Pagiku berbeda dari biasanya. Saat matahari masih malu-malu menampakan sinarnya, Ibu sudah berteriak memekikkan telinga. Dia berhasil merenggutku dari dunia indah bernama mimpi. Padahal aku sedang bermimpi menjadi superman. Tidak peduli dengan mata yang terkatup-katup menahan kantuk, Ibu semangat membawaku ke kamar mandi. Menumpahkan air di gayung ke sekujur tubuhku, menggosok punggung dan menggosok gigi pula. Tak lupa rambut dekilku diberi sampo. Setelah bersih, kami kembali ke kamar. Ibu mengeluarkan baju putih dan celana merah yang sudah disetrika, lantas memakaikannya padaku. Ibu tersenyum puas melihat anaknya mengenakan seragam putih merah. Topi dan dasi menjadi pelangkap. Sempurna sudah.
Pagi itu adalah pagi yang sangat istimewa. Di mana untuk pertama kalinya Ibu mengantarku ke bangku sekolah. Kami sengaja berangkat saat matahari masih malu menampakan dirinya. Kata Ibu, di hari pertama sekolah, semua orang tua pasti berebut tempat duduk untuk anaknya.
Kursi yang tertata rapih sudah terisi. Beruntung mata Ibu cekatan menyapu seisi ruangan kelas. Dan Ibu menemukan sedikit celah. Aku duduk dengan tiga siswa lainnya. Kami (dipaksa) duduk di kursi yang panjangnya tidak lebih dari satu setengah meter. Keringat memenuhi wajah kami. Saat itu tidak sedikit anak yang menangis karena ditinggalkan Ibunya. Padahal Ibu mereka mengawasi dari luar. Cengeng banget ya mereka. Sayangnya, aku salah satu dari mereka.
Sekolahku hanya berjarak 300 meter dari rumah. Orang-orang menyebutnya SDN Cangkuang V. Tempatnya jauh dari keramaian. Tepat di belakang sekolah ada tempat Pemakaman Umum. Bahkan gedung sekolah pun sebagian besar di bangun di atas tanah –dulunya– makam. Siang hari tempat itu ramai oleh guyonan siswa dan guru. Namun, jangan coba-coba lewat ke sana saat malam. Bukan seram, tapi sangat seram. Sepi sekali.
Selain dekat dengan pemakaman, sekolah itu juga berada di samping Situ (Danau) Cangkuang. Yang belakangan ini menjadi objek wisata terkenal di Garut. Candi Cangkuang dan Kampung Pulo menjadi daya tarik sendiri. Sayangnya aku tidak akan menceritakan objek wisata itu. Kalau penasaran silakan datang saja!
Enam tahun lamanya aku mengenyam pendidikan di sana. Prestasiku tidak terlalu menonjol tapi tidak buruk juga. Dari kelas satu sampai tiga, aku masuk sepuluh besar. Setiap hari aku belajar di ruang kelas yang sederhana, bangku dan kursi lapuk bukan pemandangan yang aneh. Jika hujan maka siap-siap melindungi buku dari tetesan air yang keluar dari atap. Tapi, meskipun begitu, percayalah, sedikit banyak sekolah itu melahirkan orang-orang yang sukses. Mereka bisa bersaing dengan jutaan siswa lainnya yang sekolah di kota.
Tahun 2007 aku lulus dari SDN Cangkuang V, di tahun yang sama melanjutkan ke Mts. Baitul Manan Leles (setingkat SMP). Tidak jauh berbeda dari sekolahku –SD- yang dulu, di belakang sekolah ini pun ada makam. Satu makam Cina dengan tiga pohon beringin besar sebagai hiasannya. Kebun bambu sempurna menambah keindahan sekolah itu. Nasibnya sama, bangku dan kursi yang lapuk tidak asing ditemui. Jangan kalian tanya bagaimana kondisi atapnya. Kalian bisa membayangkannya sendiri. Yang pasti kami tidak suka saat musim hujan datang.
Jumlah siswa di sekolah itu terbilang sedikit. Tidak lebih dari dua puluh lima orang perkelasnya. Meskipun tidak jauh dari perkampungan, tapi kebanyakan orang tua lebih memilih menyekolahkan anaknya ke Sekolah umum –negeri maupun swasta, yang jaraknya jauh. Alasannya sederhana, mereka takut masa depan anaknya suram jika bersekolah di Pesantren ini. Meregukan keberadaannya. Berbeda halnya dengan kebanyakan orang tua saat itu, Ibu malah menjerumuskan aku ke Pesantren tersebut. Beliau tidak takut akan masa depan anaknya.
“Dengan usaha kita bisa berjalan menuju tempat yang diinginkan. Namun, jika disertai dengan doa, maka kita bisa berlari sangat cepat ke tempat tersebut. Begitu pun dengan masa depan.” Kalimat itu diucapkan Ibu saat ditanya kenapa aku dijerumuskan ke Pesantren di saat banyak orang yang meragukannya. Awalnya aku tidak terlalu paham apa yang dimaksu oleh Ibu. Belakangan, seiring waktu berjalan, aku paham.
Dari dua puluh lima siswa yang masuk bersama denganku, hanya dua puluh saja yang mendapat ijazah. Lima siswa pindah sekolah. Alasannya beragam, tapi ustad (guru) menyimpulkan kalau mereka sudah tidak kuat dengan perlakuan teman-temannya. Boleh dibilang, angkatanku paling “bandel”. Tak ayal kami (laki-laki) sering mendapat hukuman. Membersihkan halaman dan WC bukan hal baru bagi kami.
Di Pesantren itu aku mendapat banyak pelajaran. Bukan sebatas mempersiapkan hidup di dunia, tapi mempersiapkan hidup kedua, bekal di akhirat kelak. Aku belajar bersyukur, sabar, ikhlas dan mengerti banyak tentang perjuangan.
Setelah tiga tahun lamanya mengenyam pendidikan, aku pun lulus dengan predikat memuaskan. Enam semester berlalu dengan baik. Di acara perpisahan, aku mewakili teman-temanku berterimakasih kepada ustadz-ustadzah yang dengan sabar mengajar kami yang nakal ini dan juga berterimakasih kepada orang tua kami yang begitu menyayangi kami. Jantungku berdetak sangat kencang, kaki tidak mau diajak kompromi, terus saja bergetar. Mungkin karena ditatap oleh ratusan pasang mata, yang menatap layaknya harimau yang siap menerka mangsanya.
Waktu terus berjalan, berubah menjadi kenangan. Tidak ada seorang pun yang bisa menghentikannya atau menyuruhnya kembali. Bahkan disuruh menunggu pun ia tak mau. Seperti apa pun kenangan tersebut, bukan menjadi alasan untuk menyalahkan waktu.
Aku melanjutkan sekolah ke MA. Persis Lempong (setingkat SMA). Kebanyakan orang menyebutnya Pesantren Persatuan Islam 96, karena itulah nama aslinya. Cerita yang terukir saat SMA lebih banyak dibandingkan dengan SD maupun SMP. Tapi, tenang saja aku tidak akan menceritakan semuanya. Kalian tidak perlu tahu bagaimana keadaan sekolah ini, cerita cinta, sahabat, atau pun kenakalanku. Saat ini aku akan mencertiakan hal yang sangat penting. Bagaimana perjuanganku melawan keraguan.
Sudah menjadi rahasia umum banyak yang meragukan keberadaan Pesantren. Meragukan masa depan anak-anak yang sekolah di sana. Apalagi untuk Pesantren yang tidak terkenal, citranya bahkan bisa lebih buruk lagi. Tidak sedikit yang meragukan anak-anak Pesantren bisa melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi. Mendapat tantangan seperti itu membuatku semangat.
Singkat cerita aku berada di semester terakhir. Pertanyaan yang sama selalu menggelayuti pikiranku. “Kalau sudah lulus mau apa?” hatiku tak henti berbisik “Aku ingin kuliah.” Sayang, momok kalau biaya kuliah itu mahal berhasil menciutkan bisikkan itu. Melihat Ayah yang bekerja sebagai kuli bangunan, tentu membayar puluhan juta untuk kuliah terasa sangat berat. Melebihi beratya beban yang ia pikul setiap harinya.
Dengan usaha kita bisa berjalan menuju tempat yang diinginkan. Namun, jika disertai dengan doa, maka kita mampu berlari sangat cepat ke tempat tersebut. Begitu pun dengan masa depan. Aku ingat ucapan Ibu. Tidak boleh menyerah sebelum mencoba.
Kesempatan datang. Guru BK merekomendasikan aku untuk ikut Bidikmisi.
“Bidikmisi itu apa Pak?” tanyaku penasaran.
“Bidikmisi itu bantuan pendidikan mahasiswa miskin berprestasi. Semacam beasiswa yang diberikan pemerintah untuk membantu siswa yang ingin kuliah tapi kesulitan biaya. Singkatnya kalau kamu dapet Bidikmisi, biaya kuliah ditanggung pemerintah dan kamu juga di kasih uang living cost setiap bulannya,” jelas Pak Hadi.
“Wah enak banget. Terus apa aja sayaratnya?”
“Kamu isi formulir dan lengkapi berkas-berkas yang diperlukan.”
Pak Hadi memberiku selembar kertas bertuliskan FORMULIR PENDAFTARAN BIDIKMISI TAHUN 2013. Beliau menyuruhku untuk mengisinya. Tak lupa memberitahu persyaratan lain; foto rumah, fotocopy kartu keluarga, surat keterangan tidak mampu (SKTM), surat kelakuan baik dan ijazah.
“Kamu isi formulir itu dan jangan lupa kasih tahu orang tua,” tutur Pak Hadi. Aku mengangguk mantap, membawa kertas, lalu pamit.
Setibanya di rumah, aku langsung menyerahkan kertas pada Ibu. Ibu bingung dengan kertas yang ia pegang. Padahal kita sudah bayar SPP kenapa dapet surat tagihan lagi ya? Pikirnya.
“Itu formulir pendaftaran Bidikmisi Mah,” ucapku melihat ekspresi Ibu.
“Bidikmisi itu apa Rul?” Ibu tambah bingung.
“Semacam beasiswa yang diberikan pemerintah untuk membantu siswa yang ingin kuliah tapi kesulitan biaya. Singkatnya kalau aku dapet Bidikmisi, biaya kuliah ditanggung pemerintah dan juga dikasih uang setiap bulannya.” Aku memberi penjelasan, mengulang perkataan Pak Hadi.
“Oh dapet gaji juga nak,” Ibu terdiam sejenak “bayar gak daftarnya Rul?” Ibu khawatir kalau harus bayar.
“Engga Mah. Kata Pak Hadi gratis. Paling biaya transportasi buat ngurus persyaratannya.”
“Oh gitu, kamu bilang aja ke bapak yaa. Kalau Mamah terserah Bapak aja.”
“Siap Mah.” Aku senang mendengarnya.
Sore hari, saat Ayah pulang, aku menjelaskan Bidikmisi. Tidak jauh berbeda dengan Ibu, Ayah pun sama bingungnya. Setelah diberi penjelasan, Ayah mengizinkan. Katanya untuk melengkapi persyaratan silakan urus sendiri olehku. Sore itu juga aku langsung bergerak. Memfotocopy kartu keluarga dan berkunjung ke rumah RT, meminta surat pengantar. Selama tiga hari berturut-turut aku bolak-balik layaknya bola pingpong. Mulai dari RT, RW, Desa, hingga Kecamatan yang jaraknya tidak dekat. Beruntung sekolahku liburnya hari Jumat. Sehingga ada waktu seharian penuh untuk melengkapi persyaratan.
Setelah semuanya lengkap, aku menyerahkannya kepada Pak Hadi. Rupanya bukan aku saja yang direkomendasikan untuk daftar Bidikmisi. Di tahun ini ada sepuluh orang yang direkomendasikan sekolah. Jika dilihat dari segi prestasi, boleh dibilang aku paling bontot dibandingkan dengan yang lainnya. Selain didaftarkan oleh sekolah, kami juga harus mendaftar sendiri secara online. Dengan saksama aku mengisi data yang terpampang di layar komputer. Mulai dari biodata pribadi, keluarga, hingga keadaan ekonomi keluarga. Semuanya harus diisi tanpa terkecuali. Alhamdulillah pendaftarannya beres.
Sebentar lagi kami Ujian Nasional. Tak ayal jumlah jam pelajaran yang akan diujikan bertambah. Saat matahari masih terlelap, aku sudah terjaga. Bersemangat pergi sekolah untuk mengikuti pengayaan. Pengayaan dilakukan hampir setiap hari di waktu pagi. Matematika menjadi momok tersendiri bagiku.
Ujian Nasional pun menyapa dengan hangat. Sayangnya sehangat apa pun dia menyapa tetap saja membuat tegang. Setiap siswa mengerjakan soal dengan serius. Tidak ada satu orang pun yang bisa mencontek maupun kerja sama. Bagaimana mungkin bisa mencontek toh setiap orang mengisi paket soal yang berbeda?
Alhamdulillah semua siswa dinyatakan lulus. Perjuangan yang sebenarnya baru akan di mulai. Karena ketidaktahuan, kami tidak mengikuti jalur undangan (SNMPTN) sehingga kami harus berjuang di tes tulis (SBMPTN). Aku mengetahui banyak hal mengenai SBMPTN dari dunia maya. Berbeda halnya dengan temanku yang fokus belajar dari buku, justru aku belajar dari interntet. Menggunakan internet secara positif.
Ujian tes tulis dilakukan selama dua hari di Bandung. Dua hari yang sangat berat. Aku pergi ke Bandung bersama dengan kedua temanku, menginap di rumah paman. Ribuan orang berkompetisi untuk mendapatkan satu kursi (kuliah). Bahkan banyak yang mati-matian bimbel untuk menghadapi SBMPTN. Persaingan yang sangat ketat.
Belum genap sebulan, pengumuman SBMPTN sudah terpatri di website resmi panitia. Berdasarkan informasi dari salah satu temanku, dia dan yang lainnya tidak lulus. Tinggalah aku sendiri yang nasibnya tidak diketahui. Dengan tangan yang gemeteran aku mengecek kelulusan. Aku mengetik nomor peserta dan tanggal lahir. Tak lama kemudian ku hapus lagi. Ketik. Hapus lagi. Ketik. Hapus lagi. Setelah menguatkan hati akhirnya kutekan tombol enter. Sial! malah dinosaurus yang muncul, not connection.
Aku berteriak sekencang-kencangnya saat aku dinyatakan lulus SBMPTN dan diterima di Universitas Pendidikan Indonesia. Serasa terbang aku pulang ke rumah. Berteriak lantang lapor pada Ibu kalau aku berhasil masuk Perguruan Tinggi Negeri. Ibu memeluk dan mencium keningku. Tidak terasa mataku basah, melihat Ibu untuk pertama kalinya menangis bahagia -karenaku.
Perjuangan belum berakhir. UPI mengadakan verifikasi bidikmisi untuk mencari kebenaran data yang telah di-upload sewatku pendaftaran. Sayang namaku tidak ada pada daftar mahasiswa yang dinyatakan lulus verifikasi. Aku masih bisa kuliah asalkan dengan biaya sendiri. Tentunya hal itu sangat sulit untuk dilakukan. Kuliah hanya sebatas angan saja.
Kesempatan kedua datang. Beruntung verifikasi diadakan dua kali, selang beberapa hari dari pengumuman verifikasi yang pertama. Alhamdulillah nama Nasrul Muhamad Rizal dinyatakan lulus dan ditetapkan sebagai mahasiswa penerima Bidikmisi.
Hari ini dua belas tahun silam, Ibu kembali mengantarku ke Sekolah. Bedanya sebelum berangkat dia tidak memakaikan seragam dan tidak sibuk menyeretku ke kamar mandi. Sinar matahari menemani kami saat pergi. Ibu tidak khawatir anaknya tidak kebagian tempat duduk. Karena setiap orang menempati satu kursi yang berbeda.
Kampusku berada di Kota Kembang, Bandung. Gedungnya tinggi mencakar langit. Sekolahku dulu kalah luas jika dibandingkan dengan taman Kampus ini. Jangan khawatir, saat hujan turun tidak perlu susah payah menampung air yang keluar dari atap. Tak perlu takut, di sini tidak ada pemakaman umum. Sepinya pemakaman yang dulu aku rasakan berubah menjadi keramaian. Ramainya Kota Kembang. Semalam apa pun lewat ke Kampus. Tetap saja ramai, apalagi kampusku dekat dengan jalan menuju objek wisata. Sepi hanya terjadi saat semua orang sepakat untuk tidak beraktivitas di luar rumah. Sayangnya tidak pernah ada kesepakatan seperti itu.
Selain senang karena impianku terwujud, aku pun bahagia karena bisa meruntuhkan keraguan banyak orang. Membuktikan kalau anak-anak yang bersekolah di pesantren bisa kuliah, bahkan di perguruan tinggi negeri.
Nasrul Muhamad Rizal | Bandung, 09 September 2016.
i hope i will be a good man like you. i am an alumnus from pesantren...
Comment on chapter Meruntuhkan Keraguan