BAB 2
«Aland dan Dylan»
***
Membaca komik series merupakan hobi Aland ketika berada di rumah. Dia tidak akan keluar kamarnya selama berjam-jam, turun sebentar ke lantai satu untuk mengambil camilan atau minuman. Kebanyakan, bibi sendiri yang mengantar. Tapi jangan bayangkan lelaki jangkung itu seorang kutubuku, sama sekali bukan seperti itu pengambarannya bahkan bisa dihitung dengan jari berapa kali dia menghirup aroma kertas LKS atau buku cetak. Jawabannya, tiga atau empat kali selama seminggu.
Di kelas dia sering membaca komik daripada buku pengetahuan. Meski dapat teguran dari guru atas akalannya menutupi komik dengan cara meletakkan LKS secara tegak sehingga tidak memperhatikan pelajaran yang sedang berlangsung, Aland tidak pernah kapok komiknya disita. Mudah baginya untuk membeli yang baru.
Tok. Tok.
Ketukan pintu mengganggu Aland melanjutkan Attack On Titan. Paling benci jika kenyamanannya diusik meskipun oleh papa. Dengan malas dia bangkit membuka pintu yang tidak pernah lupa dia kunci, baik dia sedang tidur maupun lagi santai. Aland tidak suka wilayah privasi dimasuki sembarangan. Sebagai catatan pelengkap dari kesepian yang begitu dinikmatinya, Aland belum pernah membawa satu teman pun ke rumahnya kecuali Artha, sahabat terdekat sejak SMP tapi mulai ke jenjang SMA, tepatnya setelah surat resmi perceraian kedua orangtuanya ditandatangani, Aland tidak lagi mengizinkan Artha ke rumah.
Hanya satu orang pengecualian dari ketatnya privasi Aland, yaitu untuk sang kembar. Dylan Aster Alvino Roberto, lelaki paling berisik yang Aland kenal seumur hidupnya. Tidak ada yang bisa menahan lelaki einstein itu agar tidak menerobos ke kamarnya. Selalu saja ada cara bagi Dylan, bahkan kunci cadangan pun dia punya. Adik biologisnya itu akan datang seminggu dua kali ke rumah bukan untuk menginap melainkan hanya untuk mengganggunya. Sepanjang malam dia akan membuat Aland berlatih kesabaran, tidak akan pulang sebelum mereka bermain PES.
"Suprise!" Aland terlonjak kaget ketika mendapati Dylan di luar kamarnya berdiri dengan wajah sangat jaim. Lelaki itu masuk ke dalam dengan membungkukkan badannya karena sebelah tangan Aland di pintu menghalanginya.
"Kaget, ya, aku datang sore ini?" Dylan berjalan dekat jendela, menarik tirai sehingga kemilau jingga menerobos masuk secara leluasa dan tak lagi pengap oleh kegelapan.
Aland tidak menyahut, kedua tangannya diletakkan depan dada bersandar pada pintu yang tertutup. Matanya mengamati gerak-gerik Dylan di depan jendela. Rambut cokelat adiknya itu tampak pias karena terkena cahaya jingga.
"Papa nggak ada di rumah kata bibi baru aja keluar makanya aku mampir ke sini," beber Dylan duduk di sofa putih masih membelakangi Aland. "Mama juga nggak ada di rumah, biasa reunian." Dylan memiringkan kepala dengan tubuh juga ikut menyamping.
"Keluar yuk, cari makan. Aku lapar," katanya memegangi perut bak anak kecil tidak diberi makan seminggu. Ekspresi memelas Dylan selalu berhasil menipu Aland.
"Kamu butuh teman curhat." Ucapan Aland begitu santai itu sedikit membingungkan Dylan di tempatnya karena dia sedang berpikir apakah kalimat Aland terkandung tanda tanya di akhir atau tidak.
"Ah, hyung cepat kita keluar nanti aku beliin lanjutan Attack On Titan deh buat hyung. Deal?"
Dylan menyimpan komik dari tangan Aland ke nakas lalu mengapit lengan kakaknya tanpa butuh jawaban dari ajakannya tadi.
"Hyung butuh energi buat bicara jadi aku traktir hyung yang banyak. Bibi! Kami keluar bentar, ya, nanti Dylan bawain suap buat bibi seperti biasa."
Pekerja rumah yang sudah mengabdi separuh hidupnya di kerajaan Aster mengantar keduanya hingga ke teras. Tanpa makanan yang dibawa pulang oleh Dylan sebagai alat penyuap agar tidak memberitahu kedatangannya ke rumah kepada tuan pun, bibi berumur lima puluh tahun itu akan bungkam sendiri. Dia masih menganggap Dylan anak majikannya seperti Aland yang dia urus hingga sekarang. Terkadang, dia berharap kenangan masa kecil sang kembar tidak berakhir dalam bingkai yang tersimpan di gudang tetapi akan selalu berlanjut hingga selamanya. Keluarga kecil yang bahagia kembali utuh seperti dulu.
"Mau makan apa?" tanya Aland melihat buku menu karena sudah lima menit Dylan membaca banyak menu membuat dia ragu memilih santapannya.
"Yang enak apa, hyung? Enggak ada Jajangmyeon?"
Aland menjitak kepala Dylan dengan garpu sambil mengingatkan dia kalau mereka berada di restoran tradisional bukan Korea.
"Hehe, siapa tau mereka gabungin menunya gitu?" cengir Dylan tak berdosa padahal dia jelas tahu sampai kapan pun mie sambal itu tidak akan pernah bisa dia cicipi di restoran ini. Nama menu-menunya yang tersedia dari berbagai daerah di Indonesia.
"Daisy masih nggak mau bicara sama lo?" Aland menyintil secara tepat dan mengena, ujung bibir merah muda Dylan tertarik ke atas. Kakaknya seolah bisa membaca perasaan orang hanya melihat wajah.
"Iya, cuma balas, iya, oh, nggak. Gitu lah, Aland versi cewek." Sebelum Aland menghardiknya kata pengumpamaan itu dia buru-buru mengangkat sebelah tangan sebagai isyarat memanggil waiters. Dylan menyebut pesanannya sekaligus Aland.
"Tunggu sebentar, ya," kata pelayan setelah mencatat.
"Iya, Mbak cantik usahain jangan lama ya, dedek udah lemes bet."
Aland tidak lagi punya rasa malu double karena kelakuan tak normal sang adik. Bukan sekali dua kali dia harus menutupi wajahnya karena ucapan tanpa saringan Dylan beserta keanehan lain yang dilakukan lelaki bermata biru itu.
"Aku padahal masih sayang banget sama dia, hyung. Tapi ya ...." Mata Dylan menjelajahi ruangan dipenuhi pelangan, dari remaja seperti mereka hingga orang dewasa. Restoran yang sudah berdiri sejak lama ini tidak pernah sepi dari pengunjung karena masakannya sangat lezat serta harga yang terjangkau.
"Salah kamu sendiri, masih sayang kok diputusin."
"Iya juga."
Tak ada lagi perbincangan antara keduanya karena pesanan telah tersaji, Dylan menyantapnya dengan semangat. Hanya di depan Aland dia bisa menjadi anak kecil kembali, berbagi tentang perasaannya. Aland sesekali melirik adiknya yang tampak begitu kelaparan bahkan mengambil makanannya juga.
"Hehe, daripada mubazir, ’kan?"
Kegagalan rumah tangga orangtua mereka membuatnya anti menjalin hubungan. Dia masih mengingat jelas bagaimana sang mama pergi dari rumah meninggalkannya dengan papa. Setahun silam menjadi titik dimulainya kehancuran dan keterpurukan bagi hidup Aland. Namun, dia juga tidak melarang Dylan merasakan flying syndrome, dia memaklumi rasa yang tak bisa dicegah yang datang tiba-tiba menghampiri hati manusia. Karena itu dia bersedia menjadi pendengar budiman tentang jalinan dua pasangan remaja itu yang tengah dilanda konflik, break.
"Kalau nggak mau sakit hati jangan dimulai. Sekarang, kamu perbaiki, minta maaf kalau pun dia tetap kekeuh biarkan dia sendiri. Jangan dipaksa, cewek lain banyak. Ah, jangan pacaran lagi kalau belum cukup umur," ucap Aland sarkartis tapi Dylan malah tersentuh dengan kalimat maraton kakaknya. Dia berdecak seraya menggeleng tak percaya mendengar Aland telah berbicara sepanjang itu untuk pertama kalinya.
"Cie ... Cie ... Hyung lagi jatuh cinta juga, ya? Ah, hyungku saranghae!" seru Dylan mengangkat kedua tangannya ke atas kepala membentuk hati. Aland menyesal telah berkata bijak, dia berdiri dan berjalan ke kasir. Aland ingin segera pergi dari restoran karena semua perhatian tertuju kepada mereka atas sikap memalukan Dylan barusan. Nasehatnya terbuang sia-sia. Dylan terkekeh pelan lantas ikut berdiri dan menyusul kakaknya tanpa lupa meminta maaf karena telah mengusik pelanggan.
"Hyung, tunggu aku!"
"Het is verkeerd voor mij om zo’n zus te hebben?" (Salah apa aku punya adik seperti itu?"
"Waarom? Aku ganteng, kan?" (Kenapa?)
Aland melemparkan helm padanya, dia segera naik ke atas motor dan menyuruh Dylan segera duduk di belakang.
"Hyung, jalan-jalan ke alun-alun!"
Dylan mengulas senyum di balik helm, pelukannya pada pinggang Aland begitu erat, dia tidak ingin melepasnya apalagi menjauh dari Aland. Tak peduli cibiran dan tatapan aneh terarah untuk mereka dari pengendara di jalan saat berhenti di lampu merah.
"Bukan salah siapa-siapa, orangtua kita aja udah nggak saling cinta." Balas Aland dalam hati yang bisa membaca keresahan Dylan melalui spion.
nice story author :)
Comment on chapter 1