Read More >>"> Senja Belum Berlalu (Chapter 5 - The End) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Senja Belum Berlalu
MENU
About Us  

Chapter 5

“Nita....., saya bersungguh-sungguh Nita, saya sudah berpisah dengan dia, kami berpisah bukan karena kamu, saya memang sudah tidak bisa lagi mempertahankan pernikahan saya dengan nya. Jika pun saya sekarang menemui kamu, saya tidak tergesa-gesa meminta jawaban kamu sekarang.” Soni memberanikan diri berbicara terus terang mengenai perasaannya pada Nita.

“Mas Soni, sejujurnya saya memang membutuhkan seseorang untuk mendampingi saya, tapi tidak sekarang, memang. Apalagi kamu mas, sampai rumah tangga kamu akhirnya berantakan, saya sangat memahami perasaan mantan istri kamu mas.” Nita hendak beranjak dari tempat duduknya, hendak pergi dari tempat itu, memang Nita yang mendatangi Soni di sebuah cafe, karena Soni memintanya sudah berulang-ulang kali, untuk menemuinya.

“Hhh...baiklah Nita, saya masih bisa sabar menanti kamu. Sebenarnya apa yang membuat kamu terus menolak saya Nita? Bukankah kamu ...mm..kita, dulu...” Soni hendak berkata sesuatu.

“Diam!...Diam mas, diam. Saya pergi dulu sekarang.” Nita mempercepat langkahnya.
Nita masuk kedalam mobil dengan geram. “BLAMM!!!” suara pintu mobil terdengar sangat keras, sehingga Soni pun terdiam, seketika, ia sekiranya masih akan mendekati Nita, akhirnya ia urungkan.

‘Kamu....., kamu, mas Soni’, batin Nita bergemuruh, lalu Nita melaju cukup kencang dengan mobilnya.

Ada sesuatu pernah terjadi antara Nita dan Soni??!...

Nita tiba di rumahnya, telponnya terus berbunyi, ia melirik pada layar handphonenya.

‘Apa sih maunya sekarang! Besok akan aku selesaikan, besok!’ Nita pergi ke kamarnya, ia membersihkan diri, setelahnya ia menelpon Rian sang adik.

“Rian, bagaimana dek, sudah dapat tempat tinggal untuk kakak, kalau bisa yang tidak terlalu mahal ya dek.” Nita mendengar jawaban dari Rian.

“Ada kak, tapi over kredit, nggak usah kak, nanti Rian cari lagi yang langsung lunas, tapi nggak terlalu mahal, sebenarnya banyak sih kak, tapi...jauh banget dari pesantrennya Rian, nanti kakak malah tambah galau, kalo di tempat baru, tapi jauh dari Rian, hehe...”Rian terkekeh.

“Uh, sebenarnya kamu tuh maunya deket-deket ama kakak, iyakaaaan, anak mama alias anak manja, dan malas.” Nita balas tertawa terbahak-bahak.

Nita memang berencana akan pindah dari tempat yang telah banyak memberikan kisah kehidupan yang mewarnai perjalanan hidupnya. Kini Nita merasa benar-benar akan kesepian jika tetap bertahan di tempat yang sekarang. 

Setelahpercakapan pelepas rindu pada sang adik, Nita menerima telpon itu lagi, akhirnya Nita pun menyambut telpon itu, ia mempersiapkan mentalnya untuk tidak emosi.

“Nit, aku sudah banyak melalui hal-hal besar demi bisa bersama kamu, aku tahan cemburuku terhadap Mr.Peter, aku berpisah dari orang rumah, aku juga bersabar menanti kamu benar-benar bebas, aku selalu mengenang saat-saat kita bersama, di saat kamu terlena akan gemerlap dunia, kamu dalam kesesatan, aku menemani kamu kemana aja kamu mau, apa kau melupakan malam itu?” Soni berbicara dengan suara yang sangat berharap, bahkan seperti menghiba. Nita menarik nafas panjang dan menghembuskan kembali, barulah ia berujar.

“Mas Soni. Aku tahu yang terjadi malam itu, aku masih sadar mas Soni!!,... sementara, kamu memang sedang hilang kesadaran dan berhalusinasi, kamu tak melakukan apa-apa mas, percayalah perkataanku ini, aku kasihan padamu, lagi pula, anak yang kemarin aku hilangkan itu..., itu bukan anak kamu, itu benar anak mister, kamu membuka luka ku lagi untuk berbicara yang sebenarnya, aku tak sengaja menghilangkannya karena aku sangat takut jika nanti ia tumbuh besar tanpa daddy nya ada bersamanya, aku khilaf, aku sangat bodoh saat itu. Aku yakinkan padamu, seberapa pun jauhnya aku tersesat saat itu, aku masih tetap menghormati mister sebagai suamiku, apa sebenarnya yang kamu pikirkan mas Soni, kamu hanya berambisi, dan itu tak beralasan.” Nita berhenti sejenak, lalu berkata-kata lagi.

“Baiklah, aku sangat menghargai perasaan kamu mas, aku sangat berterima kasih, kamu selalu ada di sampingku di masa-masa yang bagiku itu adalah masa yang tak sepatutnya untuk diingat, aku berterima kasih. Aku.....akan katakan padamu mas, nanti, jika aku benar-benar merasa lebih baik, aku akan katakan pada mu.” Nita menutup pembicaraan, dan Nita berurai air mata, perasaannya sangat kacau, ia tak ingin mengingat kembali semua kisah yang buruk, di mana ia sangat menyusahkan almarhumah ibunya dan mister, dulu sewaktu ia larut dalam dunia yang kelam.

Apalagi ketika mengingat di mana dirinya telah membunuh janin yang baru akan bertumbuh di rahimnya, yang akibatnya membuat ia menerima balasan atas dosanya itu, ia sudah sangat bersyukur masih di berikan ampunan, dan sekarang sudah dapat berjalan kembali, ia kini sangat ingin memulai melangkah dengan yang baik dan membawa kebaikan.

‘Siapa yang bisa tahu bagaimana perasaanku saat ini ibu, tidak ada, aku sudah banyak kehilangan orang-orang yang menyayangiku, mencintaiku, dan bahkan aku sanggup melenyapkan satu nyawa tak berdosa, apa ada yang tahu perasaanku ibu...., jawab Nita ibu...hu..hu....ibu, Nita kangen ibu ada di sini, Nita tak tahu harus bagaimana, di saat hati ini dalam kerusuhan batin, yang merasa hampa, sepi dan seperti tak ada lagi kehidupan, ibu.....Tuhan masih baik sama Nita, masih tersisa satu orang yang Nita sayangi, Nita tak ingin Rian cepat dewasa dan akhirnya ia punya kehidupan sendiri nanti, Nita sama siapa buuu....’ Nita berbicara dengan menatap foto almarhumah sang bunda, ia merasakan kerinduan yang teramat sangat rindu. Nita tak dapat memejamkan matanya, Nita terus saja terjaga, dan ketika hari sudah memasuki fajar, rasa kantuk mulai terasa, Nita tertidur, ia akhirnya terbangun setelah matahari sudah sangat tinggi. Nita telah lama tidak membuka tokonya, ia sudah memutuskan dengan bulat, bahwa ia akan meninggalkan kota itu. Ia juga sudah mengosongkan toko, dan bahkan sudah membuat plakat bertanda ‘Rumah ini di jual’ pada sisi muka rumahnya.

Nita merasakan sangat sakit pada pinggang sebelah kirinya, dan begitu sangat sakitnya sampai-sampai ia terduduk di lantai, ia pun meringis kesakitan, ia menahan saja rasa sakit itu sambil menangis, ia bingung mau berbuat apa, lalu tak sengaja ia menelpon Soni. Tak berapa lama, Soni pun tiba di rumah Nita.

Soni menemukan Nita di lantai dengan tetap memegangi perut atau pinggang sebelah kirinya, Nita terlihat sangat pucat, lalu Soni memberikan  Nita segelas air putih, Soni membaringkan Nita di sofa, Nita tetap saja meringis, lalu Soni berinisiatif untuk membawa Nita ke rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, Nita segera di beri penanganan oleh dokter, Nita segera di beri sebutir pil untuk menghilangkan rasa sakitnya.

“Bu Nita, sudah berapa lama seperti ini, apa saja gejala yang ibu rasakan selama ini, coba katakan perlahan.” Dokter mengatakan sesuatu yang membuat Nita sedikit ketakutan.
“Saya memang sering kesakitan pada saat buang air kecil, dokter, terkadang terasa sangat mual, dan sakit di sebelah ini sering terjadi. Apa ini dokter?” Nita bertanya dengan wajah cemas. Dokter membisikkan sesuatu pada si asisten perawat di sampingnya.

“Kita tunggu hasil test urine bu Nita dulu yah, silahkan tunggu dulu sebentar di rung tunggu ya bu.” perawat itu berkata pada Nita, lalu Nita dan Soni menunggu di ruang tunggu. Nita diam seribu bahasa, Soni pun tak bicara apapun, ia hanya memperhatikan Nita yang nampak sangat cemas dan khawatir. Tak lama kemudian, Nita dan Soni masuk kembali ke ruang dokter, karena dokter akan menerangkan sesuatu pada Nita.

“Bu Nita, ini hasilnya akan saya beritahukan, mmm....bu Nita ini mengalami gangguan ginjal yang cukup parah, dan bu Nita sudah harus berhati-hati dari sekarang. Saya akan berikan resep obat yang nanti obatnya harus bu Nita konsumsi secara rutin, semoga bu Nita lekas sembuh.” Dokter memberikan resep obat, Nita dan Soni menebus obat, lalu Soni mengantarkan Nita pulang ke rumahnya. 

Tibadi rumah Nita, Soni dengan cekatan mempersiapkan makanan untuk Nita, Soni meletakkan bubur yang tadi di beli sewaktu diperjalanan, di sebuah warung makan di pinggir jalan. Nita makan sendiri, dan setelah makan, Soni menyodorkn obat untuk di makan oleh Nita, dan Nita pun berkata pada Soni.

“Mas, sekarang sudah bertambah lagi alasan aku untuk tidak menerima kamu, sebenarnya kemarin aku akan mengatakan, akan berusaha menerima kamu sebagai teman hidupku nanti, tapi kini aku tak punya alasan lagi untuk berpikir bahwa aku dapat bersama kamu kelak mas, aku akan sangat menyusahkan kamu, sedangkan seharusnya kamu tidak pantas untuk ku susahkan, sekarang...menyerahlah mas Soni.”

Nita memaksakan bibirnya untuk tersenyum, meskipun hatinya kini sangat hancur, ia merasa menjadi manusia lemah, yang tak kuasa bangkit, hanya pasrah.

“Nita..Aku tidak pernah berpikiran bahwa aku menyukai kamu karena kebaradaan kamu, aku menyukai dan mencinta pada jiwamu, kamu wanita yang lemah namun selalu berusaha untuk kuat, kamu sangat mudah melupakan kesalahan dan mudah untuk mema’afkan orang lain, kamu juga seorang yang tulus, aku tidak sedang merayu atau membaca puisi usang yang sudah berjuta kali di ucapkan banyak orang, aku pun tidak dapat mengukur seberapa aku suka sama kamu, aku juga bingung mengapa aku sangat suka kamu, aku sudah berumahtangga, aku hargai kamu juga seorang wanita yang mempunyai kehidupan pribadi sendiri, aku bertahan dengan perasaanku, meski ini salah, aku tahu, aku tak ingin melawannya, kata hati dan pikiran ku tak pernah sejalan, aku mungkin berlebihan jika ini aku utarakan padamu Nit.” Soni duduk bersila di hadapan Nita.

“Sekarang..., aku bertambah ingin bersama kamu, harus, aku tak ingin lagi bersabar, ataupun mengalah padamu. Aku telah menentukan pilihan sisa hidupku Nita, jangan seperti ini, terima aku Nit, aku bersungguh-sungguh. Nita.....” Soni menatap Nita dengan perasaan sangat penuh kasih sayang.

“Aku tidak bisa mas, mengapa kamu seperti ini, kamu tidak melakukan kesalahan apapun terhadapku, kamu tidak perlu merasa bertanggungjawab atas diriku mas, aku masih bisa sendiri, jangan lah terlalu mengasihani aku, itu akan tidak baik untukku mas, aku masih bisa...” namun akhirnya Nita menangis di hadapan Soni, selama ini Nita tidak ingin terlihat lemah, meskipun ia selalu kalah pada takdir, dan ia sendiri, kini, tersisa penyesalan dalam perjalanan hidupnya, jika saja ini...jika saja itu...., Nita benci akan pikiran yang berputar di otaknya kini. Nita menutup mulutnya berkali-kali, karena bibirnya akan berteriak yang tak sepantasnya berteriak atas apa yang sedang menimpanya, ia sudah seharusnya bersabar.

“Nit, biarkan aku yang menemani melalui masa sulitmu, ini akan ada akhirnya Nit, semua yang berlaku pasti ada akhirnya, baik atau buruk, yang terpenting kita dapat menyikapinya bijaksana, aku bersedia Nit.” Soni masih dalam duduk bersila di hadapan Nita.

“Ternyata pilihan Tuhan adalah kamu mas, menemani senjaku yang belum berakhir, aku tahu semua akan ada akhirnya, terima kasih kamu ada untuk aku.” Nita mengangguk perlahan pada Soni, pertanda setuju bahwa Soni lah yang akan mendampinginya.

‘Terima kasih Tuhan, apapun yang aku lalui, Engkau selalu memberikan akhir yang baik, bagi yang mau kebaikan itu’. Nita bergumam, dan ia dapat sedikit tersenyum untuk menjalani hari selanjutnya.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • Lestari

    Semangattt

    Comment on chapter Chapter 1
Similar Tags