"Tentang kehilangan.
Ajari aku bagaimana caranya berdamai, hingga tak perlu lagi kurasakan sakit yang begitu menyiksa.
Ajari aku bagaimana cara merelakan, hingga tak perlu lagi aku melarikan diri semua luka.
Ajari aku bagaimana cara bernapas,
ketika bayang-bayang itu merampas habis seluruh oksigen dalam paru-paruku."
♥
Gumpalan asap putih diembuskan Bima melalui bibirnya. Sebenarnya, sudah lama ia memutuskan untuk berhenti merokok. Hanya saja, hari ini ia membutuhkan suatu pelarian untuk meredakan gelisah hatinya.
Sejak setengah jam yang lalu -setelah pulang dari makam mamanya- Bima menunggu di depan gerbang rumah Clarissa. Sudah tiga puntung rokok yang ia habiskan, namun gadis itu masih belum menampakkan batang hidungnya. Bima mendesah frustasi dan mengacak-acak rambutnya. Rasa gelisah, cemburu, marah, dan takut bercampur menjadi satu dalam diri Bima. Saat ini yang ia butuhkan adalah melampiaskan semuanya. Dan, ia butuh Clarissa. Selama ini Clarissa adalah satu-satunya yang bisa meredakan seluruh emosinya, hanya dengan melihat pijar dari mata cokelat gadis itu.
Tapi kali ini, Clarissa tidak ada. Gadis itu masih sibuk menghabiskan waktu bersama Firza, seseorang yang sangat dibencinya hingga detik ini. Bahkan Clarissa tidak menyadari, bahwa saat ini gadis itu berada di titik yang berpotensi menghancurkan ketegaran seorang Bima Prasetya.
Sorot lampu mobil menyilaukan mata Bima. Satu tangannya bergerak reflek menutup matanya dari sinar itu. Dari tempatnya, Bima bisa melihat Firza turun dari mobil tersebut lantas berlari pelan untuk membuka pintu mobil sebelahnya. Clarissa turun dari mobil itu seraya melemparkan senyum lebar pada Firza. Mereka tampak bahagia, sesekali saling melemparkan lelucon lantas tertawa bersama. Rahang Bima mengeras melihat pemandangan itu. Ia tidak suka melihat Clarissa tertawa bersama Firza.
Ah, tidak. Lebih tepatnya, ia tidak suka melihat Firza bahagia.
Bima memalingkan pandangan dari dua orang yang berdiri beberapa meter di depannya. Kedua tangannya terkepal kuat, menahan rasa sakit yang terasa menusuk-nusuk jantungnya. Rasa marah, kecewa, dan cemburu yang sejak tadi sudah menyelimutinya, kini terasa semakin hebat. Ia ingin menarik Clarissa menjauhi Firza, tapi yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah menatap mereka tanpa bisa berbuat apapun. Meski Gerald sudah memberikan kepercayaan padanya untuk menjaga Clarissa, tetap saja gadis itu bukan miliknya. Ia hanya sahabat Clarissa, dan Clarissa tidak pernah menganggapnya lebih dari itu.
Bima menginjak pedal gas dalam-dalam. Rush putih itu melesat kencang tepat ketika Clarissa dan Firza hendak memasuki gerbang besi rumah Clarissa. Entah kemana ia akan pergi. Ia hanya ingin mengurangi sedikit rasa sakit di hatinya.
♥
Clarissa memutar-mutar ponselnya dengan gelisah. Sudah hampir sepuluh panggilan ia layangkan pada nomor Bima, namun tetap saja suara operator yang menjawab panggilannya. Sejak Bima meninggalkan rumahnya empat puluh lima menit lalu, Clarissa langsung didera perasaan tidak tenang. Tidak biasanya pemuda itu pergi begitu saja, tanpa menemuinya terlebih dahulu. Apalagi, ketika ia melihat pemuda itu mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi di jalan kompleks perumahan.
"Dia kenapa sih?" Clarissa bermonolog, seraya memandangi layar ponselnya yang tetap bergeming.
Clarissa menggigit bibir bawahnya. Selama hampir empat belas tahun bersahabat dengan Bima, ia masih belum benar-benar memahami pemuda itu. Bima seolah mendirikan dinding di tengah hubungan mereka. Bima membatasi siapapun untuk menyentuh kehidupan pribadinya, termasuk Clarissa.
Sejak hadirnya Brama dan Firza di tengah mereka, ia hampir selalu menangkap gelagat aneh dari Bima. Pemuda terlihat seolah tengah menutupi sesuatu setiap kali Firza atau Brama berada di tengah mereka. Kecurigaan Clarissa bertambah besar, ketika Brama menyapa Bima di kampus dua hari yang lalu.
“Kenapa sampai saat ini gue masih sulit memahami lo sih, Bim?” Clarissa mengacak-acak rambutnya kesal.
Gadis itu akhirnya menyerah. Ia melemparkan ponselnya begitu saja ke atas ranjang dengan perasaan sebal. Ia merebahkan diri di atas ranjang, lantas menghela napas panjang. Seharusnya hari ini menjadi hari membahagiakan baginya, karena pernyataan cinta Firza. Namun perasaan itu lenyap begitu saja, ketika mendengar deru mesin mobil Bima di sekitar rumahnya yang membelah keheningan malam.
Clarissa memejamkan mata. Gadis itu akhirnya tertidur dengan rasa penasaran yang belum terjawab.
♥
Bima menghentikan mobilnya di depan gerbang sebuah rumah mewah. Ia membunyikan klakson, dan membuat seorang satpam yang tengah membaca koran di pos satpam rumah tersebut mengalihkan perhatian padanya. Bima menurunkan kaca mobilnya, lantas melemparkan segaris senyum simpul pada lelaki berusia sekitar empat puluh tahun itu.
Pria tersebut terdiam sejenak, sembari memerhatikan wajah pemuda yang beberapa saat lalu melemparkan senyuman padanya. Alinya tampak berkerut, sebelum akhirnya ia buru-buru membuka pintu gerbang setelah mengenali wajah di balik kemudi mobil tersebut.
“Malam mas Bima. Lama nggak pernah ke sini, sampai pangling saya,” ucap pria bernama Rudi itu dengan rama.
Bima melemparkan senyum sopan. “Saya sekarang tinggal di rumah nenek, pak.”
Pria bernama Rudi tersebut manggut-manggut, lantas mempersilakan Bima untuk memarkir mobilnya di halaman rumah. Awalnya, ia sempat menawarkan agar Bima memarkirkan mobil tersebut di garasi. Namun, dengan lembut ditolak oleh Bima.
Rudi tidak ingin bertanya apapun pada Bima, meski dalam hati ia begitu penasaran dengan kehidupan pemuda itu sekarang. Sejak meninggalkan rumah ini, Bima seolah hilang ditelan bumi. Pemuda itu tidak sekalipun menginjakkan kaki di rumah orang tuanya. Tapi Rudi memahami, hal itu dilakukan Bima bukan tanpa alasan. Rumah mewah yang saat ini sedang ia jaga, menyimpan terlalu banyak kenangan bagi pemuda itu. Barangkali, akan cukup sulit bagi Bima untuk berdamai dengan rasa sakitnya di masa lalu jika pemuda itu tetap bertahan tinggal di rumah ini.
Bima turun dari dalam mobilnya. Setelah berputar-putar tanpa arah, Ia tidak tahu mengapa hatinya seolah memaksa agar ia kembali ke rumah itu. Rumah yang sudah yang ia tinggalkan sejak dua tahun lalu.
Bima berhenti sejenak, memandang rumah mewah berlantai dua tersebut dengan tatapan nanar. Bayang-bayang wanita yang pernah begitu ia cintai, hadir di setiap sudut rumah tersebut. Meski rumah tersebut tampak besar dan lapang, namun Bima selalu merasa sesak di dalamnya. Di balik dinding bercat cream tersebut, ia harus merelakan kebahagiaannya direnggut paksa. Ia harus merelakan bagaimana takdir menempatkannya pada titik terendah, hingga ia harus bangkit terseok-seok seorang diri dua tahun lalu.
Bima menarik napas panjang, mencoba meredakan nyeri yang tiba-tiba menghujam dadanya. Kakinya melangkah pelan, menyusuri jalan setapak yang diapit oleh rerumputan hijau. Taman ini masih tampak seperti bertahun-tahun lalu. Bunga matahari yang ditanam mamanya di samping paviliun masih tampak segar. Sepertinya, tukang kebun rumah ini benar-benar menjalankan amanat mamanya untuk merawat bunga itu. Meski mamanya kini tidak lagi berada di sana.
Bima membelokkan langkahnya menuju paviliun yang berada di tengah taman. Bangunan kecil tersebut memiliki warna yang sama dengan rumah induk. Tangan Bima terulur, menyentuh ukiran di pintu bangunan tersebut. Meski kecil, paviliun dengan jendela kaca berukuran besar di samping pintu tersebut tampak lapang.
Paviliun itu dulunya digunakan mamanya untuk melukis. Setiap sore hingga maghrib, mamanya selalu berada di tempat tersebut untuk menorehkan warna-warna di atas kanvas. Ia sering kali mengintip kegiatan mamanya melalui kaca jendela tersebut. Entahlah, ia selalu suka setiap kali melihat mamanya melukis. Wanita itu selalu terlihat menawan. Indah, seperti senja yang ia lihat dari lukisan mamanya secara diam-diam.
Mamanya begitu menyukai senja. Wanita itu pula yang mendesain agar jendela kaca paviliun di letakkan di sisi barat. Setidaknya, dengan begitu wanita itu bisa selalu menikmati matahari senja setiap kali melukis.
Sebutir air mata meluncur begitu saja dari sudut matanya. Bayangan wajah mamanya saat tengah melukis dengan takzim. Gerakan lentik jemari mamanya yang menari di atas kanvas menorehkan sapuan warna-warna indah. Bayangan mamanya yang tengah tersenyum kala mendapati dirinya mengintip diam-diam melalui celah jendela. Dan, suara lembut mamanya yang menjelaskan padanya arti dari warna-warna yang ia sapukan di atas kanvas. Semua itu berkecamuk dalam kepala Bima, berputar-putar layaknya film layar lebar yang tidak bisa dihentikan meski hanya sejenak.
Ia bisa merasakan dadanya dihantam oleh sesuatu dengan sangat keras. Menghancurkan hatinya hingga berkeping-keping, mencabik-cabik pertahanan dirinya, menghadirkan rasa sakit luar biasa yang tidak bisa dia jelaskan. Sakit itu tidak terlihat, luka itu tidak kasat mata, namun terasa begitu nyata. Sesak, kenangan-kenangan itu seolah merampas habis seluruh oksigen dalam paru-parunya.
Bima jatuh berlutut di depan pintu kayu paviliun tersebut. Air mata yang sejak tadi ia tahan, mengalir deras membanjiri pipinya. Ia memukul-mukul dada kirinya seraya berharap dengan begitu rasa sakit dan sesak yang menyelubungi dadanya sedikit berkurang. Meski ia tahu, yang ia lakukan itu tidak berarti sama sekali. Rasa sakit dan sesak di dadanya masih berada di sana, menghujam jantungnya bertubi-tubi tanpa ampun.
Setelah dua tahun berlalu, ia kembali menemui kehancuran itu. Pertahanan demi pertahanan yang ia bangun selama ini, sama sekali tidak berguna begitu ia menginjakkan kaki kembali di rumah ini.
Pemuda itu terisak. Bibirnya bergumam memanggil-manggil mamanya, meski ia tahu wanita itu tidak akan pernah kembali. Wanita itu sudah pergi dengan membawa sebagian besar jiwanya. Dua tahun berlalu, namun ia masih belum bisa berdamai dengan rasa sakitnya.