Read More >>"> My Sweety Girl (Sosok yang Dicari) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - My Sweety Girl
MENU
About Us  

Jangan menjadi payung untukku karena jika musim hujan berlalu, kamu mungkin akan ikut pergi.

***

"Loh? Kok elo di sini sih?" Maisha yang baru menutup gerbang rumahnya dibuat kaget dengan kehadiran cowok dengan seragam berantakan. Siapa lagi diantara sahabatnya yang paling berpotensi berpenampilan seperti itu selain Dean? Jawabannya tidak ada.

Masih dengan kening berkerut, Maisha menghampiri cowok itu yang tengah duduk santai di atas motornya. Salah jika dalam bayangan para cewek kalau cowok seperti Dean akan mengendarai motor sport. Kenyataannya ia hanya menggunakan bit putih. Justru malah Ken yang terlihat sebagai cowok kalem menggunakan motor keren ala di sinetron-sinetron yang akhir-akhir ini sedang buming karena aksi tarungnya.

"Lo kok bisa di sini?" ulangnya karena Dean mengacuhkannya, malah memakan permen karet dengan khidmat.

"Jemput princess," jawabnya asal setelah membuang sembarang permen tersebut, hingga Maisha hanya bisa menggelengkan kepala.

"Jemput gue?" Cewek itu menunjuk dirinya tak percaya.

"Lo pikir?" Kesalnya. Melihat itu Maisha berdecak, sebenarnya Dean niat tidak sih menjemputnya? Ucapannya ituloh bikin kesel. Tidak ingin memperpanjang masalah, Maisha langsung mendudukan badannya. Memegang pinggang cowok itu membuat Dean berjengkit kaget.

"Kenapa sih?" Maisha memajukan kepalanya, Dean menoleh sejenak lalu mengangkat bahunya. Tanpa menanyakan kesiapannya, Dean melajukan motornya dengan kecepatan super, mengabaikan teriakan cewek di belakangnya.

"Lo gila ya?" Dean baru menghentikan kendaraannya ketika Maisha melompat dan hampir terjerembab. Cowok itu melebarkan matanya hampir menolong, tapi Maisha sudah berdiri tegak dan menatapnya tajam, "lo bisa nyetir gak sih? Kalau kecelakaan gimana? Lo gak liat tadi banyak orang yang marah sama kelakuan lo?"

Dean mendengus malas, "Sorry, yang penting kan kita udah sampe sekarang."

Mata Maisha membola, "Ini bukan masalah sampe atau enggaknya, tapi lo lagi bawa orang! Kalau mau mati ya jangan ajak-ajak gue dong!"

Setelah marah-marah membuat beberapa siswa menoleh ke arah mereka, Maisha meninggalkan Dean yang baru saja akan membuka suara. Cowok itu berdecak, ia pikir dengan ngebut mereka tidak akan terlambat. Karena beberapa detik setelah mereka melewati gerbang bel berbunyi. Sebenarnya tidak masalah kalau dirinya tidak membawa Maisha.

Turun dari motornya, Dean berlari kecil untuk menyusul Maisha yang berjalan dengan tertatih. Pasti karena tadi melompat tiba-tiba.

"Dek, sakit ya?" tanyanya. Maisha hanya memutar bola matanya jengah, terus melangkah. Dean tidak kehabisan cara, ia menghalangi cewek itu dengan merentangkan tangannya.

"Minggir gak?"

Dean menggeleng keras

"Yan, gue lagi gak mau debat sama lo ya. Lo tuh, gue tadi padahal udah seneng banget pas lo jemput."

Mendengar itu Dean menurunkan tangannya, menatap Maisha dengan bersalah. "Maaf, tadi gue cuma gak mau lo telat. Lo sendiri yang keluar rumah siang banget padahal gue nungguin dari jam enam."

Maisha yang tadi menampakkan raut kesal langsung menatap penuh pada cowok itu. Perasaannya terenyuh seketika, harusnya ia tidak main marah, "tapi apa harus banget pake ngebut?"

"Dan biarin lo terlambat?" tanya Dean balik. Maisha mengembungkan pipinya yang memerah, "Gue mending terlambat daripada harus mati muda." Setelah itu Maisha melewatinya yang menghembuskam nafas berat. Ia menatap punggung cewek mungil itu yang hilang di pintu kelas. Bukannya menyusul, Dean malah berbalik dan melangkah entah ke mana.

***

            "Kamu tumben dateng siang?"

Maisha yang baru menghempaskan tubuhnya menoleh pada Ken, "Bangun kesiangan."

Cowok itu mengangguk, kembali melanjutkan obrolan dengan Rega. Ia sendiri memijat kakinya di bawah meja yang sedikit ngilu, terkilir akibat lompatan tak indahnya. Tak lama kemudian guru Matematikanya datang. Sontak semua siswa kembali ke tempat duduknya masing-masing, menyisakan satu bangku kosong di depan sebelah kanannya. Sedari tadi pandangan Maisha tak luput dari sana.

Bahkan saat guru mengabsen satu persatu, nama itu menyisakan tanya. Membuat Ken yang duduk di sampingnya hanya menggeleng dan berakhir dengan mendapat ceramahan karena tidak bisa mengajak teman sebangkunya untuk mengikuti pelajaran. Ken tentu hanya mengangguk pasrah sambil menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.

"Cha," Maisha melirik sahabat perempuannya dengan sebelah alis terangkat.

"Tuh anak ke mana? Katanya tadi dateng bareng lo?" tanya Rana dengan berbisik.

Maisha tak langsung menjawab, ia melirik sang guru yang tengah menjelaskan beberapa rumus di whiteboard. "Gak tau, tadi sih dia gue tinggalin. Gue lagi kesel sama dia abisnya."

"Harusnya gak usah ditinggalin juga," ucap Rana.

Maisha memutar bola matanya, "Ya gue gak tau dia bakal bolos."

Rana bersedekap dada, menatap Maisha dengan pandangan seperti seorang ibu yang akan memarahi anaknya yang nakal, "Lo kan tau send-"

"Yang di bangku kedua dari sebelah kanan bisa perhatikan saya?"

Kedua cewek itu langsung menutup mulut dan mengalihkan pandangan pada sang guru yang sudah melemparkan tatapan peringatan. Maisha hanya bisa meringis, sedang Rana yang memiliki muka tembok malah cengengesan.

Setelah guru muda tersebut kembali menjelaskan, Maisha menepuk paha Rana keras dan berbisik, "Elo sih ngajak ngobrol."

"Ya sorry, gak tau gue bakal diperhatiin." Bisik Rana tak kalah pelan.

***

"Kalian duluan aja deh, gue mau ada perlu dulu." ucap Maisha lalu berjalan menjauh. Bahkan ia mengabaikan Ken yang hendak bertanya, tak biasanya Maisha melewatkannya padahal Ken sudah mengatakan pacarnya tidak bisa ikut ke kantin bareng. Harusnya cewek itu senang, bukan malah meninggalkannya.

Benar seperti dugaannya, sosok yang ia cari tengah duduk asik sambil membicarakan sesuatu. Maisha menghembuskan nafaanya sebelum menghampiri Dean yang belum menyadari kedatangannya. Baru setelah salah satu cowok yang duduk di dekatnya memberikan isyarat, cowok itu menoleh dan langsung mengernyit.

Maisha berhenti beberapa langkah, membiarkan Dean mendekat. Dengan menampakkan raut juteknya Maisha tak lekas mengalihkan pandangan pada cowok yang sudah berdiri di depannya. Semakin lama ditatap seperti itu membuat Dean jadi salah tingkah, ia mengusap belakang lehernya diiringi senyuman aneh.

"Tas lo mana?"

"Hah?" Dean menatap bingung pada Maisha yang mendengus kemudian berjalan melewatinya dan berhenti di depan Aryo. "Tas Dean mana?"

Cowok berambut kriting itu mengedarkan pandangan sebelum menunjuk ke arah  pojok. Mengabaikan Dean yang sejak tadi memanggilnya, ia melangkah dan mengambil tas tersebut.

"Tas gue mau bawa ke mana?" Dean menghalangi langkahnya. Maisha melengos, "Mau gue buang, lagian buat apa lo bawa-bawa tas kalau gak guna?"

"Yah, jangan dong!" seorang Dean yang biasanya tak mau kalah, kini memohon-mohon di depan cewek mungil itu.

"Gue gak bakal buang, asal abis ini lo masuk kelas." ucapnya dengan persyaratan yang bagi seorang Dean terasa begitu berat. Dean melirik teman-teman yang kini mengarahkan pandangan padanya. Pantang seorang Dean berdebat dengan perempuan. Tak ingin dibilang banci, ia akhirnya memutuskan mengabulkan keinginan Maisha.

"Oke, nanti gue ke kelas."

Maisha masih tetap berdiri dan menggelengkan kepala. Hal tersebut membuat Dean frustasi, "Apalagi sih, dek?"

"Gue gak percaya lo bakal balik ke kelas," ucapnya lalu menarik cowok itu sekuat tenaga. Dean berontak tapi tetap mengikuti Maisha, mengabaikan sorakan teman-temannya. Image nya sebagai cowok cool yang tak mudah luluh oleh perempuan hancur sudah.

Setelah menyimpan tas terlebih dahulu, mereka berdua kini menuju kantin. Maisha sudah melepaskan tarikannya, membiarkan Dean berjalan di sampingnya dengan wajah cemberut. Sesampainya di kantin, ia langsung memesan makanan dan menghampiri sahabatnya.

Ken yang kini tahu tujuan Maisha pergi hanya mendengus, "Lo ngapain ke sini? Kenapa gak pulang aja sekalian?"

Dean melirik sahabatnya dengan masa bodoh, "Kenapa emang?"

"Ck, lo tau gak? Gue kena omelan guru lagi gara-gara lo yang bolos." kesalnya lalu melirik Maisha, "Lagian Cha, kenapa kamu bawa dia ke sini sih? Bikin tambah bete aja."

Maisha menghembuskan nafas, melirik Rana dan Rega yang berpura-pura fokus pada makanannya. Dirinya jadi serba salah padahal niatnya baik mengajak Dean. "Udahlah Ken, harusnya kamu seneng dia mau masuk kelas."

Cowok manis itu menganga tak percaya dengan pembelaan sahabat kecilnya. Sedang Dean malah tersenyum kemenangan, "Tuh dengerin tuh."

"Udah deh, aku lapar. Kalian juga kan? Jadi mari kita makan!" Ajaknya antusias. Baru kali ini setelah sekian lama Maisha merasa lengkap bersama sahabat-sahabatnya. Tentu tanpa ada seorang Wulan. Gue gak salahkan berharap lo gak pernah muncul diantara kita, Lan?

***

Maisha terbangun dari tidurnya saat pintu kamar diketuk berkali-kali. Ia berusaha mengabaikan karena rasa kantuknya yang mendera. Namun, lama kelamaan membuatnya merasa terganggu. Lagian siapa yang jam segini masih terbangun? Pikirnya. Akan tetapi mengingat Keyla, sepupu kecilnya yang terkadang ingin tidur dengannya membuat Maisha terpaksa turun dari ranjangnya. Dengan mata ngantuk berjalan hati-hati menuju pintu karena penerangan yang sengaja ia matikan.

Cewek itu membuka pintu, dan ...

Happy birthday to you

Happy birthday to you

Happy birthday, happy birthday, happy birthday to you

Maisha menutup mulutnya tak menyangka. Di depannya para sahabat serta om dan tantenya sudah berdiri menyanyikan lagu untuk hari jadinya yang ke tujuh belas. Dirinya bahkan hampir lupa tanggal kelahirannya. Mata cewek itu berkaca-kaca.

"Cha, tiup dulu lilinnya." teguran Ken yang tengah memegang kue tart membuatnya tersadar. Maisha mengarahkan tatapan pada mereka satu persatu. Sampai akhirnya keningnya berkerut, ada yang kurang di sana. Tentu bukan kehadiran kedua orang tuannya.

"Dean mana?" tanyanya membuat mereka saling melirik.

"Tuh anak gak bisa dihubungi dari kemarin, udah mending sekarang kamu make a wish dulu abis itu tiup lilinnya. Tangan aku pegel nih." Ken terlihat tak sabar. Maisha diam-diam menghela nafasnya, dengan tak semangat menutup mata dan meniup lilin di depannya. Mereka semua bertepuk tangan, mengucapkan berbagai harapan untuk kebaikannya. Maisha hanya mengangguk dan menerima berbagai kado dari para sahabatnya.

"Cha, nih buat kamu. Pasti kamu suka." Ken menyerahkan sesuatu padanya, "Wah kadonya besar banget, Ken. Jadi penasaran isinya apa."

Ken terkekeh, "Iya dong. Aku kasih ini dengan penuh kasih sayang loh."

"Kamu bisa aja," Maisha ikut tersenyum. Setelah menyimpan pemberian sahabatnya ia turun untuk mengantar pulang, kecuali Rana yang memutuskan menginap karena tidak enak jika perempuan kedapatan baru pulang larut malam.

"Wah, ini bukannya boneka yang mau lo beli online itu ya? Yang katanya stoknya udah abis?" tanya Rana setelah membantunya membuka kado dari Ken. Ia mengangguk dengan. "Lo kok kayak gak seneng gitu sih dapet ini? Bukannya dari dulu pingin banget ya?"

Maisha melebarkan senyumnya, "Gue seneng kok, cuma ...,"

"Cuma?"

"Kok Dean gak dateng sih? Emang dia gak tau kalau kalian mau ke sini?" tanyanya dengan wajah berubah murung.

"Tau kok, tapi tiba-tiba aja gak bisa di hubungin. Dicari ke rumahnya juga gak ada. Tuh anak emang hobi banget deh ngilang tiba-tiba." kesal Rana melihat Maisha begitu menginginkan kehadiran cowok itu. Tapi mau bagaimana lagi? Seorang Ardean memang keberadaannya selalu sulit diprediksi. Ah, mungkin Rana perlu memberi pelajaran karena sudah membuat sahabat kesayangannya sedih.

"Udah mending kita tidur, besokkan sekolah. Nanti kalau kesiangan bisa gawat." ucap Rana lagi setelah melirik jam yang menunjukan ke arah dua. Maisha yang masih cemberut mengangguk dan langsung menidurkan badaannya sambil memeluk boneka pemberian Ken.

"Gue benci sama Dean. Apa gue gak sepenting itu buat dia?" gumamnya sebelum menutup mata.

Rana menghela nafasnya, memandangi Maisha yang baru beberapa menit sudah terlelap. Cewek itu dengan baiknya membereskan beberapa barang yang berceceran di tempat tidur. Setelah itu ikut menidurkan diri di samping Maisha, menatap wajah polosnya, "Yan, harusnya lo dateng."

***

Cewek itu melangkah dengan tak bersemangat, di sampingnya Rana berjalan acuh. Mengabaikan sapaan beberapa orang yang lewat. Memang dasarnya jutek jadi orang-orang sudah maklum. Berbeda dengan Maisha yang berusaha memaksakan senyumnya.

Sejak bangun subuh tadi, ia langsung mengecek handphone-nya. Barangkali ada chat dari Dean yang meminta maaf tidak bisa datang dan mengucapkan selamat padanya. Namun, sampai ia berada di sekolah Dean belum menghubunginya. Bahkan Maisha mencoba mengirim chat duluan, tapi ternyata sedang tidak aktif.

"Udah deh, gak usah dipikirin. Lo tuh harus liatin tampang bahagia lo dong! Masa lagi ulang taun wajahnya mendung terus?"

Maisha mengembungkan pipinya kemudian mengangguk. Sampai kelas mereka mendudukan diri di bangku masing-masing. Maisha menyandarkan punggungnya, memperhatikan pintu kelas. Tempat duduk di depannya masih kosong, Ken pasti tengah melakukan rutinitas terbarunya mengantar sang pacar ke kelas atau sarapan bersama, sedang Dean entahlah. Kedatangannya saja masih dipertanyakan.

Tak lama kemudian sosok yang ditunggu dari semalam muncul juga. Maisha langsung menegakkan badan, tapi bukan sapaan yang ia dapat karena cowok itu langsung menidurkan kepalanya membuat Maisha  berdecak sebal.

Happy birthday Maisha

Happy birthday Maisha

Happy birthday, Happy birthday, Happy birthday Maisha

Maisha yang baru menundukan badan seketika mendongkak melihat beberapa teman sekelasnya sudah mengerumuninya, bahkan salah satunya memegang kue brownies. Maisha melirik Rana yang kini ikut bertepuk tangan. Dan ada Dean juga yang kini menegakkan badannya. Cowok hanya tersenyum samar kemudian berlalu, membuat Maisha hampir mengejar kalau saja Rana tak menahannya.

"Cha," Maisha tersadar atas teguran sahabatnya. Dengan tak fokus ia meniup lilin di depqnnya. Mengucapkan terima kasih  sambil tersenyum haru. Ia yang selalu acuh tak menyangka kalau  mereka begitu peduli padanya.

Hingga guru masuk kelas kerumunan langsung bubar, diikuti Dean yang menyusul masuk masih tanpa ucapan selamat. Padahal Maisha sengaja mengeraskan suara saat berterima kasih pada Ken karena telah memberikan boneka impiannya. Namun, tetap saja cowok itu bersikap seolah-olah ini bukan hari spesialnya. Hal tersebut semakin membuatnya kesal.

Ketika bel istirahat berbunyi, Maisha langsung berlalu begitu saja. Ia sedang tak berselera untuk makan. Maisha tidak tahu mengapa dirinya harus sekesal ini, padahal  sahabat tersayangnya Kenar sudah mengabulkan salah satu dari keinginannya.

Ia mendudukan diri di bawah pohon rindang. Beralaskan bebatuan besar yang mengarahkan pada lahan kosong, yang mungkin beberapa tahun ke depan akan menjadi sebuah bangunan megah di sekolahnya. Maisha menundukan, mencabuti rumput liar dengan mulut bungkam.

Gerakannya terhenti ketika menyadari sepasang sepatu menyentuh ujung sepatu miliknya. Maisha tau siapa yang kini berdiri di hadapannya. Maka dari itu, ia memilih melanjutkan aktivitasnya. Cowok itu mendudukan diri di depannya tanpa beralaskan apapun. Menatap Maisha yang masih berpura-pura tak menyadari keberadaannya.

"Kenapa gak dateng?" Pertanyaan tersebut membuat Dean terdiam, memperhatikan Maisha yang masih mencabut sembarangan tanpa takut tangannya terluka.

"Sorry, gue kemarin abis-"

"Nongkrong sampe malem dan kelupaan? Atau diajak tanding games sama temen-temen lo itu sampe larut? Ah, nyatanya ulang taun gue emang gak penting buat lo kan?" Dean meringis, ia tahu semua memang kesalahannya. Tak perlu mengeluarkan alasan apapun untuk melakukan pembelaan. Cowok itu memegang tangan yang hendak mencabut rumput lagi, "Tangan lo bakal luka kalau nyabutnya terlalu keras." Dean mengusap telapak tangannya yang memerah. Entah kenapa Maisha jadi ingin menangis. "Lo jahat tau gak?"

"Gue semalem ketiduran abis barbequan sama anak-anak."

"Padahal semalaman gue nungguin chat lo. Gue pikir lo bakal minta maaf." balas Maisha masih menunduk.

"Handphone gue mati, sampe sekarang juga belum sempet gue charger. Nih liat," Dean memperlihatkan handphone nya yang mati.

"Kebiasaan," dengus Maisha. "Gimana kalau gue lagi bener-bener butuhin lo?"

"Ya maaf, gak lagi nanti." jawabnya meyakinkan. Maisha tak percaya begitu saja, "Basi!" tegasnya berusaha melepas genggaman tersebut. Namun, cowok itu malah menyimpan sesuatu di tangannya dan menutupnya lagi membuat Maisha menatap bingung, "Ini apa?"

"Buka aja," suruh Dean melepaskan genggamannya. Cewek itu membuka telapak tangannya.

"Happy birthday Maisha Biantari. Maaf gue telat, gak bisa ngasih sesuatu yang mahal kayak yang Ken atau lainnya kasih. Tapi gue har- loh lo ... nangis?" Kaget Dean melihat Maisha menghapus sesuatu dari ujung matanya. "Gue gak butuh yang mahal, dengan lo inget ulang tahun gue aja udah cukup." Lirihnya dengan senyum haru.

Dean tersenyum lega, mengambil kresek putih yang tadi di sembunyikan, mengeluarkan sesuatu dari sana. "Nih, gue juga bawa cake buat lo. Imutkan? Kaya lo, hehe." Cowok itu memperlihatkan cake kecil di telapak tangannya dan menancapkan lilin di sana. Lalu menyalakan korek api yang selalu dibawanya ke mana-mana, "sorry ya, semuanya serba murah. Gue lagi dihukum sama bunda, uang jajan gue dikurangin gara-gara ketahuan bolos kemarin. Ah, kenapa gue jadi curhat sih? Udah tiup cepet, tapi jangan lupa doa dulu."

Maisha memejamkan mata. Hendak ia tiup, lilinnya sudah mati terlebih dahulu, "Yah yah, kok mati?" keluhnya melihat beberapa pohon di sekelilingnya bergoyang. Maisha kembali menatap Dean yang kini meringis, "Korek api gue juga abis, tadi yang dipake itu sisa satu."

Maisha mendengus namun tak lama kemudian tertawa, "Gak papa deh. Lagian gue udah cape niup lilin terus."

Cowok itu depannya mengangguk, "Ya udah cake nya makan dulu. Lumayan buat ganjal perut. Gue juga bawa ini nih, tara!" Mata Maisha melebar melihat beberapa snack kesukaannya yang dibawa Dean. Tentunya tak ketinggalan air mineral dan yogurt. "Kita makan bareng aja di sini, tapi lo abisin dulu cake nya."

"Lo mau?" Tawarnya yang langsung dibalas gelengan, "Enggak ah, gue gak terlalu suka makanan manis."

Dahi Maisha mengernyit, "Kenapa?"

Dean terdiam sejenak sebelum meliriknya dengan tersenyum, "Karena lo udah manis, dek."

Sontak Maisha mengerjapkan mata, Dean sendiri malah tertawa. "Ya, ampun lo lucu banget sih kalau kaget."

Maisha melirik cowok itu yang terlihat bahagia, "L-lucu apaan sih?" Ia memukul lengan Dean hingga meringis, "Aduduh sakit tau." keluhnya memegang tangan Maisha, "Oh ya, ini gak mau lo pake? Karena murah ya?"

Cewek itu langsung menggelengkan kepala, ia hampir melupakan sesuatu yang di simpan Dean tadi, "Gue suka kok. Jangan pernah bilang kayak gitu lagi. Gue gak pernah liat pemberian orang dari harganya."

"Mau gue pakein?" tawarnya yang dibalas anggukan. Dean mengambil benda tersebut dan memakaikan ke pergelangan tangan Maisha. Pas sekali dengan warna kulit cewek itu.

"Bagus," Maisha tersenyum menatap gelang kain tersebut. Terlebih warna toska adalah favoritnya. "Gue suka, Yan."

Dean terkekeh melihat binar di mata itu. Maisha nya yang kemarin-kemarin selalu datang padanya dengan penuh luka, kini tersenyum hanya karena benda yang menurutnya biasa. Ia sadar bahwa cewek di depannya tidak butuh sesuatu yang 'wah', Maisha yang selalu mencari perhatian hanya ingin disayangi. Dan selama dua tahun lebih bersahabat, ia baru tahu bahwa membahagiakan Maisha harusnya memang sesederhana itu. Entah ia harus bersyukur atau tidak Ken jadian dengan Wulan, jika karena itu ia mampu menembus batasan yang selama ini cewek itu bangun. Maisha yang mulai membuka diri selain pada Kenar.

"Gue seneng liat lo senyum." Maisha menoleh pada Dean yang kini tengah menatapnya intens. Ia semakin melebarkan senyumnya melihat senyuman cowok itu. Seharusnya dari dulu ia sedekat ini dengan Dean.

"Sebentar lagi bel, yuk kita abisin makanannya."

Maisha tergagu. "Ah euh, i-iya."

Diantara pepohonan rindang dan desauan angin, Dean berjanji dalam hatinya akan berusaha membuat Maisha bahagia.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Happiness Is Real
243      204     0     
Short Story
Kumpulan cerita, yang akan memberitahu kalian bahwa kebahagiaan itu nyata.
Selfless Love
3821      1111     2     
Romance
Ajeng menyukai Aland secara diam-diam, meski dia terkenal sebagai sekretaris galak tapi nyatanya bibirnya kaku ketika bicara dengan Aland.
Tentang Kita
1513      653     1     
Romance
Semula aku tak akan perna menduga bermimpi pun tidak jika aku akan bertunangan dengan Ari dika peratama sang artis terkenal yang kini wara-wiri di layar kaca.
Got Back Together
291      241     2     
Romance
Hampir saja Nindyta berhasil membuka hati, mengenyahkan nama Bio yang sudah lama menghuni hatinya. Laki-laki itu sudah lama menghilang tanpa kabar apapun, membuat Nindyta menjomblo dan ragu untuk mempersilahkan seseorang masuk karna ketidapastian akan hubungannya. Bio hanya pergi, tidak pernah ada kata putus dalam hubungan mereka. Namun apa artinya jika laki-laki hilang itu bertahun-tahun lamanya...
Arion
919      515     1     
Romance
"Sesuai nama gue, gue ini memang memikat hati semua orang, terutama para wanita. Ketampanan dan kecerdasan gue ini murni diberi dari Tuhan. Jadi, istilah nya gue ini perfect" - Arion Delvin Gunadhya. "Gue tau dia itu gila! Tapi, pleasee!! Tolong jangan segila ini!! Jadinya gue nanti juga ikut gila" - Relva Farrel Ananda &&& Arion selalu menganggap dirinya ...
Junet in Book
2823      1054     7     
Humor
Makhluk yang biasa akrab dipanggil Junet ini punya banyak kisah absurd yang sering terjadi. Hanyalah sesosok manusia yang punya impian dan cita-cita dengan kisah hidup yang suka sedikit menyeleweng tetapi pas sasaran. -Notifikasi grup kelas- Gue kaget karena melihat banyak anak kelas yang ngelus pundak gue, sambil berkata, "Sabar ya Jun." Gue cek grup, mata gue langsung auto terbel...
My Andrean
9302      1634     2     
Romance
Andita si perempuan jutek harus berpacaran dengan Andrean, si lelaki dingin yang cuek. Mereka berdua terjebak dalam cinta yang bermula karena persahabatan. Sifat mereka berdua yang unik mengantarkan pada jalan percintaan yang tidak mudah. Banyak sekali rintangan dalam perjalanan cinta keduanya, hingga Andita harus dihadapkan oleh permasalahan antara memilih untuk putus atau tidak. Bagaimana kisah...
SATU FRASA
12892      2673     8     
Romance
Ayesha Anugrah bosan dengan kehidupannya yang selalu bergelimang kemewahan. Segala kemudahan baik akademis hingga ia lulus kuliah sampai kerja tak membuatnya bangga diri. Terlebih selentingan kanan kiri yang mengecapnya nepotisme akibat perlakuan khusus di tempat kerja karena ia adalah anak dari Bos Besar Pemilik Yayasan Universitas Rajendra. Ayesha muak, memilih mangkir, keluar zona nyaman dan m...
Senja Belum Berlalu
3461      1240     5     
Romance
Kehidupan seorang yang bernama Nita, yang dikatakan penyandang difabel tidak juga, namun untuk dikatakan sempurna, dia memang tidak sempurna. Nita yang akhirnya mampu mengendalikan dirinya, sayangnya ia tak mampu mengendalikan nasibnya, sejatinya nasib bisa diubah. Dan takdir yang ia terima sejatinya juga bisa diubah, namun sayangnya Nita tidak berupaya keras meminta untuk diubah. Ia menyesal...
Love Never Ends
9899      2008     20     
Romance
Lupakan dan lepaskan