Titisan Iblis
1.Perjalanan Jauh
“Layla, apa kau sudah siap?” teriak seorang wanita dari balik pintu, sontak mencium keningku dengan penuh kerinduan. “Berapa lama ibu –panggilku, akan meninggalkanku lagi..” ucapku lirih. “Tidak akan lama..” meneruskan pekerjaanku yang tak kunjung selesai, melipat beberapa pakaianku dalam koper. “Cepatlah … hari mulai siang – memegang pergelangan tanganku. “ya bu ….” – bergegas meninggalkanku.
Aku tau ini bukan pertama kalinya mereka akan meninggalkanku karena suatu pekerjaan, bahkan sejak kecil mereka tak segan segan menitipkanku bersama saudara yg jarak rumahnya bisa dibilang cukup jauh - berbeda pulau dengan tempat tinggalku. Aku memiliki kamar dan rumah yang lumayan besar, dengan beberapa tanaman disekelilingnya yg dirancang oleh ibuku sendiri, Soraya. Ia amat gemar dengan beberapa koleksi bunga, bahkan rumah kami tak ada bedanya dengan kebun binatang. Sedang ayahku Ja’far Asshidiq seorang pebisnis minyak bumi yang menggilai uang, hobby ayah adalah memutar uang miliknya hanya karena ingin mendapat hasil yang fantastis dari uang modalnya, itulah mengapa rumahku dibilang sangat cukup mewah dari rumah kebanyakan orang. Rumahku paling besar dari rumah rumah tetanggaku yg kategori rumah elit (perumahan wicaksana) terletak dikota Bogor, dengan dikelilingi berbagai macam tanaman dan bunga. Ibuku cukup bagus merancang dan mendesain rumah kami sejak aku kecil.
Hari ini tak terlihat matahari, langit berwarna kelabu gelap seperti hatiku saat ini, Tak ada hujan, terlihat ayah dan ibu dari balik jendela kamarku sedang menungguku dihalaman rumah, aku menangis sesaat. Dan segera aku menuju mereka
“Ibu, kapan kamu kembali ?” ucapku lirih seraya menutup pintu mobil berbarengan ayah menghidupkan mobil.
“Secepatnya Layla” singkat ibu. Ayah segera melajukan mobilnya seakan semua sudah terlambat, kebiasaan yg tak pernah berubah.
Terlihat ketegangan pada kami, tak ada pembicaraan lagi. Ayah fokus dengan jalan didepan tanpa menoleh sedikitpun, sedang Ibu menikmati senandung lagu radio jaman dulu, terlihat jelas di kaca spion mobil, dengan jendela terbuka. Hari ini tak ada panas itulah sebabnya mereka membuka jendela depan. Aku terdiam menyaksikan mereka, tak ada pembicaraan lagi
“kenapa aku tidak tinggal di rumah Bibi Ana – adik ibu.” Usaha ku membuyarkan ketenangan
“tidak Layla –menoleh kebelakang, waktunya mepet ini, kau tau seberapa jauh rumah Bibi Ana, gak ada waktu untuk mampir kesana” jawaban sinis ibu yg bisa ditebak, ia memutar matanya lalu menatapku, seakan risih dengan pernyataanku.
“Cukup aku naik pesawat ke Kalimantan sendiri, aku bisa. Jadi kalian tak perlu mengantarku” –balasan sinisku meyakinkan mereka
“aku terbiasa dengan Bibi Ana, sejak kecil aku bersama dia, jelasnya sejak aku memasuki bangku TK. Jadi tak masalah aku dititipkan disana lagi” lanjutku berharap mereka akan merespon