Read More >>"> Senja Belum Berlalu (Chapter 3) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Senja Belum Berlalu
MENU
About Us  

Hari pernikahan antara Nita dengan Mr.Peter telah ditentukan, satu minggu lagi menjelang hari H itu, Nita sangat sibuk, dikarenakan, banyak teman dari Mr.Peter mengadakan acara semacam perkenalan dan bisa dikatakan pesta lajang ala western, Nita terbawa suasana, semakin modern dan bisa dikatakan tidak dapat mengendalikan diri, ia ikut meminum minuman keras yang di suguhkan, beruntung akalnya masih dipakai hingga dia tidak sampai mabuk dan lupa diri. Sayang seribu sayang, ada ucapan dia kepada Shinta, yang tidak terkontrol dan meluncur bebas, inilah akhirnya membawa nahas untuk Nita.

“Mbak Shinta tahu nggak, kenapa Nita mau nikah ini, edan banget mbak, mister bersedia memberi sejumlah uang, lima bulan gaji nya mister buat Nita sebagai maharnya. US $ 7000 kali lima, berapa ituuu....mbaak, banyakkan dijadiin rupiah, yah meskipun virgin itu adalah martabat, tapi Nita gak permasalahkan deh, itu sudah cukup buat Nita. Nita juga sudah dibeliin mobil baru sama mister, atas nama Nita, yes...itu lebih dari cukup, mbak......, kemarin nikah sama mister...mmm.....Mr.Edward berapa mbak maharnya.” Nita ngoceh sambil terus meneguk minumannya. Perempuan berumur 20 tahun itu rupanya masih sangat muda untuk dapat bertindak dan berpikir lebih dewasa juga bijaksana, Nita lupa untuk mengontrol ucapannya.

“Mbak nggak minta banyak Nit, yah bisa jadi karena mbak juga sudah cukup berumur dan sudah pernah gagal menikah sebelumnya, makanya beda ya dengan yang Nita alami sekarang.” Shinta berbicara dengan mata yang menyiratkan ‘sesuatu’. Nita tak menyadari hal itu.

Tiba hari yang berbahagia itu, Nita terlihat sangat cantik dari biasanya, gaun putih yang mahal nan anggun melekat elok di tubuh Nita. Namun Mr.Peter terlihat pada matanya pancaran kebahagiaan yang agak memudar, Nita pun agak terganggu melihat sinar mata Mr.Peter saat mata itu menatap ke arah Nita, hanya saja Nita akhirnya terlalu bahagia dengan berkumpulnya orang-orang yang tengah mengelu-elukan dia. Pujian para teman yang baru saja merapat ketika Nita dalam keadaan yang ‘manis’, yah bagai gula yang sedang dikerubutin semut. Sehingga ibunya Nita saja merasa kikuk berada di tengah keramaian orang-orang baru yang terasa aneh bagi Bu Masna ini.

Pesta yang dilakukan setelah akad atau janji nikah, berjalan lancar, sesaat setelah para tetamu pulang satu persatu, dan hari mulai larut malam, ibunya Nita pun ingin pulang ke rumah sewaannya, hanya saja ibunya Nita bingung harus dengan kendaraan apa, sementara taxi sudah pasti sangat susah mencarinya karena hari sudah larut malam, dan jika untuk menginap, ibu nya Nita, merasa tak enak hati, dan akhirnya, beruntunglah ada seseorang pemuda bernama Soni, ia memperkenalkan diri pada bu Masna, sebagai pegawai asisten bagi Mr.Peter, di perusahaan yang sama, Soni menawarkan jasa baiknya untuk mengantarkan bu Masna pulang ke rumah, bu Masna menolak, namun melihat ketulusan Soni, akhirnya bu Masna bersedia ikut pulang bersama Soni, diantarkan menuju rumahnya, sementara Nita sejenak melupakan ibunya.

Hari berlalu, sehari, seminggu, sebulan, setahun, Nita telah membeli rumah baru dengan uang yang diberikan mister pada dirinya, sebagai uang mahar, Nita sangat bahagia dapat memberikan yang terbaik buat ibu dan adiknya, mister terhadap Nita baik-baik saja, dan dikarenakan Nita yang sudah sangat banyak berubah, perubahan yang tidak cukup baik, Nita yang sebelumnya suka berada di rumah, dan tak terlalu banyak teman, telah menjelma sebagai seorang yang suka pergi ke kelab malam, dan suka menghamburkan uang, Nita semakin percaya diri.

Malam yang membuat Nita tersentak dari kehidupan indahnya, adalah, saat mister sang suami membawa seorang gadis cantik yang terlihat masih sangat polos persis sewaktu dirinya waktu baru tiba di rumah itu, dengan mesranya mister merangkul si gadis cantik. Pertengkaran tak terelakkan oleh keduanya, mister hanya meminta sang gadis pulang dulu sendiri ke rumahnya si gadis, setelah si gadis pergi dengan taxi pesanan mister, lalu mister mengajak Nita berbicara empat mata di dalam kamar.

“Saya minta izin akan berpisah dengan kamu, kamu dan saya sudah saling diuntungkan, sayang. Kamu mendapat uang, dan saya mendapat virgin, saya menanti kamu berubah selama tiga bulan ini bukan bertambah baik, malah sebaliknya. Jadi, saya ingin bebaskan kamu sebebas yang kamu inginkan, saya telah menemukan seorang yang tidak menjual ‘sesuatu’ dalam pernikahan. I’m so sorry my dear, thank you for your time with me, don’t blame me. Juga..., jangan nanti kamu beralasan dikarenakan kekuranganmu lalu saya pergi dari kamu, tidak benar, kamu tidak menginginkan saya, dan saya memang tidak bisa romantis untuk menanti kamu lebih lama lagi, ma’afkan...ma’afkan saya, semoga kamu mendapat ganti sesuai keinginanmu, I’m still care of you, really. And.... have kids when you get married again is a honourable thing dear. I love you.” Mr.Peter segera beranjak pergi dari tempat duduknya di sisi Nita, dan pergi keluar rumah mengendarai mobilnya.

Nita hanya terdiam, diam membisu, otaknya seperti kembali ke tempat semula, ia berpikir keras, dari mana mister tahu tentang virgin, pregnant, ‘saya hanya berbicara belum mau hamil dulu, dan virgin?, semua itu...yah itu dia! Mbak Shinta! Kamu ular berbisa! Saya benci kamu!’ batin Nita berkecamuk.

Nita hendak pergi menuju rumah Shinta. Namun langkah kakinya ia hentikan, saat hendak menuju pintu rumah ada sepucuk surat, dan dibuka, dari sang suami Mr.Peter, berisi tulisan tangan si mister,  “Nita, jangan ganggu Shinta, karena Shinta berbicara baik-baik pada saya, juga Edward, kami bertiga berbicara tentang kamu, yang sedang melalaikan saya, saya bertahan, namun saya dipertemukan Tuhan dengan dia, tadi yang kamu lihat, sudahlah....., teruskan hidupmu dengan yang kamu pilih nanti from the bottom of your heart, do what you want to do, the real love, i love you”.
Selalu diakhiri dengan kata-kata I love you, Mr.Peter telah membuat Nita sedikit goyah dan lemah, Nita sepertinya baru akan mencintai suaminya, namun nasib pernikahan tak seperti yang ia pikirkan. Nita pun hanya diam tak melakukan apapun, ia kembali ke rumah  yang ia beli hasil dari uang mahar yang diberikan Mr.Peter padanya, disitu ada adik dan ibunya tersayang. Ia banyak berdiam diri, teman-teman yang tadinya mendekat, ia tinggalkan sama sekali. Ia benar-benar merasa pukulan hebat menghampirinya. Nita pun mengaca diri, ia menangis, dan bersimpuh, ia sangat kesedihan, beruntung sang ibu selalu ada untuknya, sang ibu membenarkan tindakan Mr.Peter, ibunya menasehati Nita dengan sepenuh hati dan ibunya Nita sangat tahu bagaimana mendampingi anaknya di saat-saat yang menjatuhkannya, seperti biasanya.

“Ibuuu.., Nita bersalah, Nita..huhu....bagaimana ini ibu.?” Nita menatap dengan kesedihan  pada sang ibu, yang ternyata mata beliau sudah basah dan ada bekas membengkak, meskipun ditutupi dengan cara air mata yang mengalir dihapus berulang-ulang, tetap terlihat air mata yang membasahi di pipi ibu tua itu bukanlah sekedar saja. Ibu Nita menangis sejak dari semalam. Ibunya memberi nasehat yang bukan baru sekali diucapkan.

“Nita anakku, kamu masih ada kesempatan nak, bicaralah pada mister, minta ma’af sungguh-sungguh, meskipun ibu tahu luka hatinya tak mudah untuk kau obati, tapi setidaknya kau mencoba nak. Ibu ingin kau melemah kali ini, jangan berkeras hati, kau tahu ini kesalahanmu kan?” ibu berkata dengan lembut.

“Nita malu buk, untuk minta ma’af, pasti mister hanya mendengar saja, mister sudah mendapat pengganti Nita buk. Nita gak suka begini cara mister, iya... Nita salah, tapi, kenapa...ah sudahlah buk, Nita akan pikirkan apa yang nanti akan Nita lakukan. Ibu berdo’a saja untuk Nita, semoga Nita ini sehat terus dan bisa dapat terus berpikir untuk ke depannya harus bagaimana, Nita masih bingung bu.” Nita lalu pergi menuju pintu untuk keluar rumah, ia pun pergi dengan mengendarai mobilnya. 

SebenarnyaNita ingin pergi ke rumah Mr.Peter, untuk berbicara, hanya saja Nita masih terlalu marah mendengar semua ucapan Mr.Peter tempo hari.

Nita tiba-tiba berkeinginan pergi ke tempat dimana ia bertemu dengan Mr.Peter untuk pertama kali, Nita pun mengendarai mobilnya menuju ‘warung’ itu, ia membeli minuman ringan lalu menelusuri pinggiran pantai di sana, seperti waktu ia sedang kebingungan belum mendapat pekerjaan dan akhirnya bertemu Mr.Peter.

Takdir memang sulit di tebak, di sana Nita bertemu kembali dengan Mr.peter, tepat di dalam warung, setelah Nita lelah menelusuri tepian pantai, ia kembali lagi ke warung itu, ia tadi lupa membayar minuman yang ia minum, pada saat itulah Mr.Peter juga tengah berada di warung itu, belum lama, beberapa menit baru tiba di warung itu, juga untuk membeli minuman, dan sebenarnya Mr.Peter juga tengah ingin mengingat pertemuannya dengan Nita. Mata kedua makhluk itu bertemu, Nita menitikkan air mata, lalu Mr,Peter menggamit tangan Nita menuju mobilnya.

“Mengapa kamu menangis Nita, apa kamu sakit?” Mr.Peter menyentuhkan telapak tangan kanannya pada dahi Nita.

“Tidak mister, Nita tidak sedang sakit, Nita hanya sedang rindu sama mister, apa mister juga begitu?” Nita bertambah jadi menangis sampai tersedu-sedu.

“Ma’afin  Nita mister, minta ma’af, mister, Nita bersalah, bukan, bukan karena apa-apa, Nita sedih ditinggal oleh mister. Nita sangat bersalah dan juga sangat berterima kasih sama mister, telah membantu Nita hidup lebih baik, tapi....” Nita memandang wajah laki-laki yang selama setahun menemaninya tanpa ia sadari keberadaannya.

“Nita mau kita baikkan lagi?” Mr.Peter bertanya sambil membuang mukanya. Di sini ada kesalah pahaman, Nita mengira mister membuang muka karena tak suka melihat Nita lagi, sementara Mr.Peter membuang muka di karenakan ia tak hendak menangis di hadapan Nita. Mr.Peter malu menangisi keadaan, sebagai gentleman itu sudah seharusnya dilakukan untuk tidak mudah menangis. Ini adalah kesalahan, tapi ini juga takdir.

“Tidak mister, tidak, Nita cukup tahu diri, kesalahan Nita terlalu banyak, Nita belum lagi memperbaikinya, Nita hanya lagi kangen sama mister, sekarang...sudah bertemu, sudah terobati kangennya, Nita ingin pulang sekarang ya.” Nita mencium tangan mister, lalu pamit keluar dari mobil itu, manuju mobilnya sendiri, lalu pergi meninggalkan lokasi itu, meninggalkan sedih di hati Mr.Peter, yang menyangka bahwa Nita sangat mudah telah melupakannya. Sebenarnya Mr.Peter belum lagi mencari pengganti Nita, gadis yang kemarin itu tidak juga mengisi kekosongan hati Mr.Peter, dikarenakan cintanya hanya untuk Nita, Nita memang berbeda bagi Mr,Peter, meskipun Nita suka berhura-hura, dan bergaul hingga lupa waktu, untuk keperluan Mr.Peter selalu Nita persiapkan sendiri, dan Nita sering memberi Mr.Peter masukkan yang berarti dalam kehidupan dunia pekerjaan yang terkadang terjadi persaingan, perdebatan, ataupun perselisihan, Nita memberi nasihat yang terkadang Mr.peter pun tak terpikirkan untuk melakukannya, di saat Mr.Peter tengah kesal atau bosan dengan beberapa orang pegawainya, Nita mengingatkan untuk bersabar dan tetap positif thinking terhadap orang-orang. Yah..., intinya juga Mr.Peter merindukan kemanjaan Nita yang masih ada kepolosan dalam dirinya.

Nita pergi berbelanja, dan Nita bertemu dengan Soni, seorang yang sudah dikenalnya, karena seringnya Soni bersama Mr.Peter dalam urusan pekerjaan.

“Hai....mbak Nita, apa kabar, sedang belanja mbak?” Soni menyapa dengan ramah.

“Eh iya ini mas Soni, cuma beli buah dan makanan ringan aja, mas Soni belanja juga ya?”  Nita celingak celinguk seperti sedang mencari sesuatu, lalu bertanya.

“Mas Soni sendirian aja ya?” Nita bertanya lagi.

“Iya mbak, saya belanja untuk keperluan sehari-hari, dan...saya sendirian saja, mbak Nita juga kan sendirian, karena saya tahu permasalahan mbak Nita dengan Mr.Peter, saya merasa sangat kasihan pada Mr.Peter, semenjak pergi dari rumah, mister sebenarnya tidur di rumah saya mbak, terkadang tidur di kantor, mister menunggu mbak Nita untuk kembali sama mister, seperti itu mbak.” Ucapan Soni menyentakkan hati Nita.

“Apa mas, apa yang mas Soni katakan, saya tidak percaya, tadi kita bertemu, mister malah membuang muka dari saya. Saya sangat tahu mas, kesalahan saya terhadap Mr.Peter.” Nita lalu hanya berbicara sedikit, dan pamit untuk pulang, lalu pergi dari hadapan Soni.
Nita  bukannya malah mengintrospeksi diri, dan melihat keadaan dengan benar, Nita malah pergi mencari kesenangan yang ia tinggalkan sejenak, Nita bertemu teman-temannya, Nita berbuat kesalahan lagi, dan celakanya, kali ini Nita di jebak teman-temannya dan bahkan terbujuk rayu para temannya yang sesat itu, untuk mencoba memakai obat-obatan terlarang. Nita pun terbujuk rayu, ia lalai dan telah bertindak bodoh, ia percaya diri bahwa ia dapat mengendalikan diri, ia yakin hanya kesenangan sesaat yang ia inginkan, ia percaya diri dapat mengontrol semua yang ia coba meskipun hal-hal itu ekstrim dan berbahaya juga merugikan.
Sayangnya Nita kehilangan kontrol terhadap dirinya, meskipun ia banyak belajar cara mengatasi dan mengendalikan diri terhadap narkoba itu, tetap saja Nita kalah, dan sudah pasti kalah, karena pengaruh narkoba itu sangat dahsyat. Ini pun akhirnya terdengar oleh Mr.Peter, lalu Mr.Peter dengan sisa rasa cintanya, berbicara pada ibunya Nita, ia berjanji akan membantu Nita melepaskan diri dari jeratan narkoba, ibunya Nita seperti tersambar petir yang mematikan, manakala mendengar hal ini. Mr.Peter meminta ibunya Nita untuk tenang dan bersabar, juga berhati-hati dalam bertindak.

“Apa yang sudah terjadi tuan, saya sulit untuk percaya, tapi memang saya lihat begitu banyak perubahan dari diri Nita anak saya ini tuan.” Bu Masna menangis dan terlihat sangat takut.

“Saya akan menolong Nita, saya berjanji akan bantu dia keluar dari kebiasaan itu, saya juga yang bersalah dalam hal ini, saya lah yang perkenalkan teman-teman Nita itu kepada Nita pertama kalinya, yang tadinya dia seorang yang sangat suka dirumah dan tidak suka bergaul bebas, hingga akhirnya Nita jadi keterusan berteman dengan orang-orang yang salah ini.” Mr.Peter menjelaskan pada ibunya Nita panjang lebar, dan sudah dengan kosa kata yang jauh lebih baik.

“S..s..sa..saya, sangat berterima kasih pada tuan, sekiranyan tuan masih memperdulikan Nita anak saya.” Bu Masna bersedih, dan Mr.Peter berterus terang tentang perasaannya.

“Saya masih cinta dia, saya masih ingin dia kembali pada saya, namun dia yang tidak inginkan itu, tapi saya tidak mengerti mengapa dia bertindak sejauh ini, ada apa yang terjadi, apa dia kecewa terhadap saya, atau dia memang hanya sedang tersesat, saya akan cari tahu, apa dia masih memikirkan saya, saya akan segera dapati jawabannya, Bu Masna bantu saya dengan do’a ya.” Mr.Peter lalu memberi Bu Masna sebuah handphone dan di beritahukan cara penggunaannya, Mr.Peter meminta Bu Masna tak segan menelpon dia kapanpun, pada saat Nita di rumah dan apa saja yang Nita lakukan. Bu Masna sangat terharu, ia tak menyangka bahwa si bule itu masih mencintai Nita anaknya.

Nita tengah berada di rumah. Bu Masna tidak melihat Nita sedang aneh, atau sedang tidak sehat seperti kata-kata Mr.Peter pada Bu Masna. Sekali lagi Bu Masna memperhatikan Nita, lalu Bu Masna mendekati anaknya ini.
“Nita! Nita, ibu boleh berbicara denganmu nak?” Bu Masna bertanya perlahan.

“Tentu boleh ibu, apa yang hendak ibu katakan. Nita dengarkan.” Nita mengajak ibunya duduk bersama di sofa pada ruang tamu dirumah itu.
Bu Masna menarik nafas dan dengan cepat menghembuskannya kembali. Nita menoleh ke arah ibunya.

“Ada apa bu, apa ibu sakit, atau ibu sedang cemas dengan keadaan Nita?” Nita menatap tajam ke arah ibunya.

“Naaak.., ibu mau pergi dari sini, kamu sudah tidak butuh ibumu lagi, kamu sudah dewasa, sudah pandai menjaga diri sendiri, sudah tercukupi semua keinginan kamu, ibu malu terus-terusan bergantung dengan kamu, adik kamu juga sudah mulai besar, sudah mulai mencontoh sekelilingnya, ibu tidak ingin hidup sia-sia, setelah kamu menjauh dari pelukan ibu, ibu tak inginkan adik kamu juga nanti akan pergi dari pelukan ibu. Ibu sudah sangat menderita sedari kecil, lalu saat bersama bapak kamu, apa yang terjadi, kamu masih ingat kan Nit, lalu setelah kamu, anak tersayang ibu yang selalu ibu bangga-bangga kan, kamu yang ibu harapkan, tega berbuat yang akan membuat ibu malu sebagai seorang ibu bagi kamu anakku. Ibu tak menyangka langkah kita kemari membuat kamu menjadi orang yang tak ibu kenal sekarang. Nita......, ibu ingin mati saja nak, biar kamu bebas bertindak sesuka kamu nak, ibu....ibu tidak mau melihat kamu berbuat kesalahan, selama ini ibu mendidik kamu, ibu tidak pernah membenarkan seperti yang sekarang, sedang kamu lakukan nak, apa rasa hati bapak kamu, di sana nak, apa yang akan diperbuat jika bapak sekarang ada di sini Nita, jawab ibu?” Bu Masna menangis sambil mengantukkan kepalanya ke dinding hingga ada darah yang terbercak di dahi ibu nya Nita. Nita tak kuasa melihat itu semua, Nita menangis dan memeluk sang ibu. Nita pun menangis sambil setengah memekik.

“Nita bersalah bu, Nita minta ma’af bu!” Nita mendekatkan wajahnya ke wajah ibunya.

“Nit..., kamu tidak bersyukur Nit, masalah apa yang membuat kamu sampai lalai dan tersesat nak, apa yang  berat bagi kamu, katakan pada ibumu nak. Ada apa, mengapa, tidak ada masalah sebenarnya, kamu hanya sedang angkuh dan...dan kesombongan yang menyesatkan, sadarlah nak, kamu masih bisa kembali menjadi anak ibu yang dulu, kamu masih ingin ibu mu ini di dekatmu kan Nita? Kamu masih sayang ibu dan juga adik mu kan Nit....!?” Bu Masna menangis sejadi-jadinya. Bu Masna sungguh luar biasa, sangat mengenal anaknya, dan sangat pandai mengendalikan emosi dan kekuatan hati anaknya, bersyukur Bu Masna juga memiliki anak yang sesungguhnya sangat menyayangi dirinya, sebagai orangtua satu-satunya bagi  Nita dan adiknya, untuk beberapa tahun belakangan.

“Ibu..., Nita sayang ibu juga adik, Nita kembali ibu, Nita minta tolong ibu untuk dampingi Nita, untuk sembuh, Nita sudah berjanji untuk diri Nita sendiri, Nita akan kembali menjadi Nita yang dulu, Nita juga sayang bapak..hu..hu.....” Nita merebahkan tubuhnya, dan ia meminta ingin sambil di peluk sang ibu.

Bu Masna bersyukur tak henti-hentinya pada Sang Pencipta, ia telah menemukan kembali anaknya, ia akan mendekap erat jiwa anaknya kali ini, lebih erat daripada yang biasanya.
Ketika Nita ‘ketagihan’, Bu Masna memberikan minuman-minuman herbal racikannya sendiri, Bu Masna bersama Mr.Peter mencari solusi untuk mengobati Nita secara pribadi di rumah saja, Bu Masna meminta Mr.Peter mencari tahu apa, bagaimana, dan juga apa saja yang ada dalam obat-obat terlarang itu, Bu Masna berpikir dengan sangat keras, mencari tahu untuk kesembuhan anaknya ini, sementara waktu si bungsu tinggal di rumah Mr.Peter, untuk menghindari hal-hal yang tak baik untuk dilihat, bagi seorang anak yang masih kecil. Bu Masna tak hentinya berdo’a,   demi Nita, Bu Masna tak ingin kalah dengan rasa lelah dan jenuhnya menghadapi sikap Nita, yang pastinya berubah-ubah di masa penyembuhannya ini. 

BersyukurnyaNita juga memiliki niat dan keinginan yang sangat kuat untuk bersih dari pengaruh buruk ‘drugs’, juga untungnya Nita belum terlalu lama terlena, dan belum sampai pada tingkat membahayakan sekali. 

“Mister, terima kasih sudah membantu Nita dan ibu, sudah rela bersusah payah ikut membantu Nita sembuh dan menjadi lebih baik.” Nita saat berkata seperti itu, membuat Mr.peter dan ibunya yakin, bahwa Nita telah benar-benar kembali dan terbebas dari kesesatan.

“Saya juga berterima kasih pada Nita, sudah mau kembali seperti yang sudah seharusnya. Saya senang melihat kamu sekarang.” Mr.Peter ingin merayu Nita, namun apa daya hanya kata hatinya yang berbicara, lisannya tak mampu ia paksakan untuk mengutarakannya. ‘Saya masih cinta kamu Nita, saya berharap kamu kembali pada saya, saya sudah sangat rindu dengan keadaan, dimana jika saya berada di dekat kamu, saya ingin hidup untuk waktu yang saangaat lama’, yah..., itu hanya kata hati Mr.Peter saja. Kenyataannya, ia hanya membisu dihadapan Nita.

‘Mr.Peter  akan pergi selama berapa hari ya, ke negaranya, menemui anak-anaknya, lama gak yaa...?’ Nita bergumam dalam hatinya, ibu Masna memergoki Nita sedang gelisah.
“Ingin ikut Nit, katakan saja langsung nak, atau ibu yang sampaikan sama mister?” Bu Masna tersenyum penuh arti saat Nita memandangi ibunya.

“Nggak bu, Nita hanya memikirkan rumah di sana, siapa yang merawatnya selama satu bulan mister pergi, selama ini kan mister hanya sendirian di sana, kalau mister pergi, artinya rumah kosong, dan di sana itu, sekarang cukup rawan kejahatan, Nita hanya kepikiran itu bu.” Nita mengelak menatap ibunya, si ibu tetap saja meyakinkan Nita untuk bertindak seperti yang diinginkan oleh kata hati Nita.

“Iyaaa..., itu juga sama aja kan, harus ngomong sama mister kalo Nita mau merawat rumah selama mister pergi. Ayo nak telpon mister, waktu tidak menunggu Nit, besok mister pergi, katakan sesuatu.” Nita malah pergi ke kamar mandi tanpa izin, akhirnya Bu Masna meninggalkan kamar Nita.

Nita sedang menggenggam handphone nya, ia ragu apa yang hendak ia lakukan, sampai sore sudah menjelang, Nita masih dalam ke galauan, namun hati kecilnya ingin sekali menemui Mr.Peter, seperti ada sesuatu yang sangat mendesak, dan memaksa untuk pergi ke sana.
Nada di hp Nita mengejutkan Nita yang sedang tertidur di sofa rumahnya, ia melihat jam di tangannya menunjukkan pukul 8 malam, lalu ia mengambil hp yang terletak di atas meja dan menjawab si penelpon, namun hanya bunyi tuuut..tuutt..., lalu Nita meletakkan hp  nya kembali, tanpa melihat siapa tadi si penelpon itu, perutnya terasa lapar, ibu telah mempersiapkan makanan di meja, ibu keluar sebentar dari kamarnya dan ibu pun meminta Nita segera makan, lalu ibu masuk kembali ke dalam kamarnya untuk membantu Rian mengerjakan pekerjaan rumahnya dari sekolah. Nita segera makan, dan hanya sedikit saja, Nita minum air namun ia tersedak, akhirnya ia terbatuk, batuk, dan hp nya berdering lagi, secepat mungkin Nita menyambut si penelpon.

“Hallo...., siapa ini, ada apa hallo...?” Nita mendengar sedikit kata-kata dan rintihan yang membuat Nita menelan ludahnya, ia mengangguk-angguk lalu menutup hp nya, dan ia segera pergi keluar rumah.

“Bu...! Nita pergi dulu, kunci pintunya!!” Nita bergegas mengendarai mobilnya.

Tiba di depan rumah Mr.Peter, Nita melihat dua orang polisi berada di depan pintu rumah Mr.Peter, rumah itu terlihat sangat berantakan, banyak barang-barang tau berkas-berkas berserakan di lantai, Mr.Peter melihat kedatangan Nita, dan Mr.Peter meminta pak polisi mempersilahkan Nita masuk ke dalam rumah. Seketika melihat Mr.Peter mengikat perban di sekeliling lengan sebelah kanannya, dan terlihat jelas bekas darah yang masih melekat di kaos oblong yang di pakai oleh Mr.Peter. Darah itu sudah mengering, namun Nita terbelalak sambil terus menarik dan menghela nafas berulang-ulang. Ia sangat prihatin melihat keadaan Mr.Peter, lalu seorang polisi menuntun Mr.Peter naik ke dalam mobil ambulans, dan Nita juga di minta untuk ikut menemani Mr.Peter menuju rumah sakit, mobil ambulans itu dengan secepat mungkin pergi menuju rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, Mr.Peter segera mendapat penanganan yang cekatan dari para dokter jaga di sana.

Mr.Peter mengenakan gips di lengannya yang terluka, Nita membantu keperluan Mr.Peter selama di rumah sakit, Nita dengan telaten ikut bantu merawat luka Mr.Peter, dan setelah selama 3 hari, berada di rumah sakit, Mr.Peter diperbolehkan pulang, Nita tetap mendampingi, yang masih terbilang suaminya, karena belum ada penyelesaian yang sah dari perpisahan mereka.

“Nita, kamu sudah boleh pulang, biar bisa saya sendiri mengurus diri saya.” Mr.Peter berbicara sambil meringis.

“Iya saya pergi mau akan setelah mister sembuh hehee....bahasa mister kok kayak dulu lagi, bolak balik?” Nita malah mengajak Mr.Peter tersenyum lepas.

Keduanya tertawa dan bercanda, Mr.Peter seperti tak merasakan kesakitan pada lengannya yang mana tulang pangkal lengan bergeser akibat pukulan benda tumpul dari dua orang perampok yang hendak merampok rumah Mr.Peter. 

Mr.Peter bercerita bagaimana kejadian yang menimpanya, dan Nita mendengarkan.
“Saya mendengar suara dari dalam rumah, lalu saya masuk langsung menuju dapur, karena di dapur tak ada suara, saya rasa aman, dan naik ke kamar atas untuk mengambil pistol saya, ketika turun ke bawah mereka sudah menunggu dengan itu..apa..namanya ya..mm..oh ....itu linggis, kata bapak-bapak warga sini, yang tadi ada ke rumah setelah kejadian sebelum polisi datang. Saya melepaskan tembakan satu kali lalu salah satu perampok itu memukulkan linggis itu pada lengan kanan ini, saya kira ada dua kali pukulan, saya pun masih sempat melepaskan tembakan sekali lagi, lalu saya terduduk tapi pistol tetep dalam genggaman saya, karena ini gak main-main kalo sampai pistolnya terlepas dari saya, saya berteriak, lalu warga berdatangan, sepertinya mereka sehabis pulang dari mesjid, dan kedua perompok itu tak sempat melarikan diri, mereka dapat di tangkap para warga, keduanya dipukuli, setelah itu warga mengamankannya di depan rumah ini sambil di ikat,dan saya segera menelpon polisi, begitulah kejadiannya Nita.” Mr.Peter selesai menjelaskan.

“Jadi mister nggak sempat ngapa-ngapain itu rampok!?, jadi kesel nih sama mereka, coba mister lempar pake apa aja biar tau rasa!” Nita ngedumel dengan geramnya.

“Oh..., iya yah, coba di lempar pake pistol terus pitolnya mereka ambil, dan setelah itu mengarah ke saya dan doorr, mati deh saya..hehe...” Mr.Peter bercanda yang di sambut dengan jeweran manja dari Nita.

“Awh...aduh..sakit.” Mr.Peter kesakitan, lalu Nita menambah cubitan di beberapa tubuh suaminya. Nampaknya mereka akan akur kembali, nyatanya belum juga.
Nita terpaksa bolak-balik antara ke rumah Mr.Peter dan juga ke rumahnya.

“Niitt, kamu itu ada apa nak, kok repot tak menentu, sudah mantep aja di sana, biar ibu sama adek di sini, kamu urus suami kamu sampai sembuh betul, baru nanti kalau memang mau ke rumah ini, ya di sini aja lagi nak.” Ibu memberi Nita pengertian yang membuat Nita sebenarnya merasa kikuk.

“Ibu ngomomg, seolah Nita dan mister gak pernah terjadi apa-apa, kita kan sudah..” Nita belum selesai berbicara.

“Cerai? Nit, belum ada ketok palu, belum ada pendaftaran untuk sidang cerai, apa sih kamu ini, sudah nak, jangan diperbesar-besarkan, kasihan mister, kamu orang yang paling diharapkan saat ini untuk membantunya nak. Ayo...” Bu Masna mengangguk-angguk sambil merapatkan bibirnya, Nita pun akhirnya setuju dengan ibunya, Nita membawa beberapa pakaian ganti. Lalu pergi menuju rumah Mr.Peter. Selama berada di rumah suaminya itu, Nita nampak sibuk, mister pun berbahagia, bahkan ia mempermainkan Nita, sebenarnya lengannya telah dapat di gerakan kembali dan gips nya sudah bisa di lepas, hanya saja Mr.Peter tak ingin itu terjadi, ia masih ingin menikmati keadaan sebagai seorang pesakit yang tengah di layani, dan Mr.Peter menikmati kebersamaannya dengan Nita, sementara itu Nita belum tahu akan hal ini. Tapi, akhirnya Mr.Peter berterus terang juga mengenai keadaannya.

“Nit, sebenarnya sudah dari kemarin lengan saya ini kembali sehat, tapi saya masih ingin kamu di sini, apa kamu bersedia?” Mr.Peter mengatakannya dengan ragu-ragu. Nita kelihatan santai saja.

“OK. Nita bantu lepas gips nya ya mister, nanti latihan makan sendiri, dan yang lain-lain, nanti Nita pastiin dulu sudah sehat bener atau masih harus di cek lagi.” Nita tersenyum dengan santainya. Mr.Peter pun bertambah bahagia.
Beberapa hari Nita masih di rumah Mr.Peter yang masih suaminya, sudah hampir 2 minggu Nita berada di sana, dan tiba harinya Nita mengemas pakaiannya lagi, Mr.Peter belum tahu kalau Nita sudah berkemas, keadaan Mr.Peter sudah sangat membaik.

“Good morning mister, ini sarapannya, ayo makan sama Nita.” Nita dan mister makan bersama. Setelahnya, Nita berpamitan untuk kembali ke rumahnya, dan Mr.Peter sangat terkejut sehingga Mr.Peter refleks menggenggam tangan Nita saat akan pergi menuju pintu keluar rumah. 

“Tolong Niiit, tetaplah di rumah ini, saya....saya..butuh kamu,” akhirnya Mr.Peter terucap juga kata-kata yang memang di nanti oleh Nita. Nita membalikkan badannya, lalu memeluk sang suami. Mereka berdua telah menyelesaikan masalah.

Bu Masna tahu dengan tak kembalinya Nita, itu artinya Nita sudah berada di posisinya semula.
Nita dan Mr.Peter pun pergi berdua ke negara tempat asalnya Mr.Peter, Texas City. Mereka menghabiskan waktu tak sampai satu bulan, lalu kembali ke tanah air, Mr.Peter meneruskan bekerja, sementara Nita menyibukkan diri bercerita tentang cerita bahagia pada ibunya, sang ibu sangat berbahagia dengan kebahagiaan anaknya ini. Hidup terus berlanjut.
“Kakak, kemari kak segera, ibu sakit kak,” terdengar suara Rian yang sambil terisak-isak menangis, “ Ibu di klinik dekat rumah sekarang, ini mau di bawa ke rumah sakit besar, kakak nyusul ya kak, Rian tunggu kakak di rumah sakit ya!” Rian sang adik menutup telpon.
Nita terhenyak, duduk di sofa sambil menangis tiada henti, lalu ia beranjak pergi menuju rumah sakit. Nita menemui ibunya di satu kamar pasien yang di sampingnya ada sang adik yang dengan sorot mata lega melihat kedatangan Nita.

“Ibu, ibu sakit apa, kenapa Nita gak tahu selama ini bu. Nita tanya ke dokter bahwa ibu mengalamim gagal ginjal, kenapa ibu diam aja, kkk..ke..kenapa bu...hu..hu...” Nita memeluk ibunya, ia sangat takut memikirkan yang akan terjadi pada ibunya. Ibu Nita sengaja tak mengatakan bahwa ia sakit parah, dan hanya berobat secara tradisional, meminum ramuan yang di buat sendiri, ibunya tak ingin menyusahkan anaknya. Nita tak kuasa menahan tangisnya, saat dokter yang merawat ibunya mengatakan bahwa ibunya sudah dalam keadaan sangat parah. Nita tiada henti membujuk ibunya untuk mau berobat dan dioperasi oleh dokter yang profesional. Tetap saja ibunya Nita berkeras tak mau berobat, Bu Masna sangat tegas berpesan pada Nita.

“Nita! Ibu tak mau jalani pengobatan apapun Nita, titik. Biarkan ibu dengan cara ibu sendiri menikmati hidup ibu, kamu mengertiin ibu nak, satu saja yang ibu ingin kamu lakukan, jaga dan rawat adik kamu dengan baik, itu saja Nit!” ibu tak terlihat bersedih ataupun menangis. Hari-hari berlalu dengan terasa sangat berat bagi Nita. Ibunya semakin parah, Bu Masna mengalami komplikasi, menderita hipertensi akut, ditambah lagi diabetes yang dengan cepat berkembang biak, hingga sempat membuat kebutaan pada Bu Masna, namun Tuhan baik terhadap Bu Masna, karena Bu Masna selalu.., hampir selalu, mengatakan lelah, capek, dan ingin istirahat yang lama, Tuhan mengabulkan do’a Bu Masna, meskipun itu menyisakan kesediah amat dalam bagi Nita. 

Setelah kepergian ibunya, Nita selalu murung, dan adik kecilnya yang sudah menginjak remaja, hampir saja ia lalaikan.

“Kak, nanti Rian ada tugas sekolah yang dikerjakan berkelompok, di rumah teman kak, bolehkan Rian main ke rumah teman ya kak?”Rian meminta izin pada Nita, Nita dengan mudah mengiyakan, karena Nita kini juga terpecahkan konsentrasinya mengurus suaminya, Mr.Peter yang sedang sakit. Mr.Peter dinyatakan sakit liver yang sudah akut juga, pernyataan dokter benar-benar bagai nyanyian maut bagi Nita, ia merasa belum lama kepergian ibunya meninggalkan penderitaan di batinnya, kini suami yang ia punya satu-satu orang yang bisa membuatnya tenang di dunia ini pun kini juga dalam keadaan tak berdaya. Nita ingin marah, tapi pada siapa, dan mengapa?

Nitasemakin sering uring-uringan, ia tak lagi memperhatikan adiknya, ia terkadang sangat paham peranannya, sebagai seorang istri dan juga sebagai seorang kakak, namun ia lebih memilih mengikuti kebodohannya, dan kemalasannya, ia seperti kehilangan kepribadiannya, yang dulu penyabar, dan cerdas dalam bertindak, juga pengertian, apalagi terhadap orang yang ia sayangi, ia sangat perhatian dan bertanggungjawab, kini Nita berubah, ia lebih mementingkan pengalihan kejenuhannya pada hidup yang penuh tantangan, dengan cara bersenang-senang ‘lagi’, daripada menghadapi masalah hidup secara bijaksana. Sungguh satu kebodohan yang tak beralasan, padahal ia mampu untuk menjalani semua cobaan dengan mudah dengan masih adanya rezeki yang mencukupinya, namun pilihan bodoh lebih dominan bergelayut di otaknya, daripada memilih sebagai kepribadian kepahlawanan yang sesungguhnya masih ada dalam dirinya.

Akhirnya sang adik, mengalami suatu fase yang seharusnya dilalui dengan bimbingan seorang yang dapat mendampingi dengan benar, yang terjadi malah sebaliknya, sehingga Rian melakukan banyak kesalahan.

Adiknya di tangkap polisi dikarenakan melakukan pelecehan seksual terhadap seorang perempuan, yang dilakukan bersama kelompok bejad nya.

Nita masih dapat menyelamatkan adiknya, di karenakan, sang adik masih di bawah umur, dan di bantu seorang pengacara yang cukup handal.

Semenjak Mr.Peter sakit dan akhirnya resign dari pekerjaannya, Mr.Peter mendapatkan uang pesangon yang jumlahnya cukup fantastis, uang inilah masih amanah digunakan oleh Nita, ia masih terus berusaha mengobati Mr.Peter karena penyakit suaminya juga membutuhkan biaya yang tak sedikit. 

Rian, sang adik berulah lagi, Rian sudah mulai masuk ke dunia gemerlap malam, dan mengenal narkoba, namun Nita trauma dengan keadaannya dulu, Nita bersegera bisa bertindak cepat, dengan usaha yang di lakukannya, akhirnya sang adik menjauh dari narkoba, ternyata Nita memakai cara seperti cara yang ibunya dulu lakukan padanya, yaitu, berbicara empat mata dan menggunakan seluruh hati, jiwa raga, dan kasih sayang.

“Kamu tak butuh siapapun dek? Katakan, termasuk kamupun juga tak membutuhkan diri kamu sendiri, apa iya begitu? Kakak memang bukanlah kakak idaman buat kamu, kakak ini bertingkah laku buruk, lebih buruk dari yang kamu pikirkan, tapi selain kakak terburukmu ini, ada yang lain yang kamu punya sebagai sandaran kamu nantinya, teman-temanmu dek? Jawab kakak? Kakak sangat butuh kamu, dan kamu sebaliknya, apa kakak salah, mengharapkan kamu jadi kebanggaan kakak nanti di kemudian hari, kakak punya siapa deekk..., tidak ada. Sampai saat ini pun kakak tidak bisa mempunyai anak, untuk penerus kakak nantinya. Jadi, siapa yang akan kakak harap, kamu tak inginkan harapan kakak ada pada kamu, seharusnya yang putus asa dan  akan bertindak bodoh itu kakak, bukan kamu.” Nita menangis bersimpuh di kaki adiknya. Rian terperanjat, dan akhirnya juga bersimpuh disamping kakaknya, sambil menangis sangat penuh penyesalan.

“Ma’af kakak, ma’afin Rian kak, Rian baru tahu kalau kakak masih sayang sama Rian, kakak masih perduli sama Rian, kemarin Rian pikir, kakak tak butuh Rian, dan Rian membebani kakak, setelah kepergian ibu..hu..hu...” Rian memeluk kakaknya, satu-satunya orang yang tersisa di dunia yang ada untuknya. Rian pun menyadari kesalahannya, Rian berjanji pada Nita sang kakak, Rian akan menjadi anak yang baik dan patuh pada kakaknya yang kini hanya kakaknyalah sebagai orangtuanya.

Rian masuk sekolah pesantren, dan mengharuskan Nita berpisah dengan adik semata wayangnya ini. Berlainan kota dengan sang adik, kadang kala membuat Nita teramat rindu pada adiknya itu. Namun Nita mengambil hikmah perpisahan itu, dikarenakan, Nita dapat fokus untuk pengobatan suaminya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • Lestari

    Semangattt

    Comment on chapter Chapter 1
Similar Tags