BAB 1
«Ajeng dan Naura»
***
Cinta diam-diam.
Apakah kamu pernah merasakan cinta bertepuk sebelah tangan?
Jika pernah, lalu apakah kamu masih setia dengan perasaan sendirian itu? Tanpa berani mengutarakannya?
Mau sampai kapan kamu bersembunyi di balik ketakutanmu itu? Mengaguminya dari jauh, mendoakannya diam-diam. Sampai kapan? Menunggunya semakin jauh darimu terpisahkan oleh jarak kelulusan? Atau menanti dia hingga waktu telah terlambat memberimu kesempatan karena seseorang telah menempati hatinya.
Benarkah kamu baik-baik saja saat mengatakan cinta itu tidak bisa dipaksakan. Tidak mengapa tidak memiliki. Tahukah kamu itu merupakan kalimat terbohong di dunia ini? Senjata hati yang lemah karena tak berupaya melakukan sesuatu apa pun.
Kamu berhak untuk bahagia. Kamu berhak mendapatkan balasan dari perasaan semumu itu. Dekati dia, ungkapkan perasaanmu lalu ...
"Heii Ajeng!"
"Astagfirullah!" jeritan Ajeng terkejut karena sahabatnya masuk tiba-tiba menepuk pundaknya ketika Ajeng tengah serius mengetik unggahan bab selanjutnya di wattpad. Beruntung, ponsel keluaran tahun lalu itu tidak ikut terjatuh dalam genggaman Ajeng.
"Lo apa-apaan sih, dateng ngajak ribut aja?" gerutu Ajeng memarahi kebiasaan Naura masuk ke kamar tidak mengetuk pintu dulu. Mereka bertetangga, bahkan balkon keduanya saling berhubungan karena itu Naura sudah menganggap rumah Ajeng seperti rumahnya sendiri. Kesopanan tamu sudah lama Naura lupakan disebabkan selama ini dia begitu mudah keluar masuk rumah Ajeng.
Naura menyengir lebar, tidak merasa bersalah apalagi sakit hati karena perkataan Ajeng untuknya.
"Isssh, ngambek ajaa bebebku." Naura menyubit pipi tembem Ajeng gemas, alisnya naik turun seraya terkekeh geli karena sahabat sejak orok menatapnya tajam ingin menendangnya segera keluar dari rumah.
"Gue punya berita hott paket extra, Jeng." Naura merebahkan tubuhnya ke ranjang, Ajeng menarik bantalnya agar tidak menindih HP hitam di bawah.
"Lo sekali lagi manggil gue Jeng, awas besok lo nggak akan lihat buku resep makanan lo lagi," ancam Ajeng menjewer telinga Naura.
"Ammpunnn, ratu!"
"Ihh, Ra! Cukup, Rara kangkung!" Ajeng melempari Naura bantal, menyelimuti sahabatnya itu karena menggelitiknya di bagian sensitif. Keduanya bergelumut di atas tempat tidur akan berhenti sendiri ketika perut mereka mengeluarkan alarm ke dapur. Dan sebelum kamar menjadi kapal pecah keduanya akan bertarung habis-habisan.
Tawa membahana di kamar dominan tosca, sosok perempuan sedari tadi berdiri di ambang pintu dengan menenteng sapu.
"Nih sapu kalau udah selesai mainnya, bersihkan kamar! Udah tau bibi pulang kampung. Awas kalau lima menit mama balik kamar masih kayak kandang kambing, mama bagiin rendang ke tetangga."
"Mama jangan!!!" Naura turun dari ranjang, memeluk tante Bela dengan manja. Ajeng menggerutu karena dia seperti putri tertukar.
"Udah, kamu bantu Ajeng beresin kamar daripada dia cemburu lagi nanti malah imigran KK."
"Sip, Mama!" Naura menghormat patuh, "eh, Mama tadi katanya mau bagiin ke tetangga, ’kan cuma aku tetangga Mama?" ucap Naura dengan alis menaut bingung. Bela menyerahkan sapunya pada Naura, senyum jail tersembur dari wajah awet mudanya.
"Siapa bilang? Akhirnya penantian Mama nggak sia-sia, ada tetangga baru yang mau beli rumah di seberang. Mana anaknya cakep banget, Masya Allah." Bela menarik pintu lalu menguncinya dari luar agar dua pengacau tidak kabur sebelum menyelesaikan tugas mereka. Naura berdiri kebingungan menatap pintu bercat putih.
"Mama! Seharusnya kasih tau dulu siapa cogan itu?!"
"Hei, lo bawang merah! Jangan teriak-teriak bengek! Sakit kuping gue, nih!" Ajeng melemparinya bantal kesal karena Naura tidak membantunya merapikan tempat tidur. Naura berbalik, mengelus kepalanya di bagian lemparan bantal.
"Nggak usah acting kesakitan, kena kapas aja lo udah down, gimana mau hadapin hidup keras ini? Nggak heran, lo kayak anak kecil selalu nempelin gue ke mana-mana," cibir Ajeng atas sikap kekanak-kanakkan Naura mengikutinya bak adik yang tidak ingin jauh dari sang kakak. Telinga Naura sudah terbiasa dengan kalimat pedas Ajeng untuknya karena itu dia tidak pernah memasukkan ke dalam hati meski Naura masuk list gadis terbaper di planet bumi ini.
Pernah, Naura menangis hanya karena penghapus berbentuk bajunya dipakai sekali hapus oleh teman bangku di belakangnya.
"Gue nggak mau makai ini sebelum gue dapetin yang celana, biar couple-an. Nih penghapus langka banget tau! Lo ’kan bisa pakai yang satu lagi?"
"Sori, Ra, gue nggak tau kalau lo belum pakai itu," sesal Putri meminta maaf, "gue ganti deh."
Nah, kedua ketika Naura menonton chef favoritnya di pagi minggu. Lelaki berusia dua puluh tahunan itu memuji masakan salah satu peserta yang diikuti oleh kawula ibu-ibu.
"Gue udah nunggu lama buat dicicipin masakan gue sama chef itu tapi ibu itu cukup satu hari saja dipuji, padahal telurnya itu gosong, Jeng. Uahaha, gue pokoknya mau ikut acara masak bareng chef minggu depan. Titik. Gue nggak peduli anak-anak mau tertawain gue masuk TV. Bodoh amat yang penting gue bisa masak bareng calon masa depan."
Sampai sebulan ini Naura belum mengirim email-nya untuk stasiun bersangkutan karena akalnya tidak selaras dengan apa yang dia ucapkan ketika tidak sadar. Ajeng menarik sapu dari genggaman Naura, menyuruh gadis aneh bin ajaib itu membantunya mengganti sprei.
"Lo cepet selesain tugas lo biar kita cepet kelar terus lo bisa lihat tuh cogan," saran Ajeng berharap dituruti oleh Naura daripada lebih lama sekamar dengan makhluk angkasa macam dia.
"Siap, captain!"
Ajeng mengelus dada sabar menghadapi sahabat terparah yang dia miliki selain tiga sahabat kece lainnya, yaitu Putri, Salsa dan Evi. Tapi Ajeng bersyukur mendapatkan sahabat seperti mereka, apa adanya tanpa memakai topeng bermuka dua apalagi menusuk dari belakang. Sekarang begitu marak teman makan teman.
"Eh, Jeng-Ajeng, gue tadi ’kan datang ke sini niat gue mau ngabarin sesuatu. Gue udah bilang belom?" tanya Naura dengan wajah polosnya menghadap Ajeng.
"Belum, ya?" Naura menjawab sendiri pertanyaannya sebelum Ajeng membuka mulut. "Gue jadi lupa mau bilang apa."
Ajeng terkekeh geli, sifat pelupa Naura sejak dulu tidak bisa dihilangkan selain sifat lemotnya yang sudah melekat dalam diri Naura. Ajeng juga ikut terjangkiti penyakit lupa terhadap barang kecil seperti kunci mobil, dia sering kali lupa di mana meletakkannya alhasil dia masuk langganan siswa terlambat.
"Ah ya, gue ingat!" histeris Naura menepuk dahinya, bahkan Ajeng ikut terperangah hebat.
"Lo bikin gue kaget lagi, tomat!" Naura mengedipkan mata sebelah kiri, ekspresi tolol darinya setiap kali membuat emosi Ajeng naik.
"Jangan marah-marah, Ajengku. Sini duduk, gue mau bilang sesuatu." Naura menarik bangku meja belajar lalu mendudukkan Ajeng di atasnya.
"Lo jangan kaget ya kalau gue ngomong ini."
"Apaan sih? Cepetan!" ucap Ajeng tak sabar.
"Iya, iya." Naura menarik napas panjang semakin membuat Ajeng sebal karena menaikkan tingkat penasarannya.
"Kita ... sekelas bareng A-land! Aland, Ajeng!!!" heboh Naura mengoncangkan tubuh Ajeng sangking girangnya membaca pengumuman di web sekolah.
"XI IPA 2! Gue bisa sekelas bareng Aland, ya walaupun dia jarang banget masuk kelas, lebih banyak bolos. Bodoh amat yang penting sekelas!" seru Naura dengan mata berbinar.
"Gue bisa lihatin temannya Aland semau guee! Yeayy!"
Ajeng menjauhkan dirinya dari Naura karena tidak ingin gadis itu mendengar detak jantungnya berdegup cepat ketika mengetahui fakta tersebut. Dia terlalu sibuk memposting ceritanya tentang "feeling" sehingga lupa mengecek namanya masuk kelas berapa.
"Ah, babang Arthaku kita bakalan sekelas. Andai Aland nggak sedingin itu, dia bisa dapat posisi nomor satu di hatiku tapi babang Artha manis senyumannya bikin hati dedek meleleh, ududu. Jadi bimbang mau stay babang Artha atau mamas masa depan." Naura tidur terlentang di kasur menatap langit kamar tosca bertebaran bintang tak menyala.
Ajeng bangkit masuk kamar mandi, menyembunyikan kebahagiaan karena setelah setahun lamanya dia menunggu akhirnya takdir memberi dia kesempatan satu ruang bersama Aland. Sosok yang selama ini dia kagumi diam-diam, seseorang yang berhasil mengubah diri Ajeng yang begitu ceria, galak dan cemburuan mendadak kicep ketika berpapasan dengan Aland. Bahkan untuk bendahara sekolah High School Star yang dikenal tegas dengan murid pelit menabung uang koperasi pun dibuat tak berdaya untuk meminta kas pada Aland. Ajeng selalu menugaskan Artha, teman baik Aland agar memenuhi kekosongan kas.
"Kata Aland, lo disuruh minta sendiri, Ajeng."
Sampai kapan pun Ajeng tidak akan berani menghadap langsung pada Aland hingga semester ganjil Aland hanya beberapa kali mengisi kewajibannya, kurang lebih cuma tujuh minggu dari enam bulan mereka absen. Lidah Ajeng mendadak kelu berbicara dengan Aland, kecerewetannya hilang seketika jika menatap iris hitam Aland dengan wajah datar lelaki itu.
"Ajeng! Lo ngapain di kamar mandi lama banget! Gue udah laper mau turun terus mau lihat cogan di sebelah! Keluar Ajeng! Lo baik-baik aja ’kan di dalam?"
"Iya! Bentar!" Ajeng membasuh wajahnya kemudian segera keluar sebelum Naura merobohkan pintu kamar mandi dengan mengendornya.
"Untung lo sahabat gue, Ra, kalau enggak udah gue kirim ke planet pluto biar dibasmi sekalian!" Naura terkekeh mengapit lengan Ajeng untuk turun bersama ke lantai dasar, Bela telah membuka pintu kamar lima menit lalu.
"Untung lo sahabat gue, Ajeng kalau nggak gue udah turun duluan dan habisin rendang."
Ajeng mendelik. "Rumah-rumah siapa, maka—’’
"Makanan-makanan siapa? Mama-mama siapa?" sela Naura telah bisa menghafal kalimat gerutuan Ajeng. Keduanya tertawa karena tingkah konyol mereka. Saling menutupi kekurangan dengan kelebihan antara keduanya, begitulah memaknai sebuah persahabatan kekal abadi.
"Ayo, putri-putri mama habisin rendangnya!"
"Satu ... Dua ... Tiga, serbu!" Baik Ajeng dan Naura berlomba-lomba menghabisi rendang seolah dejavu pada masa kecil, siapa yang berhasil melahap makanan sampai tuntas terlebih dulu maka dialah orang yang akan mendapatkan hadiah dari orang tua mereka.
"Pelan-pelan aja, kalian udah gede. Mama nggak nyiapin hadiah lagi sekarang." Ajeng dan Naura serentak menoleh, tangan mereka memegang sendok yang diarahkan pada Bela.
"Ini bukan soal hadiah tapi harga diri," ucap mereka berbarengan. Bela berlalu dalam dapur, menyaksikan keanehan dua remaja pubertas itu bisa membuatnya pusing sendiri, lebih baik dia membereskan alat dapur saja.
"Lo janji ya Jeng, kalau nanti lo dapat pasangan lebih dulu lo nggak akan malu buat makan bareng, jalan bareng gue lagi."
"Iya-iya, cabe! Gue nggak akan buang lo sembarangan kok, gue sangat baik hati, nanti gue kirim elo ekspedisi ke Samudera Bermuda."
"Ajeng!"
***
Bersamamu kuingin sebuah cerita yang indah. Yaitu cerita aku dan kau yang berkisah. Tentang perjumpaan, perkenalan, keakraban yang tidak ada kata pisah.
Itu hanyalah harapan dalam sebuah impian yang kucita-citakan. Sebuah keinginan yang semu namun terus kupanjatkan. Ketika pagi, siang, senja menjadi temu kita yang kunantikan. Meski, terkadang pertemuan semakin melipat gandakan kerinduan.
Sudah setahun berlalu dan aku membayangkan waktu itu. Waktu di mana masa akan berhenti untuk sekadar bergurau. Waktu yang menyatukan kita pada langkah sapa yang lama membisu. Waktu yang menghapus semua ragu dan cemburu. Bahwa, ini memang namanya cinta perasaan sesuatu terhadapmu.
Dan, di malam yang bernadakan sepinya rindu aku memeluk mimpi tentangmu, berharap pagi hingga senja dan langit kembali gelap akan ada aku di hidupmu.
-tosca-
nice story author :)
Comment on chapter 1