Pagi ini Renata datang ke sekolah tepat waktu, tidak terlambat seperti hari kemarinnya. Perempuan itu berjalan ke kelasnya yang berada di bagian paling belakang. Beberapa anak kelas sepuluh menyapanya dengan ramah. Renata hanya membalasnya dengan senyuman ceria.
"PR lo udah selesai, gak?" Dera dan Arga menghampiri Renata.
"Udah, emangnya kenapa?"
"Ya mau conteklah." Arga dengan cepat menjawab pertanyaan Renata.
"Kebiasaan lo, rubah donk. Lo udah SMA!" Tukas Renata.
"Iya, iya. Bawel amat. Mana tuh PR?" Arga tidak sabar untuk mengambil pekerjaan rumah milik Renata.
Renata kemudian membuka tasnya dan mencari buku tersebut. Tangannya mengobrak-abrik dalam tasnyan.
"Jangan bilang Lo gak bawa," Dera menatap Renata dengan sedikit tajam.
"Oh iya, buku gue ada di tas Arya. Semalam dia pinjem karena materinya sama," ucap Renata dengan mengingat-ingat kejadiab semalam.
Baru saja Arga ingin mengangkat mulut, bel sekolah terdengar di sepanjang lorong.
"Nanti jam istirahat aja ambilnya, juga PR-nya jam terakhir-kan." Renata memberi saran.
"Hm..., Ok." Arga mengikuti saran Renata.
Renata, Dera, dan Arga adalah sahabat dari kelas satu SMP. Dan Arya yang dibicarakan oleh Renata tadi itu, juga sahabat mereka. Hanya saja Arya tidak seumuran dengan mereka. Dia kelas dua belas. Arya adalah anak terpintar di sekolah itu. Dia selalu memiliki nilai Raport yang fantastis.
***
"Dia juara lagi?" Arga tidak percaya dengan apa yang di dengar.
"Biasa aja kali, kaya enggak tahu Arya aja," Dera mempercepat langkahnya.
Dera dan Arga sibuk memperdebatkan prestasi Arya. Sedangkan Renata hanya diam dan terus berjalan menuju ke kelas Arya. Renata terlihat gelisah sejak pelajaran pertama pagi tadi. Dia seperti memikirkan sesuatu. beberapa menit, mereka akhirnya sampai di kelas Arya. Lelaki itu tersenyum melihat tiga sahabatnya itu datang ke kelasnya. Kelas Arya terlihat kosong karena semua murid di kelasnya berada di kantin.
"Lo masih belajar aja, Arya. Ini-kan udah jam istirahat," Dera mengomentari Arya yang masih sibuk dengan buku-bukunya.
"Kaya enggak tahu Arya aja," kali ini Arga membela Arya. Renata masih berdiri dengan raut wajah kebingungan. Ketiga sahabat itu saling pandang karena melihat Renata yang tidak biasa dari biasanya.
"Lo baik-baik aja-kan, Renat,." Arya menyakinkan Renata yang berdiri mematung. Renata masih saja diam. Dia melamun.
"Woy!" Dera memukul bahu Renata.
"Lo kenapa sih?" Renata tersadar dan menaikkan alisnya.
"Lo yang kenapa! Dari tadi kita ngomong, Lo gak denger-denger. Lo lagi ada masalah ya?" Kata Dera sambil duduk di atas meja.
Renata terdiam. Dia seperti menyembunyikan sesuatu dari tiga sahabatnya itu. Beberapa detik, Renata menggeleng dan menunduk.
"Dia lagi ada masalah. Lo gak usah bohong sama kita! Kita tuh udah tahu semua jenis raut wajah Lo," Ucap Arga dengan cepat. Dera dan Arga mengangguk-angguk, setuju dengan ucapan Arga.
Bel tiba-tiba berbunyi. Itu berarti waktu mereka bertemu sudah habis. "Jam istirahat kedua nanti, kita ketemu di belakang sekolah. Dan Lo, Renata. Harus cerita apa masalah lo," Arya menatap Renata dengan tegas. Renata selalu seperti itu, dia selalu menyembunyikan masalahnya. Arga, Dera, dan Renata kembali ke kelasnya dengan buku tugas yang dipinjam oleh Arya semalam.
***
Bu Rus masuk ke kelas Renata dengan wajah ceria, siap memulai pelajarannya pagi ini. Anak-anak mulai mengeluarkan buku matematika mereka masing-masing. Renata masih sibuk mencari pulpen di dalam tasnya.
"Lo cari apa sih Renata?" Dera memutuskan untuk bertanya langsung kepada Renata karena melihatnya yang kebingungan.
"Lo punya pulpen dua gak?" Renata pelan-pelan bertanya kepada Dera. Raut wajah Renata yang tadinya terlihat gelisah dan bingung mulai memudar. Dera menggeleng.
"Lo beli aja di kantin," Dera memberi saran. Renata kemudian bangkit dari kursinya dan meminta izin kepada Ibu Rus bahwa ia akan membeli pulpen. Ibu Rus dengan senang hati mengizinkan Renata keluar kelas untuk membeli pulpen. Saat Renata kelaut dari kelasnya, dia melihat seorang perempuan menuju ke Ruang Guru Tua. Renata mengurung niatnya menuju ke kantin, dan berlari ke Ruang Guru Tua. Langkah perempuan itu berhenti tepat di depan pintu. Kemudian, melangkah masuk ke ruang tersebut. Beberapa detik, suasananya tiba-tiba terasa aneh. Amat menyeramkan.
"Hello!" Teriak Renata dengan keras. Tak ada siapa-siapa di ruang tersebut. perasaan Renata tiba-tiba terasa tidak nyaman.
"Lo anak yang cari Boneka ya? Gu-gu-"
Burgh!
"Argh!" Teriak Renata dengan terkejut. Kursi di ruang tersebut jatuh dengan sendirinya. Jendela ruang tersebut bergetar dengan sendirinya. Renata berbalik arah dan berlari keluar dari ruang tersebut.
Burgh!
"Argh!!!" Renata menabrak satpam sekolah. Wajahnya benar-benar ketakutan. Napas Renata tidak teratur. Berdesakkan.
"Maaf Pak, sa-saya gak sengaja." Renata kemudian melanjutkan langkahnya dan mengurut napasnya. Sedangkan satpam itu hanya mematung. Renata masuk ke kelas dengan menunduk.Dera dan Arga bingung melihat tingkah Renata. Dia sedikit gemetaran.
"Lo kenapa?" Tanya Dera dengan tatapan menuju ke papan.
Renata hanya diam. Tak membalas ucapan Dera. Dua sahabatnya semakin khawatir dengan tingkah Renata.
"Pokonya, nanti Lo harus cerita apa yang terjadi sama lo pagi ini," Dera mulai kesal dengan Renata.
***
Empat sahabat itu sudah berkumpul di belakang sekolah. Markas yang telah disiapkan oleh Arya sebelum mereka masuk ke SMA tersebut.
"Sekarang, lo tarik napas panjang-panjang dan ceritain ke kita dengan pelan-pelan," Dera mencoba menenangkan Renata. Sedangkan kedua sahabat lelaki mereka sudah siap mendengar.
"Gue takut," Renata menggigit bibir bawahnya.
"Lo takut kenapa?" Arga tak sabar mendengar ceritanya sahabatnya.
"Kemarin gue masuk sekolah lewat lorong belakang, terus gue gak sengaja ngeliat pintu Ruang Guru Tua di bagian pojok sana terbuka. Dan gue masuk ke ruang itu." Renata terlihat pucat.
"Lo masuk ke ruang itu!" Dera sangat terkejut.
"Lo gila ya! Lo tahu itu ruangan apa?" Arga langsung naik pitam.
Renata terlihat ketakutan. Dia sama sekali tidak tahu ruang apa itu. "Itu ruangan angker, Renat. Jangan bilang lo gak tahu cerita Ruang Guru Tua itu." Wajah Arga merah padam.
Renata menggeleng. Dera menepuk keningnya. "Kalian bisa diam gak, sekarang lo lanjutin ceritanya," Arya mencoba menenangkan suasana.
"Gu-Gue ngeliat boneka di sana."
"Boneka!" Dera dan Arga makin terkejut.
"Kalian bisa diam gak!" bentak Arya. Renata kemudian melanjutkan bicaranya.
"Gue tertarik sama Boneka itu dan ..., Gu-Gue bawa pulang Boneka itu. Semalam gue keluarin boneka itu dari tas gue, juga pas gue mau ambil buku tugas pagi tadi, boneka itu gak ada di dalem tas gue. Tapi di mata pelajaran kedua, gua nemuin boneka itu di dalem tas gua...," Renata menangis ketakutan. Dia benar-benar takut.
"Mungkin boneka itu terselip," Arya mencoba menenangkan Renata.
"Gak mungkin, Boneka itu besar! Dan tadi, gua ngeliat cewek masuk ke Ruang Guru Tua, pas gue ikutin. Cewek itu gak ada di dalam sana," bibir Renata bergetar. Amat ketakutan.
"Sekarang juga kita kembalikan boneka itu," Dera menatap ketiga sahabatnya dengan mantap. Namun, bel sekolah berbunyi seketika. Arya mencoba mencari ide untuk bolos satu mata pelajaran.
"Sekarang lo ambil boneka itu dan ingat jangan perlihatkan kepada siapapun. Izin dari kelas bahwa Dera sakit dan kamu akan membawa obatnya. Juga jangan lupa bilang ke guru kelas, kalau Arga ada urusan di BP. Dengan begitu kamu bisa keluar dari kelas," Arga memberitahu Renata cara keluar dari kelasnya. Renata setuju dengan ide Arya, kemudian beranjak dari markas mereka.
Ketiga sahabat Renata berjalan menuju ke Ruang Guru Tua. Mereka sudah sepakat untuk bertemu di sana. Mereka menunggu Renata di depan Ruang Guru Tua. Sejak tadi, Arga tidak bisa diam, dia sangat ketakutan. Sekitar sepuluh menit mereka menunggu, akhirnya Renata datang dengan tas punggung di tangannya.
"Sekarang kita masuk," Arya melangkah lebih dahulu. Tak sempat Arya memegang gagang pintu, pintu itu terbuka dengan sendirinya.
"Gue di luar aja," Arga ketakutan sambil memegang tangan Dera.
"Lo jangan modus," Dera menyingkirkan tangan Arga di lengannya.
"Kalian gak usah main-main," Arya menatap tajam ke arah Dera dan Arga.
Kemudian lelaki itu masuk bersama Renata yang sudah mengeluarkan Boneka Salendrina.
"Sebelumnya, gue minta maaf Gisella, kami bukan maksud untuk mengambil Salendrina. Sekali lagi maafkan tindakan ceroboh kami," Arya kemudian meletakkan Boneka Salendrina di atas meja. Keempat sahabat itu berbalik badan dan keluar dari Ruang Guru Tua.
"Jauhi ruang ini," Arya memperingati ketiga sahabatnya. Mereka pun kembali ke kelas mereka masing-masing. Arga masih ketakutan. Dia terlalu penakut.
@HeniWrain thank you
Comment on chapter chapter 3