland tapi dia tidak sebegitu bodohnya hingga bisa diperbudak oleh sebuah rasa semu. Ketika cinta membutakan realita, menjadikan pecinta menjadi selemah-lemahnya hati, Ajeng ingin berbeda. Mencintai sebatas wajarnya saja.
Tapi apakah Ajeng yakin dia sudah melepaskan perasaan itu?
Tidak mudah menghilangkan rasa yang mampu membuat degup jantungnya tidak beraturan ketika menatap manik mata Aland saja. Ajeng sadar itu, bahkan ketika dia telah banyak mengalami pengabaian, Aland yang tidak pernah peka dengan kebisuannya namun Ajeng masih bertahan dengan rasa rahasia itu.
Suara gemuruh di lapangan menyita perhatian Ajeng. Dia menyibak sedikit renda jendela sumber kerusuhan para gadis ditimbulkan oleh Aland dan Artha yang tengah menjalani hukuman mengelilingi lapangan. Jika dulu Ajeng menjadi bagian dari tim hore-hore menyemangati Aland meski dari jarak yang tidak terlihat tapi sekarang moodnya begitu hancur. Ajeng keluar dari perpus dengan memakaikan earphone berjalan ke arah gedung belakang menepi dari kebisingan.
Resiko mencintai adalah ketika cinta tidak terbalaskan.
Ajeng menutup keras buku tidak kuat menyelesaikan paragraf selanjutnya. Ketika hati terluka ditambah bacaan sad story Ajeng tidak bisa menahan airmatanya menetes didukung oleh musik sendu di telinganya. Ajeng membuka buku kecil yang selalu dimasukkannya dalam saku rok bersama pena. Dia suka merangkai kata-kata di saat sendiri. Selama ini sajaknya selalu tentang lelaki senja bernama Aland.
"Ajeng, kok lo lemah sih. Udah, Jeng!" Ajeng menepuk dadanya keras tapi isakannya semakin kencang. Dua menit berlangsung Ajeng menangis, buru-buru dia mengusap airmata takut jika ada orang yang melihatnya.
Langit kelabu memayungi Ajeng. "Bahkan setelah mendung belum tentu hujan, ’kan? Kalaupun hujan akan ada pelangi yang indah, right?"
"That right, darling!"
Ajeng mengusap dadanya terkejut ketika tiba-tiba di hadapan dia muncul Rainbow.
"We are the real rainbow."
Ajeng menarik mereka duduk berdampingan beralaskan rumput hijau. Bersama mereka tawanya kembali mekar.
"Nih, tempe goreng ada, pisang goreng ada, nuget goreng dan sosis goreng. Ayo, serbu!" komando Putri mencomot gorengan makanan ringan nan pedas yang selalu menjadi menu di jam istirahat kelimanya.
"Yang penting happy!" seru Salsa.
"Rasanya maknyus, perut nendang-nendang. Yang penting kenyang!" timpal Naura menyuapi Ajeng.
"Ayo, pose, satu ... dua ... tiga, jebret!" Evi berhasil mengambil gambar konyol sahabatnya yang akan diabadikan dalam galeri bersama.
"Ayo, tinggal gorengan terakhir, siapakah yang akan jadi pemenang. Tiga ... dua ... sa—’’ Belum selesai Salsa menghitung mundur tangan Ajeng sudah terlebih dulu mengambil tempe terakhir lantas segera melahapnya.
"Ahh, Ajeng curang."
"Biarin perutnya lapar banget tuh."
"Haha, Ajeng lahap banget ya kalau Aland yang beliin, opps." Naura menutup mulutnya keceplosan sehingga menghentikan Ajeng menguyah tempe tapi terpaksa dia menelannya langsung karena membuang makanan sangat dilarang dalam agama.
Putri menyodorkan mineral untuk Ajeng seraya menyubit Naura karena kesilapan dalam berkata, seharusnya Ajeng tidak perlu tahu kalau gorengan tersebut dibeli oleh Aland sebagai tebusan permintaan maaf karena larangan lelaki itu sendiri tadi ketika menyerahkannya kepada Putri.
"I-tu, Ajeng, dia minta maaf udah salah manggil nama lo," beber Evi.
"Iya, dia nggak sengaja manggil lo dengan nama bi—’’
Putri kembali menyubit Naura agar tidak meneruskan kalimatnya. Salsa mengambil alih menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
"Jadi gue udah makan ini dan secara nggak langsung udah nerima permintaan maaf dia? Ah, gue disuap?" seringaian Ajeng membuat keempatnya tidak enak dan merasa bersalah karena seharusnya mereka memberitahu Ajeng tapi satu sisi juga tidak bisa menolak larangan Aland.
Ajeng menepuk roknya sambil berdiri kemudian meninggalkan mereka tanpa memberitahu ke mana dia pergi.
"Ayo, girls kita ikutin dia!" ajak Evi duluan mengejar Ajeng diikuti oleh Putri dan Naura yang ditarik oleh Salsa.
"Kenapa sih gue selalu nggak bisa ngunciin mulut ini, pas lagi butuh aja lemotnya ngalahin sinyal rimba," sesal Naura mengutuk dirinya dalam hati.
Ajeng masuk kelas dengan gahar tatapannya tertuju pada lelaki di bangku sudut yang tengah mengipasi diri seraya menyeka keringat, duduk begitu santai di samping jendela. Teman sekelas terheran-heran ketika gadis itu berdiri samping meja Aland, pertanyaan Artha pun diacuhkan. Terlambat bagi Putri, dkk menghentikan perdebatan antara Aland dan Ajeng ketika bendahara mengeplak meja sambil menaruh uang ratusan.
"Nih uang ganti pembelian gorengan sebagai suap maaf lo. Daripada lo buang-buang duit buat muasin perut gue lebih baik lo tutupin tuh lobang di buku kas. Gue bukan hakim yang bisa disuap seperti yang dilakukan bo—’’ Ajeng menggantungkan mulutnya ketika menyadari kalau dia sudah keterlaluan tapi ucapan tidak bisa ditarik kembali. Risiko emosi meledup.
Aland tertawa sinis seraya mendorong kursi dengan kaki kiri ke belakang sehingga dia bisa menyimbangi tinggi Ajeng berdiri saling berhadapan.
"Kenapa lo nggak lanjutin? Maksud lo bokap gue suap hakim?" Aland menepis jarak dengan Ajeng, mengenggam lengannya sangat kuat.
Tuhan, aku selalu berdoa agar Engkau mengizinkanku berbicara dengannya tapi kenapa selalu dengan cara berdebat. Aku lelah, Tuhan.
Ajeng tak membalas, dia mencoba melepaskan pegangan Aland tapi lelaki itu semakin mengencangkannya.
"Land, udah lo bikin sahabat gue sakit," tegur Putri mencoba memisahkan keduanya dibantu oleh Salsa dan Artha. Beruntung, kedatangan guru terakhir mencegah terjadinya pertarungan ke tahap selanjutnya.
Ajeng terpaksa duduk di barisan lain agar memberi penghalang bagi keduanya berdekatan saling melempar tanda perang. Begitu juga dengan Aland menahan emosinya meletup agar tidak melakukan kesalahan berulang.
Dak!
Keadaan hening mendengar penjelasan guru di depan terganggu oleh debrakan meja yang dilakukan oleh Aland tanpa sadar. Semua terkejut mendengar suara cukup keras dari gumpalan tangannya, kecuali Ajeng yang menatap ke arahnya datar.
"Kenapa kamu Aland? Nggak suka pelajaran Ibu? Silakan keluar saja!"
"Land, minta maaf," saran Artha tapi Aland lebih memilih opsi yang diajukan guru tersebut sehingga dengan kemauan sendiri dia keluar kelas tanpa keberatan dengan catatan merah.
Pelajaran Fisika di siang hari memang butuh ketenangan dan konsentrasi yang cukup tetapi Ajeng sama sekali tidak bisa fokus pada apa yang dia dengar sehingga Ajeng menyibukkan dirinya membaca novel. Toh, dia sudah menyalin catatan di papan tulis. Namun, hari ini cukup naas bagi Ajeng, lengkap sudah penderitaannya ketika guru killer berdiri di samping meja Ajeng, berhasil menarik buku dari hadapannya yang dia tutupi dengan buku paket.
"Baca novel lagi pelajaran Fisika, sudah selusin novel kamu Ibu sita, mulai dari Dylan series, Dear Nathan dan sekarang Darka? Milih cowok itu yang baik agamanya biar bisa jadi imam buat keluarga nanti setelah nikah bukan cita-citanya pengen pacaran sama badboy. Sekolah aja malas apalagi mau bekerja nanti buat nafkahin keluarga."
"Bu, Ajeng baru buka kok," bela Naura tapi guru yang juga memiliki hubungan kerabat dengan Aland tidak mau mendengar alibi, sekelas Aland saja berani dikeluarkan apalagi Ajeng.
"Lagian Bu, Dylan, Nathan ama Darka udah tajir dari bayi juga jadi nggak perlu takut nanti sudah nikah, hartanya banyak bisa buat nafkahin tujuh turunan malah,’’ sambung Naura berapi tidak peka akan perubahan ekspresi dari sang guru. Suasana senyap berubah bising ketika ucapan Naura yang polos seperti bayi baru bisa bicara itu mengundang tawa seluruh kelas.
"Keluar sekarang!" Guru menunjuk arah pintu tanpa ampun lagi.
Naura masih berusaha menahan Ajeng untuk meninggalkan kelas tapi gadis yang selalu berbagi bahan make up dengannya itu begitu santai melenggang keluar. Sepertinya hari ini real dream yang begitu aneh dan bersejarah.
"Kamu juga!’’ emosi guru terhadap Naura. Naura bergeming tidak mengerti atas kesalahan apa yang diperbuatnya sehingga dia juga harus dihukum.
"Kamu yang keluar atau saya yang keluar?!’’
"Ibu saja, bentar lagi abis jam,’’ seloroh Putri tak gentar.
"Kenapa kalian ikut-ikutan? Mau dikeluarin juga?’’
"Ibu, harus adil dan konsisten dong. Tadi Ibu nanya siapa yang mau keluar, Naura atau Ibu?’’ timpal Salsa ikut andil.
"Saya bertanya pada Naura bukan Putri apalagi kamu! Kamu mau saya bilangin sama guru olahraga agar izin ikut ke perlombaan kamu dibatalkan?’’
"Ibu tambah nggak adil!’’ timpal Evi.
Guru mempersilakan ke empatnya keluar menyusul Ajeng tapi tanpa rasa beban apalagi terpaksa mereka bangkit keluar. Ini bukan kali pertama aksi tersebut. Di saat satu sahabat sedang kesusahan maka yang lainnya juga ikut merasakan dan persahabatan erat itu telah menimbulkan rasa empati dan kebersamaan dalam menghadapi setiap masalah.
***
Jujur, sebelumnya aku tidak pernah membayangkan sejauh ini berjalan. Sedari awal melangkah yang kuharapkan hanyalah sampai tujuan. Terus mengayun jejak-jejak yang kini tinggal bayangan. Sambil menerka-nerka akankah mencapai pada satu impian?
Kulihat lagi ke belakang untuk mengingat sejauh apa jarak yang membentang. Adakah sisi barat kutinggalkan senyum tanpa alasan atau sisi timur kutinggalkan luka penuh sayatan?
Lagi, semakin kupaksakan sebuah cerita tidak seindah impian. Ialah aku melakoni sebuah peran. Bila pun ada orang lain, ialah kau dan dia insan yang saling bertautan. Dan di antara tempatku berdiam, tidak lain ialah jarak yang memberi batasan.
Pernahkah kau berpikir bahwa rintik hujan petang itu merupakan rindu yang berjatuhan. Sajak-sajak kemarau dari kata terpendam. Mengetuk berandamu tanpa undangan. Namun, kuberanikan diri mengirim sebuah sapa meski tiada balasan.
Sebaik apa aku memendam, ada kalanya aku ingin menghapus semua perasaan. Kala waktu menghujamku dengan pasrah tiada mengenal kata lelah tapi terpaksa ragaku menyerah.
Seperti lelahnya senja menyadarkan punggungnya pada langit, aku bersimpuh mendekap dedoa dalam diam di wajah malam sebagai salam pamit.
-tosca-
nice story author :)
Comment on chapter 1