Sepulang dari kantor tadi mereka sempat berbicara ditaman. Saat itu hujan turun cukup deras, seperti adegan melankonis yang menambah suasana menjadi semakin pilu. Keduanya basah kuyup dengan berlinang air mata. Saling mencurahkan luka dan derita masing-masing dibawah langit malam tak berbintang.
Dan sesampainya diapartmen, baik Hazel maupun Zaidan memilih untuk membersihkan diri dan beristirahat diapartmen masing-masing. Hazel sendiri sebenarnya tidak bisa tidur dalam keadaan gundah. Walau semuanya cukup jelas, termasuk rasa penasaran Hazel tentang masa lalu Zaidan yang sudah terpuaskan. Entah kenapa Hazel masih merasa ada sedikit lubang yang belum tertutup sempurna.
“Berapa lapis topeng yan dia gunakan agar untuk bertahan hidup?”
Sebenarnya masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang ingin ditanyakan Hazel pada Zaidan seperti: kisah kesakitan, trauma, dan luka lainnya. Tapi semua pertanyaan dan rasa penasaran itu harus diurungkannya demi kedamaian dunia mereka. Sekarang Hazel mulai mengerti keadaan Zaidan, jadi dia tidak akan menuntut jawaban apapun sebelum pria itu membuka mulut dan mengakui segalanya.
“Apakah dia baik-baik saja sekarang?” gumam Hazel seraya bangkit dari tidurnya. Semakin memikirkan kejadian tadi, semakin besar rasa penasaran dan khawatir pada Zaidan.“Kira-kira apa yang akan terjadi pada seseorang yang baru menangis setelah 18 tahun lamanya?”
“Mungkin sebaiknya aku mengecek keadaannya langsung.” Hazel kembali bergumam sambil berjalan cepat keluar apartmen.
Tok! Tok! Tok!
“Zaidan.” Panggil Hazel setelah beberapa kali ketukan dan bunyi bel yang dilakukannya tak mendapatkan respon dari sang pemilik apartmen, Zaidan.
Tak ada pilihan lain selain menerobos masuk dengan memasukan kunci password apartmen. Sebenarnya bukan berniat lancang atau mengganggu privasi sang pemilik apartmen. Perempuan itu hanya khawatir sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada kekasihnya. Seperti yang sudah-sudah, Zaidan sering melakukan hal konyol untuk melampiaskan kesedihannya, seperti: berendam didalam bathup dengan waktu yang sangat lama, berdiri mematung dibawah shower selama berjam-jam, dan mengambang diatas permukaan kolam renang sampai perlahan tenggelam dengan kedua mata terbuka.
“Dimana dia?” Hazel kembali bergumam sambil mencari keberadaan Zaidan disekeliling apartmen. “Apa mungkin dia––”
Tubuh ramping itu berlari kearah kamar mandi dan menerobos masuk kubus kaca dimana seseorang tengah berdiri bermandikan air shower. “Zaidan ...” Hazel spontan memejamkan matanya setelah melihat bagian belakang tubuh Zaidan. “Ma-maaf. Aku––”
“Kamu mengkhawatirkanku?” Pria itu lebih dulu menebak sebelum mendengar alasan berbelit dari bibir Hazel. “Aku baik-baik saja. Kau bisa membuka mata sekarang.”
Hazel membuka matanya dan tertegun setelah melihat Zaidan yang kini telah berbalik menghadapnya. Dada telanjang Zaidan bergerak dengan nafas tersenggal. Seluruh tubuhnya basah kuyup, termasuk celana jeans hitam melekat yang dikaki panjangnya. Meski tubuh tinggi itu masih berdiri dengan gagahnya, sangat berbeda dengan wajahnya yang nampak memucat dengan bibir bergetar dan sepasang kelopak mata bengkak. Dia sudah menghabiskan waktunya dengan menangis dibawah shower.
“Tapi matamu mengatakan sebaliknya, Zaidan.” Hazel tersenyum dengan air mata membendung. “Kamu tidak sedang baik-baik saja.”
Pria itu menunduk dan membalikan tubuhnya menghadap tembok. Kembali memunggungi Hazel tanpa tahu kalau wanita itu kini tengah berdiri tepat dibelakang tubuhnya. Menatap, menyentuh, dan merasakan otot punggung sang pria dengan tangannya. Dan respon Zaidan hanyalah memejamkan mata saat jemari Hazel mengusap bekas luka yang terlihat samar dibagian belikat.
“Ibumu?” tebak Hazel. Dimana sebelumnya dia pernah mendengar tentang kisah masa kecil Zaidan yang dikurung dan dipukuli ibunya.
Zaidan mengangguk tanpa suara.
“Apakah sakit?”
Dan Zaidan kembali mengangguk dengan air mata membendung, menunduk menatap ujung kaki, dan menahan tubuh dengan kedua tangannya didinding kaca. “I-iya.”
Hazel tahu kalau bekas luka yang sudah hampir hilang itu bukan penyebab rasa sakit seperti yang dikatakan Zaidan, apalagi sentuhan lembut Hazel sama sekali tidak menyakitkan. Rasa sakit itu berasal dari otak sang pemilik tubuh, Zaidan. Saat Hazel menyentuh bekas luka itu, saat itu juga otak Zaidan kembali pada kenangan masa kecil. Lebih sakit dari seseorang yang membayangkan adegan film mengerikan. Lebih menakutkan dari kisah horror manapun didunia.
Sekarang Hazel mengerti, tangisnya dan tangis Zaidan memang berbeda. Jika Hazel bisa menangis kapan saja dia mau, disaat senang atau sedih, Hazel bisa menangis seperti orang normal lainnya. Dia salah menilai Zaidan, terutama tentang luka-luka dalam diri seseorang dengan penuh rasa trauma. Pria malang itu sudah kehilangan orang-orang yang dicintainya, ditinggal pergi oleh mereka yang dulu sangat mencintai Zaidan. Sedangkan Hazel masih memiliki segalanya. Masih banyak orang-orang yang mencintainya, masih ada mereka yang perduli padanya, dan masih ada seseorang yang melindunginya.
Pria yang terkenal tegar itu kini berubah rapuh. Malam ini Zaidan Abriana berubah menjadi Zaidan Putra Mahendra yang penuh dengan air mata. Sosok pria yang terkenal ketampanan dan sisi sexy-nya itu berubah menjadi penuh kelembutan. Kali ini ia lebih menunjukan sisi dirinya yang apa adanya, mengekspresikan semua sakitnya dalam satu kesempatan. Dia bahkan tak malu terisak dan juga tak malu saat Hazel mencoba mengelap ingusnya. Dia terlihat lebih polos dari biasanya, benar-benar seperti Zaidan 18 tahun lalu.
“Aku menyayangimu, Zaidan.” Kaki Hazel menjinjit dan melingkarkan kedua tangannya disekeliling leher Zaidan. “Apakah ini cukup untuk dikatakan ungkapan cinta?”
Zaidan memejamkan matanya dan mengangguk. “Mari menganggapnya seperti itu.” Membenamkan kepalanya dileher Hazel dan kembali terisak. Kedua tangannya melingkar erat dibelakang tubuh Hazel. Sama sekali tak memberi akses untuk Hazel melarikan diri. “Apakah sekarang kita kembali menjadi pasangan kekasih?”
Hazel tersenyum mendengar pertanyaan polos Zaidan. Seperti yang dikatakan orang-orang kalau Zaidan belum pernah berkencan sebelumnya, Hazel adalah wanita satu-satunya yang Zaidan cinta sejak usia 12 tahum atau bisa disebut cinta pertama. “Anggap saja seperti itu.”
“Kau terdengar tidak tulus,” protes Zaidan.
“Aku tak akan pergi.” Hazel berbisik tepat dibelakang telinga Zaidan. “Aku akan tinggal dan hidup dimasa depan bersamamu.”
Zaidan terdiam.
“Jika aku bertahan disini. Apa rencana kita selanjutnya? Apakah kita bisa menyelesaikan kisah ini dengan happy ending atau sad ending?”
Pria bermata cokelat itu menggeleng. Mulai merasa kurang percaya diri dan tak yakin dengan apa yang akan terjadi nantinya. “Mungkin dimatamu ini terlihat tidak nyata, karena kau seorang penjelajah waktu yang pergi ke masa depan. Aku tak ingin ada ending kisah secepat itu. Aku ingin hidup bahagia bersamamu tanpa scenario yang dibuat orang lain.”
Hazel tersenyum. “Aku mengerti.” Kembali menjinjit kakinya untuk mencuri ciuman singkat dibibir Zaidan. “Setelah kita menyelesaikan kisah ini, Hazel Star atau diriku dimasa depan akan kembali. Dia akan selalu menemanimu dan mencintaimu sampai akhir. Jangan takut. Kamu tidak akan kesepian. Meski aku tak merasakan kebahagiaan Hazel Star, tapi perempuan itu tetaplah diriku. Karena pada akhirnya aku akan menjadi Hazel Star yang memiliki cinta yang besar untukmu.”
Satu pancaran sinar mata Zaidan kembali menghipnotis Hazel. “Terimakasih.”
~~~@~~~
Jakarta, 01 Juni 2019
“Zel, sarapan sudah si-siap ...” Adipati mematung setelah membuka pintu kamar dilantai dua, kamar milik Hazel.
Bibirnya seketika kelu. Tak percaya dengan apa yang dia lihat dan apa yang baru saja diucapkan. Jelas, Adipati baru saja memanggil seseorang “Zel” sambil mengetuk pintu ruangan dilantai dua. Langkah kakinya sendiri yang membawanya ke ruangan ini, tapi sesampainya disana, Adipati melupakan tujuan awalnya untuk menemui Hazel. “Apa yang aku lakukan?” tanya Adipati pada dirinya sendiri. Menatap ruang kosong tak berpenghuni. “Ada apa dengan ruangan ini?”
Entah apa yang terjadi disini. Adipati hanya bisa mematung saat melihat ruangan kosong, tak berpenghuni, dan tanpa jejak kehidupan. Ruangan yang awalnya ditempati oleh putrinya, Hazel, kini terlihat kosong seolah tak pernah ada kehidupan disana. Selain itu, Adipati juga tidak tahu alasan kenapa kakinya membawa tubuhnya ke ruangan kosong itu. Dia juga tidak tahu kenapa ruangan ini dikosongkan.
“Zel?” kening Adipati berkerut. “Nama siapa yang aku sebut barusan?”
Tok! Tok! Tok!
Sebuah ketukan dipintu depan berhasil menyadarkan Adipati dari lamunannya. Tubuh tinggi besar itu berjalan cepat menuruni tangga dengan kening berkerut, seolah sedang memikirkan sesuatu. “Siapa?!” teriaknya.
“Selamat siang, Om.”
“Siang. Cari siapa ya?” tanya Adipati saat melihat seorang pria tampan berdiri didepan pintu rumahnya.
“Saya mencari pemilik buku ini dan ingin mengembalikannya.” Pria itu menunjukan sebuah novel berjudul The Eternal Love. “Dia menjatuhkannya tadi didepatrmen store.”
“Tapi saya disini tinggal sendiri dan buku itu bukan milik saya.”
Tenggorokan pemuda itu tercekat mendengar pengakuan Adipati yang terlihat tidak mengakui kalau Hazel adalah putrinya. “T-tapi dia––”
Adipati berfikir sejenak dan langsung merebut buku itu dari tangan si pemuda tampan. “Oke, akan saya berikan pada pemiliknya.” Dengan cepat menutup pintu kembali dan berlari ke lantai dua dimana kamar Hazel berada. Dipandangnya sebentar ruangan itu dan diletakkan novel itu begitu saja, mengikuti instingnya.
Tok! Tok! Tok!
Adipati menggeram kesal dan kembali turun ke lantai dasar untuk membukakan pintu.
“Happy birthday.” Teriak seorang wanita dengan kue ulang tahun ditangannya. Mata bulatnya menatap Adipati dengan kedua sudut bibir terangkat. Senyumnya memang indah, namun tak ada yang tahu alasan kenapa pada detik setelahnya keindahan itu luntur tanpa sebab. Dua sudut bibirnya kembali membentuk garis lurus. Otot diwajahnya tiba-tiba mengendur. Ekspresi yang dialami Adipati tadi––kini dilakukan wanita itu sama persis.
“Siapa yang ulang tahun?” tanya Adipati heran. “Dan siapa kamu?”
“S-saya Natasha dan kedatangan saya kemari untuk ...” bibirnya seketika kelu setelah menyadari apa yang sedang ia lakukan. “Untuk apa saya kemari?” tanya balik Natasha yang terdengar konyol.
Inilah faktanya. Natasha dan Adipati tidak saling mengenal, padahal sudah bertahun-tahun mereka terlihat akrab. Entah apa penyebabnya. Keduanya tidak tahu pasti tentang apa yang tengah terjadi sekarang. Dan sebuah kue ulang tahun dengan lilin angka 23 menjadi saksi diantara kebisuan yang terjadi diantara mereka.
“Maaf. Disini tidak ada penghuni dengan usia 23 tahun. Dan ... apakah kita saling mengenal? Atau pernah bertemu sebelumnya?”
Pertanyaan yang dilayangkan Adipati sukses membungkam Natasha. Bibir bawahnya bergetar, begitu juga dengan kedua tangan yang tengah menopang kue ulang tahun yang begitu cantik. Reaksi tubuh Natasha sama persis dengan yang terjadi pada Adipati beberapa saat yang lalu, tepat dimana dia memasuki kamar kosong tak berpenghuni. “Ma-maaf, sepertinya saya salah alamat.” Natasha perlahan berbalik, hendak meninggalkan kediaman Adipati.
“Tunggu!” tahan Adipati. “Kamu bisa masuk. Sepertinya ada sesuatu yang harus kita diskusikan?”
“Mendiskusikan apa?”
Adipati menggeleng pelan. Menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak gatal. “Saya tidak tahu pasti. Tapi saya rasa kita harus melakukannya. Bukankah kamu juga berfikiran seperti itu?”
Natasha refleks mengangguk. “Saya fikir juga begitu.”
Dan akhirnya keduanya sepakat untuk mendiskusikan sesuatu yang tidak mereka ketahui. Seperti yang dikatakan Adipati sebelumnya; tidak tahu apa yang harus dilakukan, tapi mereka tetap harus melakukannya. Seperti ada kehidupan atau fakta lain yang tidak mereka ketahui, terhapus, dan terlupakan. Sesuatu yang bersembunyi dan meminta mereka untuk memecahkan cangkang.
“Om tidak punya anak perempuan usia 23 tahun?” tanya Natasha sambil melihat-lihat suasana ruang tamu.
Adipati menggeleng. “Saya tinggal sendiri. Ya, sepertinya begitu.”
Jawaban Adipati terdengar ambigu. Natasha bahkan tidak bisa membedakan antara jawaban Adipati yang jujur atau mencoba untuk jujur. Dan yang membuat pria itu menjawab demikian, tepat setelah kedua matanya menangkap sebuah bingkai foto yang terlihat aneh. Dimana sosok dirinya ketika masih muda, terlihat tampan dengan senyum bahagia. Posenya dibuat seolah sedang memangku seorang anak. Terasa cukup janggal dimata orang awam sekalipun. Apalagi dimata Adipati yang kesehariannya menghabiskan waktunya untuk mengambil foto dengan kamera film. Cukup terlihat mencurigakan baginya, ditambah dirinya sendiri tidak ingat kapan moment foto ini diambil.
“Bukankah ini terlihat janggal?” tanya Adipati. Mengusap bingkai kaca itu dengan jemarinya.
Wajahnya terlihat semakin tegang setelah melihat foto-foto lainnya diruang tamu. Seperti ada yang hilang, tapi tidak tahu apa itu. Bahkan ada beberapa bingkai kosong tanpa foto. Tidak hanya hanya satu foto, beberapa foto berbingkai lainnya juga terlihat sama janggal. Belum dengan desain dan tata letak dirumah ini yang terlihat sedikit kacau. Barang-barang terletak dibeberapa sudut tanpa seni, terlihat kosong seperti ada barang lainnya yang telah hilang.
“Oh ya. Dilantai dua ada ruangan kosong. Om sendiri tidak tahu kenapa itu bisa kosong. Tapi, siapa tahu itu bisa membantumu mengingat sesuatu.” Adipati menarik Natasha menaiki tangga menuju kamar dilantai atas.
“Saya tidak tahu apa yang telah terjadi dirumah ini. Tapi, sepertinya om memang tidak tinggal sendiri.” Natasha berjalan menyusuri ruang kosong dengan tangan masih membawa cake ulang tahun seseorang. “Apakah mungkin penghuni kamar ini yang tengah berulang tahun?”
Natasha meletakkan kue ditangannya. Mengusap pelan dinding kamar dengan bekas tempelan poster dan bingkai foto. Tidak hanya itu, Natasha juga menemukan satu-satunya benda yang tertinggal dikamar itu. Sebuah buku fiksi tebal dengan sampul hitam dan tulisan tinta emas. The Eternal Love adalah satu-satunya bukti yang tersisa jikalau ada seseorang yang pernah tinggal dikamar itu.
“Tahun terbitnya 2023?!” Tenggorokan Natasha mengering seketika, seolah ada sesuatu yang mencekik lehernya.
“Seorang pemuda memberikan novel itu, katanya …” Adipati memijit pelipisnya mencoba mengingat ucapan seseorang yang terlupakan. “Katanya itu milik seseorang yang tinggal disini.”
Sebelah alis Adipati menukik. “Tunggu!” pria itu bergegas keluar kamar dan berlari menuju lantai satu, tepatnya ke ruangan disebelah kanan, dapur. “Sepertinya aku sedang menyiapkan pesta untuk seseorang.”
Natasha terkejut setelah melihat hidangan diatas meja makan. Jelas ini tidak terlihat seperti hidangan yang biasa disantap untuk satu orang. Sepertinya Adipati memang menyiapkan semua hidangan mewah ini untuk sebuah acara. Entah untuk siapa, yang jelas, Natasha juga membawa kue ulang tahun ke rumah ini tanpa tahu siapa yang tengah berulang tahun.
“Kita telah melupakan seseorang.” Natasha berbisik dengan kedua tangan bergetar dan sepasang lutut yang mulai lemas.
Adipati mengangguk. “Dan sepertinya satu-satunya orang yang mengingat dia hanyalah pemuda tampan yang memberikan novel ini. Ya, dia terlihat yakin dan dia seperti curiga kalau saya sudah melupakan seseorang yang dia kenal.”
Wah, bagus nih. Serasa baca novel thiller Amerika. Kalo difilmkan ini keren, baru setengah jalan padahal, gak sabar kelanjutan ceritanya.