Tiga lembar kertas penuh tulisan berserakan di bawah kursi taman itu, dekat kaki kursi bagian luar, di sebelah kanan. Tergeletak tanpa pemiliknya di atas paving block yang rapi tersusun sebagai jalan utama taman ini. Dua dari tiga kertas itu sudah kecoklatan, karena bekas diinjak, jejak sepatu itu masih membekas jelas. Di dekat lembaran kertas-kertas itu terdapat map dokumen berwarna biru yang terbuka, dan masih bisa memperlihatkan beberapa lembar kertas lagi di dalamnya.
Dari arah pintu taman, seorang pria berpakaian setelan kantor tidak rapi berjalan menghampiri kursi taman itu. Tidak rapi karena: tidak mengancingi dua kancing atas kemeja polosnya, kemeja tidak dimasukkan, lengan kemeja digulung sampai siku, dan dasi longgar. Pria itu menarik sampai lepas dasi biru bergaris miring hitam yang mengikat longgar lehernya, lalu melemparnya ke arah kanan tanpa melihatnya lagi. Dia terlihat memegang sesuatu di tangan kiri, tetapi setelah lebih dekat dengan kursi taman itu dia mengantungi barang tersebut.
Langkahnya sampai dan duduk sedikit membungkuk sambil melihat ke bawah. Belum sempat tiga detik terlewat dia berdesah, mengangkat tubuhnya lalu menaruh kedua sikunya di bagian atas badan kursi, seakan mencoba bersantai. Kepalanya menengadah. Tepat di belakangnya tertanam kukuh dua pohon kembar tanpa daun sedikit pun, sementara tidak jauh di depan ada mesin minuman.
Sorot matanya datar dan wajahnya murung, melihat gumpalan awan di atas yang terus bergerak sangat pelan mengikuti arah angin. Namun, di atas sana dia kembali melihat jas hitam miliknya yang menyangkut di dahan-dahan pohon kering itu. Wajahnya makin memurung.
Perlahan terdengar suara langkah kaki yang mendekat, suara itu berhenti. Tanpa memperdulikan siapa dan kenapa seseorang menghampirinya, pria itu terus melihat langit di atasnya.
“Halo, permisi,” suara itu berjeda sebentar. “Boleh aku duduk di sebelahmu?”
Seorang laki-laki yang kira-kira lebih muda darinya menghalangi pemandangan langit dan awan yang sedang dilihatnya, dia berdiri di belakang kursi sambil menundukan kepalanya, melihat pria itu dengan senyum.
Pria itu mengembalikan kepalanya ke posisi normal. “Aku tidak keberatan.” dia menoleh pada pemuda itu.
Pemuda itu pun duduk di sebelah si pria. Sekarang di kursi itu terlihat sebuah perbedaan yang sangat besar. Bagaimana tidak, pemuda yang duduk di sebelahnya memakai setelan kantornya lengkap—dari bawah sampai atas—dan rapi. Semua setelan kantornya tidak berbeda, kecuali bagian dasi, pemuda itu memakai dasi hitam. Meskipun terkesan formal, pemuda itu mempunyai rambut yang acak-acakan.
“Sedang apa kau sendirian di taman ini?” tanya pemuda itu, masih ramah.
“Merenungi hidup, dan memikirkan hal-hal sepele.” jawabnya sambil terus menundukkan wajahnya.
“Begitu ya, aku sebenarnya datang ke sini karena ada orang yang duduk sendirian.” jawab si pemuda, sambil melihat-lihat langit yang tadi dilihat oleh si pria.
Tanpa melihat pemuda itu dia tersenyum kecut. “Tidak usah berempati padaku. Lagi pula aku—”
Pemuda itu menoleh ke arah si pria dan tanpa sadar dia telah memotong kata-kata pria itu. “Oh! Ada jas di atas sana, di dahan-dahan itu!” Dia menunjuk dengan antusias. “Kira-kira siapa yang menaruhnya di atas sana ya?”
Selera humor pemuda ini tinggi. Namun, pria di sebelahnya hanya bisa cengar-cengir mendengarnya.
Pria itu berdeham. “Kira-kira di bulan ini perusahaan-perusahaan akan menerima pegawai baru atau tidak?”
“Soal itu aku kurang tahu ....” jawabnya ragu-ragu, seperti mencoba memikirkan pertanyaan itu lebih dalam.
“Begitu ya ....”
Pemuda itu berpangku dagu dengan wajah serius, seakan ingat sesuatu pemuda itu memasang wajah panik. “Gawat, aku lupa makan roti isiku!” katanya, sambil buru-buru mengeluarkan roti isi siap makan dari kantung jas bagian bawah.
Lihat tanggal kadaluarsa, buka bungkus, kantungi plastik, dan makan. Dia menghabiskan roti isi selainya hanya dengan tiga gigitan, sampai akhirnya dia merasa tersedak. Untungnya di depan sana ada mesin minuman, dan semuanya akhirnya baik-baik saja.
Napasnya dibuat terengah-engah. “Hah, hampir saja aku mati tersedak.” ucapnya, berakhir dengan napas lega.
“Sedang jam istirahat?”
“Ya, makan di meja kerja tidak enak. Apalagi AC di setiap lantai dan ruangannya bisa membuatku menggigil dan kesemutan. Kalau berlama-lama di sana aku bisa mati membeku.”
“Tapi bukankah waktumu lebih lama di dalam sana, dari jam istirahat ini?”
“Benar, karena itu aku mencopot AC yang ada di ruanganku.”
Merasa tidak mengerti si pria bertanya. “Apa?”
“Aku bilang, aku menyuruh orang mencopot AC di ruang kerjaku. Sebagai gantinya aku beli kipas angin mini untuk di taruh di meja kerja.” Ulangnya, kali ini dia sedikit memperjelas kalimatnya. Meski itu tidak mengubah tanda tanya di pikiran si pria.
Si pria menepuk pelan dahinya. “Bukan itu maksudku ... tapi biarlah ....”
“Ya, tidak usah di pikirkan.” katanya, mengangguk pelan dua kali.
Tepat setelah kata-kata itu berakhir hanya ada keheningan. Pemuda itu menyadari map dokumen biru di dekatnya, dan tanpa ragu megambilnya. Mereka sama-sama membisu. Si pria melirik pemuda yang sibuk membolak-balik kertas di dalam dokumen itu.
“Berapa lama lagi jam istirahatmu berakhir?”
Pemuda itu menaruh map dokumen itu di tempat semula, lalu menggeser sedikit mamset kirinya untuk melihat arloji. “Dua belas menit lagi.”
“Begitu ya ....”
“Ya ....”
Tangan si pria merogoh kantung celana, dia mengeluarkan benda itu, sebungkus rokok. Sementara jemari kanan sibuk mengupas plastik tipis bagian luar bungkus, tangan kirinya mengambil korek gas di saku kemejanya.
Sebatang rokok ditarik dari dalam bungkus, lalu mengapitnya pada bibir.
Pemuda itu mengambil sedikit napas. “Rokok mengandung 15 zat berbahaya dalam setiap batangnya, atau mungkin lebih dari itu. Jumlah kandungan karsinogen dalam asap rokok antara 20% untuk perokok aktif, untuk pasifnya 80% kalau kau ingin tahu, tapi itu hanya hasil kira-kira dariku,”
Mendengar itu, si pria hanya terdiam dengan bibir masih mengapit rokok, sementara pemuda itu mengeluarkan sebuah permen mint dari saku jasnya. Permen itu dikepalnya, mengulurkan tangannya dan memberikan permen itu. Si pria dengan respon lambatnya, menerima permen tanpa ragu.
“Dengan kata lain resiko menurunnya kesehatan perokok pasif lebih tinggi dari mereka yang benar-benar aktif merokok.” lanjutnya.
Hanya beberapa saat dia melihat bungkus permen mint, pria itu menaruh kembali sebatang rokoknya pada bungkusnya.
Si pemuda merogoh lagi kantung jasnya, mengeluarkan sesuatu. “Ini kartu namaku, kebetulan kami sedang mencari seorang NEET yang mau jadi salah satu pekerjaku.”
Meskipun nada bicaranya ramah, tetapi kata NEET terdengar agak kasar.
Pemuda itu bangkit dari duduknya. “Kalau kau tertarik, hubungi saja aku. Ah, satu hal lagi, syarat untuk bekerja di tempatku adalah berhenti merokok. Sampai ketemu besok di kantor.” setelah kata-kata itu berakhir dia berjalan meninggalkan taman dengan melambaian tangan.
Senyum kembali mengembang di wajah pemuda itu, ketika sudah melewati sebuah dasi yang tergeletak.
“Oh ya, kebetulan di dekat sini ada penatu yang masih buka. Jangan lupa jasmu.”
Pria itu melihat saat si pemuda meninggalkan taman. Dia menutup mata, lalu menatap tempat sampah tidak jauh di depannya, dan dengan satu lemparan dia berhasil menaruh sebungus rokok itu tepat di dalam tempat sampah.