Read More >>"> Selfless Love (3) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Selfless Love
MENU
About Us  

BAB 3

«Gugur Sebelum Mekar»

***

-Cukup luka berat menunggumu menyadari perasaanku kenapa harus kautambah lagi dengan sayatan kata pedasmu?-

Ajeng benar-benar marah, rasanya ingin sekali memeriksa sendiri isi dompet dua siswa paling pelit di sekolah mereka. Selain selalu menunda waktu penabungan, anggota tim sepakbola sekaligus sahabat terdekat Aland itu juga sering beralasan kalau uang mereka sudah habis. Mengulur-ulur cara melunasi tunggakan sama seperti ketua mereka yang belum menyisihkan seribu rupiah pun padahal sudah minggu ketiga sejak kenaikan kelas. Alhasil seperti biasa, Ajeng sendiri yang harus menempelinya dengan uang jajan, dia harus irit makan di kantin. Uang yang disisihnya untuk membeli novel digunakan untuk menutupi kolom kosong oleh beberapa nama.

"Beneran, Ajeng. Gue baru beli buku baru tadi, lo tau ’kan anak IPS itu banyak banget keperluannya. Harus beli buku akuntan, alat hitung, de el el. Iya ’kan, Ganda?"

"Iyup. We are not lie, menteri keuangan," sahut Ganda memperkuat alibi temannya, Revan.

"Sorry, but i don’t believe you, Ganda! Minggu kemarin alasan beli penghapus, rol, tipe-x tapi kalian bisa beli majalah GADIS? Sehari cuma seribu, apa susahnya sih?" kesal Ajeng tak ingin lagi tertipu oleh pembohongan berencana itu. Andai ada UU yang mengatur tentang siswa yang sengaja melanggar aturan sekolah, tidak hanya mendapat sanksi dari pihak sekolah saja mungkin dia tidak segan melaporkan keduanya biar jera.

Ajeng tidak peduli tatapan mencerca dari siswa di kantin karena dia harus tegas terhadap tipikal Ganda dan Revan agar tidak berkelanjutan melahirkan banyak bibit-bibit pembohong nan pelit. Padahal uang kas sekolah demi kepentingan bersama.

"Ajeng, ayo makan dulu gue udah bawa pesanan lo." Naura mengajaknya untuk ke meja mereka di pojok, Putri, Salsa dan Evi juga sudah menunggu lima menit lalu, mereka semua kelaparan karena belum sarapan pagi tapi demi makan bersama rela menahannya sebelum urusan Ajeng selesai.

"Kalian duluan aja," kata Ajeng tak beranjak dari kursi dekat Ganda yang begitu santai menyantap makanannya membuat emosi Ajeng semakin memuncak. Di saat dia masih berusaha bersikap baik tapi mereka mengabaikannya. Ajeng tidak bisa membiarkan sikap naif seperti itu.

"Anjir! Tangan gue! Lo apa-apaan sih, Jeng!" Ganda bangkit meniup tangannya yang terkena kuah bakso karena Ajeng menarik mangkok paksa ketika dia sedang menikmati rasa soto khas Lamongan itu.

"Lo nggak apa-apa?" Revan mengambil air mineral dan membasahi tangan temannya supaya mencegah terjadinya pembengkakan.

Naura menarik Ajeng ke belakang menahan dua lelaki itu memarahinya bahkan ketiga sahabat Ajeng juga beranjak dari meja. Sisi kemanusiaan Ajeng memang merasa sedikit bersalah karena dia tidak berniat mencelakai siapa pun, dia hanya kesal atas sikap tidak bertanggungjawab itu. Derap langkah sepatu menggema di antara keheningan, Ajeng menyadari menjadi pusat perhatian dan sasaran ujaran kebencian yang akan diterimanya mulai detik ini.

Fans garis keras tidak akan diam meminta pertanggungjawabannya atas apa yang telah dia perbuat untuk most wanted sekolah. Tapi bukan itu yang sedang menggangunya melainkan sosok dingin dengan wajah datar berjalan santai menuju mereka.

Aland menatap lekat iris mata Ajeng yang terkunci seketika, seolah dia baru saja tertangkap berbuat kriminalisasi tingkat tinggi. Begitu mudah bagi lelaki jangkung itu berjalan melewati kerumunan dan berdiri di depan Naura tanpa melepaskan kontak matanya untuk Ajeng.

"Berapa utang mereka?" tanya Aland seraya mengambil dompetnya dalam saku.

"Land," lirih Artha berharap dia tidak memperpanjang masalah karena sama-sama tahu selama ini mereka memang langganan pencarian Ajeng di akhir minggu.

"Sekarang apa gue harus bayar lo bicara juga? Cuma karena uang lima ribu lo bikin tangan temen gue kepanasan?"

Ajeng tak pernah membayangkan kalau doa yang dipanjatkan selama ini tuhan ijabahkan dalam cara sekarang yang begitu memalukan. Dia tidak pernah bicara dengan Aland meskipun kelas mereka sama. Tiga minggu berlalu, Ajeng belum punya keberanian sekadar menyapa Aland atau meminta uang koperasi di kala istirahat. Aland sering tidak masuk kelas, Naura sedikit membantunya dengan usaha menyuruh Artha dan sekawan mengeluarkan kewajiban mereka tetapi tidak digubris oleh troublemaker itu.

Fakta bahwa Aland irit bicara memang benar tapi mungkin hari ini akan jadi pengecualiannya. Terlebih lagi, keajaiban itu terjadi di depan Ajeng, orang yang begitu lama menunggu Aland berkomunikasi dengannya.

"Lan, udah, tangan gue nggak apa-apa kok," bisik Ganda karena dia tahu bagaimana saat Aland sedang marah. Meski orang bilang Aland itu sombong, angkuh dan kurang bersosialisasi tapi nyatanya dia akan maju paling depan kalau temannya diganggu. Ganda tidak ingin Ajeng menjadi korban kemarahan Aland apalagi kesalahan ini bukan sepenuhnya menjadi milik bendahara dua periode itu.

"Land, sorry, Ajeng nggak sengaja kok,’’ ucap Naura takut kalau Aland murka dan akan menyakiti hati Ajeng. Dia cukup tahu jumlah korban bully-an dan korban Aland sejauh ini melalui rantai gosip.

"Ajeng, minta maaf," saran Putri berbisik di telinga Ajeng yang menunduk tak berani membalas setiap kata Aland. Jika dulu hatinya berdegup kencang setiap kali melihat Aland kini Ajeng merasakan seluruh tubuhnya tidak bertenaga karena Aland memandangnya dengan kebencian dan kemarahan.

"Siapa nama temen lo?"

"Hah?"

Naura terkejut ketika Aland tiba-tiba menanyakan nama Ajeng. Lelaki yang terkenal dengan tatapan tajam itu memang tidak menghafal nama siswa di sini kecuali beberapa teman dekat satu grup jadi tak heran kalau Aland tidak tahu nama Ajeng meskipun dia notabene selalu bicara di upacara Senin mengumumkan keuangan.

"A—’’

"Ajeng," potong Artha memberitahu. Aland maju satu langkah.

"Anjeng! Be—’’

Prang.

Ponsel hitam di tangan Ajeng jatuh berserak di lantai kantin ketika telinganya mendengar panggilan tak manusiawi itu untuknya dari Aland. Lelaki itu telah melukai harga diri seorang Ajeng. Semua yang mendengar jelas suara Aland tadi pun juga terkejut, mereka saling berbisik tak percaya kalau Aland berani memanggil Ajeng dengan nama hewan. Bahkan ada beberapa di antara kerumunan tertawa jenaka, menganggapnya sebuah hiburan gratis.

"Aland, lo udah keterlaluan," tegur Artha.

"Kenapa?’’

Plak!

Ajeng mendaratkan satu tamparan di pipi kiri Aland. Wajahnya memerah menahan sakit dan malu di waktu bersamaan, dia berusaha mencegah airmata keluar di keramaian. Semuanya dibuat syok oleh keberanian Ajeng bahkan Artha mendadak beku di tempat. Revan menghitung mundur untuk Aland merespon. Sedangkan Ganda memberi isyarat pada Putri dan Salsa menarik Ajeng dan membawa gadis itu segera keluar dari kantin. Naura juga ikut membisu, jika biasanya dia paling gigih membela Ajeng sekarang bibirnya serasa kelu.

"Kalau lo nggak bisa jadi manusia yang baik setidaknya lo jadi manusia yang masih punya jiwa kemanusiaan," ucap Ajeng setelah melepaskan pegangan sahabatnya yang menarik dia menjauhi Aland. Lelaki itu masih terdiam dengan mata hitam lurus ke depan.

Ajeng memungut ponselnya dengan tangan gemetar, dia tidak peduli kalau Aland akan membunuhnya karena telah berani menampar, dia hanya ingin segera pergi dan tidak akan melihat Aland lagi. Sudah cukup Ajeng mendekap luka selama ini, dia tidak tahan lagi kalau ada yang menghina nama pemberian orangtuanya apalagi dari mulut lelaki pertama yang mengenalinya akan arti cinta.

Ajeng telah berlalu dengan mudah keluar dari kantin tanpa hambatan. Evi menyenggol Naura agar ikut mengejar Ajeng, Putri dan Salsa sudah terlebih dulu menyusul.

"Gue udah salah manggil nama orang. Bego banget gue bahkan nggak sadar kalau gue salah manggil namanya." Aland tersenyum sinis lalu berbalik lantas keluar dari kantin.

"Lo nggak sengaja manggil dia sebutan itu ’kan, Land? Gue tau lidah lo kepleset tadi," ujar Ganda berjalan di samping Aland, "sebenarnya gue juga salah udah berlebihan tadi, kuahnya cuma terkena dikit di tangan gue, udah nggak panas juga kok," lanjutnya memperjelas kesalahpahaman itu.

"Iya, Land, lo ’kan meski sering malakin anak cowok karena emang merekanya brengsek, tapi lo nggak mungkin nyakitin hati cewek. Iya sih lo juga benci ama namanya cewek karena mereka itu makhluk aneh, tapi gue yakin lo nggak bermaksud seperti itu tadi, ’kan?" tambah Revan menyimpulkan.

Aland tak menyahut, dia mengeluarkan sebatang rokok lalu memantiknya bersandar di tepi pembatas. Mereka sedang berada di depan gudang, tempat ternyaman selain rooftop untuk merokok. Artha mengamati Aland mengembuskan asap ke udara, mata lelaki itu menyimpan kegelisahan dan dia bisa melihatnya dengan jelas.

"Land, alasan lo tadi cuma pengen dia bicara langsung sama lo, ’kan?" Artha menebak pertanyaannya dalam hati karena selama ini Aland selalu mengatakan hal sama setiap kali dia menyampaikan amanah Ajeng.

"Land, bendahara minta uang lima ribu. Pakai uang gue aja? Tapi gue nggak bawa uang receh."

"Nggak usah, dia aja nggak minta. Sekelas, ’kan?"

Aland menginjak putung rokok ketika suara bel berdering. Hal sama juga dilakukan oleh kedua sahabatnya.

"Kita duluan ya, guru sejarah nggak bisa free. Sayang kalau nikmat se-sexy itu dianggurin," pamit Ganda dengan Revan untuk kembali ke kelas.

"Jangan nge-fly lo, udah berkeluarga juga," peringat Artha tentang ekspetasi mereka setiap kali membicarakan perempuan muda nan cantik di kelas IPS yang menjadi guru Sejarah. Kesenangan bagi siswa lelaki mengenang masa lalu yang membosankan.

"Poligami itu disahkan, Artha. Lo nggak mau daftar, masih kosong slot satu lagi. Bye! Gue Ganda dan teman gue Revan, cabut!" pungkasnya menarik Revan agar berjalan cepat.

"Lo mau di sini atau masuk kelas?" tanya Artha pada Aland setelah memastikan dua sahabatnya tertelan jarak belokan.

"Di sini aja."

"Oke."

Artha menyodorkan permen karet sebagai pengganti rokok. Dia sangat anti dengan benda mengandung nikotin itu.

"Lebih enak dan bermanfaat."

Aland menerima dan mengunyah karet lalu mengembungkannya seperti yang biasa dilakukan Artha.

"Ini tamparan kedua yang gue terima setelah dari nyokap."

Artha melirik Aland yang menarik ujung bibirnya. Entah apa yang sedang ada di pikiran Aland sehingga lelaki itu terlihat senang dan murung di detik selanjutnya.

"Aland! Artha! Ikut bapak ke lapangan!"

***


Cukup sampai detik ini kutulis tentangmu. Bersama semua doa harapan rasa kupadamu. Telah kurelakan semua sepi rindu menepi pada relung malam sunyi tanpamu.

Cukup, uraian doa tentangmu aku tak ingin memaksa cinta di hatimu. Cerita kita telah berakhir bersama hilangnya harapanku untukmu.

Cukup aku sebagai embun mengintip mentari di balik daun pagimu.

Cukup aku sebagai angin menyapu senyummu dalam langkah siangmu.

Cukup aku sebagai senja menanti bintang dalam mimpi malammu.

Langkahmu terus berjalan, berbahagialah. Seiring usia bertambah, berbahagialah.

-tosca-

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
Similar Tags