Read More >>"> My Sweety Girl (Sandiwara?) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - My Sweety Girl
MENU
About Us  

Kamu tahu yang paling sakit itu apa? Bukan kehilangan karena kenyataanya kamu masih di sini. Membentangkan jarak dengan sengaja memang luka, namun acuhmu perih tak terhingga.

***

"Gue mau nembak dia," lirih cowok itu dengan lesu, "tapi gue bingung sama Chacha."

Rega yang berdiri di depannya berdecak, "Gue kan udah bilang, lo tinggal jujur aja. Toh dia juga mungkin gak bakal larang lo."

"Gak semudah itu, Ga. Lo tau sendiri kalau Chacha sama gue udah barengan lama banget. Gue juga gak mungkin lepas dia gitu aja. Harus ada yang jagain dia." Ken memijat dahinya. Cowok itu terlihat frustasi, ingin mendapatkan Wulan dan di sisi merasa mempunyai tanggung jawab penuh untuk menjaga sahabatnya.

"Bukannya lo lagi deketin dia sama Denis?" tanya Rega lagi. Ia menggeleng, "Chacha kayaknya gak suka sama dia."

"Ya udah sih kalau mau jadian ya jadian aja. Lagian lo bisa jagain mereka bersamaan kan?" ucap Dean yang sejak tadi hanya mendengar percakapan kedua sahabatnya. Jengah, selalu itu saja yang di bahas. Padahal apa susahnya membagi waktu untuk keduanya? Cowok itu hanya perlu menempatkan mereka sesuai porsinya tanpa harus menyakiti salah satunya.

"Lo gak ngerti, Yan. Gue yang sebelumnya selalu ada buat Chacha, mungkin kalau udah sama Wulan semua akan berubah." jelas Ken, "Sekarang-sekarang aja gue mulai sering berbohong cuma buat jalan sama Wulan."

"Gue ngerti makanya ngomong kayak gini. Semua yang lo lakuin pasti bakal ada konsekuensinya. Bukan nanti aja, Ken. Tanpa disadari lo udah sering buat dia sedih akhir-akhir ini. Dan lo gak tau kan masalah kemarin malem?"

"Kemarin malem?" Ken menaikan sebelah alisnya.

"Dia pasti gak cerita sama lo tentang masalah keluarganya kemarin. Dia berusaha hubungin lo juga Rega tapi kalian sengaja abain kan? Lo malah jalan sama Wulan ke bioskop. Jangan aneh karena kemarin gue, si adek sama Rana ke sana, beruntungnya dia gak liat lo."

Ken dan Rega berpandangan. Apa yang dikatakan Dean memang benar, tapi ia tidak tahu kalau Maisha mengalami masalah. Perasaan bersalahnya muncul, ia cukup tahu kalau Maisha akan mudah menangis dengan masalah yang menyangkut keluarganya. Kemarin ia hanya tidak ingin kebersamaannya dengan Wulan terganggu.

Cha, gimana gue mau gapai cinta gue kalau lo aja masih ketergantungan gini? batin Ken melirih. Sisi egoisnya kembali muncul. "Gue harus gimana? Gak mungkin lepasin Wulan gitu aja."

"Dan lo juga gak mungkin lepasin si adek gitu aja," tegas Dean.

Ken menatap sahabatnya yang sejak dulu begitu tak menyukai rencananya dan Rega. Ia terdiam menimang-nimang.

"Lo kenapa sih kayak gak suka banget kalau Ken pacaran sama Wulan?" Kali ini Rega menyuarakan kebingungannya, "lo gak mau liat sahabat lo seneng? Kasian dia dari dulu cuma bisa liatin Wulan dari jauh."

"Gak gitu, Ga." Dean menyanggah lalu mengalihkan tatapan pada cowok di sampingnya "Ken, gue cuma inget aja gimana dulu lo mati-matian jagain Chacha. Bahkan gue sama Rega aja sulit lo kasih kepercayaan karena takut kita nyakitin dia, tapi sekarang apa?"

Hening sejenak, tak ada yang berniat mengelak karena memang apa yang dikatakan Dean benar. "Gue bukannya gak mau liat sahabat gue seneng. Gue cuma pingin gak ada yang terluka diantara kita. Kalau lo emang pingin sama Wulan silahkan, gue gak larang, tapi lo bisa bicara baik-baik sama Chacha kan? Mungkin bakal sulit tapi coba buat dia ngerti."

"Gue Cuma pingim Chacha ada yang jagain. Dia udah terlalu bergantung sama gue dan gue takut nanti gak ada untuk dia, saat dibutuhkan kayak kemarin."

Egois, itu yang terlintas dipikiran Dean mengenai Ken. Hanya memikirkan kebahagiaan sendiri. Padahal apa yang menurutnya baik bukan berarti baik juga untuk Maisha. Kekuatan cinta memang dahsyat, sampai-sampai membuat Kenar yang dulunya begitu menjaga Maisha kini malah mencoba melepaskan diri. Tak ada yang salah memang, tapi setidaknya dengan berkata jujur secara langsung mungkin semuanya akan lebih mudah meski menyakitkan.

"Kalau ... kalian yang jagain dia? Maksudnya ketika gue lagi sama Wulan."

Sontak keduanya keduanya saling pandang, sebelum Rega bersuara terlebih dulu, "Gue bisa aja cuma gak janji soalnya gue juga punya pacar, kalau kalian lupa. Dan dia cemburuan banget liat gue deket sama Chacha."

Ken mengangguk kemudian melirik Dean yang terdiam. Dia mau buat alasan apa? Pacar tidak punya, tapi dia sibuk dengan aktivitasnya di luar sekolah.

"Yan, lo mau kan jagain Chacha buat gue?"

"Jangan minta kayak gitu Ken. Kita bisa sama-sama jagain dia. Jangan bersikap seolah lo bakal lepas dia gitu aja." Akhirnya hanya itu yang keluar dari bibir Dean.

Kemudian ketiganya terdiam. Tenggelam dengan pikiran masing-masing tanpa tahu bahwa tak jauh dari sana ada yang mendengar pembicaraan tersebut. Tangannya terkepal, berusaha untuk tak menghampiri mereka. Perlahan cairan bening jatuh ke wajahnya. Bahkan ini lebih sakit daripada Ken mengabaikannya kemarin. Menghapus air matanya, Maisha berbalik berusaha menampakkan senyum yang membuatnya merasa muak sendiri.

Sekarang ia tahu mengapa Ken tiba-tiba mengijinkan Denis mendekatinya. Untuk melepas rasa tanggung jawabnya dengan melemparkan pada cowok itu.

***

Ketiga cowok itu beriringan memasuki kelas. Kebetulan masih jam istirahat sehingga kelas belum terisi penuh. Pembicaraan mereka berhenti tanpa penyelesaian. Tentunya dengan Ken yang bersikukuh dengan rencananya diikuti Rega sebagai pendukung penuh.

"Si adek ke mana?" tanya Dean melirik bangku kosong di sebelah Rana. Jangan tanyakan kedua cowok yang kini berdiri di dekat pintu membicarakan masalah yang sama.

Rana mengernyit, "Lah tadi kan katanya mau nyusul Ken. Emang gak ketemu?"

Mata Dean terbelalak. Ia mencoba  menghubungi cewek itu, tapi tak ada jawaban. Lalu menatap kedua sahabatnya. Ken bahkan yang biasanya pertama kali masuk kelas akan menanyakan keberadaan Maisha, kini malah acuh saja dan malah asik membicarakan Wulan. Cowok itu menghela nafas kemudian melangkah keluar kelas, mengabaikan Rana yang menatap penuh tanya.

Melihat punggung yang di kenali tengah membelakanginya, Dean berjalan mendekat. Maisha duduk di kursi yang menghadap lapangan basket. Langkahnya tak membuat cewek itu terganggu. Maisha hanya menatap penuh ke depan sana dengan pandangan kosong.

"Dek," Dean memegang bahu mungil itu. Namun tak mendapat respon, "Cha?"

Akhirnya Maisha menoleh sejenak dan kembali mengalihkan pandangan.

"Katanya nyari Ken. Lo ... tadi ketemu sama dia?" tanya Dean hati-hati.

Gelengan kepala cewek itu membuatnya meloloskan nafas lega.

"Yan," Maisha terdengar lirih, Dean berdehem, "menurut lo cinta itu apa?

"Aneh," ucap Dean menatap wajah imut itu dari samping. Maisha mengernyitkan dahinya. "lo aneh nanya hal kayak gitu. Kayak bukan Maisha yang gue kenal."

Terdengar kekehan dari cewek di sampingnya. Jelas Dean semakin bingung, apakah Maisha benar-benar menguping pembicaraannya tadi atau tidak, "Yan, kalau seandainya suatu saat Denis nembak gue, menurut lo gimana?"

Dean menahan nafasnya. Entah mengapa ia tak suka mendengar perkataan Maisha. Cukup tahu bagaimana cewek itu berusaha membuat dirinya nyaman berdekatan dengan Denis hanya karena menuruti ucapan Ken. Ia menggeser duduknya, menyentuh punggung tangan Maisha, "Dek, kalau gue minta jangan terlalu bergantung sama Ken, apa lo bisa?"

"Em maksud gue, jangan terlalu menuruti ucapan dia. Kalau emang ngerasa gak suka atau gak nyaman sama Denis, ya udah lo tinggal nolak. Lo punya kehidupan sendiri," koreksinya melihat reaksi Maisha yang seperti tak terima saat dirinya mengatakan jangan bergantung pada Ken. Dean melirik jam di pergelangan tangannya, "Masuk kelas yuk, bentar lagi masuk."

Maisha terdiam sejenak kemudian mengangguk, membiarkan tangannya ditarik cowok itu. Ia berjalan dengan pikiran menerawang jauh. Membayangkan pengandaian jika sahabat kecilnya menjalin hubungan dengan Wulan.

***

Selama seharian penuh sahabatnya tak memberikan kabar sama sekali. Hati Maisha tentu semakin resah, terlebih pembicaraan mereka kemarin membuatnya dihinggapi ketakutan. Biasanya ketika hari minggu datang. Pagi-pagi sekali Ken sudah berkunjung ke rumahnya, memaksa untuk menemaninya joging mengelilingi alun-alun kota. Lalu siangnya akan datang lagi untuk sekedar mengajak bermain game atau pergi ke berbagai tempat, tak membiarkan dirinya merasa kesepian.

Sekarang, bahkan cowok itu seolah melupakan kebiasaannya dalam sekejap. Maisha kembali melirik benda pipih di genggamannya, Ken belum membaca pesannya sama sekali. Ia menghembuskan nafasnya kasar, mengarahkan tatapannya pada seluruh penjuru ruangan. Omnya sedang berkunjung ke keluarga tantenya di Sukabumi dan diri menyesal menolak ikut.

Sepi. Bahkan detak jam dinding begitu terdengar. Seperti tengah menertawakan kesendiriannya. Maisha benci ketika dirinya merasa tak diinginkan.

"Ken, kamu dimana sih?" lirihnya bermonolog, "mana janji kamu untuk selalu ada buat aku?" Sebuah isakan terdengar memenuhi ruangan tersebut. Ketakutannya terlalu besar, ia sudah sering di tinggalkan dan tak sanggup harus mengulang hal yang sama. "Ken, kamu harus penuhin janji kamu atau aku sendiri yang bakal paksa kamu. Suka atau gak suka."

***

Untuk kesekian kalinya cowok itu melirik handphone yang sejak tadi bergetar, entah itu panggilan masuk maupun sebuah pesan yang kesemuanya ia abaikan. Dirinya memang jahat, tapi ia juga ingin egois dengan mendapatkan kebahagiannnya.  Sejak pagi Maisha mengirimi pesan juga berusaha meneleponnya, mungkin karena biasanya ia akan berkunjung ke rumah cewek itu.

Sekarang situasinya berbeda. Sejak pagi ia bersama sosok yang beberapa tahun ini diidamkannya. Menemani joging, pergi ke car free day, serta ke tempat wisata yang baru dibuka dan sedang hits nya di media sosial. Dan nama Maisha yang biasa bersamanya sepanjang hari kini tergantikan oleh nama perempuan anggun, bernama Wulandari.

Seharusnya Ken tak perlu mengabaikan sahabatnya. Namun, ia bingung harus mengatakan alasan mengapa ia menghilang seharian ini. Tanpa Ken sadari bahwa sikapnya yang seperti itu yang membuat sahabatnya semakin terluka.

"Handphone kamu getar terus dari tadi," ucap Wulan, "angkat aja dulu, kali aja penting."

Ken menatap sejenak benda pipih itu lalu menonaktifkannya. Hal tersebut menciptakan kernyitan di dahi Wulan, "Kok malah dimatiin?" bingungnya. Ken tersenyum kaku, "Ini cuma orang iseng, ganggu terus dari kemarin."

Wulan mengangguk kemudian menyeruput jus strawberry di genggamannya. Bahkan cewek itu sedang minum saja terlihat begitu cantik dan anggun.

"Abis ini mau kemana, Lan?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun. Wulan terlihat salah tingkah di perhatikan terus dan itu malah membuat Ken tersenyum senang,"Mm, pulang aja kali ya? Lagian udah sore juga, kasian kamu nya dari pagi nemenin aku terus."

Akhirnya Ken mengangguk paksa. Padahal ia masih ingin bersama cewek itu. Mereka akhirnya memutuskan beranjak karena lelah yang mulai terasa.

***

Baru kali ini lagi Maisha berangkat sekolah bersama Ken. Sebenarnya ia berinisiatif menghubungi terlebih dahulu, mengatakan akan menunggu sampai cowok itu datang, tanpa menunggu apa yang akan diucapkan sahabatnya ia langsung menutup sambungan. Maisha yakin Ken tidak akan membiarkan dirinya tidak berangkat sekolah.

Benar saja cowok itu menghentikan kendaraan beroda dua di halaman rumahnya. Maisha memamerkan senyumnya seolah apa yang Ken lakukan kemarin bukan apa-apa. Ia sudah bertekad akan menghadapi semuanya, memperjuangkan Ken sampai titik darah penghabisan.

"Aku kira kamu gak bakal dateng," ujar Maisha sedikit menyinggung. Cowok itu mendengus kemudian memukul dahinya menimbulkan ringisan kecil.

"Sakit, Ken." rengeknya membuat Ken berdecak, "manja. Sahabat siapa sih ini?"

"Sahabat kamu dong!" seru Maisha tak mau kalah. Ia cukup bahagia dengan kedatangan cowok itu. Tanpa ia tahu bahwa diam-diam Ken telah membatalkan janjinya untuk menjemput Wulan. Tak berapa lama mereka memutuskan untuk segera berangkat karena terlalu banyak membuang waktu untuk bercanda.

"Hai Lan!" seruan lantang Maisha membuat kedua orang yang berjalan dengan arah berlawanan langsung tertegun. Cewek mungil itu dapat melihat sorot kaget dari keduanya, tapi malah dengan sengaja melambaikan tangan sambil menghampiri cewek kalem berbandana merah. Tak lupa tangan satunya menarik lengan Ken yang berjalan lesu.

"Apa kabar? Udah lama perasaan gak ketemu. Sibuk banget ya jadi anak OSIS?" tanyanya tanpa jeda. Yang di ajak bicara malah tersenyum kaku sambil sesekali melirik cowok di samping Maisha yang memberikan isyarat, entah apa.

"Em i-iya gitu deh kabar baik. Maklum satu minggu lagi mau turun jabatan jadi gitu deh," kekehnya. Maisha menganggukkan kepala bersikap seolah mengerti lalu menoleh pada sahabatnya yang sejak tadi diam, "Ken kamu kok diem aja sih? Gak nyapa gitu, Wulan kan dulu suka bantuin kamu ngerjain tugas."

Pancingan Maisha membuat cowok itu tergagu, menatap cewek di depannya dengan perasaan tak enak. Masalahnya ia membatalkan janjinya secara mendadak ketika Wulan sudah menunggunya di halte, "H-hai, Lan."

"Kenapa sih kok kalian keliatan kaku gitu?" Maisha menatap keduanya bergantian dengan dahi mengernyit bingung.

"Tuh kan, malah diem-dieman. Udah ah, yuk masuk kelas! Badan aku pegel-pegel, kamu sih ngendarain motornya ngebut banget. Lan duluan ya, Bye." Maisha kembali menarik lengan Ken, berceloteh tanpa peduli didengarkan atau tidak karena sedari tadi tak bersuara. Ia tak peduli terpenting telah berhasil membuat keduanya terjebak dalam situasi tak mengenakan.

"Ken, Wulan cantik ya?"

"Ah, apa?" Membawa nama Wulan, langsung saja cowok itu bereaksi.

"Iya, Wulan. Dia cantik banget, pantesan aja anak-anak cowok di sekolahan pada suka sama. Kamu suka juga sama dia gak?"

Ken terdiam, perasaan bingung menyergapnya. Aneh saja kalau Maisha tiba-tiba memuji cewek itu di di depannya.

"Ah aku ...,"

"Udah ah, lama. Gak mungkin kamu suka sama dia. Lagian kamu itu sama kayak aku, cuma murid biasa. Nah Wulan sih? Udah cantik, pinter, aktif, pokoknya perfect banget." Maisha menyunggingkan senyum saat ekor matanya menangkap wajah kaku sahabatnya.

Bukan jahat karena membuat cowok itu down dengan perkataannya, anggap saja ia sedang mengingatkan posisi Ken di mana. Harapan Maisha hanya satu, membuat Ken mundur secara perlahan.

***

Perkataan Maisha tadi pagi membuat cowok itu tak konsentrasi selama dua pelajaran penuh. Tak seharusnya memang sahabatnya itu membuat dirinya merasa sangat rendah untuk perempuan yang dicintainya. Ken memang hanya murid biasa, mengikuti ekstrakulikuler pun hanya karena di paksa ikut. Ia juga tak setampan Dean tapi tetap saja tak berarti sangat jelek. Ia tidak ingin menyalahkan Maisha, karena mengira cewek itu tidak tahu apa yang terjadi antara dirinya dan Wulan.

Ken melirik jam dipergelangan tangannya. Menunggu sosok yang susah sekali untuk ia temui karena Maisha sejak istirahat tadi tak mengijinkannya pergi barang sejenakpun. Alasannya karena dirinya yang memang selalu menghilang tiba-tiba. Beruntung dengan alasan ingin ke toilet cewek itu mengijinkannya meski dengan wajah tak rela. 

"Ken," suara lembut itu membuatnya mendongkak. Ia tersenyum sambil melangkah ringan menghampiri sosok yang membuat harinya bersemangat. 

Mereka berdiri berhadapan di koridor yang lumayan sepi karena para siswa masih menikmati waktu istirahat di kantin. Wulan melirik sekitar lalu pada cowok di depannya yang tersenyum manis. "Kenapa ngajak ketemu di sini?" tanyanya hati-hati, "Maisha tau?"

Ken menggeleng membuat Wulan menghela nafasnya, "Ken, aku rasa Maisha harus tahu. Kita gak mungkin bakal gini teruskan?"

Cewek di depannya memang benar. Tak selayaknya Maisha menjadi orang yang paling tidak tahu apa-apa padahal sebelumnya mereka adalah dua sahabat yang tak pernah saling menyembunyikan apapun. Namun, ia tak bisa menjamin kalau semua akan baik-baik saja. Mengingat Maisha yang berkali-kali mengatakan bahwa dirinya tidakboleh pacaran dulu. Sedangkan baru kemarin Wulan resmi menjadi pacarnya.

"Belum saatnya, Lan. Kamu tau sendirikan gimana Chacha sama aku? Dia selalu ketakutan kalau aku bakal ninggalin dia. Aku mohon kamu ngerti ya?"

Wulan akhirnya mengangguk, "Aku ngerti kok, Ken. Lagian kalian udah sahabatan lama banget, Maisha udah terbiasa sama kehadiran kamu, fokus kamu yang hanya buat dia mungkin yang membuatnya ketakutan."

Sungguh, Ken benar-benar bersyukur memiliki Wulan. Begitu pengertian dan harusnya Maisha senang karena dirinya bisa mendapatkan pacar yang begitu baik. 

"Maaf ya? Buat sekarang ini kita backstreet dulu." Cowok itu memegang kedua jemari Wulan, menatap penuh penyesalan. Wulan menggelang sambil tersenyum, memberitahukan bahwa dirinya tak masalah dengan itu, "Gak papa, Ken. Ya ampun! Aku lebih khawatir sama hubungan persahabatan kalian."

"Makasih Lan, aku bersyukur banget punya pacar pengertian kayak kamu. Aku bakal berusaha buat Chacha terima hubungan kita dengan perlahan."

***

Trang

Maisha melempar kaleng minuman dengan keras, tak mempedulikan lemparannya meleset. Ia terlanjur kesal, juga merasakan sakit di bagian dalam tubuhnya.  Seharusnya rencananya tak membuat hatinya retak. Tadinya Maisha sengaja mengijinkan Ken untuk ke toilet hanya untuk menguji kejujuran cowok itu, melihat perubahannya yang kian hari semakin drastis. Siapa sangka kalau langkahnya malah membawa pada kenyataan menyakitkan. 

Kenar nya telah resmi menjadi milik cewek itu. Wulandari. 

Bagaimana mungkin dirinya kalah di saat baru mau memulai? Maisha memejamkan matanya menahan diri untuk tak meluapkan emosinya. Dirinya tidak boleh menangis meski sedari awal sudah ingin berteriak kesetanan. 

Ingat, Cha. Ini sekolah dan Kenar gak akan suka kamu yang kayak gini. Maisha menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya. Tangannya yang tadi mengepal kuat perlahan mengendur. Bertepatan dengan bel berbunyi, ia melangkah menuju kelasnya, berusaha berjalan santai meski kakinya terasa begitu kebas. Maisha tidak punya lagi kekuatan selain menguatkan dirinya sendiri. 

"Kamu jahat, Ken. Dan bodohnya aku semakin ingin mempertahankan kamu," gumamnya bermonolog. Begitu pelan, tapi sang angin mampu menerbangkan kesakitannya melewati lorong koridor yang sepi. 

Wajah muramnya berubah, Maisha memamerkan senyumnya tepat ketika memasuki pintu kelas. Di sana cowok itu melambaikan tangannya di tengah obrolan bersama kedua sahabatnya. Maisha balas menyapa lalu mendudukan badan di kursinya. 

Ketiga cowok di depannya tertawa, entah membicarakan hal lucu apa. Ia tidak yakin kalau Ken merahasiakan hal tersebut dari para sahabatnya.

"Cha, you ok?" Maisha mengernyit atas pertanyaan cewek di sebelahnya kemudian menggeleng, "Gue ...  baik. Kenapa?"

Rana menutup buku ditangannya, memperhatikan raut wajah sahabatnya intens, "Lo senyum tapi mata lo gak perlihatin itu."

Maisha tertegun. Bahkan Ken yang telah mengenalnya lama tak dapat membaca kesedihannya.

Menggeleng kaku, Maisha mencoba mengalihkan perhatiannya pada teman-teman sekelasnya yang tengah melakukan berbagai macam aktifitas sembari menunggu guru datang. Ke manapun matanya bergerak maka bayangan Ken dan Wulan yang terlintas, tanpa ia kehendaki matanya berkaca-kaca. Tak tahan, Maisha berdiri membuat Rana semakin menatap curiga, "G-gue ke toilet dulu." 

Ia berlari mengabaikan teriakan khawatir Rana. Hanya satu yang menjadi tempat tujuannya saat ini. Maisha menutup pintu toilet dengan keras, lalu tubuhnya merosot saat itu juga. Ia menggigit bibirnya keras, menahan isak tangis yang sejak tadi di tahannya. Maisha tidak bisa berpura-pura baik-baik saja, tapi juga tak mungkin memperlihatkan kekecewaannya. 

Setelah beberapa lama menghabiskan waktu untuk menangis, ia pun bangkit menghadap cermin dan membasuh mukanya. Maisha menatap pantulan dirinya, hidung yang merah juga mata bengkak. Tidak mungkin ia memasuki kelas dalam keadaan kacau seperti ini. Bagaimana kalau Ken curiga? Maisha menghela nafasnya, kemudian berjalan lesu. Ia membuka pintu toilet dengan pelan. Namun, langkahnya terhenti mendapati sosok cowok tengah menyandarkan punggungnya tak jauh dari tempat Maisha berdiri. 

Mendengar pintu terbuka, cowok itu langsung menegakkan badan, menatapanya intens. Hal tersebut membuat Maisha memalingkan wajah. Akan tetapi ia kembali menoleh saat merasakan tangannya digenggam seseorang. Masih dalam diam Maisha mengikuti sosok yang menggiringnya.

Tidak tahu akan dibawa ke mana. Meskipun begitu Maisha bersyukur karena cowok itu tak menanyakan apapun setelah melihat wajah kuyu nya.

"Lo cuma perlu istirahat dek," ujarnya setelah mereka berada di ruangan serba putih. Maisha menatap cowok di depannya dengan pandangan bingung, tapi yang didapati hanyalah usapan lembut di pucuk kepalanya. Cowok itu hendak beranjak ketika Maisha menahan lengannya, "Yan, makasih."

Dean tertegun mendengar suara lirih itu kemudian mengangguk. Tanpa melirik Maisha ia kembali melanjutkan langkah menuju kelas. Dean langsung tahu saat pertama kali cewek itu memasuki kelas dengan wajah sayu nya. Juga ketika Rana memanggil berkali-kali karena Maisha yang pergi begitu saja. Mungkin cewek itu sudah tahu hubungan sahabatnya dengan Wulan. Entah dari siapa. Dean sendiri merutuki sikap sahabatnya yang tak sabaran. Padahal Ken bisa menunggu sebentar saja untuk membuat Maisha mengerti. 

Rega juga malah ikut-ikutan mendukung tanpa memikirkan dampaknya. Ia sengaja tak menanyai Maisha, membiarkannya bukan berarti tak peduli. Dean tahu bahwa Maisha tak selemah itu. Ia akan bangkit sendiri, terlebih tanpa adanya Ken yang selalu memanjakannya. 

***

"Kenapa sih lo dari tadi diem aja?" Dean mendongkak pada Rega yang terlihat lebih ceria beberapa hari ini karena sudah terbebas dari tanggung jawabnya sebagai ketua OSIS. Sudah seminggu berlalu sejak kejadian itu. Seperti dugaannya, Maisha kembali terlihat biasa saja bahkan bercanda dengan sahabatnya seperti tak terjadi apapun. Dean jadi ragu apakah dulu Maisha menangis memang karena hubungan Ken dengan Wulan atau sebab lain. 

"Ga, lo yakin kalau suatu saat si adek tau yang sebenarnya dia bakal baik-baik aja?" tanyanya melirik cewek itu yang tengah bercanda dengan Ken. Tak ada yang perlu di curigai.

"Kenapa sih itu terus yang lo bahas?" Rega menatapnya bosan.  

"Gue cuma gak bisa bayangin aja."

Rega berdecak, "Udahlah, lagian nih Ken punya rencana lagi."

"Apalagi? Gak puas deketin dia sama Denis kemarin?"

"Ya ampun Yan, kali ini rencananya pasti berhasil. Jadi gini, Ken bakal deketin Wulan sama Chacha dulu. Ngebuat mereka akrab, nah otomatis kan kalau udah gitu perlahan dia bakal nerima keberadaan Wulan tuh. Lo tau sendiri kan kalau Chacha itu tipe cewek kayak apa?"

"Terserah deh, gue gak ikut campur." Dean mengedikan bahu acuh.

"Terserah juga gue gak peduli. Yang pasti lo cuma perlu dateng besok."

"Ngapain?" tanya Dean, "gue udah ada janji sama anak-anak."

"Ngejalanin rencana Ken. Jadi ceritanya gue sengaja mau ajak Wulan buat ngerayain turunnya jabatan kita gitu."

Mendengar penjelasan tersebut, ia hanya mengangguk. Niat sekali Ken menyatukan kedua cewek itu. Tapi Dean tak peduli, ia juga tak berniat ikut berakting dalam drama yang dibuat kedua sahabatnya. Tanpa sengaja tatapannya bersibobok dengan Maisha yang kini sibuk merapikan kuciran rambutnya. Ken sudah tak ada di sana. Cewek itu memamerkan deretan giginya dan melambaikan tangan. Dean balas senyum menghampiri. 

"Ada apa?" 

"Besok lo mau ikutkan ke care free day?" tanyanya. 

Dean menggeleng, "Besok waktunya gue tidur sepuasnya."

"Berangkatnya agak siangan kok, Yan." Maisha menyentuh lengannya, "ikut ya? Rana gak bisa ikut soalnya."

"Kan ada Kenar? Lagian tumben amat lo ngajak gue, dek. Biasanya juga paling males kalau gue ikut, katanya gue suka nya minta gratisan." sindirnya membuat Maisha terdiam sejenak. Cewek itu kemudian menatapnya, memberikan jawaban dengan tergagu, "Y-ya iya sih. Cuma gak seru aja gitu cuma dikitan."

Alasan. Batin Dean. Ia jadi semakin yakin kalau Maisha memang menyembunyikan sesuatu. Cewek itu bersikap aneh sekali. Tapi apa? Kalau tentang hubungan sahabatnya, kenapa Maisha malah berpura-pura tak tahu apapun?

"Ya udah kalau gak mau ikut. Gak maksa kok." dengusnya dengan bibir mengerucut. Hal tersebut membuat Dean gemas dan menarik rambut Maisha yang baru saja di rapihkan, "Dasar manja."

Maisha meringis kesakitan, "Ish Dean, sakit tau! Kebiasaan banget sih narik-narik. Gue aduin sama Rana tau rasa."

"Dasar tukang ngadu," ejeknya membuat Maisha semakin jengkel.

"Dih tambah cantik deh kalau cemberut," godanya lagi membuat Maisha yang sedang jengkel harus menahan senyumnya.

Dean tertawa melihat cewek itu yang mati-matian berpura-pura jutek, tangannya terangkat merangkul bahu mungil itu, "Gue suka liat lo yang ceria, dek. Makanya jangan pernah sedih apa pun yang terjadi."

Maisha tertegun kemudian mengangguk mengiyakan ucapan cowok pecicilan yang seperti sebuah petuah.

Doain ya, Yan. Biar besok akting gue maksimal. Gue ... bakal berjuang sendirian. Batin Maisha melirik cowok yang kini bersenandung kecil sambil menggerakkan tatapan ke penjuru kelas. Gue gak tau lo pro ke siapa sebenarnya, yang pasti makasih udah kasih suntikan semangat.

***

#twm18

 

How do you feel about this chapter?

1 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
CINTA DALAM DOA
2165      862     2     
Romance
Dan biarlah setiap doa doaku memenuhi dunia langit. Sebab ku percaya jika satu per satu dari doa itu akan turun menjadi nyata sesungguhnya
Got Back Together
305      251     2     
Romance
Hampir saja Nindyta berhasil membuka hati, mengenyahkan nama Bio yang sudah lama menghuni hatinya. Laki-laki itu sudah lama menghilang tanpa kabar apapun, membuat Nindyta menjomblo dan ragu untuk mempersilahkan seseorang masuk karna ketidapastian akan hubungannya. Bio hanya pergi, tidak pernah ada kata putus dalam hubungan mereka. Namun apa artinya jika laki-laki hilang itu bertahun-tahun lamanya...
Violetta
572      333     2     
Fan Fiction
Sendiri mungkin lebih menyenangkan bagi seorang gadis yang bernama Violetta Harasya tetapi bagi seorang Gredo Damara sendiri itu membosankan. ketika Gredo pindah ke SMA Prima, ia tidak sengaja bertemu dengan Violetta--gadis aneh yang tidak ingin mempunyai teman-- rasa penasaran Gredo seketika muncul. mengapa gadis itu tidak mau memiliki teman ? apa ia juga tidak merasa bosan berada dikesendiri...
Lavioster
3603      993     3     
Fantasy
Semua kata dalam cerita dongeng pengiring tidurmu menjadi sebuah masa depan
Happiness Is Real
263      221     0     
Short Story
Kumpulan cerita, yang akan memberitahu kalian bahwa kebahagiaan itu nyata.
My Sunset
6424      1354     3     
Romance
You are my sunset.
NI-NA-NO
1339      606     1     
Romance
Semua orang pasti punya cinta pertama yang susah dilupakan. Pun Gunawan Wibisono alias Nano, yang merasakan kerumitan hati pada Nina yang susah dia lupakan di akhir masa sekolah dasar. Akankah cinta pertama itu ikut tumbuh dewasa? Bisakah Nano menghentikan perasaan yang rumit itu?
Ballistical World
8953      1714     5     
Action
Elias Ardiansyah. Dia adalah seorang murid SMA negeri di Jakarta. Dia sangat suka membaca novel dan komik. Suatu hari di bulan Juni, Elias menemukan dirinya berpindah ke dunia yang berbeda setelah bangun tidur. Dia juga bertemu dengan tiga orang mengalami hal seperti dirinya. Mereka pun menjalani kehidupan yang menuntun perubahan pada diri mereka masing-masing.
Junet in Book
2961      1098     7     
Humor
Makhluk yang biasa akrab dipanggil Junet ini punya banyak kisah absurd yang sering terjadi. Hanyalah sesosok manusia yang punya impian dan cita-cita dengan kisah hidup yang suka sedikit menyeleweng tetapi pas sasaran. -Notifikasi grup kelas- Gue kaget karena melihat banyak anak kelas yang ngelus pundak gue, sambil berkata, "Sabar ya Jun." Gue cek grup, mata gue langsung auto terbel...
Perfect Love INTROVERT
9495      1744     2     
Fan Fiction