Aku tak sedang mengenalmu lewat mereka. Aku akan lebih suka memperhatikanmu. Tapi, aku ingin mencari tahu tentangmu. Karna aku tak bisa mengenalmu secara langsung.
-Vallenia Ayunda-
-----
SEKARANG adalah hari sabtu di minggu yang sama. SMK Kejora hanya memberlakukan lima hari kerja memang, tapi di hari sabtu mereka, murid SMK Kejora menggunakan kesempatan hari itu untuk latihan ekstrakurikullar yang mereka minati masing-masing. Walaupun tak sedikit dari mereka memilih di rumah dan tidak mengikuti ekstrakurikular apapun.
Tapi, bukan Ayunda tentunya yang menjadi bagian terakhir dari sana. Gadis itu masih setia berdiri di tengah lapangan sana, tak peduli panas akan membakar kulitnya. Yang dia tau, di sini, dia memiliki banyak teman yang menerima dia dengan senang hati.
Dikucilkan di kelas, bukan berarti Ayunda tidak punya teman. Ia memiliki tiga sahabat di kelas yang berbeda, juga teman-teman satu ekstrakurikulernya. Ayunda punya geng --girl squad-- yang berisi empat anggota sejak SMP. Vela, anak Akuntansi 1, Zara Multimedia 3, dan Wulan Tata Kecantikan 3.
"Istirahat di tempat grak!"
Semua murid kelas 10 itu segera mengambil posisi istirahat. Membuat sang pemimpin tersenyum puas. Adik-adik kelas yang mereka bimbing dan latih selama kurang lebih setahun ini menunjukkan perkembangannya yang membuat senior kelas 11 bangga.
"Hempaskan!"
"Kejora!" Murid-murid kelas 10 tadi bernapas lega. Ada juga yang menali sepatu karena talinya lepas. Ada yang mengambil posisi duduk karena lelah, ada pula yang membenarkan perlengkapan pakaian yang mereka kenakan.
"Capek nggak?" Tanya David, ketua paskibra di kelas 11.
"Nggak usah ditanya lagi, Kak.." Adu Ketty, cewek paling crewet kelas 10 yang ikut ekstrakurikullar tersebut.
"Siap grak!" Semua langsung bergegas mengambil posisi siap "Aba-aba beruntun. Hormat grak! Siap grak! Hadap serong kanan grak!"
Semua melakukan itu sesekali mengingat apa yang diucapkan oleh David, yang kini menjadi pemimpin mereka.
"Balik kanan grak!" Ada suara cewek yang bersuara. Dan, ada beberapa anak yang berbalik. Membuat barisan itu terkekeh.
"Tuhkan, pemimpin kalian itu siapa? Sedih Kak David, suaranya kalian samain dengan suara Kak Maria." Suara David dibuat sok sedih.
Maria tertawa. Kemudian menyikut lengan David "Suara lo kurang maskulin kali, Vid."
"Jahat lo." Maria nyengir lebar. "Oke semua. Berhubung sekarang sudah jam 10 lebih 30 menit, maka kalian boleh istirahat dulu deh. Mengerti?"
"Siap, Mengerti!"
"Oke, balik kanan bubar jalan!"
Setelah itu, barisan bubar. Semua anak memilih untuk pergi ke kantin sekolah untuk sekedar membeli minuman demi membasahi kerongkongannya yang kering. Tapi, ada pula yang langsung membuka ponselnya untuk mengecek pesan masuk.
Baru setelah semua selesai, mereka sharing-sharing satu sama lain sambil menunggu jam istirahat selesai. "Matematika lo sama siapa, Ay?"
Gadis yang dipanggil Ay tadi menoleh ke arah Saras. "Gue? Pak Adam dong."
"Lo, Vel?"
"Sama lah, kayak Ayunda. Meski beda kelas, tapi kita sama-sama anak Akuntansi." Ucap Vela dengan bangga. Dia tahu, Saras pasti akan berkeluh kesah seperti biasa. Jika kata matematika sudah mendahului topik, artinya rumpi cewek paskibra dimulai. Guru muda dan tampan yang konon katanya belum menikah itu pasti akan menjadi topik hari ini. Meskipun, mereka tahu, perbincangannya sungguh tak akan menyenangkan.
"Andai lo di kelas Mulmed, lo bakal tau sensasinya diajar sama Pak Laut yang super.. Pokoknya nggak bisa dijelaskan deh." sambung Kania sambil cemberut. Ia langsung memasukkan pasta yang dia bawa ke dalam mulutnya, mengunyah kelaparan. Seperti belum makan selama dua hari. Padahal, memang latihan pagi ini begitu menguras tenaga.
"Oh, itu Kak Maria sering cerita juga tentang Pak Laut. Kenapa sih emang?" Ayunda menutup botol air mineral yang baru saja dia tegak. Kemudian memangku dagu dengan tangannya dan menatap serius ke arah Saras. Untuk Ayunda, ini pertama kalinya dia bicara langsung pada orang yang mengenal Pak Laut itu. Ya, biasanya dia hanya dengar cerita dari Kak Maria tapi tidak berani kepoin macam-macam. Karena bisa dibilang, Ayunda introvert. Ia hanya bisa berbagi dengan orang yang menerima dirinya.
Saras bercerita dengan sangat antusias sekali kala itu. Dia merasa senang jika teman-temannya merespon baik ucapannya. Saras merasa diperhatikan. "Intinya nyebelinnnn parah! Gue disuruh keluar gara-gara nggak ngerjain PR masa. Tapi kadang enak juga, kalau disuruh ngerjain di papan tulis bener, dikasih duit yang nggak sedikit. Lumayan buat beli pulsa, ehe.."
Ayunda menggelengkan kepalanya mendengar cerita Saras. Kalau ada yang jahat ngasih duit, semuanya bisa jadi baikan masa. Gadis itu membuka botol yang dibawanya tadi dan menegak untuk kedua kalinya. Entah teriknya hari ini atau karena sedari tadi ia memimpin barisan.
"Ah, apaan. Gak seru. Masa disuruh maju satu-satu. Horor banget sih! Yang bisa enak. Yang nggak bisa? Kan malu-maluin." Ayunda menyerukan pendapatnya. Kemudian memainkan ponsel dan mengetik sesuatu di sana, di layar aplikasi yang berwarna orange. Menyalurkan imajinasi.
"Hahaha... Abis Pak Laut ganteng. Dan, dia masih jomblo."
"Wih.. Seru tuh Ay." Vela menyenggol lengan Ayunda. Membuat keseimbangan tubuh gadis itu hampir hilang. Untung saja, mereka duduk-duduk di koridor ruang guru yang membuat Ayunda tak jatuh karena tingkat kejahilan Vela yang tinggi.
Vela memang begitu. Dia pendiam, sama seperti Ayunda. Tapi Vela jahil. Jadi, mereka ikut ekstrakurikullar ini pun demi membentuk mental mereka agar menjadi perempuan yang lebih tangguh.
Berbeda dengan Zara maupun Wulan, sahabat Ayunda juga selain Vela. Zara crewet dan supel, maka tak heran jika ia memiliki stok cowok ganteng paling banyak. Dan Wulan, teman curhat yang paling enak untuk diajak bicara kerana dia bijaksana dan lebih dewasa dari pada lainnya.
"Apaan yang seru? Nemu Pokemon?"
"Pokemon? Ini lebih wow dari pada Pokemon!" Ayunda mengernyit menatap Vela, pura-pura jijik. Vela memang kadang lebay. "Kata Saras barusan, Pak Laut masih jomblo. Lo nggak berminat gitu? Pertama, lo pecinta Om-Om kelas akut!" Mata Ayuni membulat. Mas-Mas dan Om-Om jauh berbeda. "Kedua, lo mau nyari anak matematika, kan?"
***
WEEKEND terlaksana seperti biasa, dimana sekumpulan girl squad menyempatkan waktu untuk berkumpul. Meski pagi itu, mentari seolah enggan terbit, hanya memunculkan sedikit sinar melalui celah-celah jendela kamar Zara.
Dari dalam sana, dapat Ayunda lihat seorang cowok mengenakan seragam olahraga khas SMK Empat berjalan menuju ke arah rumah Zara. Tidak peduli rinai hujan membasahi rambut dan seragam yang orang itu kenakan. Seolah tak ada beban, bahkan mengunjungi rumah ini pun, sudah seperti berada di rumah sendiri.
"Zar," Ayunda memanggil gadis itu, namun matanya tak lepas dari sosok yang berjalan menuju rumah dimana mereka berkumpul sekarang.
"Apa?"
Ketika Zara menyahut, barulah Ayunda menengok ke arah sahabatnya itu. Tangannya menutup gorden jendela dengan telaten. Zara sedang memainkan ponselnya seperti biasa sambil makan ceriping ketela rasa balado yang kemarin sore dibelikan mamanya. Lalu menatap ke arah Wulan yang sibuk swa foto, diikuti oleh Vela di sampingnya.
"Kok ada cowok dateng ke rumah lo? Lo selingkuhin Raja?"
Sebuah ceriping mendarat di jidat Ayunda. Gadis itu meringis sambil mengambil ceriping tadi dan memakannya. Lalu ceramah, “Jangan buang-buang makanan, Bonyok lo susah tau nyari duitnya."
"Dih, nggak usah ngeles. Itu sepupu gue tau. Eh, dia ganteng kan? Mau gue kenalin nggak? Ya... Sapa tau aja kalian cocok."
Lekas menggeleng, Ayunda melambaikan tangan tanda tak setuju. Semenyedihkan itukah seorang jomblo? Kenapa juga Zara harus repot-repot mencarikan Ayunda pacar di saat gadis itu sedang dalam mode nyaman mencintai.
"Taufan!" Zara terlihat melambaikan tangan ke arah sepupunya. Meminta cowok itu untuk kemari. Tampan dengan senyuman yang menawan, itu terlalu sempurna untuk cowok itu. Namun, hati tak bisa berbohong, Ayunda tidak jatuh cinta.
"Kok makan pedes? Kemarin kata Raja lo diare?"
Zara terlihat cengar-cengir tidak jelas. Kebohongannya terungkap tanpa diminta, “Abis males jalan sama Raja. Kemana-mana bahas musik terus. Gue kan anti musik." lantas menolehkan pandangannya ke arah Ayunda, “Oh ya, lo belum kenalan sama Ayunda, ya? Taufan ini Ayunda. Ayunda ini Taufan. Tampan, menawan, dan masih jomblo tentunya."
Zara mengambil tangan Ayunda dan Taufan, lalu menjabatkan dua tangan anak muda tersebut, “Taufan."
"Ayunda."
"Temen lo lucu juga." Ucap Taufan, yang dibalas Ayunda dengan alis terangkat, “Suka makanan pedas?"
"Nggak. Gue nggak bisa makan pedes."
"Oke, berarti kita cocok." Taufik menatap ke arah Zara dan menepuk lembut pundaknya, “Mama mana? Gue abis latihan dari kemarin. Jadi nggak sempet ijin."
"Tuh di kamar."
Setelah Taufan berlalu dari hadapan mereka berempat, Wulan dan Vela tertawa. Sejujurnya Wulan dan Vela pun menonton kejadian tadi. Memang, keduanya sudah mengenal Taufan sejak lama. Dan Ayunda belum. Maka dari itu, Zara mengenalkan Ayunda dengan Taufan.
Taufan tinggal dengan keluarga Zara karena dua orang tuanya sudah meninggal. Dan hanya ada keluarga Zara keluarga dia, apalagi Mama Zara sangat menginginkan seorang anak laki-laki. Jadi, ia tak keberatan menerima kehadiran Taufan. Lagi pula, Taufan juga sangat menyayangi Zara. Itu takkan menjadikan beban.
"Cie yang diajak kenalan."
Ayunda memberenggut seperti anak kecil yang tidak dibelikan ice cream. Ia mengambil cemilan Zara dan memakannya tanpa dosa.
"Coba aja, Ayunda. Siapa tahu kalian jodoh."
Ayunda menatap Wulan tidak suka. Biasanya, hanya Wulan yang paling mengerti Ayunda. Hanya Wulan yang bisa menghargai keputusan gadis itu untuk memilih sendiri. Bahwa Ayunda nggak suka dengan acara perkenalan yang dilakukan oleh Zara atau pun Vela. Ayunda lebih senang biasa saja, bertemu dengan sendirinya lalu jatuh cinta.
"Denger ini baik-baik ya. Gue nggak akan pacaran sama orang yang enggak gue suka."
"Pernah denger ini nggak? Witing Trisna jalaran saka kulina?" Wulan menepuk bahu Ayunda dengan lembut, “Cinta nggak selalu datang saat pertama kali bertemu. Ada saat dimana orang harus mengalami fase-fase perkenalan untuk jatuh cinta. Coba dulu, nanti kalau jadian, traktiran ya."
Dan Vela serta Zara langsung memberi Wulan umpatan. Setelah bicara sebijak itu, masih sempat-sempatnya minta traktiran. Padahal menurut Zara, Ayunda punya pacar saja dia sudah ikut bahagia. Tapi jika memang ada traktiran, Zara nggak akan nolak.
"Emang Lo? Pacaran tapi nggak dikenalin ke kita. Modus nggak mau bagi pajak jadian, kan.." Tuding Zara dan Vela serempak, diikuti tawa mereka. Sesederhana itu untuk bahagia. Sesederhana itu untuk melupakan permasalahan yang terjadi pada Ayunda dan Wulan akan keluarganya. Namun di tengah tawa mereka, tidak ada yang sadar bahwa ada satu hati yang terluka.
Kweren sekali mampu memporak-porandakan hati dedek
Comment on chapter EPILOG