Gadis itu mendongak ke atas. Matanya berbinar-binar dan bibir merahnya merekah membentuk seulas senyum saat kelopak-kelopak berwarna putih kemerah-merahan itu berjatuhan bagaikan salju, berusaha menatap langit melalui sela-sela ranting di atas sana. Kakinya yang menggantung tak jauh dari permukaan tanah ia goyangkan kecil. Kedua tangan yang menahan kuat bangku kayu panjang di bawah pohon itu menopang bahunya. Rambut pirang—cokelat keputihan—sebahunya sedikit bergoyang sementara ia bersenandung kecil. Seperti yang orang-orang katakan, musim semi memang yang terbaik.
“Apa pendapatmu tentang bunga ini?”
Dengan cepat gadis itu melayangkan pandangan pada seorang laki-laki berambut hitam berponi yang entah sejak kapan telah duduk di sampingnya. Pandangan kelabu laki-laki itu tertuju pada bunga sakura yang menempel pada dahan di atas sana, sebelum akhirnya turun lalu berhenti pada gadis di sebelahnya.
“Indah, anggun,” gadis itu memberi jeda sebelum akhirnya melanjutkan, “dan rapuh.”
Suasana kelam menghampiri bersamaan dengan angin dingin yang berhembus, menyapu kelopak-kelopak bunga yang berserakan di tanah. “Kazuhito,” panggil sang gadis pada kekasihnya, “Bagaimana kabar tunanganmu?”
“Dia baik-baik saja—dia sehat,” sahut Masayuki Kazuhito terdengar tak peduli. “Bahkan terlalu sehat untuk terus memaksa ayahku umempercepat pernikahan kami setiap harinya,” ia meremas dahan-dahan kecil yang tidak sengaja ia kumpulkan, lalu melemparnya sembarang sejauh mungkin. “Bagaimana dengan tunanganmu?”
Harumi Sakura mendengus geli, memindahkan sejumput rambutnya ke belakang telinga. “Ia masih keras kepala seperti biasa.”
Semilir angin menemani perbincangan kecil mereka. Harumi Sakura adalah anak tunggal dari salah satu keluarga berdarah biru di Osaka, yang selama sepuluh tahun ini tengah menjalin hubungan dengan Masayuki Kazuhito, seorang penerus dari keluarga pengusaha komputer terbesar di Jepang.
Mereka pertama kali bertemu pada sebuah musim semi kelas satu SMA, saat secara tak sengaja menanam bersama sebuah pohon sakura yang kini telah berdiri dengan megahnya di salah satu taman kesukaan mereka di Kyoto. Sejak saat itu ada ketertarikan alami yang mereka rasakan, menghantarkan keduanya pada sebuah hubungan. Entah hal itu karena persamaan nasib yang sama-sama mereka rasakan ataukah suara hati yang menyatukan mereka.
Sakura dan Kazuhito adalah cerminan dari seorang putri yang anggun dan seorang pangeran yang rupawan. Dengan tubuh yang ramping, kulit putih, dan wajah yang berbentuk hati, Sakura adalah penjelmaan atas segala hal yang wanita inginkan. Begitu juga dengan wajah tampan Kazuhito dan mata kelabunya yang menawan, dapat dipastikan bahwa wanita yang nantinya menjadi istri Kazuhito adalah wanita yang sangat beruntung. Mereka berdua memiliki takdir yang sama, dihadapkan pada situasi yang sama, memendam kesedihan yang sama, dan juga, menanggung beban yang sama. Satu hal yang kini memisahkan mereka adalah kenyataan bahwa meski mereka memiliki takdir yang sama, namun mereka tidak ditakdirkan untuk bersama. Dan kedua orang itu mengetahuinya.
Baik Sakura maupun Kazuhito masing-masing telah memiliki tunangan yang tidak mungkin dapat mereka lepaskan, meski sebenarnya mereka sangat ingin. Kini hanya masalah waktu hingga keduanya harus memaksa hati untuk dapat menerima kenyataan.
“Kazu,” panggil Sakura lirih, berhasil membuat kekasihnya itu menoleh padanya. “Apakah hidup kita ini bukan sepenuhnya milik kita?”
***
Dalam dunia yang normal, orang-orang menikah karena cinta. Tapi dunia tidaklah sesempurna itu. Setidaknya, begitulah dunia yang ia dan Kazuhito tinggali. Kazuhito melangsungkan pernikahan di sebuah hotel bintang lima dekat sebuah taman bunga di Kyoto satu tahun kemudian. Taman dimana Sakura dan—mantan—kekasihnya dulu sering bertemu.
Orang-orang awalnya mengira gadis bangsawan itu mengalami depresi setelah Sakura terus mengurung diri dan memutus komunikasi pada semua orang selama hampir dua bulan begitu hubungannya dengan Kazuhito terputus sore itu. Tetapi pada kenyataannya, gadis bermata coklat madu itu—dengan sikap anggun yang tak pernah hilang—justru mendatangi pernikahan Kazuhito.
Sakura yang saat itu datang mengenakan gaun putih, terlihat sangat cantik hingga para tamu mengira akan ada dua mempelai wanita yang akan menikah. Ia duduk dengan tenang di kursi tamu, lalu cepat-cepat pergi ketika telah melihat Kazuhito mencium wanita berambut hitam panjang sepinggang yang terbalut gaun pengantin panjang yang kini telah resmi menjadi istrinya.
***
Sakura menyingkap gaun panjangnya sebelum duduk dengan sebelah tangan yang mengadah, membiarkan kelopak-kelopak sakura yang berguguran menumpuk dalam genggamannya. Pandangannya tertuju pada sebuah kelopak yang melayang-layang ringan sebelum akhirnya bergabung dengan kelopak lain di tangannya, meski begitu, pikirannya kosong. Begitu juga, dengan hatinya saat ini.
“Bagaimana keadannya?” tanya Kazuhiko yang tiba-tiba saja muncul dengan tuksedo putih khas pengantin pria entah darimana, berdiri di kejauhan. Meski hari ini menikah, laki-laki itu tidak sedikitpun menunjukkan wajah bahagia.
“Masih tetap sama,” sahut Sakura tanpa menoleh. Sekilas, tidak jelas apakah Kazuhito menanyakan kabar bunga sakura kesayangan mereka, ataukah Sakura yang kini entah masih atau tidaknya laki-laki itu sayangi. Tapi dengan pikiran yang cepat, Sakura membuang semua pikiran berlebihannya dan menyimpulkan bahwa mantan kekasihnya itu sedang menanyakan pohon sakura mereka. “Indah, anggun…dan rapuh.”
Kazuhiko berjalan mendekat, memperkecil jarak diantara keduanya. Ia beberapa kali melompat untuk mematahkan dahan sebelum akhirnya mengumpulkan bunga sakura sebanyak yang ia bisa, lalu mengikatnya menjadi sebuah buket.
“Ini,” Kazuhito menyerahkan buket bunga itu pada Sakura yang masih duduk pada bangku panjang favorit mereka. “Aku tahu kau sangat ingin memegang buket. Aku ingat betul tatapan cemburumu sewaktu melihat Ayumi di dalam tadi.”
“Jangan seenaknya, Kazu,” Sakura menerima bunga itu dengan tatapan sendu. “Tak seharusnya ada wanita lain yang kau beri buket di hari pernikahanmu.”
Sakura berdiri dari duduknya, menatap dalam mata kelabu Kazuhito. Gaun putih panjangnya kembali tergelar ke tanah. Dan dalam hati yang terdalam, Sakura merasa sangat senang sekaligus sedih. Dengan gaun putih dan buket di tangannya, ia dapat merasakan dirinya menjadi pengantin yang menikah dengan Kazuhito hari ini. Ya, hanya merasa.
Kazuhito menawarkan sebelah tangannya. Dan saat itu juga Sakura tak lagi mampu menahan bendungan air yang telah lama ia tahan di kelopak matanya. Bunga sakura kembali berguguran, kelopak-kelopak berwarna merah muda itu menghujani mereka berdua.
Kazuhito meremas tangan mungil yang terbalut dalam sarung tangan putih itu seolah ia tak akan pernah melepaskannya. Gaun putih yang Sakura kenakan sempurna. Rendra-rendra merah muda yang terjahit rapi di beberapa sisi gaun terlihat sangat serasi dengan rambutnya. Bunga berwarna putih dan merah muda yang dirangkai menyerupai bando yang gadis itu kenakan membuatnya terlihat seperti malaikat. Serta buket yang laki-laki itu baru saja berikan, membuat Sakura terlihat benar-benar seperti calon pengantin.
“Cantik,” gumam Kazuhito, suaranya terdengar serak. Kesedihan jelas terpancar dari sorot matanya yang redup. “Sangat cantik.”
“Benar,” sebelah mata Sakura kembali melepas air mata, jatuh menuruni pelan pipinya yang merona. “Sakura yang saat ini jatuh itu... terlihat sangat cantik.”