Ketika aku melihatmu, aku seperti melihat masa depanku.
--Laudito Nugroho--
MEMANGNYA apa yang bisa dilakukan seorang Jomlowan ketika sendirian? Hanya memainkan ponselnya. Bahkan ketika dia sudah jenuh dengan games kebanggaan yang ada di ponsel itu, dia hanya bisa menggeser-geser layar ponselnya tanpa bisa melakukan apa-apa lagi. Ya karena memang tak ada pilihan lain.
Hari ini adalah hari senin. Seperti biasa, jadwal jam pertama Laut di hari ini kosong. Masih nanti, jam terakhir adanya. Laut akan mengajar kelas Tata Busana. Guru-guru tidak ada yang di dalam kantor. Beberapa ada, tapi Laut nggak dekat, jadi nggak enak mau nyapa sok asik gitu.
Padahal, senin-senin sebelumnya tidak seperti ini. Tapi hari ini, banyak guru yang ada di luar sekolah untuk apel. Dan parahnya, jika mau tidur, kunci ruangan kurikulum dipegang Pak Bara yang lagi sembunyi entah dimana. Menyiksa Laut di sini bersama kantuk.
Bosan pada ponselnya, Laut memilih menjatuhkan mata kopi itu pada Rani. Seperti biasa, jika ada waktu luang, pasti dia habiskan untuk menonton drama korea favoritnya. Jadi, tak mau mengganggu, Laut memilih untuk keluar dari ruangan mencari udara segar.
"Laut,"
Laut menoleh, wajahnya langsung berbinar ketika melihat Bu Seruni yang berjalan mendekat ke arahnya. Bu Seruni itu teman dekat Laut. Beliau sudah seperti Kakak, Ibu, Sahabat, atau apa saja. Bahkan boleh jika ingin menganggap nenek andai kalian tidak takut saat melihat bagaimana garangnya Bu Seruni.
"Eh, Bu Seruni kok pagi-pagi udah ngapelin saya. Mau ngajak kencan ya? Aduh jangan. Inget suami sama anak, Bu."
Nah kan, padahal Laut baru saja bercanda, tapi mata bulat Bu Seruni sudah hampir keluar dari sana. Menggantikan air wajah sedih yang baru saja Laut lihat ada di sana.
"Atau.. Mau ngelamar saya buat Mayang, anak Bu Seruni? Tapi Mayang masih SMP. Malu kali dibilang pedofil."
Bu Seruni tidak tertawa. Tapi tidak membuat Laut menyerah juga, “Saya sumpahin kamu dapet yang muda."
"Wah asik dong. Yang muda lebih seger, lebih mantep."
"Laut, Laut. Hidup kamu bercanda terus. Nggak bisa serius. Pantas, pacaran juga untuk bercanda, bukan untuk serius."
Laut nyengir, tangan kekar itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, “Ya, ayo serius. Jadi.. Kapan saya boleh bawa rombongan ke rumah?"
Diam, Laut merubah ekspresinya menjadi serius sekarang.
"Saya mau minta pendapat kamu," Bu Seruni menyerahkan amplop surat yang kemudian dibaca oleh Laut. Hanya beberap detik bola mata Laut membaca deretan huruf yang tertulis di sana, tetapi dia sudah mengerti.
"Jadi? Masalahnya?"
"Hanya ada 100 kursi, sedangkan satu angkatan, ada 4 kelas berisi 30 siswa."
Sejenak, keduanya sama-sama berpikir untuk menemukan solusi. Laut membuang pandangan ke arah lapangan upacara yang sepi, hanya ada Pak Joko yang sedang menyalakan keran di tengah lapangan sana. Pada saat air itu muncul, keran itu berputar secara otomatis seperti air mancur, membuat mata Laut berbinar, juga pikirannya menjadi jernih.
"Kan ada yang PKL, Mba. Jadi yang PKL nggak usah diajakin. Ada 90 siswa, cukup kan?"
"Oh iya. Kenapa nggak kepikiran dari kemarin?"
Laut tertawa. Selain teman dekat kerja, yang Laut tahu tentang Bu Seruni adalah beliau ketua jurusan akuntansi, “Guru matematika sama akuntansi sama-sama main tambah-tambahan. Guru matematika ikut ya, Bu?"
Bu Seruni mendelik ke arah Laut. Memasang tampang wajah sangar, “Nawar, Mas?"
***
"BERITA bahagia untuk anak-anak Bu Seruni yang sholeh, Bu Seruni akan mengumumkan kabar gembira untuk kita semua."
"Kulit manggis, kini ada ekstraknya." Lantunan itu terdengar dari mulut Dilla yang kemudian mendapat sorakan dari 11 Akuntansi 3. Kelas itu heboh, biasa jika Bu Seruni yang ngajar. Bu Seruni kalau sudah di kelas, galaknya ilang. Dia jadi komedian penghibur siswa di sini. Bertolak belakang dengan Laut, di kantor humoris, di kelas bengis.
"Huuu!"
"Korban iklan!"
"Sudah-sudah. Malah nyanyi itu gimana? Mau nggak? Denger pengumuman dari saya?"
"Mau, Bu..." Ucap murid-murid di sana secara serempak. Kemudian kelas kembali hening, mereka diam dan memperhatikan Bu Seruni kembali. Meski ada beberapa juga yang sibuk merumpi sendiri tanpa peduli pengumuman apa yang akan disampaikan Bu Seruni.
"Jadi, pihak sekolah memutuskan yang mengikuti Seminar Akuntansi di Yogyakartakarta adalah murid-murid tercinta saya dari kelas 11," Seru Bu Seruni mengumumkan, yang mendapat seruan rasa senang dari siswa kelas 11 Akuntansi 3 tersebut.
"Yes!!!"
"Yeay!! Asoy!! Geboy!!"
"Asikkk.. Rejeki anak sholeh ya Allah."
"Piknik gratis!!"
"Bukan piknik ya," Bu Seruni menyela ketika ada yang mengatakan piknik tadi, "Di sana kalian belajar. Silahkan kalian membuka buku catatan waktu malam. Biar nanti kalau ditanya di sana, saya nggak malu karena kalian nggak bisa jawab."
"Iya, Bu.." Jawab mereka serempak. Kemudian, setelah itu pelajaran di mulai kembali.
Tetapi, itu semua tidak berlaku untuk Ayunda. Gadis itu sudah malas dengan pelajaran. Apalagi ketika dia melihat jam dinding yang sudah menunjuk pukul tiga kurang lima menit. Terlalu tanggung untuk pulang, apalagi kantuk sudah menyerang. Jadi ia memilih untuk menenggelamkan kepala di atas lipatan tangannya itu sampai bell sekolah berdering nyaring.
Tidur itu indah. Buat yang jomlo, catat! Karena, mimpi itu lebih indah dari pada kehidupan nyata. Meski pun, hanya semu dan semata.
Ketika pelajaran selesai, Ayunda menegakkan pandangan dengan psnuh semangat. Seolah ia berada di kelas ini, sama seperti berada di neraka dunia. Ia mengemasi barang-barangnya sebelum berdoa, dan keluar dari kelas.
Di depan sana, Zara, Wulan, dan Vela sudah menunggu. Mereka berencana makan di Caffe Full Heart sekarang, karena beberapa waktu lalu Ayunda marah tidak jelas, jadi mereka menunda jadwal.
"Tumben Wulan udah keluar kelas?"
Wulan nyengir lebar, “Ah iya, dong. Terakhir kan pelajarannya Pak Fadil."
Ayunda menganggukkan kepalanya. Pak Fadil guru sejarah, guru terenak sejagad raya. Walau pun, mie instan lebih menggoda, tetapi kalau jam terakhir pulang awal hati siapa yang tak gembira?
"Walau pun jam terakhir gue gebetan lo, ternyata dia tetep lebih awal dari kelas lo, ya?" Vela mencibir, ada kesal di bola mata itu. Membuat Ayunda mengernyit bertanya-tanya, apa yang salah? Karena tidak biasanya gadis itu marah.
"Dihukum duet bareng Garuda sama gebetan lo," Sahut Zara.
"Jangan keras-keras, sialan," Ayunda tertawa dengan lebar, "Nggak lucu kalau kedengeran sama anak kelas gue. Lagian gue nggak suka, siapa yang bilang gue suka? Sampai nyimpulin gue suka dia," Setelah menekan kata 'dia', Ayunda memilih berjalan lebih dahulu. Membiarkan teman-temannya sibuk bercanda tentang Laut.
"Yaiyalah.. Masa temen gue mau sama Om-Om. Bisa muntah gue pas kondangan," Suara Vela terdengar, disusul suara tapak kaki mereka yang berjalan menuju ke arah Ayunda untuk mensejajarkan langkah gadis itu.
"Iya bener juga. Pak Laut umur berapa sih? Nggak mungkin kalau masih berkepala 2. Soalnya tetangga gue 29 tahun masih unyu-unyu."
"Tapi apa salahnya? Yang penting masih pantes buat temen gandengan."
Dan segala pertanyaan bermunculan di kepala Ayunda. Bagaimana reaksi teman-temannya? Jika mereka mendengar dari Ayunda sendiri, bahwa gadis itu benar-benar suka pada Laut. Dia cinta pada Laut. Padahal, selisih usia mereka mencapai angka 12 tahun.
Namun, apakah salah dengan usia yang membentang? Selagi rasa masih saja terpatri, tak akan ada pikiran untuk menolak. Pada nyatanya, Ayunda selalu menginginkan Laut. Meski dia juga sempat memikirkan bagaimana hubungan terjalin sementara jarak usia mereka terlalu jauh.
"Usia itu cuma masalah angka," Kalimat Ayunda muluncur begitu saja. Dan sekarang mereka paham, benar adanya bahwa tadi Ayunda hanya berbohong. Karena, Ayunda suka pada Laut.
Greget parah 😘
Comment on chapter BAGIAN SATU : Kamu, Aku, Kita Berbeda.