Loading...
Logo TinLit
Read Story - Lingkaran Ilusi
MENU
About Us  

"The only thing more incredible than your smile, is when you smile at me."

(l.m.s)

Bima menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Entah kenapa, hari ini fisik dan pikirannya terasa sangat lelah meski ia hanya menempuh dua mata kuliah. Ia menghela napas panjang, kemudian menutup matanya menggunakan lengan kanan.

Sejak kepergian Brama dan Clarissa beberapa jam lalu, ia sama sekali belum menanyakan tentang keberadaan gadis itu. Ia terus menahan diri, meski pikiran dan hati terus saja memaksanya untuk menghubungi Clarissa terlebih dahulu.

Bima menghela napas panjang sekali lagi. Ia tidak pernah uring-uringan perihal Clarissa selama ini. Ia pun tidak tahu, sejak kapan perasaan tidak nyaman seperti ini muncul. Ia tidak suka ketika melihat Clarissa pergi atau sekadar berbicara dengan laki-laki lain. Perasaan ini egois, dan ia tahu benar tentang hal itu. Hanya saja, ia tidak mampu menahan perasaan itu untuk tidak muncul dan membebani hatinya.

Empat belas tahun berteman dengan gadis itu, membuatnya tidak lagi memahami tentang perasaannya sendiri. Ia sama sekali tidak bisa mengartikan perasaannya setiap kali bersama Clarissa. Entah itu perasaan nyaman sebagai sahabat, atau justru ada perasaan lain yang perlahan menyelinap? 

Dan saat ini, ketika ia telah menyadari bahwa ada perasaan lain untuk gadis itu lebih dari sekadar sahabat. Brama dan Firza hadir sebagai pihak yang akan meluluh lantakkan perasaannya.

Di sudut lain hatinya, kehadiran Brama di depan matanya membuat luka lama yang telah ia tutup rapat kembali terkoyak. Rasa nyeri, perih, kecewa, marah berbaur menjadi satu, menghadirkan rasa sesak tidak terperikan dalam hati.

Melihat pemuda itu di hadapannya, seolah membawa kembali bayang-bayang masa lalu yang sekuat hati mencoba untuk dia lupakan. Bayang-bayang tentang kepergian wanita yang begitu dicintainya, dan hilangnya kebahagiaan yang pernah ia miliki.

Bima mengerang frustasi. Bukan hanya tentang luka hatinya, melainkan juga tentang Clarissa. Bagaimana jika gadis itu kembali mengingat tentang Brama dan Firza yang pernah hadir di masa lalu mereka? Bagaimana jika gadis itu kembali terjatuh, seperti yang penah terjadi bertahun-tahun lalu? Setelah bersusah payah membuat Clarissa kembali bangkit, rasanya ia tidak akan sanggup melihat gadis itu kembali terluka oleh ingatan masa lalu mereka.

Clarissa duduk di tepi ranjang, seraya memutar-mutar boneka landak kecil di tangannya. Segaris senyum lebar tercetak di bibirnya, saat bayangan kebersamaannya dengan Brama beberapa jam lalu terlintas dalam kepalanya.

Pemuda itu berbeda dari yang pernah ia duga sebelumnya. Ada sisi menyenangkan dari diri Brama yang baru dilihatnya hari ini. Meski keras kepala, Brama adalah pemuda polos yang tidak segan menunjukkan sisi kekanak-kanakkannya di depan Clarissa.

Seperti beberapa jam lalu, pemuda itu berulang kali berteriak sembari melompat-lompat kegirangan setiap kali berhasil memenangkan permainan. Kontan saja, hal itu membuat Clarissa tertawa. Tingkah laku yang sangat kontras dibandingkan penampilan sangar pemuda itu.

Getaran ponsel di atas nakas mengembalikan kesadaran Clarissa sepenuhnya. Ia meraih benda pipih tersebut, tanpa melepaskan boneka landak pemberian Brama. Dua detik kemudian, mata cokelat almond-nya terbuka lebar. Ia bahkan hampir saja memekik kegirangan, saat membaca pesan masuk di ponselnya.

Dari: Kak Firza

Maaf kemarin lupa ngasih tahu. Gue ada urusan mendadak yang nggak bisa ditinggalin.

Besok sore ada jam kuliah? Kalau lo nggak keberatan, gue mau ganti janji kita yang kemarin batal.

Tanpa menunggu waktu lama, Clarissa membalas pesan tersebut. Bahkan tanpa disadari, ia menahan napas selama mengetikkan balasan untuk Firza.

Untuk: Kak Firza

Oke. Sepertinya, besok saya kosong.

Clarissa melemparkan ponselnya ke ranjang, bibirnya tidak henti meyunggingkan senyum lebar sejak membaca pesan dari Firza. Ia bisa merasakan jantungnya berdebar sekian kali lebih cepat. Ia tidak pernah tahu, bahwa menerima pesan dari pemuda itu bisa menghadirkan sensasi kupu-kupu berterbangan dalam perut dan denyut jantung tidak beraturan.

Aura cerah yang terpancar dari wajah Clarissa tidak luput dari perhatian Bima dan Vella. Terakhir kali mereka lihat, wajah gadis itu tampak kusut karena Brama mengajaknya pergi dengan paksaan. Bima dan Vella saling melempar pandangan heran. Diam-diam mereka sedikit ngeri, setiap kali melihat Clarissa tersenyum sendiri.

"Clar, are you okay?" Vella melemparkan tatapan miris pada Clarissa. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang telah terjadi pada gadis itu. Dan kejadian itu telah membuat salah satu saraf di otak Clarissa terputus, hingga membuat gadis itu beberapa kali tersenyum sendiri sejak jam kuliah pertama mereka.

Clarissa mengangguk bersemangat seraya melebarkan senyumnya. Ia tidak tahu bahwa hal itu justru membuat Vella dan Bima semakin melemparkan tatapan prihatin.

"Serius Clar, kenapa lo jadi nyeremin gini sih?" Meski Clarissa terlihat manis saat tersenyum, tetap saja kejadian seperti ini membuat Bima bergidik ngeri.

Segaris senyum di wajah Clarissa menghilang, tergantikan oleh pelototan tajam dan tatapan yang seolah mengatakan 'diam lo!' pada Bima.

Dari arah pintu masuk kantin fakultas, Firza berjalan santai dengan tas ransel hitam di bahu kanan dan jas almamater disampirkan di lengan kiri. Matanya memandang berkeliling menyapu seluruh sudut kantin, hingga akhirnya berhenti pada seorang gadis berambut panjang dengan mata cokelat almond yang duduk di sudut ruangan.

"Clar, ada waktu?" tanya Firza tanpa basa-basi, begitu ia telah tiba di samping meja Clarissa.

Clarissa menoleh ke sumber suara, kemudian diikuti oleh Bima dan Vella. Firza melemparkan senyum simpul yang berhasil membuat Clarissa tidak berkedip selama beberapa detik.

Astaga, dia benar-benar pangeran berkemeja navy yang turun dari khayangan!

Berbeda dengan kedua temannya yang seolah baru saja melihat tokoh idola mereka di depan mata, Bima justru cepat-cepat mengalihkan pandangan dari Firza. Kehadiran Firza maupun Brama sama-sama memiliki efek menyakitkan baginya. Dua pemuda itu memiliki peran penting terhadap kehancuran hatinya, dan terhadap luka masa lalunya.

"Ada kak," Clarissa seketika menjawab, ketika kesadarannya telah kembali sepenuhnya.

"Gue mau ajak lo sebentar, boleh?" tanya Firza.

Clarissa menoleh ke arah kedua temannya, bermaksud untuk meminta izin. Tanpa berpikir panjang, Vella langsung menyetujuinya dengan anggukan bersemangat. Sementara Bima, hanya melemparkan senyum tipis penuh arti.

Andai saja Clarissa tahu, bahwa pemuda itu kini sedang tidak baik-baik saja. Andai saja Clarissa tahu, bahwa Bima sedang berusaha mati-matian menahan rasa sakit di dadanya. Andai saja Clarissa tahu, bahwa diam-diam pemuda itu berharap Clarissa akan menolak ajakan Firza. Tapi sayangnya, Bima harus kembali menelan kepahitan seiring dengan jawaban yang dilontarkan oleh Clarissa.

"Boleh."

Clarissa beranjak dari tempatnya, lantas melambaikan tangan pada Vella dan Bima. Ia tersenyum lebar, mengekspresikan kebahagiaan yang membuncah dalam dadanya. 

Kapan lagi bisa dapat kesempatan pergi bareng pangeran?

Di sisi berbeda untuk kesekian kalinya, Bima harus kembali menelan bulat-bulat rasa sakitnya sendiri.

Firza menghentikan Pajero Hitamnya di depan sebuah cafè yang tidak jauh dari kampus mereka. Selama berada di dalam mobil, entah kenapa justru bayang Brama yang mengganggu pikiran Clarissa. Mobil ini mengingatkannya saat pertama kali ia bertemu pemuda itu dengan perasaan jengkel setengah mati. Mobil ini pula yang mengingatkannya tentang Brama yang mengucapkan kalimat 'jangan pergi' semalam.

"Turun yuk!" suara lembut Firza membuyarkan lamunan Clarissa tentang Brama, dan menyadarkannya dengan siapa ia berada sekarang.

Alunan musik dan suara lembut seorang wanita menyambut mereka, begitu mereka menginjakkan kaki di pintu masuk cafè. Firza berjalan lebih dulu menuju meja kasir. Ia melemparkan senyum pada seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun yang berada di sana, lantas menyebutkan pesanannya.

"Mau pesan apa?" tanya Firza, sementara Clarissa masih sibuk memindai menu-menu makanan dan minuman yang disusun di buku menu.

"Cappucino satu," ucap Clarissa, seraya menutup buku menu di tangannya.

Setelah memberikan sejumlah uang, mereka berjalan menuju meja kosong yang berada di sudut ruangan. Cafè ini tidak pernah sepi oleh pengunjung. Tidak peduli siang ataupun malam, tempat ini selalu dipenuhi oleh mahasiswa maupun pelajar. Harga yang terjangkau dan tempat yang menyenangkan, membuat mereka betah untuk menghabiskan waktu di tempat ini.

"Kak Firza sering ke sini?" Clarissa membuka percakapan. Mata cokelatnya memandang bekeliling ke seluruh penjuru ruangan.

"Hanya beberapa kali," Firza menjawab pelan.

Suara pemuda itu teredam oleh suara musik yang mengalun dari sisi lain ruangan. Suara lembut seorang perempuan yang bernyanyi sambil memetik gitar, terdengar memenuhi setiap sudut ruangan.

"Jadi, ada yang mau lo tanyain?" tanya Firza kemudian.

Clarissa memandang tidak mengerti, sebelum akhirnya ia mengangguk. "Yang nolong saya beberapa hari lalu, bukan kak Firza?"

Firza melipatkan kedua tangannya di atas meja, lantas tersenyum kecil. "Sebelum gue jawab pertanyaan lo, gue minta satu hal. Tolong jangan panggil gue kak, panggil aja Firza. Dan tolong, jangan ngomong sesopan itu sama gue."

Clarissa menggaruk tengkuknya, kikuk. Bagaimanapun juga, ia sudah terbiasa berbicara sopan pada seseorang yang lebih tua darinya.

"Gue jadi berasa tua banget setiap kali lo manggil gitu," Firza terkekeh geli, dan diikuti cengiran kecil dari Clarissa.

"Jadi Firza, bukan lo yang nolong gue beberapa hari lalu?" Clarissa mengulang kembali pertanyaannya dengan sedikit ragu-ragu.

Firza tersenyum lebar, sebelum akhirnya memberikan penjelasan pada Clarissa. "Bukan gue yang nolong lo waktu itu. Hari itu, gue lihat Brama keluar dari kamar gue. Mungkin aja, dia yang udah nolong lo."

Brama? 

Mendengar nama itu disebut, Clarissa kembali mengingat pernyataan Brama ketika mereka berada di tebing. Pantas aja, pemuda itu mengatakan bahwa itu adalah pertemuan kedua mereka.

"Brama itu saudara kembar gue. Lo udah ketemu dia lagi setelah kejadian itu?"

Clarissa mengangguk pelan.

Iya, gue udah ketemu cowok nyebelin itu dua kali.

"Boleh gue minta satu hal?" tanya Firza.

Alis Clarissa bertaut. Ia terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. sekali lagi.

"Kalau lo ketemu lagi sama dia, gue mohon hati-hati. Dia berbahaya," Firza mencoba memperingatkan.

Clarissa terdiam, memikirkan pernyataan yang baru saja dilontarkan oleh Firza. Awalnya ia memang berpikir demikian. Namun setelah kejadian kemarin, entah mengapa hatinya seolah menolak hal itu. Brama tidak berbahaya, sekalipun pemuda itu sering kali bersikap brutal.

"Kalau dia berbuat sesuatu yang aneh, lo bisa langsung hubungi gue," ucap Firza, yang dibalas Clarissa dengan senyuman lebar.

Clarissa tidak menyadari, segaris senyum itu membuat debaran jantung Firza meningkat. Clarissa tidak pernah menyadari bahwa bukan ia yang jatuh hati terlebih dahulu, melainkan Firza. Ia tidak pernah tahu pemuda itu berulang kali mencuri pandang ke arahnya di sela-sela kegiatan Ospek. Ia juga tidak tahu bahwa hukuman yang diberikan Fabian hari itu adalah usul yang diberikan Firza. Ia tidak pernah menyadari, diam-diam ia telah merubah hidup seorang Firza Juniandar.

Firza memandang gadis di hadapannya dengan tatapan teduh. Clarissa memang cantik, namun bukan itu yang membuatnya terpesona. Gadis itu memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain. Melalui mata cokelatnya yang berpijar indah, ia menemukan sebuah cahaya bernama harapan.

Harapan untuk diselamatkan.

Ia ingin diselamatkan.

Kehadiran seorang pelayan yang mengantar pesanan mereka, membuat kesadaran Firza kembali sepenuhnya. Pemuda itu segera mengalihkan pandangan, sebelum Clarissa mengetahui bahwa ia memerhatikannya sejak tadi.

"Tunggu sebentar," ucap Firza, tepat ketika pelayan itu pergi meninggalkan mereka.

"Kemana?" tanya Clarissa.

Tanpa menjawab pertanyaan Clarissa, pemuda itu beranjak dari tempatnya. Ia melangkah menuju seorang wanita yang tadi bernyanyi di sudut ruangan.

Setelah melakukan negosiasi, akhirnya perempuan itu mengangguk dan menyerahkan gitarnya pada Firza.

Pemuda itu di sana, duduk di atas kursi kayu dengan gitar di tangannya dan pandangan lurus ke arah Clarissa.

Rasa penasaran Clarissa hilang, ketika suara Firza bergema ke seluruh penjuru ruangan cafè tersebut.

"Saya akan mempersembahkan lagu ini untuk seseorang yang telah membuat saya jatuh cinta. Jatuh dalam cinta yang sederhana. Sesederhana binar matanya yang sangat indah," Firza tersenyum, sama sekali tidak melepaskan pandangannya dari Clarissa.

Gemuruh tepuk tangan terdengar bersahut-sahutan, tepat setelah pemuda itu menyelesaikan kalimatnya. Di tempat duduknya, Clarissa tidak bisa menyembunyikan wajah meronanya, seiring dengan jantungnya yang sudah berdebar tidak karuan.

Suara petikan gitar terdengar satu per satu. Mengalun indah membentu rangkaian melodi yang membuat orang lain ikut tenggelam dalam perasaan si pembawa lagu. Suara berat Frza terdengar lembut, menyanyikan bait demi bait lagu Can't Help Falling In Love dari Elvis Presley dan Michael Buble.

Wise men say only fools rush in

But I can't help falling in love with you

Shall I stay would it be a sin

If I can't help falling in love with you.

Clarissa tenggelam. Firza telah menariknya ke dalam palung bernama bahagia. Tatapan lembut yang sejak tadi diberikan padanya, tidak hanya membuatnya terpesona. Namun, lebih dari itu.

Ia jatuh cinta.

Ia jatuh cinta pada seorang Firza Juniandar.

Seseorang yang hari ini mengajarkannya bahwa cinta tidak melulu perihal bertukar kalimat-kalimat mesra, melainkan sesuatu yang lebih sederhana. Sesederhana ketika pandangan mereka berjumpa.

You did it, Za. You're the one who make me falling in love at the first sight.

Firza tersenyum simpul. Disela-sela lagu yang ia nyanyikan, ada harapan yang sengaja ia sisipkan. Mata gelapnya berubah sendu, ketika bertumbukan dengan mata cokelat yang berada beberapa meter di depannya.

Jika gue minta supaya lo nggak pergi, apa lo bersedia?

Firza kembali ke mejanya, setelah menyelesaikan sebuah lagu. Gemuruh tepuk tangan dari para pengunjung mengiringi langkahnya turun dari panggung kecil tersebut.

"Suka?" tanya Firza begitu sampai di kursinya.

"Sangat," Clarissa hampir saja berteriak, jika ia tidak ingat dimana mereka berada. Mata cokelatnya bahkan sempat berkaca-kaca ketika mendengar Firza menyanyikan lirik-lirik lagu tersebut. Haru dan bahagia bercampur menjadi satu. Setidaknya hari ini ia tahu, bahwa perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan.

"Mungkin ini terlalu cepat. Tapi sekali lagi gue katakan, gue jatuh cinta sama lo."

Pipi Clarissa memanas. Ia masih belum memercayai sesuatu yang terjadi di depan matanya. 

Ini ibarat mimpi. Seorang Firza Juniandar, pemuda most wanted di kampus. Pemuda yang menjadi incaran hampir seluruh mahasiswi Ilmu Hukum di kampus mereka. Pemuda cerdas yang selalu menjadi andalan para dosen. Kini menyatakan perasaan padanya yang bahkan bukan siapa-siapa, dan tidak memiliki keunggulan apapun.

Kalau ini semua mimpi, tolong jangan bangunin gue.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
PurpLove
368      302     2     
Romance
VIOLA Angelica tidak menyadari bahwa selama bertahun-tahun KEVIN Sebastian --sahabat masa kecilnya-- memendam perasaan cinta padanya. Baginya, Kevin hanya anak kecil manja yang cerewet dan protektif. Dia justru jatuh cinta pada EVAN, salah satu teman Kevin yang terkenal suka mempermainkan perempuan. Meski Kevin tidak setuju, Viola tetap rela mempertaruhkan persahabatannya demi menjalani hubung...
PALETTE
529      289     3     
Fantasy
Sinting, gila, gesrek adalah definisi yang tepat untuk kelas 11 IPA A. Rasa-rasanya mereka emang cuma punya satu brain-cell yang dipake bareng-bareng. Gak masalah, toh Moana juga cuek dan ga pedulian orangnya. Lantas bagaimana kalau sebenarnya mereka adalah sekumpulan penyihir yang hobinya ikutan misi bunuh diri? Gak masalah, toh Moana ga akan terlibat dalam setiap misi bodoh itu. Iya...
The Best I Could Think of
531      380     3     
Short Story
why does everything have to be perfect?
Phi
2111      845     6     
Science Fiction
Wii kabur dari rumah dengan alasan ingin melanjutkan kuliah di kota. Padahal dia memutus segala identitas dan kontak yang berhubungan dengan rumah. Wii ingin mencari panggung baru yang bisa menerima dia apa adanya. Tapi di kota, dia bertemu dengan sekumpulan orang aneh. Bergaul dengan masalah orang lain, hingga membuatnya menemukan dirinya sendiri.
Bittersweet Memories
40      40     1     
Mystery
Sejak kecil, Aksa selalu berbagi segalanya dengan Arka. Tawa, rahasia, bahkan bisikan di benaknya. Hanya Aksa yang bisa melihat dan merasakan kehadirannya yang begitu nyata. Arka adalah kembarannya yang tak kasatmata, sahabat sekaligus bayangan yang selalu mengikuti. Namun, realitas Aksa mulai retak. Ingatan-ingatan kabur, tindakan-tindakan di luar kendali, dan mimpi-mimpi aneh yang terasa lebih...
Ansos and Kokuhaku
3464      1123     9     
Romance
Kehidupan ansos, ketika seorang ditanyai bagaimana kehidupan seorang ansos, pasti akan menjawab; Suram, tak memiliki teman, sangat menyedihkan, dan lain-lain. Tentu saja kata-kata itu sering kali di dengar dari mulut masyarakat, ya kan. Bukankah itu sangat membosankan. Kalau begitu, pernah kah kalian mendengar kehidupan ansos yang satu ini... Kiki yang seorang remaja laki-laki, yang belu...
Enigma
26373      3527     3     
Romance
enigma noun a person or thing that is mysterious, puzzling, or difficult to understand. Athena egois, kasar dan tidak pernah berpikir sebelum berbicara. Baginya Elang itu soulmate-nya saat di kelas karena Athena menganggap semua siswi di kelasnya aneh. Tapi Elang menganggap Athena lebih dari sekedar teman bahkan saat Elang tahu teman baiknya suka pada Athena saat pertama kali melihat Athena ...
Langkah yang Tak Diizinkan
169      139     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...
Renata Keyla
6702      1551     3     
Romance
[ON GOING] "Lo gak percaya sama gue?" "Kenapa gue harus percaya sama lo kalo lo cuma bisa omong kosong kaya gini! Gue benci sama lo, Vin!" "Lo benci gue?" "Iya, kenapa? Marah?!" "Lo bakalan nyesel udah ngomong kaya gitu ke gue, Natt." "Haruskah gue nyesel? Setelah lihat kelakuan asli lo yang kaya gini? Yang bisanya cuma ng...
Deepest
1070      640     0     
Romance
Jika Ririn adalah orang yang santai di kelasnya, maka Ravin adalah sebaliknya. Ririn hanya mengikuti eskul jurnalistik sedangkan Ravin adalah kapten futsal. Ravin dan Ririn bertemu disaat yang tak terduga. Dimana pertemuan pertama itu Ravin mengetahui sesuatu yang membuat hatinya meringis.