Read More >>"> Lingkaran Ilusi (Yang Dihancurkan Luka) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Lingkaran Ilusi
MENU
About Us  

"I wanted to scream, I wanted to burst in tears, I wanted to get drunk and kill myself.

But all I could do was stare at the wall in silence,"

(Unknown)

Baru dua jam Clarissa memejamkan mata. Suara nyaring dari jam weker di atas nakas sudah membuyarkan segala mimpinya.

Gadis itu menggeliat. Mengucek matanya sembari menguap. Matanya mengerjap beberapa kali, beradaptasi dengan cahaya silau yang berasal dari lampu utama di kamarnya. Beberapa jam lalu, ia lupa mematikan lampu karena sudah telalu mengantuk.

Baru saja Clarissa berniat untuk tidur lagi, namun suara teriakan mamanya dari pintu kamar memupuskan niat tersebut. Gadis itu mendesah pelan. Jika sudah seperti itu, mamanya akan tidak akan berhenti hingga ia benar-benar beranjak dari tempat tidur.

"Iya ma, Clarissa udah bangun," Clarissa berucap dengan wajah disembunyikan di balik bantal.

"Buruan, Bima udah nunggu di depan."

Mata cokelat Clarissa terbuka sepenuhnya. Gadis itu melihat jam wekernya, sebelum akhirnya memekik keras seraya menepuk dahinya sendiri. Ia salah mengatur alarm. Firza benar-benar membuatnya lupa bahwa hari ini ia harus menghadiri kuliah pagi.

Gadis itu beranjak dari ranjang, berlari menuju kamar mandi. Secepat kilat ia membersihkan diri, dan mengganti piyamanya dengan kemeja lengan panjang serta celana jeans. Ia bahkan lupa memoleskan bedak, dan hanya menyemprotkan minyak wangi di bajunya.

Yang penting wangi.

Clarissa menuruni anak tangga dua-dua. Berlari cepat menghampiri Gerald dan Diana di ruang makan.

"Ini bawa ke kampus. Sekalian bawain punya Bima," Diana menyerahkan dua bekal makanan.

"Thank you, mama. Clarissa berangkat dulu ya."

Setelah berpamitan dengan kedua orang tuanya, Clarissa berlari ke teras rumah dengan menenteng papper bag di tangan kanannya. Ia menghampiri Bima, kemudian menepuk pelan bahu pemuda itu.

"Lama banget sih," Bima menggerutu. Ia berjalan lebih dulu menuju mobilnya yang terparkir di halaman rumah Clarissa.

"Ya maaf. Lo juga sih, nggak ingetin gue kalau hari ini ada kuliah pagi."

Bima menghentikan langkah, lantas memutar tubuhnya berhadapan dengan Clarissa. Sebelum Clarissa menyadari, tangannya sudah bergerak untuk menepuk pelan dahi gadis di hadapannya. "Ponsel lo yang mati, gue yang disalahin. Gue udah hampir dua puluh kali nelpon lo, tapi suara mbak-mbak operator yang jawab."

"Ya maaf," Clarissa nyengir. Ia lupa mengisi daya baterainya semalam, dan membiarkan benda pipih tersebut mati kehabisan daya.

"Sering-sering ya bawain gue bekal gini," ucap Bima seraya memotong-motong nugget di kotak bekalnya.

"Kalau bukan karena mama, ogah gue bawain buat lo," Clarissa menjulurkan lidahnya. Puas melihat ekspresi kesal di wajah Bima .

"Dasar nggak berterima kasih. Gue udah rela telat tadi pagi gara-gara jemput lo," Brama berpura-pura kesal.

"Oh, jadi ceritanya nggak ikhlas. Kalau gitu, mulai besok nggak usah jemput gue lagi!" nada suara Clarissa meninggi, dengan raut judes di wajahnya yang membuat Bima harus rela mengalah.

"Bercanda, Clar, Gitu aja ngambek," Bima terkekeh.

Bagaimanapun keadaannya, cowok tetap saja menjadi pihak yang salah. Dan mau tidak mau, Bima harus menerima posisi tersebut.

"Kalian berdua, tiap kali bertemu pasti ada aja yang diributin," Vella menggerutu, tanpa melepaskan pandangan dari novel di tangannya.

"Temen lo ngeselin sih," Bima melemparkan tatapan jenaka pada Clarissa, dan dibalas gadis itu dengan pelototan tajam.

"Maklumin aja, Bim. Dia lagi uring-uringan gara-gara Firza," Vella berkata dengan polosnya.

Wajah Clarissa memanas. Darimana Vella tahu bahwa semalam ia memikirkan Firza sampai pagi?

Mendengar nama Firza disebut, gerakan tangan Bima memotong-motong nugget berhenti seketika. Berbeda dengan Vella yang tampak santai, raut wajahnya justru berubah tegang. Tanpa terasa, giginya bergemeletuk menahan sesuatu yang terasa meremas dadanya.

Lagi dan lagi, kenapa harus nama Firza yang ia dengar ketika suasana hatinya sedang baik seperti sekarang? Ia menghela napas panjang, berusaha terlihat biasa di depan kedua temannya.

"Kenapa? Lo jatuh cinta sama dia?" tanya Bima. Dalam hati, ia benar-benar berharap Clarissa akan membantah tuduhan tersebut.

Clarissa menggeleng cepat. Ia melempar tatapan tajam pada Vella, sementara gadis itu hanya terkekeh pelan tanpa rasa bersalah.

"Kejar aja, Clar. Jangan sampai keduluan cewek lain!" seru Vella. Tangan kanannya bergerak menyikut pinggang Bima pelan, mencari dukungan dari pemuda tersebut.

Bima menarik napas panjang, kemudian memaksakan seulas senyum lebar di bibirnya.

"Ntar kalau udah keduluan, baru deh nyesel," Bima mengangguk cepat, berusaha terlihat seolah ia mendukung hubungan Clarissa dengan Firza.

Clarissa menggerutu melihat kedua sahabatnya yang begitu antusias mendukungnya bersama Firza. Apalagi Vella, gadis itu tampak begitu bersemangat menjodohkannya dengan seorang Firza Juniandar. Terkadang ia heran pada Vella, bukankah ketika Ospek gadis itu pernah begitu mengagumi Firza? Bahkan, itu pula yang membuat mereka pada akhirnya menjadi dekat. Tapi, kenapa sekarang gadis itu malah seolah berdiri di barisan depan sebagai seseorang yang akan mendukungnya untuk mendapatkan hati Firza?

Di sisi lain yang tidak terlihat oleh Clarissa dan Vella, Bima mati-matian menahan perasaan yang terasa meledak-ledak dalam dadanya. Awalnya ia menolak pernyataan bahwa persahabatan murni antara laki-laki dan perempuan tanpa ada salah satu yang jatuh cinta hampir mustahil terjadi. Tapi sekarang, ia berada di situasi itu. Situasi yang menempatkannya pada posisi sulit. Barangkali, posisinya tidak akan sesulit ini jika yang membuat Clarissa jatuh cinta bukan Firza atau Brama.

Bima tidak henti-hentinya memaki diri sendiri yang sudah berpura-pura mendukung Clarissa bersama Firza. Ia tidak henti-hentinya memaki diri sendiri yang tidak pernah mampu mengatakan tentang perasaannya yang sebenarnya pada gadis itu. Ia terus memaki diri sendiri yang tidak pernah bisa bergerak lebih jauh selain menjadi sahabat Clarissa, meski ia begitu menginginkan hubungan yang lebih dari sekadar sahabat.

Clarissa baru saja ingin menanggapi dua sahabatnya, saat seseorang yang mengganggu pikirannya sejak semalam berjalan tidak jauh dari tempatnya berada. Kehadiran pemuda itu selalu memancarkan aura yang membuat hampir semua perempuan terkesima, temasuk dirinya.

Clarissa sempat tidak berkedip beberapa saat, hingga akhirnya jentikan jari Bima di depan wajahnya membawa kembali seluruh kesadarannya.

"Gue duluan ya," Clarissa begitu tersadar dari lamunannya. Ia beranjak dari tempat duduknya, tanpa memedulikan pertanyaan yang dilontarkan Bima dan Vella. Ia berlari melewati beberapa pengunjung kantin untuk menghampiri Firza yang berdiri di ambang pintu.

Clarissa melemparkan seulas senyum lebar, ketika ia sudah berdiri tepat satu langkah di depan Firza.

"Clarissa, ada apa?" Firza menaikkan sebelah alisnya.

Clarissa mengusap tengkuknya. Rasa gugup tiba-tiba saja menderanya saat mata gelap itu bertabrakan dengan mata cokelat miliknya.

"Saya... saya mau bilang terima kasih," dengan sedikit tergagap, Clarissa mengutarakan maksudnya menemui Firza.

"Terima kasih untuk apa?" ekspresi tidak mengerti tercetak jelas di wajah Firza.

Clarissa terdiam dengan dahi bertaut. "Kak Firza lupa? Dua hari yang lalu kak Firza udah nolong saya di taman kota."

Firza masih mencerna pernyataan yang diucapkan Clarissa. Beberapa detik, hingga akhirnya ia mengetahui apa yang telah terjadi. Clarissa telah salah paham terhadapnya. Bahkan, dua hari yang lalu ia sama sekali tidak bertemu gadis itu.

Firza melemparkan senyum simpul, "Itu bukan gue. Tapiterima kasih lo gue terima."

Clarissa melongo mendengar jawaban Firza. Kali ini, giliran Firza yang membuatnya tidak mengerti dan bertanya-tanya.

"Kalau bukan kak Firza, lalu siapa yang nolong saya?" Clarissa bergumam pelan sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Brama.

Nama pemuda itu melintas begitu saja dalam kepala Firza. Siapa lagi seseorang yang memiliki wajah identik dengannya selain pemuda itu? Siapa lagi yang sering membuat banyak orang salah paham, dan mengira Brama adalah dirinya?

Firza menghela napas pelan, "Nanti sore lo ada kuliah?"

Clarissa menggelengkan kepalanya, "Nggak ada, kenapa?"

"Lo mau temenin gue? Dan sepertinya, gue perlu menjelaskan siapa seseorang yang udah nolongin lo tempo hari."

Clarissa terdiam sejenak, memilah-milah catatan jadwal yang tersusun dalam kepalanya. Beberapa detik kemudian, gadis itu menggelengkan kepala.

"Bagus! Mana ponsel lo, gue pinjam sebentar," Firza menadahkan tangannya, dan dengan gerakan ragu-ragu Clarissa menyerahkan ponselnya pada Firza.

Pemuda itu tampak mengetikkan sesuatu di ponselnya. Hanya beberapa detik, ponsel itu sudah kembali lagi di tangannya.

"Itu nomor gue. Nanti sore gue jemput di rumah lo. Kirimin aja dimana lokasinya. See you," belum sempat Clarissa memberikan jawaban, Firza sudah lebih dulu melangkah meninggalkannya yang masih berdiri di tempat dengan wajah bengong.

Masih seperti mimpi. Saat para penggemar Firza bersusah payah mendapatkan nomor ponsel pemuda itu, ia bisa dengan mudah mendapatkannya tanpa meminta. Tanpa sadar, sudut bibir Clarissa tertarik ke atas. Ia tersenyum lebar tanpa melepaskan pandangan dari punggung Firza yang semakin menjauh.

Suatu awal yang bagus, Clarissa.

Giovani Wijaya kembali menginjakkan kaki di rumahnya, setelah sekian lama. Sejak kematian istrinya, laki-laki itu selalu berusaha menghindar dari rumah. Ia mengambil alih hampir seluruh pekerjaan di kantor. Terbang dari satu negara ke negara lain. Berpindah dari satu hotel ke hotel lain. Bertemu orang-orang baru yang membuatnya lupa bahwa selama ini ia masih memiliki kehidupan di luar pekerjaan.

Laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun tersebut menginjakkan kaki di ruang tamu rumahnya. Tidak ada yang berubah dari interior rumah mewah tersebut. Semua benda-benda masih berada di tempatnya semula. Sama persis sebelum ia pergi beberapa bulan lalu.

"Tuan Gio sudah sampai. Perlu saya panggilkan mas Firza, tuan?" Bi Inem menyapa Giovani dengan sopan, sekaligus mengambil jas yang diserahkan oleh Gio untuk dicuci.

Giovani tidak menjawab. Laki-laki itu masih memandang sekeliling rumahnya. Satu-satunya hal yang membuatnya tidak ingin pulang adalah setiap jengkal rumah itu selalu mengingatkannya pada kenangan masa lalunya.

Bi Inem, asisten rumah tangga itu segera melangkah menuju kamar Firza tanpa menunggu jawaban dari Gio. Wanita itu melangkah lebar sambil bergumam sebal dalam hati, karena sikap tidak acuh Gio.

Ketukan pelan di pintu kamar Firza, memutuskan alur mimpi pemuda itu. Firza berjalan malas menuju pintu kamarnya, dan membukanya sedikit.

"Ada apa, bi?" tanyanya.

"Tuan Gio ada di bawah, mas," ucap Bi Inem, ragu-ragu.

Firza terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk pelan.

Ia menutup kembali pintu kamarnya. Berdiri bersandar pada pintu kayu yang berdiri kokoh tersebut. Ia mengembuskan napas berat. Menyiapkan diri sebelum menemui ayahnya di lantai bawah. Ia memang menunggu kedatangan laki-laki itu, tapi di sisi lain ia takut menemui ayahnya sendiri.

Setelah menguatkan hati, Firza turun menuju ruang tamu. Ia sudah siap untuk menerima apapun yang akan ia dapatkan setelah ini. Ia sudah mengeraskan hatinya. Meski ia tahu, semua hal yang pernah terjadi bukan kesalahannya sepenuhnya.

Firza berdiri satu langkah dari ujung anak tangga paling bawah. Matanya memandang lurus pada Giovani yang duduk di sofa dengan tumit kaki kiri berada di atas paha kanan. Tangan kirinya membolak-balik majalah di pangkuannya. Dan, tangan lainnya memegang rokok yang mengepulkan asap dan menguarkan aroma tembakau terbakar.

"Papa," suara lirih Firza, seolah menghilang ditelan kebekuan.

Giovani mendongakkan wajah. Memandang dingin putranya yang berdiri beberapa meter di depannya. Setiap kali melihat pemuda itu, ngilu terasa menggerogoti hatinya. Aura membunuh terpancar nyata dari sepasang mata gelap miliknya. Jika saja dia tidak mengingat bahwa pemuda itu adalah anaknya, ia pasti sudah melakukan itu sejak lama. Menyingkirkan pemuda itu.

Satu sisi bibir Giovani tertarik, hingga membentuk segaris senyum miring. Senyum yang menyiratkan kebencian dan rasa muak. Laki-laki itu melumat batang rokok yang masih tersisa setengah di atas asbak.

Ia berdiri. Melemparkan majalah yang dipegangnya ke atas meja. Matanya masih menatap tajam ke arah Firza, laksana mata pedang yang siap menghunus. Mengoyak tubuh pemuda di itu sebagai penebus rasa sakitnya.

Giovani berjalan menghampiri anaknya. Langkah lebarnya semakin memangkas jarak yang terbentang di antara mereka. Semakin sempit jarak yang tercipta, semakin kental aroma membunuh yang terasa.

"Kamu masih berani untuk menemui saya? Besar juga nyalimu, Firza Juniandar?" Giovani memutari tubuh Firza, sembari melemparkan senyum merendahkan.

Firza terdiam. Tubuhnya mulai gemetar. Hanya saja, ia mencoba untuk menyembunyikan ketakutannya.

"Dimana Brama?" Giovani masih menjaga suaranya tetap rendah, walaupun matanya sudah memancarkan emosi yang bergejolak.

Firza hanya menggeleng pelan.

"Dimana kamu sembunyikan anak itu?" Giovani berdiri tepat di hadapan Firza. Sorot matanya menghujam. Menusuk dalam manik mata hitam pekat di depannya.

Firza kembali menggeleng.

Satu tamparan mendarat di pipi pemuda itu. Rasa perih dan ngilu menjalar di wajahnya. Firza masih terdiam di tempatnya. Ia sudah menyiapkan diri untuk menerima kemarahan ke sekian dari Giovani Wijaya.

"Panggil anak sialan itu, berengsek!"

Lagi, satu tamparan mendarat di pipi Firza yang sudah memerah.

Giovani tidak ingin menyerah. Kemarahan sudah mengambil alih dirinya, membutakan mata dan hatinya. Laki-laki itu mengayunkan pukulan tepat di perut Firza, hingga membuat pemuda itu terhuyung dan mundur dua langkah.

Giovani tidak memedulikan itu. Ia terus menghantamkan pukulan demi pukulan pada tubuh ringkih di depannya yang sudah babak belur. Ia membutuhkan pelampiasan saat ini. Dan, pemuda itu adalah satu-satunya pelampiasan yang dapat ia temukan di rumah ini. Pelampiasan atas semua luka yang ditanggungnya selama bertahun-tahun.

Firza tidak melawan. Ia membiarkan tubuhnya dihajar tanpa ampun. Tulang-belulangnya terasa diremukkan secara paksa. Rasa nyeri menjalar di seluruh tubuhnya. Bau anyir dari luka robek di sudut bibir memenuhi indera penciumannya.

Napas pemuda itu putus-putus. Menahan perih di sekujur tubuh, dan hatinya. Tidak hanya fisik, hatinya jauh lebih berantakan. Hancur menjadi kepingan-kepingan kecil yang tidak bisa lagi ia satukan lagi.

Firza mengerang, ketika satu tendangan keras mendarat di tulang rusuknya. Giovani seperti kesetanan. Berulang kali, laki-laki itu mendaratkan pukulan, tendangan, bahkan menginjak tubuhnya.

Matanya mengerjap beberapa kali. Ia ingin berteriak, namun yang bisa ia lakukan hanya memandang kosong dinding di depannya. Di sisa-sisa kesadaran, pemuda itu masih bisa melihat Giovani yang siap mendaratkan tendangan selanjutnya.

Firza memejamkan mata. Satu lagi tendangan mendarat di tubuhnya. Telinganya mulai berdengung. Sebutir air mata mengalir dari sudut matanya.

Tidak apa-apa. Ia baik-baik saja. Setidaknya, hari ini ia bisa bertemu dengan Giovani. Setidaknya, hari ini rasa rindunya sedikit terobati.

Sebelum kesadarannya benar-benar menghilang, pemuda itu membisikkan sesuatu dengan sisa-sisa tenaga yang masih ia miliki.

Firza sayang papa.

Clarissa mondar-mandir di teras rumahnya dengan perasaan gelisah. Berkali-kali ia mencoba menghubungi nomor Firza, namun hanya nada sambung dan suara operator yang menjawab panggilannya.

Ia mendesah, lantas mengetikkan sesuatu di ponselnya. Satu lagi pesan singkat ia kirimkan ke nomor pemuda itu. Pesan singkat kelima yang sama sekali tidak mendapatkan balasan.

Clarissa mendesah kesal. Rangkaian kemungkinan buruk berlarian dalam kepalanya. Barangkali, memang ia yang terlalu berharap. Barangkali, Firza memang tidak benar-benar ingin bertemu dengannya. Barangkali pemuda itu lupa bahwa mereka telah berjanji. Atau barangkali, sesuatu yang buruk telah terjadi pada pemuda itu.

Ia menggelengkan kepala dengan cepat. Menepiskan kemungkinan terakhir yang sempat mampir dalam kepalanya.

Clarissa akhirnya menyerah. Ia menghempaskan diri di atas kursi kayu yang berada di teras rumah. Matanya terpejam sejenak, menghilangkan rasa kecewa yang membuat dadanya terasa sesak.

Firza menghilang, tanpa memberinya kabar.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Bifurkasi Rasa
65      55     0     
Romance
Bifurkasi Rasa Tentang rasa yang terbagi dua Tentang luka yang pilu Tentang senyum penyembuh Dan Tentang rasa sesal yang tak akan pernah bisa mengembalikan waktu seperti sedia kala Aku tahu, menyesal tak akan pernah mengubah waktu. Namun biarlah rasa sesal ini tetap ada, agar aku bisa merasakan kehadiranmu yang telah pergi. --Nara "Kalau suatu saat ada yang bisa mencintai kamu sedal...
AraBella [COMPLETED]
30751      2919     12     
Mystery
Mengapa hidupku seperti ini, dibenci oleh orang terdekatku sendiri? Ara, seorang gadis berusia 14 tahun yang mengalami kelas akselerasi sebanyak dua kali oleh kedua orangtuanya dan adik kembarnya sendiri, Bella. Entah apa sebabnya, dia tidak tahu. Rasa penasaran selalu mnghampirinya. Suatu hari, saat dia sedang dihukum membersihkan gudang, dia menemukan sebuah hal mengejutkan. Dia dan sahabat...
Premium
Secret Love Story (Complete)
11069      1542     2     
Romance
Setiap gadis berharap kisah cinta yang romantis Dimana seorang pangeran tampan datang dalam hidupnya Dan membuatnya jatuh cinta seketika Berharap bahwa dirinya akan menjadi seperti cinderella Yang akan hidup bahagia bersama dengan pangerannya Itu kisah cinta yang terlalu sempurna Pernah aku menginginkannya Namun sesuatu yang seperti itu jauh dari jangkauanku Bukan karena t...
Pacarku Arwah Gentayangan
3463      1189     0     
Mystery
Aras terlonjak dari tidur ketika melihat seorang gadis duduk di kursi meja belajar sambil tersenyum menatapnya. Bagaimana bisa orang yang telah meninggal kini duduk manis dan menyapa? Aras bahkan sudah mengucek mata berkali-kali, bisa jadi dia hanya berhalusinasi sebab merindukan pacarnya yang sudah tiada. Namun, makhluk itu nyata. Senja, pacarnya kembali. Gadis itu bahkan berdiri di depannya,...
Alya Kirana
1536      725     1     
Romance
"Soal masalah kita? Oke, aku bahas." Aldi terlihat mengambil napas sebentar, sebelum akhirnya melanjutkan berbicara, "Sebelumnya, aku udah kasih tau kan, kalau aku dibuat kecewa, semua perasaan aku akan hilang? Aku disini jaga perasaan kamu, gak deket sama cewek, gak ada hubungan sama cewek, tapi, kamu? Walaupun cuma diem aja, tapi teleponan, kan? Dan, aku tau? Enggak, kan? Kamu ba...
Renata Keyla
5443      1200     3     
Romance
[ON GOING] "Lo gak percaya sama gue?" "Kenapa gue harus percaya sama lo kalo lo cuma bisa omong kosong kaya gini! Gue benci sama lo, Vin!" "Lo benci gue?" "Iya, kenapa? Marah?!" "Lo bakalan nyesel udah ngomong kaya gitu ke gue, Natt." "Haruskah gue nyesel? Setelah lihat kelakuan asli lo yang kaya gini? Yang bisanya cuma ng...
The Best I Could Think of
475      335     3     
Short Story
why does everything have to be perfect?
Promise
584      324     7     
Romance
Bercerita tentang Keyrania Regina. Cewek kelas duabelas yang baru saja putus dengan pacarnya. Namun semuanya tak sesuai harapannya. Ia diputus disaat kencan dan tanpa alasan yang jelas. Dan setelah itu, saat libur sekolah telah selesai, ia otomatis akan bertemu mantannya karena mereka satu sekolah. Dan parahnya mantannya itu malah tetap perhatian disaat Key berusaha move on. Pernah ada n...
The Spark Between Us
4787      2220     2     
Romance
Tika terlanjur patah hati untuk kembali merasakan percikan jatuh cinta Tapi ultimatum Ibunda untuk segera menikah membuatnya tidak bisa berlamalama menata hatinya yang sedang patah Akankah Tika kembali merasakan percikan cinta pada lelaki yang disodorkan oleh Sang Ibunda atau pada seorang duda yang sepaket dengan dua boneka orientalnya
HIRI
99      74     0     
Action
"Everybody was ready to let that child go, but not her" Sejak kecil, Yohan Vander Irodikromo selalu merasa bahagia jika ia dapat membuat orang lain tersenyum setiap berada bersamanya. Akan tetapi, bagaimana jika semua senyum, tawa, dan pujian itu hanya untuk menutupi kenyataan bahwa ia adalah orang yang membunuh ibu kandungnya sendiri?