"Di balik dua orang yang sedang jatuh cinta, akan ada pihak lain yang harus menyimpan sendiri lukanya.
Dan, pihak lain itu adalah aku."
♥
“Kemarin Kak Firza nyatain perasaannya ke gue,” ucap Clarissa berapi-api.
“Serius? Ah gila sih! Cowok dingin kayak dia ternyata bisa juga nembak cewek,” Vella menanggapi tidak kalah bersemangat.
Di tengah kehebohan dua perempuan tersebut, ada seseorang yang tengah merasa seolah atap plafon kantin ambruk menimpa tubuhnya. Ambyar. Pernyataan singkat Clarissa berhasil meremukkan jantungnya.
Hanya dalam waktu sepersekian detik, gadis itu mampu membuat jantungnya berhenti seketika. Tidak ada yang menyadari sepias apa wajah Bima saat ini. Rahang pemuda itu mengeras, jari-jemarinya mengepal di bawah meja. Seolah ada sesuatu yang menghantamnya, merampas seluruh oksigen dalam paru-parunya.
Memang salahnya. Salahnya yang tidak menyadari perasaannya sejak dulu. Salahnya yang baru menyadari perasaannya ketika Firza sudah berada satu langkah di depannya.
“Terus, lo terima?” tanya Bima lirih.
“Mungkin. Kita lihat aja nanti,” jawaban Clarissa sukses membuat hati Bima semakin berantakan.
Ketakutan demi ketakutan melintas dalam kepalanya. Menghadirkan rasa ngilu yang tidak bisa digambarkan. Jika gadis itu menerima pernyataan Firza, maka mungkin nanti ia akan kembali di hadapkan pada kehilangan. Ia akan kembali di tempatkan di belakang. Disingkirkan, seolah tidak ada lagi yang menginginkan.
Mungkin ia memang egois. Namun, ia sama sekali tidak ingin kehilangan gadis itu. Baginya sekarang, Clarissa adalah segalanya. Gadis itu adalah satu-satunya yang ia miliki di dunia, setelah satu per satu orang meninggalkannya. Gadis itu adalah satu-satunya yang membuat hatinya kembali genap, setelah luka bertubi-tubi menghancurkannya.
Bima mendorong kursinya ke belakang, lantas beranjak dari tempat itu. Terlalu lama mendengar cerita Clarissa dan melihat betapa gadis itu mengagumi Firza, cukup membuat hatinya luluh lantak.
Bima pergi, tanpa mengucapkan sepatah katapun. Tidak peduli pada tatapan heran dan penasaran yang dilemparkan oleh Clarissa dan Vella.
♥
“Sendirian aja. Nggak takut ditemenin sama penunggu pohon beringin?” suara Firza memecah fokus Clarissa yang tengah membaca komik Doraemon kesukaannya.
Gadis itu mendongak, dan seketika itu pula ia terpana. Ukiran sempurna wajah Firza yang terkena sinar matahari, membuat Clarissa tidak berkedip selama beberapa detik. Pemuda itu benar-benar ibarat bidadara yang menjemputnya untuk pergi ke khayangan
Gila! Mimpi apa gue bisa disamperin pangeran siang-siang gini?
Melihat Clarissa yang tidak menunjukkan reaksi apapun, Firza menjentikkan jemarinya di depan wajah gadis itu. “Clar, lo nggak apa-apa?”
Clarissa tergagap. Cepat-cepat ia mengalihkan pandangan, sebelum semakin terlihat bodoh di depan Firza. “Nggak. Gue nggak apa-apa.”
“Boleh gue duduk sini?” Firza menunjuk kursi kosong di sebelah Clarissa, yang dibalas gadis itu dengan anggukan kepala.
Jantung Clarissa berdebar cepat, saat melihat segaris senyum simpul di bibir Firza. Menghadirkan sensasi aneh seperti kupu-kupu berterbangan dalam perutnya.
“Kalau lo ketemu Doraemon, lo mau minta benda apa?” tanya Firza tiba-tiba, mengembalikan kesadaran Clarissa sepenuhnya.
“Apa ya?” gadis itu tampak berpikir, sebelum akhirnya menjentikkan jarinya. “Mesin waktu.”
Firza menaikkan sebelah alisnya. “Kenapa?”
“Gue ingin kembali ke masa lalu. Kayaknya seru, kalau kita bukan hanya bisa sekadar mengenang. Tapi juga melihatnya sekali lagi.”
“Sekalipun itu masa lalu yang buruk?” pertanyaan Firza dijawab anggukan tegas oleh Clarissa.
“Seburuk apapun, masa lalu itu yang udah buat kita setegar sekarang. Percaya deh. Kalau nggak pernah ada masa lalu yang buruk, kita nggak akan pernah belajar dari kesalahan.”
Firza tersenyum, lantas mendaratkan tangannya di puncak kepala Clarissa. Mengacak-acak rambut gadis itu dengan gemas.
Clarissa hanya bisa terpaku. Wajah cerah di hadapannya, benar-benar seperti magnet yang menariknya sangat kuat. Memacu jantungnya, hingga berdegup sangat kencang. Bahkan ia takut, jika pemuda di depannya akan mendengar detak jantungnya yang sudah mirip seperti musik rap.
Jangan senyum kayak gitu, plis. Bisa jantungan gue lama-lama.
Mereka sama sekali tidak menyadari, ada dua orang yang sejak tadi mengamati dalam rentang jarak sepuluh meter. Dua orang yang saling terdiam, dan tertuju pada satu titik pandang.
♥
Bima hanya bisa menghela napas panjang. Sebuah godam raksasa seolah kembali menghantamnya, menghancurkan hatinya yang sudah berhamburan menjadi puing-puing kecil. Remuk, tidak berbentuk.
Di belakangnya, Vella hanya bisa terdiam melihat kejadian itu. Sejak kepergian Bima dari kantin beberapa jam lalu, ia sudah menyadari keanehan pada diri pemuda itu. Bima bahkan memisahkan diri dari mereka selama jam perkuliahan berlangsung. Hal itu pula yang membuatnya akhirnya mengikuti pergerakan pemuda itu. Mencari tahu alasan di balik sikap aneh yang muncul dengan sangat tiba-tiba.
“Terkadang manusia memang lucu. Ia lebih memilih jatuh sendiri, daripada menyatakan perasaan. Hanya karena alasan takut, jika perasaan itu tidak mendapatkan balasan atau justru mendapat penolakan.”
Rahang Bima mengeras. Ia tidak tahu, sejak kapan Vella berada di tempat itu. Namun, semua yang dikatakan gadis itu tidak sepenuhnya salah. Ia takut, jika menyatakan perasaannya hanya akan membuat Clarissa menjauh. Namun ia juga tidak bisa memungkiri, melihat Clarissa bersama orang lain justru membuat perasaannya remuk redam.
Vella duduk di kursi kosong yang berjarak satu langkah dari tempat Bima. Pandangannya tertuju lurus pada dua orang yang sedang tertawa bahagia di depan sana. Meski belum resmi, namun ia tidak bisa mengelak jika Clarissa dan Firza terlihat sangat cocok.
“Gue mungkin belum lama kenal sama lo. Tapi, apa lo lupa kalau orang tua gue semuanya psikolog? Sedikit-banyak gue nurun bakat mereka. Jadi, gue bisa tahu apa yang lo sembunyiin tanpa perlu lo ceritain.”
Bima menoleh ke arah Vella, lantas terkekeh. “Kadang susah ya kalau punya temen yang bisa baca pikiran.”
Vella mengedikkan bahunya. “Gue nggak bisa baca pikiran. Gue cuma nebak dari ekspresi seseorang. Lagipula, siapa tahu gue bisa bantu lo kalau tiba-tiba lo jadi stress gara-gara perasaan lo ke Clarissa.”
“Sialan! Anyway, thanks udah nemenin gue,” ucap Bima, yang dibalas Vella dengan senyuman simpul.
♥
Bima melajukan mobilnya menuju area pemakaman yang terletak di tengah perkampungan penduduk. Jalanan sempit yang ia lalui, membuatnya harus hati-hati jika tidak mau terjungkal ke dalam sawah.
Suasana di tempat ini masih sangat asri. Sejauh mata memandang, hanya hamparan hijau persawahan yang terlihat. Rumah-rumah penduduk memang sudah jauh lebih ramai dibanding beberapa tahun lalu. Namun, masih tidak terlalu merubah kesan pedesaan yang tenang.
Mobil mewah tersebut berhenti di depan komplek perumahan yang diselimuti pepohonan rindang, hingga terlihat cukup gelap. Dengan langkah pelan namun pasti, Bima melewati jalan setapak di area tersebut sebelum akhirnya berhenti di sebuah makam yang sudah beberapa bulan ini tidak ia kunjungi.
“Apa kabar, ma?” suara pelan Bima memecah keheningan yang menyelimuti area tersebut.
Tidak ada sahutan. Hanya gemerisik dedaunan dan kicau burung yang menemaninya.
“Boleh nggak Bima cerita sama mama?” pemuda itu menjeda kalimatnya sejenak. “Bima jatuh cinta sama sahabat Bima sendiri. Dia gadis kecil yang Bima temui lima belas tahun lalu. Mungkin mama nggak pernah tahu, karena saat itu dia belum bisa Bima ajak ketemu mama.”
Hening kembali terasa. Rasa nyeri tiba-tiba melintas dalam dadanya. Bima menarik napas dalam-dalam, kemudian kembali bermonolog.
“Tapi sayangnya, sekarang dia lagi dekat sama Firza. Dan yang buat Bima lebih sakit lagi, dia juga jatuh cinta sama Firza. Mama ingat Firza kan?” Mata abu-abu gelap pemuda itu mulai berkaca-kaca.
“Bima nggak tahu, kenapa dunia ini nggak adil sama Bima. Sejak dulu, Firza selalu dapat apa yang dia inginkan. Firza selalu berhasil merebut apa yang Bima punya, sampai akhirnya Bima harus jadi pihak yang ditinggalkan. Bima takut, kalau kejadian bertahun-tahun lalu akan kembali terulang,” pemuda itu kembali menjeda kalimatnya. Mengusap air mata yang turun tanpa permisi membasahi pipinya.
“Salah nggak ma, kalau sekarang Bima bersikap egois? Salah nggak kalau sekarang Bima mempertahankan apa yang Bima miliki? Bima nggak mau lagi jadi pihak yang ditinggalkan. Bima nggak mau lagi sendiri seperti hari itu.”
Bima mengusap lembut nisan mamanya. Ingatan tentang kematian mamanya kembali berkecamuk dalam kepalanya. Setiap kali ingatan itu hadir, ia tidak pernah bisa tidak menyalahkan diri sendiri.
Bima meletakkan sebuket bunga krisan kuning di bawah nisan mamanya. Memandang gundukan tanah tersebut dengan pancaran penuh luka dari kedua matanya. Untuk pertama kalinya setelah kepergian mamanya, ia menangis.
Entah ia menangis untuk apa. Untuk kepergian mamanya yang gagal ia lindungi. Untuk kekejaman hidup yang ia rasa tidak pernah adil. Atau untuk ketakutan tak berdasar yang ia rasakan sendiri.
Bima menyeret langkah meninggalkan area pemakaman dengan perasaan bercampur aduk. Ada ketakutan, kerinduan dan penyesalan dalam hati, yang tidak akan pernah tersampaikan.
Mengapa ia baru bisa bercerita sebanyak itu pada mamanya, ketika wanita itu sudah tidak lagi bisa berbicara padanya?
Mengapa ia baru bisa menyatakan tentang ketakutannya, ketika wanita itu sudah tidak lagi bisa ia jadikan tempat bersandar?
Hidup memang tidak pernah adil padanya. Sejak kecil, ia memang sudah ditakdirkan untuk sendiri. Ia memang sudah ditakdirkan untuk melawan rasa takutnya sendiri.