Semburat jingga terhampar luas di langit sore, menemani kesedihanku hari ini. Aku menatap selembar foto yang menampakkan seorang pria sedang memeluk bahu seorang wanita. Mereka tampak tersenyum bahagia di depan lensa kamera dengan latar belakang sebuah masjid mewah yang kubahnya seperti terbelah. Pria itu adalah suamiku dan wanita itu sendiri adalah aku. Aku mengenang saat-saat terakhirku bersamanya yang begitu manis. Ya. Dia telah pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya dan tak akan pernah kembali lagi.
17 Januari 2016
Aku benar-benar merasa bahagia, baru kali ini setelah setahun mengucapkan janji suci, Mas Ramdhan mengajakku pergi berlibur sekaligus bulan madu kami yang tertunda karena kesibukannya.
Mas Ramdhan memilih sebuah kota yang ada di Kroasia yaitu Zagreb. Nama kota tersebut terdengar asing, aku sempat mengernyitkan dahi ketika Mas Ramdhan ingin mengajakku ke sana. Aku pikir itu adalah tempat pelosok yang jauh dari kata indah. Namun, setelah aku menginjakkan kaki di sana, seluruh pikiran burukku tentang Zagreb sirna sudah.
Setelah pesawat landing di Bandara Pleso, bandara internasional Kroasia, kami pun bergegas menuju Palace Hotel yang terletak di pusat kota.
Sekitar 30 menit, kami sampai di Palace Hotel dengan menggunakan taksi.
Aku terkagum-kagum saat melihat pemandangan di depan mataku. Sebuah bangunan bertingkat bergaya Eropa yang sangat mewah mirip sebuah kerajaan dengan tulisan Palace Hotel di tengahnya membuat mataku berbinar-binar saat melihatnya.
Ayo! Mas Ramdhan menarik lembut pergelangan tanganku agar aku mengikuti langkahnya.
Aku menunggu Mas Ramdhan yang masih sibuk mengurus administrasi untuk check in. Kuedarkan pandaganku ke seluruh penjuru ruang tunggu ini. Meskipun bangunan luarnya mengandung unsur klasik, akan tetapi di dalam hotel didekorasi sedemikian rupa sehingga tampak minimalis namun elegan.
Aku bangkit dari kursi ketika Mas Ramdhan menghampiri diriku. Sudah selesai Mas? tanyaku dengan senyum yang tak pernah pudar dari bibirku.
Iya, Sayang. Nih, jawabnya sembari menunjukkan kunci kamar yang akan kami tempati. Kita ke kamar yuk! Mas sudah capek banget nih, ucapnya manja.
Iya, Mas.
Sekarang kita istirahat dulu ya. Baru besok pagi kita jalan-jalan, ujar Mas Ramdhan sembari melepas jaket yang dikenakannya.
Iya, Mas, jawabku lembut sembari membantunya melepaskan jaket.
***
Mas wajah kamu pucat sekali. Kamu baik-baik saja kan? Mas istirahat aja ya, kita tunda dulu--
Tidak! Kepala Mas sedikit pening. Nanti juga hilang kok kalau dibawa jalan-jalan, ujar Mas Ramdhan mencoba menenangkanku.
Tapi, Mas--
Sayang, lebih baik kamu siap-siap sekarang ya, perintahnya dengan suara lembut.
Aku hanya mengangguk pasrah.
***
Setelah bersiap-siap, aku dan Mas Ramdhan keluar dari hotel untuk menuju tempat tujuan kami yang pertama. Saat ini, kami berjalan beriringan di halaman Palace Hotel.
Hari ini kamu mau ke mana dulu? tanya Mas Ramdhan semakin erat mengenggam tanganku.
Terserah Mas Ramdhan saja. Anita akan selalu ikut ke mana pun Mas pergi, ujarku tulus.
Mas Ramdhan tersenyum manis lalu mengusap puncak kepalaku yang tertutup oleh hijab.
Mas Ramdhan tampak berpikir keras. Ummm ... bagaimana kalau kita ke Maksimir Park dulu? Katanya sih taman itu indah banget. Kamu--
No spoiler, kataku pura-pura memasang wajah jutek.
Mas Ramdhan hanya tersenyum geli melihat tingkahku.
***
Tak butuh waktu lama untuk kita sampai di Maksimir Park. Saat ini, kami sudah berada di depan Maksimir Park.
Baru selangkah masuk ke dalam Maksimir Park, kami sudah disuguhi oleh deretan pohon hijau yang berjejer rapi di tengah jalan kecil yang kami tapaki saat ini. Maksimir Park hari ini sangat ramai sekali mengingat hari ini adalah hari minggu.
Udara di sini sangat sejuk sekali ya Mas? Beda sekali dengan Jakarta, ucapku sembari menghirup kuat udara segar yang belum terjamah oleh polusi.
Kamu benar. Suasananya juga asri banget, timpal Mas Ramdhan.
Kami melanjutkan perjalanan kembali untuk memasuki Maksimir Park lebih dalam lagi.
Mas Ramdhan berjalan menuju kursi panjang berwarna putih yang berada tepat di antara pohon-pohon hijau untuk istirahat sejenak. Aku pun ikut duduk di sampingnya.
Kulirik jam tangan kecil yang melingkar indah di pergelangan tanganku.
Aku membeliakkan mataku ketika melihat jam tanganku telah menunjukkan pukul 11.00. Jadi, kita sudah berjalan hampir dua jam?
Kutatap wajah Mas Ramdhan yang tampak lesu. Mas capek ya? tanyaku khawatir.
Mas Ramdhan hanya tersenyum manis sebagai jawabannya.
Maafkan Anita ya, Mas. Tadi, Anita terlalu bersemangat sampai lupa kalau Mas lagi sakit, ucapku merasa bersalah.
Tidak apa-apa kok, Sayang. Mas baik-baik saja. Mas Ramdhan mengusap puncak kepalaku untuk mengatakan kepadaku agar aku tak perlu khawatir.
Apa kamu sangat bahagia? tanya Mas Ramdhan tiba-tiba.
Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna pertanyaannya.
Jelas Anita sangat bahagia, Mas. Ini adalah kali pertamanya Mas Ramdhan mengajak Anita pergi ke luar negeri.
Meskipun, kota ini tidak sepopuler Seoul atau Tokyo, tapi jika selalu bersama Mas Ramdhan, Anita akan selalu bahagia, jelasku.
Syukurlah kalau begitu, jawabnya dengan senyum tipis yang sangat menawan.
Aku membalas senyumannya dengan senyum yang tak kalah manis darinya. Perlahan senyumku memudar ketika melihat cairan kental berwarna merah keluar dari hidung Mas Ramdhan.
Mas kamu enggak apa-apa? tanyaku panik. Hidung kamu berdarah Mas, lanjutku.
Mas Ramdhan langsung mendongakkan kepalanya untuk mencegah agar darahnya tidak keluar terus-menerus. Aku pun tak tinggal diam, aku berusaha mencari tisu di tas tanganku.
Setelah menemukannya, aku membantu Mas Ramdhan untuk membersihkan darahnya.
Kita ke rumah sakit saja ya, Mas? saranku yang langsung ditolak olehnya.
Aku baik-baik saja kok. Lebih baik kita salat dhuhur dulu yuk! Mas Ramdhan mencoba mengalihkan pembicaraan, Aku tadi menemukan Masjid yang sangat unik sekali, kamu pasti suka.
Aku curiga terhadap sikap Mas Ramdhan, pasti ada sesuatu yang disembunyikannya. Apalagi akhir-akhir ini, kondisi Mas Ramdhan kurang fit. Aku jadi dibuat khawatir olehnya.
***
Setelah menempuh perjalanan selama 16 menit, akhirnya kami sampai di Masjid yang dimaksud oleh Mas Ramdhan, yaitu Masjid Zagreb. Kata Mas Ramdhan, masjid ini adalah masjid satu-satunya di kota Zagreb. Memang benar sih karena selama perjalanan, aku tidak pernah melihat bangunan masjid satu pun. Maklumlah, Kroasia adalah negara yang mayoritas penduduknya adalah non-muslim.
Benar apa yang dikatakan oleh Mas Ramdhan kalau bangunan Masjid Zagreb ini unik. Arsitektur pada bagian kubahnya sangat unik di mana kubah yang berada di atas masjid tersebut terbelah menjadi tiga bagian. Subhanallah. Ada juga menara setinggi 42 meter yang berada di sampingnya.
Elegan. Itulah satu kata yang terlintas di otakku ketika melihat dekorasi di dalam masjid yang begitu menawan. Ada mihrab yang hiasannya berupa ukiran kaligrafi juga tempat imam yang berbentuk oval. Lain daripada yang lain. Sangat indah.
Masjid Zagreb ini terdiri dari dua lantai. Lantai dasar khusus untuk jamaah laki-laki dan lantai dua khusus untuk jamaah perempuan.
Aku pun segera menuju ke lantai dua agar bisa salat berjamaah.
***
Setelah melaksanakam salat dhuhur berjamaah, Mas Ramdhan mengajakku untuk keluar masjid. Mas Ramdhan mengajakku duduk di tangga yang digunakan untuk menuju masjid.
Aku menatap wajah Mas Ramdhan yang terlihat pucat lagi.
Mas--
Mas Ramdhan menggelengkan kepalanya lemah dengan tetap tersenyum lebar seperti biasanya.
Maafkan aku yang belum berhasil menjadi suami yang baik untukmu.
Maksud Mas Ramdhan apa? Selama ini Mas Ramdhan telah menjadi suami yang baik dan pengertian bagi Anita, ucapku tulus.
Aku tak tahu apa maksud Mas Ramdhan yang tiba-tiba berkata seperti itu.
Tidak, Anita. Aku bukanlah suami seperti itu. Aku selalu sibuk dengan pekerjaanku dan tak pernah-- Aku meletakkan jari telunjukku di depan bibirnya, mengisyaratkan agar dia tidak melanjutkan kata-katanya.
Apa sebenarnya maksud Mas? tanyaku bingung
Aku ingin membahagiakanmu meskipun hanya sehari saja ... sebelum aku pergi, ucap Mas Ramdhan lemah bahkan suaranya seperti bisikan.
Apa maksud kamu Mas? Kamu mau pergi ke mana? Mataku sudah mulai memanas, aku bingung apa yang dimaksud olehnya.
Mas Ramdhan mengembuskan napasnya perlahan, Ada saatnya aku ... aku akan pergi meninggalkanmu.
Mas!
Aku mengidap leukimia!
Aku membekap mulutku kuat-kuat menggunakan kedua tanganku, air mata yang sedari tadi aku tahan, kini dengan mudahnya lolos begitu saja.
Aku segera memeluk tubuh Mas Ramdhan yang bergetar karena menahan tangis. Tak kuhiraukan tatapan semua orang yang memandang kami dengan tatapan aneh.
Tangis Mas Ramdhan seketika pecah, ia membalas pelukanku.
Kenapa kamu menyembunyikan ini Mas? tanyaku dengan diiringi isakan kecil.
Aku tidak ingin membebani pikiran kamu. Apalagi, aku baru tahu ini dua bulan yang lalu.
Aku melepaskan pelukan kami. Mas, seharusnya kamu cerita sama aku. Aku istri kamu Mas. Aku berhak tahu semuanya tentang kamu.
Maafkan aku, ujar Mas Ramdhan menyesal. Aku takut kamu akan meninggalkanku.
Kamu lagi sakit parah. Kenapa kamu mengajak aku ke sini, Mas? Lelehan air mata terus membasahi pipiku.
Mas Ramdhan tersenyum getir. Dokter sudah mengizinkanku untuk pergi. Aku yang memaksanya, ucapnya diikuti tawa renyah. Apa yang lucu? Kenapa di saat seperti ini ia masih saja menampilkan leluconnya. Asalkan kamu selalu ada di sisiku, aku tidak akan pernah merasakan rasa sakit ini, lanjutnya.
Aku menatap wajahnya yang mulai serius lalu kugenggam tangannya yang mulai berkeringat dingin. Mas, apa pun yang terjadi, aku akan tetap berada di sampingmu. Aku menyeka sisa-sisa air mataku.
Setidaknya ... izinkan aku untuk bersama denganmu, meskipun hanya sehari.
Tidak. Jangankan sehari, sampai ajal menjemputku aku akan selalu bersamamu Mas. Masjid Zagreb ini saksinya, ucapku lantang.
Aku kembali mendekap tubuh Mas Ramdhan yang mulai rapuh dan menumpahkan semua kesedihanku di bahunya. Itulah terakhir kalinya aku memeluk tubuh hangatnya.
20 Januari 2017
Tak terasa bulir bening menetes begitu saja dari pelupuk mataku. Kristal bening ini jatuh di atas foto yang saat ini kupegang. Kucium foto itu berkali-kali, sekadar mengurangi kerinduanku yang tak pernah berakhir ini.