“Aku pulang.”
Ichimiya membuka pintu rumahnya. Sepi, tidak ada orang di dalam. Sesaat dia termenung di depan pintu lalu melepaskan sepatunya. Dengan masih memakai kaos kaki dia melangkah menuju dapur.
Klak! Lampu dapur menyala terang. Sebuah catatan terlihat di atas meja makan. Dari Miyura.
Aku meninggalkan obat yang biasa di mejamu.
PS: Aku juga meninggalkan sesuatu di laci bawah pantry dapur. Hanya untuk keadaan darurat!
Miyura
Begitulah catatannya.
Dia memeriksa lemari pendinginnya. Penuh dengan bahan makanan. Dibukanya laci meja dapur, sebuah buku catatan. Sebuah buku resep.
Kembali tangannya membuka laci yang lain. Peralatan makan, semua tertata rapi. Ada bumbu-bumbu dapur. Di dekatnya ada pasta, makanan kaleng, beberapa lembar roti dan selai. Laci bawah penuh dengan peralatan memasak dan pisau. Lalu ada sebuah kardus ukuran sedang. Ichimiya mengeluarkannya perlahan.
“Apakah ini yang untuk keadaan darurat?” Saat kardus itu dibuka begitu terkejutnya Ichimiya. “I-ini kan?”
Berbagai cup ramen dengan aneka rasa. Dan juga aneka permen dengan bentuk dan rasa yang berbeda. Dua jenis makanan itu adalah makanan kesukaannya. Yang membuatnya tergiur adalah permen-permen manis itu. Dia berpikir akan sia-sia saja jika tidak segera dihabiskan, oleh karena itu Ichimiya mengeluarkan semua permen dan mengembalikan cup ramen yang tersisa ke dalam laci. Dengan wajah bahagia dia naik ke kamarnya.
“Jika tidak segera dihabiskan permen-permen ini akan basi,” katanya.
Dia menaruh permen-permen itu di atas meja belajar. Begitu banyak. Memenuhi meja. Saat Ichimiya memperhatikan sekelilingnya dia sadar jika Miyura merapikan kamarnya. Di dekat permen-permennya ada sebuah kotak transparan yang penuh dengan butiran obat. Ichimiya memandangnya dengan wajah murung, lalu tangannya bergerak membuka laci meja belajarnya itu. Dia menyimpan obat itu bersama dengan pistol miliknya.
Ichimiya menggeliat, melemaskan otot-ototnya. Karena sudah lelah, dia memutuskan untuk segera mandi saja.
Di dalam kamar mandi dia melepaskan kemeja dan roknya. Lalu menanggalkan semua lapis pakaian yang dia kenakan. Ichimiya selalu memakai celana hitam pendek di bawah roknya. Setelah bak mandi sudah siap, dia segera membilas tubuhnya dan berendam dalam air hangat. Uap mengepul dan membuat bak mandi menjadi berkabut. Tubuh Ichimiya terasa hangat. Dia mendesah nyaman.
Kamar mandi berada di dekat tangga. Di lantai bawah. Karena tidak ada siapa-siapa di rumah, Ichimiya keluar dari kamar mandi hanya dengan berbalut handuk saja.
Ujung rambutnya yang panjang basah karena dia lupa mengikatnya dan hanya dikeringkan sekenanya tadi. Yang penting tidak menetes ke lantai, itu yang dia pikirkan. Dengan perlahan kakinya menaiki anak tangga dan membuka pintu kamar. Dia berdiri di depan cermin besar seukuran dirinya.
Di depan cermin, di hadapan pantulan dirinya, dia menatap dalam diam. Dalam balutan handuk tipis itu dia bisa melihatnya dengan jelas. Sebelah kanan, di bagian pahanya terdapat sebuah bekas luka, bekas jahitan. Ichimiya menyentuhnya. Terasa kasar. Lalu dengan cepat tangan itu melepas handuk yang dia kenakan. Lagi, terdapat bekas luka di dada iga kirinya. Dan masih banyak lagi bekas luka goresan yang ada pada tubuhnya.
“Ini mengerikan,” ucapnya. Dia tersenyum.
Selain bekas luka gores itu ada bekas luka lagi di tubuhnya. Tepat di punggungnya. Sebuah bekas jahitan yang amat panjang. Menyayat kulit tipisnya. Bekas luka yang sebagian tertutup oleh rambut panjangnya itu dan sebuah tanda yang mirip seperti tato di pundak sebelah kanan.
***
Kemarin, upacara penerimaan murid baru. Bersamaan tahun ajaran baru bagi kelas 1, hari itu juga menjadi hari pertama Ichimiya sebagai murid pindahan.
“Namaku Kyoka Ichimiya. Aku murid pindahan dari Distrik 3. Aku berharap bisa akrab dengan semuanya. Jadi mohon bantuannya,” perkenalan dari Ichimiya. Semua murid di kelas itu menatapnya. Sampai guru menyuruhnya untuk duduk ke kursinya, beberapa pasang mata masih memperhatikan Ichimiya dengan tatapan penasaran. Membuat gadis itu merasa gugup.
“Baiklah semuanya. kita akan mulai pelajarannya,” kata wali kelas mereka.
Baru saja pelajaran berlangsung, tiba-tiba speaker yang terpasang di sudut atas ruangan berbunyi.
[Pemberitahuan. Untuk murid bernama Kyoka Ichimiya, kelas 2-B. Dimohon untuk segera ke ruang kepala sekolah. Saya ulangi. Pemberitahuan. Untuk……]
Semua orang di dalam kelas 2-B memangdang kembali ke arahnya. Memandang seorang gadis berwajah tenang yang tengah duduk dan tidak ada tanda-tanda akan beranjak keluar.
“Kira-kira ada apa ya?Kyoka-san?” Kamiya-sensei menatap Ichimiya.
Gadis itu hanya bisa mengambil napas dalam-dalam. Seharusnya aku yang bertanya. Kenapa aku dipanggil ke ruang kepala sekolah di hari pertamaku? batinnya. Tangan kanan Ichimiya terangkat dari atas meja. “Sensei, bolehkan saya pergi?”
Setelah mendapat izin dia berajalan keluar dan langsung menuju ruang kepala sekolah.
Berada di lantai 3 gedung utama. Terpisah dengan gedung untuk pembelajaran. Dari luar terlihat sama dengan bangunan yang lainnya, tapi sebenarnya berbeda.
Ruangan kepala sekolah begitu nyaman. Dari sini bisa melihat seluruh area sekolah dan melihat lapangan luas di tengah-tengah. Kepala sekolah duduk dengan tenang di kursi kerjanya. Menatap dengan senyum aneh pada Ichimiya yang duduk di sofa ruangannya itu. Secangkir teh hangat dan sepotong kue tersaji di meja depan Ichimiya.
“Anu, kepala sekolah, apakah ada sesuatu yang ingin Anda bicarakan dengan saya?” tanya Ichimiya dengan hati-hati.
“Ichimiya-san, bisa tunggu sebentar,” jawabnya.
“Baik.”
Masih dalam posisi yang sama. Sudah hampir 15 menit Ichimiya izin pergi meninggalkan kelas. Dia mulai gelisah. Ada apa ini? Kenapa perasaanku tidak enak ya. Lalu suara decitan pintu yang terbuka merubah suasana canggung itu.
“Akhirnya,” kata kepala sekolah seraya berdiri.
Dua orang berpakaian setelan jas hitam. Lalu disusul dua orang lagi yang masuk ke ruangan. Seorang pria dewasa tegap dengan tatapan tajam dan seorang wanita paruh baya dengan jas labolaturium putih yang berdiri di belakangnya. Begitu pintu tertutup suasanya berubah tegang.
“Selamat datang. Silakan duduk,” sambut kelapa sekolah senang. Mereka bersalaman dan bercakap sebentar. Tiba-tiba pria dengan tatapan tajam itu menoleh pada Ichimiya.
“Kyoka Ichimiya!” panggil pria itu. Ichimiya tasu siapa pria itu, dia membuang muka dan tak mau menatapnya.
“Ichimiya, bagaimana kabarmu?” Wanita di sampingnya menghampiri Ichimiya.
“Apa yang kalian lakukan di sini?”
“Kami ada perlu denganmu. Aki-kun[1] akan menjelaskannya.”
Pria bernama Aki itu berdiri di hadapan Ichimiya. Tatapannya berubah melembut dan dia terlihat lebih santai dari saat pertama dia datang tadi. Ichimiya masih tidak mau menatapnya, Aki jadi bingung akan memulai dari mana.
“Aku tau ini mendadak. Tapi kantor agensi sedang dilanda banyak masalah akhir-akhir ini. Dan kau tau, kami tidak bisa mengatasinya. Jadi ketua memutuskan untuk memanggilmu kembali,” jelas Aki dengan tenang. Dia seperti tidak ingin membuat gadis di depannya itu marah.
“Tapi senpai[2] sudah janji,” cetus Ichimiya.
“Hah, memang benar aku membolehkanmu pergi dengan syarat kau akan menjalankan misi saat hari libur saja. Dan membiarkanmu hidup seperti gadis SMA pada umumnya.”
Ichimiya memandang heran. “Walau sebenarnya menjalankan misi di hari libur itu tidak normal bagi seorang gadis SMA?”
Miyura terkekeh. Sementara Ichimiya menyilangkan tangannya di dada dengan wajah cemberut. Pria yang dipanggilnya senpai itu hanya memalingkan wajah dan mendesah. Merasa tak dapat jawaban Ichimiya memutar bola mata dan melangkah menuju pintu.
“Kau tidak bisa pergi begitu saja.” Dengan arahan tangan dari Miyura, dua orang berpakaian setelan jas itu menghadang Ichimya.
“Minggir.” Ichimiya menatap mereka. Namun mereka tak bergerak sedikitpun.
Salah satunya mencoba memegang bahu Ichimiya dan dalam hitungan detik pria itu terbanting ke lantai. Semua orang terkejut. Satu orang yang lain ingin menghentikannya juga, tapi begitu Ichimiya berbalik dan menatapnya dengan tatapan marah, pria itu tiba-tiba jatuh ketakutan.
Creak! Pintu terbuka. Ichimiya berjalan keluar dari ruang kepala sekolah.
“Gadis yang penuh semangat ya,” kata kepala sekolah. Dia tersenyum.
“Hah, ternyata sulit membujuknya. Apa boleh buat.” Aki mengelurakan ponselnya. Dia menelepon seseorang. “Halo. Ah ternyata benar katamu. Kalau begitu tolong ya.” Sebuah panggilan singkat.
“Sambil menunggu, bagaimana jika kita minum teh bersama?” Kepala sekolah mengangkat teko teh di mejanya.
***
Sudah terlalu lama Ichimiya meninggalkan kelasnya. Padahal ini adalah hari pertamanya. Seharusnya dia sudah berkenalan dengan beberapa murid di kelas atau sudah membuat grub dengan yang lainnya. Hari pertamanya sungguh tidak beruntung.
“Lagipula kenapa senpai sampai datang ke sini segala,” gerutunya di lorong. Dia berjalan dengan wajah tertunduk.
Bola mata Ichimiya bergerak ke kanan dan ke kiri. Dia sedang diikuti oleh pria berjas yang lain. Mereka adalah orang-orang dari agensi. Ichimiya masih berjalan seperti biasa melewati setiap lorong di gedung utama. Saat sampai di tangga turun menuju lantai 1, langkahnya harus terhenti begitu menginjak anak tangga pertama. Mereka mengepungnya. Tepat diujung tangga lantai 1 mereka sudah menunggunya. Di sisi lain, dari arah belakang juga terlihat beberapa orang yang tadi mengejarnya sudah mendekat.
Saat terfokus pada pintu keluar di ujung tangga di depannya, Ichimiya sadar ada dua tangan yang ingin mendekapnya dari belakang. Segera dia menurunkan tubuhnya dan melesat menuruni tangga. Saat ingin menghajar orang-orang di dekat pintu keluar, tiba-tiba dia melihat seorang guru—yang terlihat seperti guru olahraga dari pakaiannya—berdiri bersandar ke tembok gedung. Jika aku bisa keluar mungkin mereka tidak akan mengejarku, pikir Ichimiya.
Ada satu peraturan di agensi yang sebisa mungkin harus diterapkan. Jangan libatkan orang luar dalam setiap tugas dan misi.
Karena yakin dengan hal itu, secepat mungkin Ichimiya menghindari orang-orang di dalam gedung dan berlari keluar. Namun siapa sangka begitu melangkahkan kaki dari pintu, tiba-tiba guru yang bersandar ke tembok tadi menghadangnya dan siap untuk menangkapnya segera. Tidak, orang itu bukan seorang guru, tapi orang dari agensi juga, paniknya dalam hati.
“Apa yang sebenarnya terjadi!?” teriaknya.
Tiba-tiba sebuah pantulan cahaya menyilaukan mata mereka berdua. Ichimiya menutup matanya rapat-rapat sementara guru palsu itu mengeram kesakitan.
“Ichi!” panggil seseorang. Saat Ichimiya mencoba membuka matanya, tangan Ichimiya sudah ditarik oleh orang itu. “Ikuti aku.” Seorang pemuda menggenggam tangannya dengan erat. Mereka berdua berlari bersama.
“Ao?” Mata Ichimiya membulat. “Kenapa?”
Pemuda yang dipanggilanya Ao itu menoleh. Senyum mengembang di wajahnya sembari jari telunjuk di depan bibir. “Sssstttt… aku akan membawamu ke tempat yang aman.”
Mereka berdua berlari menuju lapangan yang luas. Melewati beberapa murid yang sedang melakukan kegiatan di tanah lapang itu—menjadi perhatian.
Ichimiya tidak memperdulikan sekitarnya. Dia masih terfokus dengan sosok di hadapanya itu. Dia yang tadinya merasa bingung kini bisa merasa tenang. Senyum perlahan mengembang di wajahnya. Tangannya balik menggenggam erat. “Hmm,” angguknya percaya pada pemuda itu.
Seakan waktu tidak ingin genggaman mereka berdua terlepas. Suara langkah kaki mereka terdengar begitu pelan, menggema di setiap hentakannya. Angin berhembus dengan tenang, membuat semua gerakan yang ada di sekitar mereka bergerak lambat. Ichimiya berlari dengan penuh keyakinan.
Lalu sampailah mereka di sebuah ruangan.
Ichimiya duduk di sebuah sofa empuk. Secangkir teh hangat dan sepotong kue tersaji di meja depannya. Ruangan yang tak asing bagi Ichimiya. Ao duduk di sebelahnya sambil menikmati secangkir teh yang disajikan untuknya.
“Lavender Tea, memang minuman yang tepat untuk menenangkan pikiran ya,” kata Ao.
“Ya, aromanya juga membuat tubuh rileks,” ucap Miyura. Dia juga meminum teh di gelasnya.
“Kuenya juga enak. Memang kepala sekolah punya selera yang bagus,” kata Aki. Dia memotong kue di piringnya dengan garpu lalu memakannya.
“Wah, terima kasih banyak. Syukurlah kalian juga suka.” Kepala sekolah dengan wajah senang menuangkan teh ke dalam cangkir. “Ichimiya-san, apa ada yang tidak kau suka? Haruskah aku bawakan yang lainnya?” Tanya kepala sekolah saat Ichimiya hanya termenung.
“Kenapa?” ucap Ichimiya tak bertenaga. “Kenapa aku kembali ke tempat ini?” Dia menoleh ke Ao.
“Seperti yang kami janjikan sebelumnya, setelah masa percobaan selesai kau bisa melakukan apapun yang kau mau. Namun tidak semua bisa berjalan sesuai yang kau inginkan. Ketua ingin kau kembali bergabung,” jelas Aki.
“Aku sangat tersanjung ada seorang agen yang mau menjadi murid di sekolahku ini. Jika ada yang bisa aku lakukan katakan saja. Aku senang bisa membantu,” kata kepala sekolah dengan senyum ramah.
“Terima kasih banyak,” Aki menundukkan kepalanya.
“Hilang sudah kehidupan SMA-ku.” Ichimiya kehilangan semangatnya.
“Tenang saja. Kau masih bisa menjalani kehidupan SMA-mu seperti biasa. Seperti sebelumnya, saat hari libur kau akan menjalankan tugas. Kami akan meminta bantuanmu hanya pada misi tertentu. Aku akan lakukan yang terbaik agak tidak sering mengganggumu.”
Ao mengelus kepala Ichimiya dengan lembut. Senyumnya menyemangati Ichimiya yang ada di hadapannya.
“Ao.” Ichimiya tersenyum lembut.
“Yah, yang penting absensi kehadiranmu di kelas mencukupi untuk naik kelas. Hmm, itu sudah cukup,” lanjut Ao. Seperti ada garam yang bertaburan di luka Ichimiya.
“Kyoka Ichimiya,” panggil Aki. Tatapannya berubah tajam. Dia duduk bersandar, kakinya menyilang dan kedua tangannya berada di lutut. Ichimiya merubah posisinya menatap Aki dengan serius. “Mulai hari ini selain menjalani kehidupan SMA barumu kau juga akan mendapat tugas tambahan. Seperti yang disinggung sebelumnya, selain hari libur kau juga akan menjalankan misi di hari biasa. Kembali ke pekerjaanmu sebagai agen detektif khusus.”
“Ya.”
“Kami mengandalkanmu. Agen Divisi Percobaan. Kyoka Ichimya.”
“Baik. Aku mengerti.”
[1] -kun = panggilan untuk laki-laki yag lebih muda atau sudah cukup lama saling mengenal
[2] senpai = panggilan untuk senior (kakak senior)
Ide ceritanya boleh, saran aku coba ambil referensi dialog dan plotting ala western biar lebih greget
Comment on chapter Mission 3