Kamu seperti udara di tengah sesak melanda
Kamu seperti hujan di tengah terik mencekik
***
"Dia datang lagi, Yan. Masih dengan masalah yang sama, ngajak gue tinggal di rumahnya. Cih, gue gak sudi!" Ucap Maisha kemudian berdecih. Sontak saja sikapnya langsung mendapat respon dari cowok yang kini menoyor kepala Maisha.
"Omongannya, dijaga dong dek." Maisha malah menatapnya tak suka. Perasaan ia tidak mengeluarkan sumpah serapah seperti yang sering dilakukan cowok di sampingnya. Masih dengan mengusap kepala cantiknya, Maisha memikirkan perkataannya yang mungkin kasar.
"Heh, kalau lagi dinasihatin tuh dengerin bocah!"
Kesal dengan perlakuan semena-mena cowok sok tua itu, Maisha menghentikan langkah membuat Dean ikut terhenti. Cewek itu bertolak pinggang dengan bibir mengerucut, "Lo lama-lama nyebelin ya, Yan?"
Bukannya takut dengan teriakan cempreng itu, Dean malah tertawa dan mengangkat tangannya lagi. Namun, kali ini dengan sigap Maisha menangkap pergelanga cowok itu. Tak lupa dengan tatapan sebalnya. "Don't touch my head, Ardean!"
Giliran Dean yang meringis, merasakan lengannya dicubit keras oleh mahluk berbadan kecil di depannya. Setelah berhasil melepaskan diri, cowok itu mengangkat kedua tangannya pertanda menyerah, "Ampun deh, gak lagi-lagi gue. Lo lama-lama kayak Rana ya perasaan? Kejamnya mulai keluar deh."
Maisha mendengus, "Bahkan gue bisa lebih kejam dari Rana kalau lo lupa."
Dean tertegun, terlebih saat mendapati senyuman sini cewek itu. Ia menghela nafasnya kemudian memegang kedua bahu Maisha membuatnya mendongkak, membalas tatapan Dean yang seperti magnet itu, "Gue gak mau denger lo ngomong gitu lagi. Lo cewek yang Tuhan ciptain dengan hati lembut, jangan kotorin itu."
Maisha tertegun, ia bahkan tak mampu mengedipkan mata saat sorot lembut Dean menerobos korneanya.
"Paham?" Barulah saat cowok itu menepuk bahunya Maisha mengerjap. Dengan suara yang tiba-tiba tercekat ia mengangguk. Akan tetapi tatapannya tak lepas memandangi Dean yang tersenyum, menarik jemarinya untuk kembali melanjutkan langkah menuju halte. Cowok itu sekarang jarang membawa kendaraan.
Dalam langkahnya, Masiha lagi-lagi menoleh pada Dean yang berceloteh. Dahinya mengernyit, merasa aneh dengan jantungnya yang tiba-tiba berdetak ketika mendapati tatapan teduh itu. Sama seperti saat ia menyentuh lesung pipi Dean. Jantung gue kenapa?
"Dek, ayo!"
Tergagap, Masiha menarik tangan dari dadanya, melirik Dean dan bis yang sudah berhenti di depannya. Para siswa yang langsung berdesakan masuk.
"Maisha!" Maisha langsung mengikuti Dean, malangnya keadaan bis sudah penuh. Terpaksa mereka harus berdiri sambil berdesakan. Maisha menghela nafas dan melirik Dean dengan raut permohonan maaf yang di balas gelengan oleh cowok itu.
Beruntungnya di halte kedua seorang wanita paruh baya turun sehingga menyisakan satu kursi kosong. Langsung saja Dean menyimpan tasnya di sana sebelum kursi tersebut ditempati yang lain. "Duduk," suruhnya. Bukannya mengikuti perintah tersebut, Maisha malah menatap cowok itu, "Lo sendiri gimana?"
"Gue udah biasa berdiri. Udah cepet duduk, udah diliatin sama yang lain." Maisha mengarahkan tatapan pada sekitar yang memang sedang memperhatikan mereka, membiarkan kursi di dekatnya kosong padahal yang berdiri di sana bukan mereka saja. Akhirnya Maisha mengangguk dan mendudukan badannya di sana.
"Sini tas gue!" Dean menjulurkan tangan, meminta tas yang sempat digunakan untuk menandai tempat duduknya. Maisha hanya menggeleng dan memeluk tas cowok itu yang lumayan berat. Entah isinya apa karena setaunya, Dean tidak pernah membawa sejenis buku paket atau buku tebal lain dari perpustakaan.
Tak mendengar lagi ocehan cowok itu, Maisha mendongkak. Dilihatnya Dean tengah berdiri dengan satu tangan memegangi tiang memanjang di atasnya. Sesekali tangannya yang bebas menarik seragam depannya karena merasa kegerahan.
Cowok itu tak mengeluh malah memamerkan senyumnya saat mereka bertatapan. Memberikan isyarat bahwa dirinya baik-baik saja dan Maisha tak boleh terus merasa bersalah. Tanpa Dean tahu kalau ia kini menghawatirkannya.
Tak lama kemudian seseorang yang duduk di samping Maisha turun. Cewek itu menggeser badannya mempersilahkan Dean.
"Gue ngantuk," keluhnya membuat Maisha menengok. Cowok itu menguap, matanya sudah memerah pasti begadang lagi seperti biasa.
"Abis mangkal di mana semalem?" tanya Maisha dengan tatapan tak suka.
Dean malah tersenyum lebar, "Duh udah kayak cabe-cabean aja lo kata mangkal. Gue tuh semalem nongkrong di depan kosan Irsyad."
"Emang ibu kosnya gak pernah marah? Gue yakin kalian di sana gak cuma ngegosip aja."
Tebakan Maisha memang sepenuhnya benar. Gerombolan cowok kalau nongkrong tanpa main gitar tidak akan seru. Begitulah apa yang Dean cs pikirkan.
Melihat Dean yang cengengesan saja sudah membuktikan semuanya. Maisha memutar bola matanya, "Lo itu aneh deh. Perasaan Ken sama Rega gak gitu. Lo harusnya ke bawa baik deket sama mereka, ini tetep aja gak berubah. Gak kasian apa sama bunda lo? Pasti khawatir banget anaknya tengah malam belum pulang. Gue tuh kad-" ucapannya terhenti saat ia malah mendapati Dean tengah memperhatikannya sambil tersenyum. Maisha mengedipkan matanya sekali, berusaha tetap tenang meski lama-lama ditatap seperti itu membuatnya salah tingkah. Dengan ragu ia menyentuh lengan cowok itu, "Yan, lo dengerin guekan?"
Dean mengangguk masih dengan sunggingan senyum di bibirnya, "Iya, denger."
"Jangan cuma denger aja, lakuin!"
Cowok itu mengangguk malas dan menutup mulutnya karena kembali menguap.
"Nah gitu dong. Kenapa sih lo itu susah banget dinasihatin? Gue bilang gini karena lo sahab-" lagi-lagi Maisha menghentikan ucapannya, mendapati Dean yang kini sudah memejamkan mata dengan nafas teratur. Ia menghembuskan nafas, cowok itu memang cepat sekali tertidur, tapi Maisha tidak tahu kalau selain di kelas Dean akan melakukan hal yang sama.
Melihat kepalannya yang berkali-kali hampir jatuh ke arah lain, Maisha mengangkat tangannya dan perlahan mengarahkan kepala cowok itu dipundaknya. Ia tidak tahu mengapa dirinya bisa seberani itu, terlebih yang membuatnya tidak mengerti adalah Dean di matanya saat ini terasa berbeda.
Maisha baru menyadari kalau yang indah itu bukan hanya pemandangan di luar jendela saja, akan tetapi wajah lelap cowok di sampingnya. Perlahan sebuah senyuman tersungging di bibirnya, Maisha sadar bahwa kehadiran Dean mampu mengikis kesedihannya.
Makasih, Yan. Gue gak tau kalau gak ada lo, gue bakal sehancur apa. Maisha membatin kemudian mengalihkan tatapan pada keramaian di luar sana.
Dreet
Maisha dengan hati-hati bergerak untuk mengambil handphone di saku roknya, takut membangunkan Dean yang terlihat begitu kelelahan.
"Halo, tan?"
"Kamu di mana sayang? Kok belum pulang?" Maisha mengernyit, tak biasanya istri dari om nya itu menelepon. Terlebih saat ia mendengar nada khawatir, pasti ada sesuatu yang terjadi. "Kenapa gitu tan?"
"Gak papa, tante tunggu kamu di rumah ya?"
"Bilang dulu ada apa? Aku bukan anak kecil lagi yang bisa tante bohongin," tegasnya berusaha tak mengeluarkan suara keras.
Hening beberapa saat sebelum wanita pengganti mamanya itu kembali bersuara, "Ada mama sama papa kamu, mereka ...,"
"Kenapa lagi? Mereka bertengkar?" tebaknya.
"Mereka, cuma salah paham. Papa kamu ngira kamu gak mau ikut sama dia karena disuruh."
Maisha berdecak dan memijat dahinya yang tiba-tiba terasa pusing, "Tan, tolong bilangin kal-"
"Kamu yang bilang sendiri ya? Makanya cepet pulang, tante bingung harus gimana. Om kamu gak bisa dihubungi."
Cewek itu menghembuskan nafas kasar, "Bisa tante loundspeaker-in?"
"Udah."
"Ma, pa, aku cuma mau bilang kalau bukan mama alasan gak aku mau ikut sama papa. Walaupun mama ngelakuin hal yang samapun aku gak bakal ikut. Mau tau kenapa? Karena ... aku gak bisa hidup dengan orang yang sejak awal emang gak ngarepin kehadiran aku. Udah cukup kalian tinggalin aku demi keegoisan kalian, jadi jangan pernah berharap kalian bisa seenaknya pungut aku lagi."
Setelah itu, Maisha mematikan sambungan secara sepihak. Sesak di dadanya kembali terasa. Maisha mengepalkan tangannya menahan emosi yang meluap mengingat perlakuan kedua orang tuanya dulu. Mereka kira Maisha berlaku implusif hanya karena perceraian, nyatanya itu salah besar.
Ia masih ingat pembicaraan keduanya saat bertengkar hebat. Ketika itu, Maisha baru pulang les tambahan karena sebentar lagi ujian nasional akan segera dilaksanankan. Tak sengaja mendengar teriakan mama dan papanya, ia tak jadi melangkah ke ruang keluarga. Maisha pikir menunggu barang sejenak tak masalah meski sedikit ketakutan karena tak biasanya kedua orang tuanya seperti itu.
"Ceraikan aku mas! Aku sudah tidak tahan hidup sama kamu. Kamu jarang pulang dan selalu saja alasan sibuk sama pekerjaan, tapi nyatanya apa? Kamu diam-diam malah nikah lagi, kamu pikir aku tidak punya perasaan?"
Maisha begitu terkejut. Dirinya memang baru berusia sebelas tahun, tapi iya cukup paham dengan pembicaraan kedua orang dewasa di balik dinding tempat ia berdiri.
"Jangan merasa benar kamu Sita! Kamu pikir saya tidak tahu kalau kamu diam-diam masih berhubungan dengan mantan kamu yang duda itu?"
"Kalau iya memang kenapa? Mas Dirga baik, selalu ada buat aku bahkan saat usaha aku hampir bangkrut. Kamu di mana saat itu hah? Gak bakal ada asap kalau gak ada api! Sudahlah, aku sudah tidak tahan lagi, mas. Aku bahkan selalu berusaha buat cinta sama kamu setidaknya kita bisa hidup bahagia walau karena dijodohkan. Tapi, aku kali ini nyerah." Wanita itu menghapus air mata yang mengalir di wajahnya, "Aku juga ingin hidup bahagia bukan cuma kamu saja mas. Kamu sudah punya keluarga baru yang kamu inginkan, jadi tolong kabulkan permintaan aku. Biarkan aku nikah sama Mas Dirga."
"Baiklah kalau yang kamu inginkan, saya akan kabulkan permintaan kamu."
Maisha kecil hanya mampu berdiri dengan kedua tangan memeluk tas hello kitty nya. Dalam bayangannya ia tidak akan bersama kedua orang tuanya lagi, meski kenyataannya tak pernah ada waktu untuk menikmati kebersamaan dengan keluarga kecilnya. Sang papa yang jarang ada di rumah dan selalu pulang saat dirinya sudah terlelap, pun sang mama yang sibuk dengan bisnis WO nya. Ia hanya punya om Saka saat itu.
"Chacha, biarkan dia ikut sama aku." Suara sang mama kembali terdengar.
"Dia sama aku, bukannya kamu pernah hampir gugurin kandungannya dulu?"
"Aku lakuin itu karena belum sadar, kamu gak tau gimana akhirnya aku mati-matian pertahanin dia disela kebencian aku sama papanya."
"Hah, itu alasannya aku gak bisa hidup sama perempuan kayak kamu. Egois, banyak menuntut, selalu curigaan. Aku itu sibuk kerja buat kalian."
"Dan aku gak butuh itu mas! Ah, sudahlah intinya sekarang kita sepakat buat pisahkan? Dan aku cuma minta hak asuh Cha-"
"Mama, papa," suara lirih tersebut menghentikan ucapan Wanita berpenampilan modern itu. Keduanya mengalihkan pandangan pada gadis kecil yang sudah menatap dengan air mata di wajah imutnya. "Chacha mau ikut kalian berdua aja. Jangan tinggalin Chacha."
Dan permintaannya yang keluar dari gadis itu tak pernah digubris sama sekali.
"Everything will be okay." Bisikan diringi genggaman hangat di tangannya membuat Maisha menoleh. Cowok itu dengan mata ngantuk itu tersenyum ke arahnya.
"Lo udah bangun? Sorry, pasti ke ganggu sama suara gue." ucapnya dengan wajah kuyu.
Dean menggeleng lalu menepuk punggung tangan itu, mengalirkan ketenangan pada diri Maisha. "Ada gue, lo bisa bilang apapun yang ganggu pikiran lo, dek."
Merasakan kehangatan menyentuh hatinya, Maisha mengangguk dan berusaha menampakkan senyum. "Ngomong-ngomong gue gak mau pulang, Yan."
Setelah tiga tahun, Dean mulai tahu salah satu sifat Maisha yang suka kabur-kaburan ketika memiliki masalah. Namun, ia tak bisa untuk melarang cewek yang tengah menahan rasa sakitnya itu. Dean menepuk tangannya sekali lagi, "Lo tentu tahu ke mana harus pergi bukan?"
***
Cowok itu berkali-kali menghubungi nomor sahabatnya, tapi tak ada jawaban sama sekali. Membuat sosok yang kini duduk di sampingnya hanya menatap iri, melihat perhatian pacarnya terhadap sosok yang entah berada di mana kini.
"Kita akhirin aja belajarnya ya?" tanyanya kemudian. Ken yang sedang sibuk dengan hanphone nya menoleh, "Iya deh. Maaf ya, Lan?"
Wulan tersenyum paksa dan mengangguk. Lagian dirinya sadar diri bahwa keberadaannya tak sebanding dengan sahabat perempuan Kenar. "Masih belum bisa dihubungin?"
Ken menggelang dengan tak menghilangkan raut khawatir di wajahnya. Kebetulan tante dari sahabatnya menelepon, menanyakan Maisha yang tak kunjung pulang setelah mengetahui perdebatan orang tuanya. Yang membuat dirinya heran adalah cewek itu biasanya akan langsung menghubunginya atau mengunjungi rumahnya, sekecil apapun masalah yang terjadi. Sekarang bahkan ia sendiri dibuat kelabakan.
Ia mendesah pelan. Apa yang pernah dikatakan Rana memang benar. Akhir-akhir ini dirinya tak pernah ada untuk Maisha. Mungkin itu yang membuat cewek itu perlahan mulai menjauh.
"Udah nanyain ke Rana?" tanya Wulan sambil membersekan beberapa buku yang berserkan. Awalnya mereka berniat belajar bersama, tapi karena Ken yang sudah tak fokus semenjak tahu sahabatnya belum pulang juga, kegiatan belajarpun jadi tidak benar.
Ken mengangguk, "Udah, tapi gak ada. Rana malah balik marah-marah. Rega juga lagi nemenin mamanya belanja."
"Kalau Dean?"
"Gak mungkin, biasanya jam segini tuh anak masih nongkrong." jawab Ken tak percaya.
"Tapi, aku pikir Maisha akhir-akhir ini lebih deket sama Dean deh."
Cowok itu terdiam sejenak. Memang yang ia lihat Maisha sering mencari keberadaan Dean yang terkadang membuatnya iri. Biasanya ia yang akan selalu menjadi orang pertama yang cewek itu cari. Akhirnya Ken memutuskan menghubungi Dean yang sebelumnya tak mendapat jawaban. Sahabatnya yang satu itu memang selalu menjadi opsi terakhir dihubungi olehnya maupun Rega karena jarang memegang handphone.
"Hal-"
"Chacha sama lo?" serobotnya yang mendapat dengusan cowok di seberang sana. Ken tak peduli, terpenting ia menemukan keberadaan Maisha.
"Ada apa nyariin dia?" Entah kenapa Ken dapat mendengar nada jutek cowok itu.
"Jadi bener?"
Hening sejenak. Dean tengah menimang-nimang untuk mengatakan yang sebenarnya atau memilih berbohong. "Dia lagi seru nonton Marsha and The Bear, lo gak usah khawatir. Gue bakal anter dia pulang sebelum magrib."
"Biar gue yang nanti jemput dia," ujar Ken. Ia merasa hal tersebut adalah tugasnya, Dean atau siapapun tak boleh mengambil alih.
"Bukannya lo lagi bareng Wulan?" tanya Dean, tapi tak dapat jawaban, "gak usah terlalu khwatirin Chacha, she's fine. Lo harusnya juga pikirin perasaan cewek lo, dia pasti sekarang lagi di deket lo kan?"
Ken melirik Wulan yang kini tengah menunduk, memainkan handphone-nya dengan tak semangat. Ken baru sadar kalau dirinya telah mengabaikan cewek itu. Perasaan bersalah muncul seketika di hatinya.
"Bukannya dulu lo pernah minta gue buat jagain dia? Sekarang gue udah lakuin itu, harusnya lo bisa tenang dan jalanin hari lo bareng Wulan. Kasian dia kalau terus lo cuekin."
Cowok itu mengangguk meski tahu kalau Dean tak melihat anggukannya. "Oke kalau gitu. Gue titip dia."
Ken menutup panggilannya kemudian mendekat pada Wulan. Menepuk bahu cewek itu hingga mendongkak. "Maaf."
Wulan menaikkan sebelah alisnya, "Maaf buat apa?"
"Aku udah cuekin kamu."
Cewek itu hanya tersenyum, "Enggak kok, gak pa-pa. Aku juga minta maaf sempet kesel tadi. Harusnya aku bisa ngerti kalau Maisha segalanya buat kamu."
"Makasih," ucap Ken menatap cewek di sampingnya kagum. Wulan dengan sikap baiknya semakin membuat Ken jatuh cinta.
***
Maisha sudah pulang saat hari menjelang petang. Beruntung kedua orang itu sudah tidak ada di sana sehingga dirinya tidak perlu mengeluarkan tenaganya untuk berdebat. Namun, tetap saja ia malah mendapat ceramahan dari Saka. Baru saja Maisha menutup pintu rumah, om nya sudah bertolak pinggang dan langsung menasihatinya karena telah membuat panik. Bahkan lelaki itu tidak menyinggung masalah pertengkaran orang tuanya, dan ia bersyukur akan hal tersebut.
Ia baru berniat untuk mengerjakan tugas yang besok harus dikumpulkan, ketika sang tante memanggilnya. Maisha terpaksa keluar kamar, "Ada apa tan?"
"Ada Ken di depan tuh," tunjuknya ke arah luar. Maisha mengernyitkam dahi sejenak. Tak biasanya cowok itu berkunjung setelah sekian lama.
"Kalian gak lagi bertengkar kan?" Maisha menoleh pada wanita cantik di depannya lalu menggeleng. Wanita itu tersenyum lega, "sukur deh kalau gitu. Soalnya tante udah jarang liat kalian bareng."
"Enggak kok tan," Maisha berusaha memamerkan senyumnya. Mereka memang sedang tidak bertengkar karena Ken sendiri yang tanpa sadar memberi jarak.
"Ya udah temuin dia sana! Tadi tante ajak masuk gak mau."
Maisha mengangguk dan berlalu untuk melihat Ken yang sedang menyandarkan badannya di tiang penyangga. Dehemannya membuat cowok itu menoleh.
"Hai," sapanya membuat Maisha mengernyit dan balas dengan kata yang sama. Ia merasa suasana menjadi canggung. Biasanya Ken akan langsung menghampirinya.
"Ada apa? Tumben?"
Tumben? Ken tersenyum miris dalam hati. Menyadari bahwa sudah lama ia tak berkunjung ke rumah sahabatnya. Bahkan tadi saat ditanyai oleh tante cewek itu ia hanya mampu meringis, Ken tidak mungkin menjawab dirinya sekarang lebih sering menghabiskan waktu dengan pacarnya kan?
"Kenapa telepon aku tadi sore gak kamu angkat? Aku khawatir saat denger kabar dari om Saka kalau kamu belum pulang."
Maisha terkekeh, "Aku pikir kamu udah lupa sama aku, Ken."
"Cha, bukannya kamu juga sama? Aku pikir kamu udah gak nganggep aku sahabat lagi. Bahkan sekarang kamu gak pernah hubungin aku tiap ada masalah. Kamu selalu pergi entah ke mana dan buat orang-orang khawatir."
Cewek itu menghela nafas. Kedatangan Ken malah membuat perasaannya kembali memburuk. "Dan ganggu kegiatan pacaran kalian?"
"Bukan gitu, Cha."
"Udahlah, Ken. Lagian gimana aku mau hubungin kamu kalau hampir setiap saat kamu sama Wulan terus? Kamu mana inget pernah punya sahabat kayak aku?"
"Cha," Ken menyentuh lengannya. "Kalau kamu bilang, aku pasti bakal langsung datang."
"Kamu pikir, udah berapa kali abain telepon aku saat aku butuh?" tanya Maisha mengingat apa yang telah dilakukan cowok itu. "aku juga lama-lama bisa capek, Ken. Aku emang cuma sahabat kamu, tapi coba kamu pikir siapa yang selama ini ada buat kamu? Jauh sebelum ketemu Wulan? Aku, Ken."
"Maaf," lirih Ken akhirnya. Maisha mengangguk, "Aku udah maafin, Ken. Jangan terlalu banyak minta maaf kalau akhirnya kamu bakal tetep lakuin hal yang sama."
"Ok, aku usahain." jawabnya rendah.
"Ya udah," Maisha terdiam sejenak berusaha mengusir rasa canggung, "mm kamu gak mau masuk ke dalam?"
Ken tampak berpikir, "Boleh?"
"Emang sejak kapan kamu harus ijin dulu?" sindir cewek itu. Ken akhirnya terkekeh.
"Yuk, ah. Aku udah lama gak cerita-cerita sama kamu." Maisha menyeret tangan Ken seolah ia kembali menggenggam dunianya yang sempat terlepas. Ia memang terlalu mudah luluh oleh seorang Kenar, "Aku kesel tau, Ken. Kamu gak bisa lagi diajak curhat."
"Curhat? Oh ya, katanya kamu lagi deket sama Denis ya? Ciee akhirnya dapet gebetan juga." Ken mencolek bahunya bermaksud menggoda. Membuat wajah polos Maisha memerah, "Ih, apaan deh. Kita cuma temenan doang."
"Tapi kalian keliatan sering ngobrol bareng? Dulu aja jutek banget."
Maisha berdecak, bingung harus menjawab apa karena kenyataannya mereka hanya teman biasa. Tapi melihat antusias Ken membuatnya sangat bahagia. Setidaknya, Ken miliknya saat ini.
"Ken."
"Ya?" tanya cowok itu yang masih asik menggodanya. Maisha menautkan kedua jarinya menatap ragu, "kalau aku minta waktu kamu boleh? Seenggaknya sisain sedikit buat kita."
Ken terdiam sejenak, lalu mengangguk. Hal tersebut menciptakan senyuman lebar di wajah manis cewek itu.
"Tapi, kamu jangan jutek-jutek sama Wulan ya?" Maisha mengatupkan bibirnya. Ia kira Ken tak menyadari sikapnya. "aku usahain, selama ... kamu gak acuhin aku."
***