Kalau waktu dapat menyembuhkan luka, kenapa kita dipertemukan?
-Vallenia Ayunda-
---
Cuaca cukup cerah hari ini. Begitulah, ramalan cuaca yang tertulis di layar ponsel milik Ayunda untuk khawasan Jakarta. Hari ini diperkirakan tidak akan hujan. Padahal, Ayunda sangat suka suka hujan entah mengapa. Mungkin, karena bagi Ayunda, hujan itu tenang. Dan kata orang-orang, bukankah hujan adalah anugrah?
"Vallen!!"
Suara itu terdengar. Berasal dari mulut gadis bernama Julia, teman sekelas Ayunda yang teropsesi memiliki pacar bernama Romeo.
Tak menjawab, Ayunda memilih fokus pada buku yang ada di hadapannya. Selain benci dengan panggilan Vallen, Ayunda tahu, Julia tidak sedang memanggilnya. Julia hanya sedang membicarakan Ayunda bersama teman-teman se-gengnya.
Ayunda tidak peduli, yang Ayunda tahu hanya satu, ujian kali ini ada 50 soal dan mustahil untuk menyontek dengan jumlah soal sebanyak itu. Jadi, dia lebih memilih untuk fokus saja pada materi yang menumpuk di hadapannya kala itu.
Bel sudah mulai berdering. Artinya ujian sudah hampir dimulai, semua siswa di harapkan masuk ke dalam ruang ujian. Ayunda meletakkan tasnya di depan kelas, ia hanya membawa alat-alat tulis untuk dibawa ke mejanya saat akan ujian.
Sebelum pengawas masuk, mereka masih sibuk berbincang. Dunia baru bagi Ayunda berkenalan dengan senior Tata Niaga. Teman sebangku Ayunda sangat asik. Namanya Binar, wajahnya cantik dengan dua gingsul yang membuatnya semakin manis.
"Berapa mapel kamu, dek?"
"2 dong." Ayunda nyengir kuda. Tapi raut asa di wajah Binar membuat Ayunda mengerutkan dahinya bingung. Merasa aneh dengan sikap Binar.
"Jurusan gue 3 masa."
Ayunda tertawa dengan lebar. "Yah, ambil pemasaran dengan niat cari enaknya, pas UKK gini jam-nya yang paling banyak ya, Kak? Enak ngga sih, ambil Tata Niaga?"
"Enak dong, tau nggak? Pelajarannya santai banget. Guru sering nggak masuk kelas, jadi di kelas cuman main doang sama temen-temen."
Ayunda tersenyum. Dalam hati bersyukur. Untungnya dia ambil Akuntansi yang gurunya rajin, jadi dia jarang merasa terkucilkan karena jam kosong sangat minim.
Setelah cukup lama berbincang, akhirnya ada guru pengawas yang masuk ke dalam kelas itu. Guru berpawakan gendut dan berjilbab. Saat itu senior kelas 11 yang duduk acak berdampingan dengan kelas Ayunda masih celingukan mencari pengawas satu lagi. Sampai saat pengawas itu masuk, tak hanya satu dua yang mengumpat.
"Anjir! Pak Laut."
Ayunda menatap ke arah Binar yang juga cemberut. "Pak Laut segalak itu?"
"Gue peringatin, jangan main-main sama Pak Laut. Galak? Itu mah lewat. Pak Laut itu jelmaan dari Dewa Galak dari segala Dewa tergalak di dunia ini."
Ayunda terkekeh sebentar, lalu kelas hening seketika. Mereka semua mengawali dengan doa, baru setelahnya para pengawas membagikan soal satu-persatu.
Dalam diam Ayunda mengamati kopi itu. Yang ada di balik kacamata Laut. Kopi yang hampir membuat Ayunda tersesat jika saja lelaki itu tidak bicara, memperingati dengan suara tajam dan dingin.
"Kerjakan sendiri, jangan tengak-tengok. Kalau saya curiga sama kamu, saya akan langsung ambil jawaban kamu."
Hanya Laut, yang mampu bicara sedatar itu namun terdengar mengancam dan menakutkan. Semua siswa terdiam, lalu mengerjakan dengan semampunya. Tak ada yang berani bertanya satu sama lain. Tak ada yang berani berkutik bahkan menoleh sedikitpun.
Nama Laut sudah terdengar seluas itu. Siapa pun tak ada yang tak mengenal Laut. Hingga pada akhirnya, ketika Ayunda jenuh pada soal bahasa inggris di hadapannya, dia mengeluh. Mengingkari peringatan Laut.
Nggak mungkin juga Pak Laut mikir gue nyontek, tanya ke setan sedangkan gue liatin pohon di luar sana.
Ayunda berbicara dalam hati. Matanya kembali jatuh pada soal-soal di hadapannya. Ada banyak vocab yang tidak ia mengerti artinya sehingga dia tidak bisa mengerjakannya. Berhenti di sana.
Bicara apa, Tuan? Aku tidak mengerti. Kamu memintaku memahamiku tapi kau tak mau memahamiku.
Kesal, Ayunda memilih jalan terakhir. Dia memilih cap cip cup cara cepat untuk menemukan jawabannya.
Cap cip cup kembang kuncup milih mana yang mau di cup.
Nah kena yang D. Tadi aku udah sreg sama D, Dito. Pak Laut hehe..
Ayunda baru sadar memikirkan Laut. Ayunda merasa gila. Setiap Ujian bahasa inggris dia selalu merasa tidak fokus seperti ini. Sulit. Ayunda tidak suka mata pelajaran ini. Walaupun dia juga tidak suka matematika.
Kata matematika inilah yang membawa Ayunda pada petaka. Gadis itu menatap ke arah depan sana. Tepat pada sang Raja Matematika. Pria berkacamata yang tengah sibuk menulis. Hingga lamunan itu datang, imajinasi Ayunda bekerja. Mengingatkan lagi pada Laut yang dia temui di Toko Bunga, serta yang diceritakan anak paskibra. Menyebalkan benar.
Sampai saat itu datang, Ayunda tak sadar telah tersesat dalam kopi Laut. Kopi itu sudah menenggelamkan Ayunda jauh di dasarnya. Kopi itu menatap Ayunda dengan tajam.
Mampus! Ketawan kok liatin Pak Guru? Najis!
Tatapan Laut semakin menajam menatap Ayunda yang salah tingkah. Menunjukkan dengan jelas bahwa pria itu curiga dengan sikap yang ditunjukkan oleh Ayunda. Ayunda segera berpura menggucek mata dan kembali pada soal.
Cobaan apalagi ya Allah?
***
Ujian usai, dan murid-murid kelas 10 bubar di luar kelas. Mereka berpencar, berbaur dengan gerombolan masing-masing. Saling tanya-menanya jawaban tadi. Kebanyakan dari ruang Ayunda banyak yang mengeluh mengingat pengawas tadi yang membuat mereka tidak bisa menyontek.
"Kalau hari senin sampai rabu, kamu pakai sepatu bertali. Aturannya begitu." Suara itu terdengar begitu saja. Tanpa ampun membuyarkan Ayunda dari lamunannya. Gadis itu menoleh ke sosok suara bariton itu. Kemudian menoleh ke segala arah memastikan dengan siapa Laut bicara. Yakin Laut bicara padanya, Ayunda kembali melihat sosok yang kini mamerkan senyum padanya itu.
Yang Ayunda lakukan hanya nyengir, dia salah tingkah. Apalagi setelah kejadian tadi di kelas, Ayunda masih ingat dengan jelas dan sekarang dia jadi merasa malu setengah mati. Karena, di ujian mata pelajaran kedua, pria itu nyinyir Ayunda.
'Jangan bertingkah yang mencurigakan.'
Ayunda merasa tersindir sekali. Pasti Laut berpikir macam-macam! Tapi, melihat senyum pria itu, hati Ayunda terasa tenang. Senyum itu terlihat tulus, tak ada tatapan merendahkan. Dan Ayunda merasa nyaman pada kondisi seperti ini.
Kan galak katanya, kok senyum?
"Iya, Pak."
"Nah, itu lho. Kayak yang dipakai temen kamu." Ayunda menoleh ke pintu keluar, salah satu teman Ayunda yang bernama Inne lewat.
"Iya dong Pak, kan saya murid yang tertib." Sambung Inne sok dekat. Ayunda mengerucutkan bibir sebal. Tak suka dibandingkan.
Bodo amat deh, Pak. Senior sepatunya samaan sama gue tapi gak dimarahin. Lagian, Ayunda anak paskibra. Konon katanya wajib bersepatu pantovel.
Setelahnya, Ayunda memilih untuk tidak menghiraukan apapun yang diucapkan oleh Laut jika masih bersangkut paut dengan sepatu itu. Tidak penting!
Mata Ayunda tertuju ke arah mushola yang berada di lantai satu. Pada saat itu juga, Ayunda terpaku, seulas senyum tercetak di bibirnya. Jantungnya berdebar lagi, tak karuan.
Dia melihat sosok Satya sekali lagi. Sebelum cowok itu berangkat Praktik Kerja Lapangan yang akan dilaksanakan selesai UKK. Hari ini adalah akhir Ayunda melihat Satya karena hari ini adalah hari terakhir ujian. Ah, sedih kadang, kisah cinta di SMK. Banyak rindunya.
"Jangan pakai sepatu itu lagi ya?"
"Ya, Pak."
Dasar murid kurang ajar. Dibilangin beneran cuma iya-iya sambil jelalatan liatin cogan di bawah. Ayunda bermonolog dalam hati.
"Boleh sih pakai sepatu kayak gitu, tapi hari kamis sama jum'at. Pas pakai seragam identitas."
Pikun ya Pak? Kelas 10 di Kejora nggak punya seragam identitas kali. Adanya cuma seragam pramuka. Kalau pakai sepatu kayak gini disuruh beli tongkat pramuka buat hukuman. Kan, belum ada yang nafkahin.
"Iya, Pak." Gemas, tapi Ayunda lagi nggak berminat untuk menambah masalah. Walaupun, memang sebenarnya Ayunda itu dikenal sebagai sosok pendiam. Tapi, Laut mampu membuat Ayunda lemah di hadapan pria itu. Yang pasti, sekarang Ayunda hanya ingin menikmati satu pemandangan sekali lagi. Untuk yang terakhir, dengan rasa yang sama.
"By the way, kita bertemu lagi. Tau nggak apa artinya?"
Kweren sekali mampu memporak-porandakan hati dedek
Comment on chapter EPILOG