Read More >>"> Senja Belum Berlalu (Chapter 4) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Senja Belum Berlalu
MENU
About Us  

“Nita, saya ingin kamu, nanti temui Edward, katakan padanya kalau saya mau dia datang ke rumah, saya ada urusan penting yang akan saya bicarakan ke dia.” Mr.Peter meminta Nita pergi ke rumah Mr.Edward.

“Baiklah mister, saya akan pergi sekarang saja, kalau dia sedang tidak di rumah, saya akan temui di kantornya, begitukan mister?” Nita pergi ke rumah Mr.Edward  dengan penuh tanda tanya, ada apakah gerangan?

Setibanya Nita di rumah Mr.Edward, beruntungnya Nita karena yang di cari sedang berada di rumah, lalu Nita mengutarakan pesan Mr.Peter pada Mr.Edward. Seketika itu juga Mr.Edward pergi bersama Nita menuju ke rumah Mr.Peter berada, dan langsung masuk ke dalam kamar di mana Mr.Peter sedang berbaring di sana.

“Hi friend..., how are you, you look not too good, what happened?” Mr.Edward bertanya pada Mr.Peter, karena memang Mr.Edward belum mengetahui keadaan kesehatan Mr.Peter yang sebenarnya.

“I’m so ill Ed, I want you do something for me, Nita..., bisa tinggalkan kami sebentar, saya ingin berbicara yang sangat pribadi dengannya.” Mr.Peter mempersilahkan Nita untuk meninggalkannya berdua saja dengan Mr.Edward, Nita sesungguhnya ingin sekali tahu apa yang akan Mr.Peter katakan pada Mr.Edward, namun Nita tahu posisinya, jadi Nita segera keluar dari kamar itu, Nita sekilas melihat kecemasan pada diri Mr.Peter, ‘ada apa yah sebenarnya?’ Nita hanya dapat bertanya di dalam hati. Setelah beberapa lama, Mr.Edward keluar dari kamar diikuti oleh Mr.Peter yang terlihat sudah sangat rapi dan siap untuk pergi bersama Mr.Edward.

“Saya akan pergi sebentar ke suatu tempat Nita, kamu di rumah saja jangan ke mana-mana, saya tidak akan lama, mm...nanti saya ingin kita pergi ke suatu tempat yang sudah lama tidak kita kunjungi.” Mr.Peter tersenyum dengan tatapan mata yang sangat lembut pada Nita, yang seolah Nita tak pernah melihat tatapan itu dari suaminya ini. Nita mengernyitkan dahinya dan bertanya.

“Mau kemana nanti kita mister? Nita jadi penasaran, tapi ini gak jauh kan?” Nita bergelayut pada pundak suaminya dengan mesra.

“Tidak jauh sayang, kita akan ke tempat pertama kali kita bertemu, itu saja. Mau kan?” Mr.Peter mencolek hidung Nita.

“Oh itu, Nita kira mau kemana, kok tadi ngomongnya kayak serius amat, Nita males ah mister...siang-siang gini panas, mana sekarang di sana semakin kumuh banyak sampahnya, mendingan kita ke kafe aja, ya...?” Nita memberikan alternatif lain pada suaminya ini. Terlihat Mr.Peter agak sedikit kecewa, permintaannya yang sangat simple dan mudah, tapi sedang sangat ia inginkan, di tolak oleh pujaan hatinya, tak tahu kenapa, Mr.Peter sangat ingin pergi ke tempat itu. Nampak dengan berat hati, Mr.Peter hanya mengangguk saja, menyetujui ide Nita. Mr.Peter dan Mr.Edward lalu pergi, tanpa Nita tahu akan kemana mereka berdua ini.

Nita sedang memasak, karena hari itu, entah mengapa, dia sangat ingin memasak makanan kesukaan Mr.Peter, yang sebenarnya sangat tidak di suka oleh Nita, Lobster dengan bumbu mayonaise, Nita sangat tidak suka mayonaise, namun ia memasaknya juga, meski dengan menggunakan masker di hidung dan mulutnya, ia selesaikan masakan itu dengan senang hati, lalu Nita menelpon sang suami untuk segera pulang, karena Nita ingin Mr.Peter mencicipi masakannya, yang sudah lama tak ia suguhkan untuk suaminya. Mr.Peter hanya mengiyakan, dan berjanji akan pulang secepatnya.

“Tok..tok..tok...permisi bu, apa ibu ada di rumah!” seseorang mengetuk pintu. Nita bergegas membuka pintu, dan Nita keheranan, kenapa banyak warga berada di depan rumahnya, dan ada seorang pak polisi, dan pak polisi itupun meminta izin untuk berbicara dengan Nita, Nita dan pak polisi selesai berbicara, Nita keluar rumah dengan linangan air mata dan badannya gemetar hebat. Nita masuk ke dalam mobil pak polisi tadi. Setibanya Nita di rumah sakit, Nita segera menuju ruang yang di tunjukkan oleh pak polisi tadi.

“Apa benar ini suami ibu?” pak polisi menyingkap selimut yang menutupi seraut wajah yang ketika Nita melihatnya, seketika itu pula Nita terjatuh ke lantai dan pingsan.

Setelah Nita siuman, hanya dalam waktu beberapa menit saja, Nita kembali menangis dan ingin melihat lagi wajah tadi yang sempat ia lihat, Nita memandang dengan kesedihan yang tiada terkira, ia mendekap wajah itu.

“Mister..., hu..hu..hu..., mister, hu..hu..., kenapa mister tinggalkan Nita, Nita tidak punya siapa-siapa lagi.” Lalu Nita menghapus air matanya.

“Pak polisi, bagaimana keadaan yang seorang lagi, saya ingin melihatnya, izinkan saya pak.” Lalu pak polisi membawa Nita ke suatu kamar di rumah sakit itu, dan Nita menjumpai Mr.Edward yang dalam keadaan cukup kritis, pada lehernya terdapat penopang atau seperti gips yang baru saja terpasang. Mr.Edward melambai-lambai pada Nita. Pak polisi dan seorang dokter di sana mengizinkan Nita untuk mendekat pada si pasien, yaitu Mr.Edward.

Nita mendekatkan telinganya pada bibir Mr.Edward, dan Mr.Edward berkata.

“Saya minta ma’af Nita, ini terjadi, saya tahu Peter have gone...I’m so sad, but.....saya ada urusan nanti dengan Nita, ada pesan dari Peter untuk kamu.” Mr.Edward terlihat kesulitan untuk melanjutkan bicara.

“OK, ok mister, nanti setelah mister cukup kuat, boleh katakan lagi nanti, kepada saya, apa pesan dari suami saya, sekarang mister akan segera di tangani oleh dokter dulu, jaga diri mister baik-baik ya, sebentar lagi mbak Shinta tiba di sini, Nita izin pulang dulu ya Mr.Edward, Nita akan mengurusi suami Nita dulu, see you mister...” Nita pun dengan sisa tenaganya yang melemah, pulang ke rumah beserta dua orang perawat dari rumah sakit, meggunakan ambulans, Nita sengaja meminta pihak rumah sakit mengizinkan perawat itu ikut bersamanya ke rumah, karena Nita bingung, dia tak tahu apa yang harus dilakukannya. Setiba di rumah, Nita tak menyangka, bahwa warga sekitar sudah semakin ramai berada di sekitar rumah yang di tempati Nita dan Mr.Peter, mereka berbelasungkawa, dan membantu, bahkan tidak dikatakan membantu saja, malahan mereka lah yang mempersiapkan semua keperluan untuk persiapan mulai dari pemandian, penguburan, dan pembacaan do’a bagi Mr.Peter. Setelah selesai pemakaman, Nita kembali ke rumah, di rumah itu beberapa warga yang pria menginap di ruang tamu Nita, sementara Nita di temani oleh salah seorang ibu yang sudah cukup tua, ibu itu juga sudah sangat di kenal Nita, dimana Nita sering berbelanja makanan ringan ke warung milik ibu tersebut, dan ibu itu bernama Bu Atik. Nita merasakan sangat kesepian, Nita tak dapat memejamkan matanya meskipun sesaat. Menjelang fajar, barulah Nita merasa sangat mengantuk dan Nita pun tertidur. Bu Atik sempat berpamitan pada Nita, Bu Atik hendak pulang ke rumahnya, Nita mengucapkan terima kasih, lalu tidur kembali. Para warga pria pun juga sudah pulang ke rumah masing-masing, di waktu fajar itu. 

Pagi hari jam 10, ada yang mengetuk pintu rumah, Nita terkejut, ia pun dengan cepat membuka pintu, dan ternyata Rian yang telah tiba dari luar kota, di antarkan oleh taxi dari bandara. Rian memeluk sang kakak, Nita tak henti-hentinya menangis, lalu Rian pun terus menenangkan kakaknya ini.

“Jam berapa kamu dari sana dek..., ehemmh..eh..ueekk...hueekkk...., ueekk...” Nita berlari menuju kamar mandi, di sana Nita muntah-muntah, sampai badannya menggigil. Sesaat kemudian ia keluar dari kamar mandi.

“Kak, kakak kenapa, kakak sakit ya? Ini pasti karena kakak terlalu sedih sehingga kakak lupa makan dan sekarang jadi sakit. Apa kakak mau ke klinik?” Rian menawarkan kakaknya untuk ia antarkan ke klinik, Rian ingin kakaknya berobat, Rian sangat khawatir melihat keadaan kakaknya yang sangat pucat pasi.

Nita menggeleng, “Kakak nggak apa-apa, baik-baik saja, huuh..huekkkk..., Rian tolong buang lobster itu, baunya sudah sangat tidak enak, ughh.....kakak tambah sakit perut di buatnya..huekkk” Nita kembali menuju kamar mandi.

Akhirnya Nita berbaring lunglai di atas tempat tidurnya, ia meminta segelas air putih pada Rian.

“Ini kak airnya, kak, sebaiknya kakak berobat, Rian takut kenapa-kenapa, nanti Rian bingung mau bagaimana, ayolah kak, Rian antarkan kak Nita.” Rian membantu kakaknya untuk berdiri, lalu Nita bersiap diri, sementara Rian menunggu di dalam mobil. Nita dengan langkah terhuyung-huyung menuju mobil. Lalu mereka pergi juga menuju rumah sakit. Setibanya di ruang dokter, Nita di periksa, dan Nita juga Rian menunggu hasil pemeriksaan dokter.

“Bu Nita, ibu tidak sakit apa-apa, hanya saja kondisi ibu sedang drop, hal ini biasa terjadi pada ibu hamil trimester pertama, apalagi kalo ibu memang tak bisa mengendalikan rasa mual, dan tidak bisa makan dengan benar.” Bu dokter itu berkata sesuatu yang membuat Nita sangat terkejut. Nita seperti hendak bertanya dengan nada yang tingi, namun semua ia urungkan. Ia hanya mengatur pernafasannya agar tetap normal.

Rian pun juga ternganga, namun sesaat ia melihat pada kakaknya, Rian menjadi sangat iba dan mengerti akan perasaan yang sedang di rasakan kakaknya ini.

“Iya, baiklah bu dokter, saya akan minum obatnya, terima kasih dokter.” Nita dan Rian juga bersalaman sebelum keluar dari ruangan dokter itu.

Setibanya di luar ruangan dan obat telah berada di tangan Nita, Nita dan Rian menuju mobil. Nita hanya terdiam, air mata Nita deras mengalir, ia hanya terdiam membisu, Rian sangat sedih melihat kakaknya ini.

“Kak, kakak yang sabar ya kak, ini semua cobaan untuk kakak, Rian yakin, kakak bisa melaluinya, Rian akan temani kakak di sini, Rian akan berhenti saja dari pesantren, Rian akan sekolah di sini, sambil menjaga kakak, dan juga calon keponakan Rian.” Rian selesai bicara seperti itu, tiba-tiba Nita marah.

“Kakak nggak mau anak ini dek, kakak akan buang dia, pasti dia akan menderita nanti, karena ayahnya sudah tiada, kakak nggak sanggup akan menghadapinya!” setelah berbicara seperti itu, Nita lagi-lagi menangis sejadi-jadinya. Rian sangat bingung dengan situasi ini, Rian akhirnya menelpon seseorang.

“Mas Soni, ma’af Rian mengganggu mas, Rian tak tahu lagi harus bicara dengan siapa mas, kak Nita sekarang keadaannya sangat kacau, dia mau buang anak yang ada di kandungannya mas, Rian takut nanti terjadi apa-apa, Rian nggak ngerti ini mas!” Rian sangat panik, dan Soni pun menanggapi dengan sigap, ia segera menuju rumah, Nita, namun sebelumnya, ia sempat bertengkar dengan istrinya, sang istri tak mengizinkannya, tapi Soni bersikeras tetap akan ke rumah Nita, pertengkaran cukup lama juga, terjadi adu mulut di antara keduanya. Akhirnya Soni pergi meninggalkan istrinya yang menangis setelah pertengkaran itu sedikit mereda.

“Rian, di mana Nita sekarang? Apa dia melakukan sesuatu yang berbahaya?” Soni bertanya dengan kecemasan yang nampak jelas oleh Rian, di raut wajah Soni.

“Mas..., ma’af kan Rian mas, terpaksa menghubungi mas, sehingga membuat mas Soni dan istri jadi bertengkar. Sebaiknya mas Soni pulang saja, biar Rian yang menjaga kak Nita, ma’af mas, Rian nggak bermaksud...” lalu Soni tersenyum. Rian sempat mendengar pertengkaran Soni dan istrinya di telpon tadi.

“Ngomong apa kamu ini Rian. Mas Soni biasa bertengkar sama dia, memang dia selalu begitu, mas bosan dengan tingkahnya begitu, bukan baru ini dia kelakuannya kayak anak kecil, sering, sama siapa aja selalu begitu, bukan hanya karena kak Nita ini lalu dia marah, bukan Rian..., itu terbiasa dia lakukan, mas sampai bosan ngomonginnya, udahlah...sekarang kita pikirkan bagaimana caranya supaya kak Nita kamu diajak berbicara baik-baik, untuk jalan keluar yang terbaik, jangan sampai dia melakukan sesuatu yang nanti ia sesali karena emosi dan egois semata.” Soni hendak melihat keadaan Nita yang berada di ruang kerja tempat Mr.Peter biasa mengerjakan tugas dari perusahaanya saat sedang dirumah.

Pintu ruangan itu tak terkunci, Soni dan Rian mencoba masuk, dan memanggil-manggil Nita.

“Nita..., apa kami boleh masuk, kami ingin berbicara sama kamu Nit, ayolah Nit, jangan diam saja. Ini harus kita bicarakan, masih banyak yang dapat dilakukan, Nita, bicaralah biar kita dapat memikirkan apa yang akan dilakukan, Nii..iit, Nita.” Rian dan Soni tertuju pada kursi kerja Mr.Peter, dan di bawahnya telah ada ceceran darah segar, di mana Nita sedang berada dan duduk di sana. Keduanya membelalakkan mata. 

“Kakaaaaaakkkk...., bagaimana ini mas!!” Rian sangat teramat sangat panik, sehingga Rian sambil terjatuh-jatuh mendekati kakaknya yang berada di kursi itu. Soni bertindak dengan sangat cepat. Soni segera menggendong Nita, Soni masih melihat pergerakkan pada dada Nita.

“Rian! Cepat hidupkan mobilnya, kita pergi sekarang, ayo Rian, bawakan selimut itu untuk kakakmu!” Rian menuju mobil, disusul dengan Soni yang masih terus menggendong Nita, dan ambil duduk di bagian belakang tempat duduk di mobil itu. Rian telah menghidupkan mesin mobil, lalu melaju dengan cukup kencang, tak berapa lamapun akhirnya, mereka tiba di rumah sakit, dan Soni segera di sambut oleh tim perawat dan dokter, karena melihat keadaan Nita yang memang sangat darurat. Nita masuk keruang perawatan, dan segera akan dilakukan operasi kecil, karena janin di dalam rahim Nita dinyatakan telah cukup besar dan sekarang janin itu sudah tak bisa lagi dipertahankan, harus segera dikeluarkan dari rahim Nita, akibat tusukan gunting yang di lakukan oleh Nita, Nita pingsan dan mengalami pendarahan yang cukup memprihatinkan. Tim dokter telah mempersiapkan segala sesuatu persiapan untuk tindakan operasi. Operasi pun di mulai, Rian dan Soni menanti dengan sangat cemas, Rian nampak sangat sedih, meskipun tak ada lagi air matanya, ia menatap kosong pada lantai di rumah sakit itu. Soni mendekati Rian.

“Kita berdo’a ya, semoga kak Nita kamu, sehat kembali, dan tidak terjadi hal-hal yang tak kita inginkan, ayo Rian kita ke kantin sebentar, kamu harus minum dulu, kamu terlihat seperti dehidrasi seperti itu.” Soni merangkul Rian dan bersama menuju kantin untuk membeli air minum, Soni melihat pada Rian, setelah cukup tenang, Soni mengajak Rian untuk kembali ketempat tadi. Perkiraan operasi terhadap Nita akan selesai.

Keduanya semakin berdebar, terutama Rian, ia merasakan lututnya seperti tak berdaya, ia sempat membayangkan sesuatu yang buruk terjadi pada Nita, ia takut akan kehilangan orang yang satu-satu nya, yang ada untuk dia.

Seorang dokter lalu keluar dari ruangan operasi, dan langsung menemui keduanya.

“Ma’af mas, siapa keluarga pasien tadi?”dokter bertanya pada keduanya.

“Saya dokter, saya adik kandungnya.” Rian menatap penuh harap pada dokter itu, untuk mengatakan hal yang  baik saja.

“Mari mas, kita ke ruangan saya, mas ini juga boleh ikut ke ruangan saya.” Dokter duduk di kursi kerjanya.

“Operasi berjalan lancar, bersyukur tidak ada sesuatu yang sangat rumit yang terjadi.Tapi....saya akan katakan sesuatu kabar yang tidak baik, Nita akan mengalami kelumpuhan sementara, tapi kami tidak tahu berapa lama itu akan berlangsung, karena kita masih akan terus meninjau ulang sambil terus memantau kesehatan Nita, tahap demi tahap. Nanti akan ada beberapa test dan hasilnya kita ketahui setelah hasil test itu selesai di diagnosa.” Dokter memberikan saran pada keduanya apa sebaiknya tindakan yang harus di lakukan untuk kebaikan Nita.

“Baiklah dokter, terima kasih banyak dokter telah dengan cepat dan cekatan, membantu demi kesehatan kakak saya, saya akan laksanakan apa yang dokter sarankan untuk kakak saya.” Rian dan Soni keluar dari ruangan dokter dengan wajah yang lesu dan mereka berdua saling menghela nafas panjang.

“Rian, jangan bersedih, yang terpenting adalah, kakak kamu masih bisa di selamatkan. Mas akan bantu kamu, jangan ragukan hal itu, kamu percaya sama mas Soni kan?” Soni menepuk-nepuk pundak Rian, yang semakin lemah lunglai.

“Iya mas, terima kasih banyak bantuan mas Soni untuk saya dan kak Nita, tapi mas....”  Rian masih kepikiran, perihal perilaku kakaknya nanti, yang sekarang, sering tak terduga-duga melakukan apa saja yang ingin dilakukannya, itulah yang membuat Rian sangat takut dan khawatir.

Nita kembali ke rumah setelah satu minggu berada di rumah sakit, kini ia menggunakan kursi roda, Nita nampak masih pucat, ia masih saja belum mau makan dengan benar, keadaan dibuatnya kacau, Rian terpaksa berhenti sementara dari sekolahnya, sementara Soni selalu menghadapi perang dengan istrinya saat Soni hendak ke rumah Nita untuk membantu Rian yang hanya seorang diri merawat kakaknya.

Satu, dua, tiga bulan, barulah Nita menampakkan perubahan sedikit demi sedikit, ia mulai mau makan, dan merapikan diri, ia mandi dengan sendirinya, dengan bersusah payah, Nita juga membersihkan rumah, dan sang adik cukup terharu melihat perubahan kakaknya. Rian belum juga berani berbicara banyak pada kakaknya, ia takut kakaknya akan tersinggung dan mulai melakukan hal yang buruk. Rian membiarkan apa saja yang kakaknya ingin kerjakan, ia hanya memperhatikan dan sesekali juga ikut membantu apa yang sedang kakaknya kerjakan, sekaligus tetap waspada kalau-kalau kakaknya bertindak konyol.

“Rian. Mulai besok, minta pada mas Soni, untuk tidak lagi datang kemari, sudah banyak kesalahan kakak pada rumah tangganya selama kemarin kakak sakit, kakak berterima kasih padanya, katakan hal ini yah.” Nita berbaring seperti biasa, di tempat tidurnya.

“Kak..., ma’af Rian mau berbicara penting sama kakak, ini mendesak kak, bisakan kak?” Rian terpaksa memberanikan diri mengatakan sesuatu, karena sudah seminggu yang lalu Mr.Edward mendesak agar Rian mau memberitahukan, satu perkara penting, kepada Nita. Mr. Edward mendapatkan amanah dari Mr.Peter sebelum meninggal dunia, untuk membicarakannya pada Nita, dan sebenarnya pun pada hari kepergiannya, Mr.Peter, telah mengesahkan satu  perjanjian yang di saksikan oleh Mr.Edward, pengesahan hak warisan, dimana, dalam surat warisan itu, tertulis ada dua rumah yang telah di beli mister, dan jika Nita memiliki anak dari Mr.Peter, maka Nita akan dapat sebagian atau satu buah rumah untuk Nita, namun jika Nita tidak memiliki anak dari mister, kedua rumah itu akan menjadi milik anak-anak Mr.Peter yang berada di Texas, sedang kan Nita hanya memperoleh sejumlah uang yang telah Mr.Peter tetapkan. Yah, Mr.Peter membeli kedua rumah itu dari hasil uang pesangon yang di terima, sebelum akhirnya mister menyerahkan sisanya kepada Nita, artinya,  pada saat sakit pun Mr.Peter sempat menyisihkan uang hasil pesangon, untuk membeli dua rumah itu tanpa sepengetahuan Nita, dan Nita terima hanya sebagian lain dari hasil uang pesangon Mr.Peter, tetapi uang yang ada di tabungan Mr.Peter tetap saja untuk Nita.  Pada hari kecelakaan itu terjadi, sebenarnya Mr.Edward dan Mr.Peter berencana akan memberitahukannya pada Nita, hanya saja takdir berkata lain, dan setelah Mr.Edward sehat telah pulih kembalipun, rupanya Nita yang mengalami cobaan, hingga terus tertunda pembicaraan mengenai warisan itu, sementara itu, pihak keluarga Mr.Peter yang berada di Texas sudah mulai mempertanyakannya. Oleh sebab itulah, Mr.Edward pun akhirnya terpaksa mendesak Rian untuk mengatakannya pada Nita.

“Kak, mengapa diam saja, bagaimana ini? Kakak tidak bekerja, dan akan mendapat penghasilan dari mana? Sementara Rian, bagaimana bekerja, sekolah aja Rian belum selesai, Rian harus bekerja apa? Kak, jawab Rian, Rian mau bertanya, oh bukan, Rian mau mengingatkan kak Nita, coba saja kemarin itu, kakak tidak bertindak gegabah, mungkin anak kakak masih ada sekarang, dan kehidupannya sudah ada jaminannya kak. Malah, jika anak kakak dan mister ada, Mr.Edward menjamin akan mengurus semua pengesahan itu dapat diubah, karena sebenarnya anak mister di Texas itu cuma satu, yang dua lagi anak adopsi. Rumah mister juga di sana banyak, tanahnya banyak. Nah, sekarang kakak mau gimana coba? Kaki kakak sekarang tak dapat digunakan dengan semestinya, anak...?, kakak tega menghilangkan dia, padahal, dia bisa menjadi tempat kakak bersandar di hari tua nanti, satu hal lagi, jika saja kakak tidak sampai begini, kemungkinan mas Soni akan memilih kakak menjadi istrinya yang memang dia sangat mencintai kakak, daripada istrinya itu, yang sudah diceraikannya belum lama ini, tapi...” Rian belum selesai berbicara, Nita sudah menghentikannya.

“Sudah, cukup dek! Kakak ingin kamu tidak bicara lagi, kakak sudah tahu, kakak sudah paham, keadaan jadi seperti ini, kakak menyesalinya, tapi sekarang mohon kamu mengerti, dengan kamu mengulang ini dan menyesalinya, apa keadaan akan berputar kembali dari awal....?, tidak dek. Kak Nita sekarang iya...menyesalinya, namun kak Nita minta kamu tidak menambah bebah di hati dan pikiran kakak, dengan terus menyalahkan kakakmu ini, kak Nita tak tahu harus bagaimana Rian...?” Nita pun menangis, lalu Rian mendekati kakaknya.

“Kaaak, Rian tidak bermaksud membuat kakak sedih begini, Rian tadi berkata demikian agar kakak semangat kembali, kakak harus bangkit, kakak seperti dulu, bersemangat dan juga kakak yang cerdas menemukan solusi hidup untuk menjadi lebih baik, kakak ku yang kemarin, bukan yang sekarang.” Rian mencium tangan kakaknya. Rian mengajak Nita mendekati pintu kamar kerja tempat mister dulu.

“Kakak harus berani memasukinya, kakak bereskan dan rapikan tempat itu, kita kemasi, kita bersihkan rumah ini, kita tinggalkan, karena kita tidak lagi perlu di sini, ini juga sudah selesai masa kontraknya kak, rumah kita di sana, sudah tidak terurus lagi, sudah lama ditinggalkan, dan tak ada yang merawat maupun menyewanya untuk dirawat. Tinggalkan kenangan dengan mister, kakak harus kuat, lalu dengan sisa uang yang di berikan mister ini, kita harus melakukan sesuatu untuk keperluan hidup kita kak, dan jika kakak bisa sehat kembali...kakak jangan marah dan tersinggung ya, Rian katakan ini, jika...kakak bisa sembuh, Rian masih bisa sekolah lagi kak.” Rian akhirnya meneteskan juga air matanya. Rian sedih memikirkan masa depannya, apa yang akan ia lakukan kalau sampai ia tidak bersekolah lagi. Nita pun akhirnya memahami kesedihan adiknya ini.

“Rian, ma’afin kakak ya dek, kakak ingin sembuh, kakak akan berusaha untuk sembuh, Rian bantu kakak ya, sedikit lagi.” Nita memeluk sang adik, mereka berpelukan penuh haru.

Di sudut rumah di luar pagar, ada Soni yang juga melihat dua kakak beradik itu sedang merasakan kebahagiaan yang telah lama hilang, Soni pun ikut terasa haru.Soni mengurungkan niat untuk memasuki rumah itu. Soni memutuskan untuk pulang ke rumahnya.

Rian dan Nita sangat sibuk, membersihkan rumah itu, semalaman dua kakak adik itu berkemas, dan keesokkan harinya telah rapi, dan sangat bersih, Nita terlihat sangat letih, namun tersenyum pagi itu. Rian bertanya pada Nita.

“Kak. Mengapa kakak tersenyum, apa ada sesuatu yang membuat kakak tersenyum, Rian ingin tahu, apa gerangan kak?” tanya Rian penuh selidik.

“Rian..., meskipun senja belum berlalu, kakak masih tetap akan bertahan, kakak masih mempunyai harapan, kakak ingin wujudkan sisa-sisa harap yang kakak punya, yang kakak dan kamu punya dek!” Nita mengulas bibirnya dengan lipstick, dan merapikan rambutnya, Nita terlihat cantik kembali.

“Ayo kita lakukan dek.” Nita dan Rian pindah ke rumah lama mereka, dimana disitu juga tempat yang banyak meninggalkan kenangan bersama ibu mereka. Nita membuka toko berjualan bahan-bahan pokok, juga ada baju-baju, dan makanan jadi, kue-kue titipan dari penjual yang menitipkan kuenya di toko Nita, meskiun dalam hati sebenarnya Nita ingin membuat kue sendiri dan diletakkan di tokonya ini, tapi Nita menunda keinginannya itu, karena keadaan kesehatannya belum memungkinkan.

Nita berlatih untuk dapat berjalan kembali, ia penuh semangat, dengan di bantu adik nya tercinta. Nita sudah sepakat bahwa Rian akan bersekolah lagi ke tempat semula, pesantren yang berada di luar kota, Nita berjanji pada Rian akan tetap bersemangat dalam menjalani sisa hidup yang diberikan oleh Sang Maha Pemberi hidup, dengan sebaik-baik mungkin.

Nita melepas kepergian Rian untuk merantau dengan kesedihan yang tertahan, ia tak ingin lagi menangis, namun ia tak kuasa menahan tetesan itu menetes dengan sendirinya, Rian memeluk kakaknya erat-erat, Rian pun tak tega untuk meningalkan kakaknya seorang diri tanpanya. Terasa berat kali ini ia pergi merantau, setelah yang terjadi pada kakaknya.

“Kak.., apa sebaiknya kakak ikut dengan Rian, kakak coba tinggal di sana, jadi Rian tak sedih seperti ini, kakak pun juga dapat terus Rian jaga, bagaimana kak?” Rian memberikan idenya, yang sebenarnya di aminkan Nita dalam hati, karena saat ini Nita memang tidak mempunyai siapa-siapa lagi, Nita juga sedikit gentar, dia khawatir akan terjadi sesuatu tanpa ada yang membantu dia nanti.

“Ah..., sudahlah dek, sekarang kamu berangkat, sudah waktunya pesawat kamu akan lepas landas, kakak akan menyusul kamu nanti, jika semua urusan di sini sudah selesai, kakak akan kabari kamu nanti, ya?” Nita menepuk pipi kanan adiknya.

“Baiklah kak, Rian berangkat sekarang ya kak.” Rian melangkahkan kakinya terasa sangat berat. Lalu ia kembali lagi menemui kakaknya ini.

“Kak Nita, jika terjadi sesuatu, kakak jangan lagi bertindak bodoh, ya kak. Rian akan sangat kecewa kak. Rian benar-benar takut kalau kakak akan...hhh...” Rian menatap kakaknya dalam-dalam.

“Iya dek. Kakak akan ingat semua yang kamu ucapkan, kakak juga tidak mau lagi melihat wajah kamu yang selalu dalam kesusahan dan kecemasan terhadap kakak, seperti kemarin. Kakak minta ma’af ya dek. Yah...., sudahlah, percaya sama kakak, do’a kan selalu kakak ya. Sekarang pergilah, atau kakak pergi duluan yah, supaya kamu agak tenang, ok?” Nita pun pergi lebih dulu meninggalkan adiknya, dengan berjalan kaki yang masih sedikit belum lancar, dan menggunakan tongkat sebagai penyangganya. Nita memberikan kiss bye, sambil tersenyum pada Rian, Nita ingin meyakinkan adiknya bahwa dia baik-baik saja. Nita pun berlalu, dan Rian telah berada dalam pesawat menuju kota tempat dia menimba ilmu.

Nita telah sampai di rumah, ternyata benar saja, ketika malam hampir larut, Nita di serang rasa sepi, kesepian yang membuat dia takut, lalu Nita menelpon Rian, dan kakak beradik ini pun berbicara kerinduan yang di selimuti ketakutan Nita, Rian pun bersusah payah meyakinkan kakaknya untuk tetap kuat dan tabah.

Nita terlelap, dan keesokkan harinya, Mr.Edward datang ke rumahnya.

“Iya mister, kita berangkat sekarang, Nita hanya perlu menandatangani saja kan?” Nita bertanya pada Mr.Edward.

“Iya Nita, hanya itu, tapi...apa Nita tidak ingin berbincang-bincang dengan saya ataupun dengan Shinta di rumah, kami akan sangat senang jika Nita main ke rumah, apalagi Shinta, ia sampai sekarang masih saja merasa bersalah terhadap Nita, ia sangat ingin menemui Nita, tapi ia takut Nita nanti tak akan suka bertemu dengannya.” Mr.Edward menjelaksan keadaan Shinta istrinya yang dulu pernah melakukan kesalah yang bagi Nita saat itu sangat fatal. Meskipun akhirnya ia dan Mr.Peter masih dapat bersatu kembali, pada waktu itu.

“Saya akan main ke rumah mister, tapi tidak sekarang, dan jangan kuatir mister, katakan pada mbak Shinta, saya sudah dari dulu mema’afkannya, itu bukan kesalahan mbak Shinta, itu memang kesalahan saya, dalam waktu dekat ini, saya akan main ke rumah mister nanti. Mbak Shinta boleh siapkan makanan kesukaan saya, sambel jengkol.” Nita tersenyum lebar, Mr.Edward sangat senang melihat Nita sudah tersenyum kembali.

“Saya sangat lega Nita, melihat kamu tersenyum kembali, sudah dapat saya pastikan bahwa Peter akan bahagia melihat kamu seperti ini sekarang.” Mr.Edward pun juga tersenyum bahagia.

“Amin mister. Baiklah mister, kita pergi sekarang.” Nita dan Mr.Edward menyelesaikan tugas yang sudah tertunda cukup lama. Nita sudah menerima haknya dengan ikhlas, dan Nita pun kembali ke rumah dengan perasaan damai.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • Lestari

    Semangattt

    Comment on chapter Chapter 1
Similar Tags