“Dek Sarlan maunya gimana, ya buat aja, kakak nggak ada mau protes atau menghalangin, seperti yang dek Sarlan katakan itu, tidak benar, silahkan saja, toh itu memang kepunyaan almarhum, kakak kandung kamu sendiri, lagi pula saya kan sudah lama bukan istrinya lagi, toh kalau Nita mengatakan bahwa itu adalah kepunyaan dia, Nita cuma khilaf saja dek. Itu rumah dan tanah itu, semua memang hak kalian, berdasarkan surat itu, kami memakluminya.” Ibunya Nita segera menggenggam pundak Nita, ibunya mau Nita diam, dan tak lagi berbicara apapun pada pamannya. Nita tahu apa kehendak ibunya saat itu, dan Nita pun diam, dia pun sebenarnya sudah bergetar dalam berdirinya, menahan amarahnya terhadap sang paman, dia duduk di bangku yang ada di ruangan rumah ibunya itu.
“Baiklah kak, saya sebenarnya tak menyalahkan Nita untuk bicara, silahkan saja bicara, itu hak dia, tetapi dia tetap saja tak bisa melakukan apapun, karena yang tertulis dalam surat wasiat ini jelas dan benar, jadi.... saya minta ma’af, saya nantinya tidak kemari lagi, saya akan segera mengurus hal ini sampai selesai. Kami bertiga, tiga anak laki-laki dari ibu kami, kamilah yang berhak atas tanah itu menurut yang tertulis di wasiat abangnya saya. Nanti kami pikirkan juga untuk kedua anak kakak, mereka juga keponakan kami, jadi kami juga memikirkan ini. Baiklah kak, saya permisi mau pulang dulu.” Lalu pamannya Nita pergi dari rumah ibunya Nita.
Setelah seorang yang bernama Sarlan itu pergi menjauh dari rumah, Nita bangkit dan pergi dari rumah, sebelumnya dia mengatakan pada ibunya.
“Nita hanya mengambil barang-barang Nita buk, Nita nggak ngapa-ngapain, Nita ke rumah bapak cuma ambil sisa barang-barang Nita buk, ibuk jangan khawatir, Nita segera kembali, pergi dulu ya buk.” Nita mencium tangan ibunya, dan pergi dengan segera.
Setibanya Nita di rumah almarhum bapaknya, Nita tidak menemui siapapun berada di sana, jadi Nita berpikir, mungkin si paman nya sedang berada di kantor urusan surat wasiat dari bapakya, atau malah sedang menawarkan tanah tersebut, dengan lincahnya Nita mengemasi semua barang-barang kepunyaannya, ia masukkan dalam satu karton sedang, dan satu buntalan dalam satu kain, Nita mengumpulkan semua baju yang ada di sana termasuk pakaian bapaknya ia buntal jadi satu, lemari pakaian bapaknya yang selama ini tak pernah ia bongkar, hanya sekedar menyusun jika ia selesai melipat pakaian bapaknya, kini ia bongkar semua dan di masukkan jadi satu di dalam satu kain yang lebar dan ia simpulkan. Selesai ia merapikan barang yang akan ia bawa, Nita sebelumnya juga telah meminta bantuan dari beberapa warga sambil membawa gerobak dorong, yang Nita maksudkan untuk membawa satu lemari yang berada di kamarnya yang ada di rumah almarhum bapaknya itu. Lemari kecil itu baru beberapa bulan dibelikan oleh almarhum bapaknya. Nita sengaja mengangkutnya, karena ia teringat bapaknya ada menyimpan beberapa barang dan surat penting di dalam laci kecil di lemari itu.
“Iya pak, Nita ikut dorong ya gerobaknya.” Nita berbicara pada salah seorang warga yang sekaligus tetangga dekat rumah bapaknya, saat akan membawa barang-barang Nita yang rencananya akan diangkut secara bertahap.
“Nak Nita, biar bapak pinjamkan mobil pick-up bapak untuk mengangkut barang-barang ini yang lumayan banyak, nak.” Pak Rahmat adalah ayah dari Setyo, juga suami dari ibu Lela, yang mana mereka satu keluarga, memang sangat baik terhadap Nita dan bapak Nita sewaktu bapaknya Nita masih hidup.
“Baiklah pak, terima kasih, saya tak tahu harus apalagi selain hanya bisa mengucapkan terima kasih. Cuma itu pak, yang dapat Nita balas pada bapak selama ini, semoga bapak sekeluarga selalu banyak rezekinya dan selalu bahagia.” Nita berkata dengan mata yang berkaca-kaca, sambil memandang wajah Pak Rahmat.
“Iya nak, terima kasih juga do’a nya, sudah gak apa-apa, jangan sedih lagi ya, Nita kan anak yang kuat, seperti yang selalu dikatakan oleh bapaknya Nita, nah..., jadi sekarang ayo kita berangkat, itu barang-barangnya sudah naik semua di atas pick-up, ayo.” Pak Rahmat menepuk lembut lengan kanan Nita yang terlihat melamun dan lelah. Namun sebelum pergi, Nita melakukan sesuatu.
Nita berpamitan pada para tetangganya, Nita mengucapkan banyak terima kasih, dan Nita juga menitikkan air mata saat ada beberapa ibu-ibu di situ yang memberikan pelukan, juga ada yang memberikan uang yang dimasukkan dalam amplop, yang memberikan dengan tulus ikhlas dan Nita pun merasa sangat terharu akan hal ini. Setelahnya, perjalanan yang tidak jauh.
Tiba di depan rumah ibunya, Nita, pak Rahmat dan dua orang laki-laki yang bertetangga dengan Nita di rumah bapaknya, menurunkan barang-barang dan setelah itu berpamitan, ibunya Nita mengucapkan terima kasih, begitu juga Nita sekali lagi mengucapkan terima kasih, lalu Nita masuk ke rumah untuk merapikan semua barang-barang yang telah ia bawa dari rumah bapaknya, ibunya belum hendak bertanya, ibunya membiarkan dahulu Nita merapikan barang-barang yang Nita bawa, dan setelah selesai merapikan, tak butuh waktu lama, karena barangnya pun juga tidaklah banyak. Ibunya membawakan air putih untuk Nita minum.
“Nit, kalo boleh ibu tahu, lemarinya kenapa di bawa nak, kan Nita bilang ke ibu cuma mau bawa pakaian atau barang-barang Nita saja. Itu, apa memang punya Nita, nak?” Ibu bertanya perlahan pada Nita.
“Iya buk, lemari ini, lemari Nita, baru tiga bulan lalu dibelikan bapak, dan juga di lacinya itu ada barang-barang penting milik almarhum bapak buk, bapak selalu bilang ke Nita, kalo laci itu dijaga baek-baek, di kunci, dan selama ini gak boleh Nita buka atau melihat apa yang ada di dalam laci itu. Jadi sekarang, Nita sudah boleh buka ya buk, semoga saja bapak terima kalo Nita membuka ini.” Nita pun membuka isi di dalam laci itu.
Setelah semua di bongkar oleh Nita, ada satu amplop warna coklat yang tidak di lem dan Nita membukanya, lalu Nita terbelalak matanya, ternyata isinya uang sejumlah dua puluh lima juta. Nita gemetar dan menyerahkan uang itu kepada ibunya, tetapi ibunya pun juga merasa takut dan sangat terkejut.
“Ini pasti akan jadi masalah besar, pasti...pasti....., Nita!” Ibunya duduk di atas bangku sambil berpikir keras.
“Nit! Coba kamu temui pak RW di rumah bapak kamu nak, karena malam terakhir itu bapak kamu pergi ke rumah pak RW kan, semoga saja pak RW ada tahu sesuatu, ayo nak....segera ke sana, bawa uang ini, ibuk akan temani kamu, adek kamu si Rian, biar ibuk titip dulu pada tetangga untuk menjaganya. Ayo nak, ayo kita pergi sekarang!.” Nita dan ibunya bergegas pergi menuju rumah pak RW, setelah ibu menitipkan Rian pada tetangga.
Di rumah pak RW, ibu menceritakan semua yang terjadi, Nita pun juga ikut bicara dan bertanya apa yang terjadi pada malam itu, bapaknya sampai di bawa ke rumah sakit. Beruntungnya Nita dan ibunya pergi kerumah orang yang tepat, pak RW itu bernama Pak Rahadi dan, bapak RW itu seorang notaris yang sudah senior.
“Menurut saya bu, saudara Sarlan itu nanti akan terkena masalah. Dia berani memakai surat lama yang tidak bisa lagi ia jadikan rujukan untuk dia mengambil alih tanahnya pak Agus, ya suami dari ibu. Saya ada menyimpan surat perjanjian dan juga wasiat terbaru pak Agus, lengkap dengan tanda tangan, cap sidik jari pak Agus, juga pesan yang ditulis secara lengkap untuk yang di wasiatkan, untung ibu segera kemari. Jadi saya segera tahu permasalahan yang sebenarnya, jadi saya bisa dengan segera juga bertindak, ibu jangan khawatir, kita akan selesaikan ini dengan baik-baik.” Pak Rahadi tampak jelas di hadapan Nita, seorang yang berwibawa, dan sangat baik. Nita tak henti-hentinya mengucap rasa syukur di dalam hatinya, bahwa ia dan bapaknya dulu memiliki tetangga yang baik-baik, sungguh Nita merasa takjub. Meski terlihat tidak sangat dekat satu sama lain, namun semua bergerak cepat pada saat ada yang memerlukan bantuan. Sungguh langka orang-orang seperti itu, pikir Nita.
“Baiklah bu, dikarenakan ibu sudah berada di sini, saya akan berikan uang sisa pembelian yang saya tunda kemarin dengan almarhum, tunggu ya bu.” Pak Rahadi masuk ke dalam satu ruangan lalu keluar lagi dengan membawa amplop putih yang tentunya berisikan sejumlah uang.
“Ini bu, sesuai yang tertera di dalam surat itu, Pak Agus hanya meminta 35 juta untuk tanah ukuran 10x10 meter, dan Pak Agus juga hanya meminta 10 juta untuk bangunan rumah kecil yang selama ini ditempati oleh Nita dan Pak Agus, saya berterima kasih sekali pada Pak Agus, telah rela menjual tanahnya dengan harga yang tidak berlebihan bahkan sangat menguntungkan saya. Daaann....., ini uang sisanya 20 juta, saya tambahkan 5 juta lagi jadi biar genap, 50 juta, saya berterima kasih di berikan waktu oleh almarhum selama setengah tahun atau 6 bulan untuk melunasi uang pembelian tanah ini. Kita telah juga mensertifikat tanah itu, saya yang meminta Pak Agus untuk mengesahkannya. Saya meminta dengan sungguh-sungguh pada bu Masna dan juga Nita, bagaimana kalau bu Masna pindah dari kontrakkan itu dan cari suatu tempat yang jauh bahkan sangat jauh, agar terhindar dari konflik dengan keluarga atau saudara dari almarhum. Dua bulan lalu, beliau sudah menceritakan semua yang terjadi dan yang akan terjadi, dan pada saat selesai menceritakan itulah kami pergi bersama membereskan semua kepentingan untuk pengesahan tanah ini. Termasuk ide Pak Agus, untuk meminta saya nantinya membantu kepindahan ibu Masna dan anak-anak. Oh iya bu, agar ibu tidak ragu yang saya ucapkan ini, saya perdengarkan rekaman suara Pak Agus ini ya.!” Pak Rahadi lalu mencari sesuatu di handphonenya, dan sesaat kemudian terdengarlah suara dari Pak Agus ayah dari Nita. Pak Rahadi memperdengarkan dan Nita menyimak, setelah di buka dengan salam, dan ungkapan kasih sayang dari sang bapak untuk anaknya, Nita sangat menyimak bagian ini.
“Nita dan juga ibu, juga Zaki anakku, jika kalian ingin lebih aman dan terhindar masalah, pergilah sejauh mungkin, dengan uang yang ada, mulai lah yang baru di tempat baru, Nita jangan lupa lanjutkan sekolahnya, untuk kelanjutan biaya yang tak bisa mengandalkan dari yang ada, bantu ibu mencari nafkah, bapak mohon ma’af, karena uang pensiunan bapak tidak di alihkan ke tangan ibu kamu Nita, karena keadaannya kita sudah mengetahuinya nak. Jadi bapak sangat berharap dengan uang ini yang pastinya akan menimbulkan sedikit kekacauan, namun semoga dapat menyelamatkan cita-cita Nita untuk masa depan kalian, Nita ada adik dan ibu ya nak. Jangan pernah menyerah, semoga bapak di ma’afkan oleh semua, atas apa yang telah bapak susahkan selama ini, amin.” Ucapan terakhir adalah, rasa bersalah dan meminta ma’af yang sedalam-dalamnya kepada bu Masna, mantan istrinya yaitu ibunya Nita. Terdengar bapaknya Nita menangis dan diakhiri dengan salam.
Sudah bisa dipastikan suasana saat itu Nita dan ibunya menangis, Pak Rahadi memang sengaja meninggalkan dua perempuan yang dalam kesedihan itu mendengarkan secara pribadi. Dan, setelah Nita dan ibunya menghapus air mata mereka, Nita mencari keberadaan Pak Rahadi disekitaran rumah nan elok itu. Namun seperti sudah diperkirakan, ternyata Pak Rahadi sendiri yang datang menghampiri Nita.
“Ada apa Nita, hm...sudah selesai mendengarkan, dan sekarang....bagaimana, apa yang akan Nita dan ibu ingin lakukan, beritahu saya, saya akan usahakan sebaik mungkin, ini sudah kewajiban saya, karena Pak Agus telah mengamanahkannya pada saya. Kalau bisa saya sarankan, ibu dan Nita jangan lagi membuang waktu, segera pikirkan, nanti keburu saudara dari Pak Agus, ribut dan terjadi kekacauan, saya memantau dia, sepertinya sedang berada agak jauh dari kota ini, ia sedang mencari pembeli tanah. Nah....sekarang, ibu sudah ada tempat yang ingin di tuju?” Pak Rahadi bertanya pada ibunya Nita.
“Saya harus kemana pak? Saya tidak punya siapa-siapa, ibu dan bapak saya sudah tidak ada lagi, kampung halaman saya sudah lama tidak saya kunjungi, saya cuma punya satu saudara laki-laki dan satu saudara perempuan, tapi saudara laki-laki saya itu pak, istrinya itu sangat memusuhi saya, sedangkan kakak perempuan saya sudah meninggal, keluarganya pun hidup dalam keadaan kesusahan juga pak, anak-anaknya gak ada yang bersekolah tinggi, semua mereka hidupnya ya..pas-pasan. Kemana saya harus pergi pak?” Ibunya Nita bertanya pada Pak Rahadi.
“Saya ada satu tempat, tapi apa ibu mau kesana..., karena setahu saya, ibu kan belum pernah kemana-mana merantau, saya sebenarnya juga agak ragu kalau ibu bersedia kesana, tapi, di sana ada saudara saya, yang tentunya nanti dapat membantu ibu, saya akan hubungi, jika memang ibu bersedia untuk mencoba ke sana. Bagaimana bu?” Pak Rahadi memberikan solusi, dan ternyata Nita dengan cepat menyetujuinya, Nita sependapat dengan Pak Rahadi, kenapa tidak dicoba saja dulu, berharap menemui kebaikan di sana.
Nita mengutarakan persetujuannya, akhirnya ibu Nita pun, juga setuju dengan usulan Pak Rahadi itu.
Nita dan ibunya sebenarnya khawatir dengan kedatangan pamannya Nita, dan akan membuat kekacauan, Nita dan ibunya bergerak cepat, semua barang yang ada mereka jual, mereka sumbangkan, dan ada juga yang dijual yang segera dibayar, ada juga yang dibayar nanti belakangan, Nita dan ibunya tak mempermasalahkan semua itu. Tiga hari, sangat mendesak, dan itu pun juga telah dipersiapkan Pak Rahadi, mulai dari tiketnya dan alamat yang akan di tuju di tempat baru nanti.. Nita beserta adik dan ibunya segara berangkat, namun ada satu hal yang baik dilakukan oleh Nita dan ibunya.
“Pak, saya titipkan 10 juta ini untuk saudara dari suami saya, nanti jika ia datang kemari menemui bapak.” Ibunya Nita berharap dengan itikad baiknya ini, tidak akan terjadi dikemudian hari, hal-hal yang tak diinginkan oleh ibu dan Nita. Berharap tidak terjadi kekacauan, Nita dan ibunya juga tak ingin nanti membuat marah besar dari saudara bapaknya Nita, untuk menghindari kekacauan yang ditakutkan, oleh sebab itu, bu Masna tak menerima saran dari Pak Rahadi untuk membawa semua uang yang ada.
“Baiklah bu, nanti saya sampaikan.” Pak Rahadi juga berpesan pada Nita dan ibunya, bahwa jangan sekali-kali memberitahu alamat mereka nanti di sana kepada siapapun.Nita dan ibunya setuju dengan Pak Rahadi.
Nita berpikir lagi, memang uang sebanyak 50 juta bagi orang yang terbiasa mempunyai uang banyak, itu tak seberapa, seharusnya. Namun, bagi sebagian yang lainnya, itu jumlah yang cukup fantastis, namun Nita tahu pasti, bagaimana sifat dari pihak keluarga bapaknya. Kemungkinan pasti marah besar hanya diberi 10 juta itu. Dan, keberangkatan Nita membuat Nita seperti ingin dapatkan harapan baru. Perjalanan cukup singkat melalui jalur udara.
Nita dan adik juga ibunya, telah tiba di tempat baru, suatu kepulauan di Indonesia ini yang dekat dan bertetangga dengan negara Malaysia dan Singapura. Baru pertama kali menginjakkan kaki ke tempat itu, Nita merasa suka dan akan betah, Nita dengan cepat mengatakan pada ibunya, akan cocok tinggal di tempat baru ini. Nita nampak sangat bersemangat, Nita belum tahu bagaimana harus bertahan di tempat seperti itu, ibunya Nita terus mewanti-wanti anaknya untuk tidak terlalu senang dulu, ini baru permulaan dan masih panjangnya jalan yang akan dilalui.
Benar saja, baru tiga hari berada di tempat baru itu, pamannya Nita menelpon, dan mendesak untuk meminta uang tambahan dari yang di titipkan kemarin pada Pak Rahadi.
“Kamu licik ya Masna, saya cuma selisih satu malam aja, tahunya kamu dah pergi, saya hampir saja menanggung hutang, hampir saya ambil uang orang yang akan membeli tanah itu, kamu enak-enakkan pergi bawa uang banyak, kamu gak pantes kayak itu, saya mau sepuluh juta lagi kamu kirimkan sekarang?!!” Sarlan, paman dari Nita terdengar membentak dan teriak-teriak, lalu ibunya Nita menonaktifkan hp nya. Ibunya Nita pun membuang kartu atau simcard nya, ia tak ingin teror itu di mulai, dan ibunya Nita berpikir akan mengirimkan sesuai yang diminta oleh pamannya Nita.
“Ibuk, jangan buk, jangan kirimkan uang yang diminta om Sarlan. Itu uang untuk Nita kuliah buk, kalau ada kerjaan nanti, Nita kerja aja sambil kuliah buk, tapi jangan beri uang yang diminta oleh om Sarlan.” Nita berusaha meyakinkan ibunya.
“Nit, om Sarlan mengancam akan nyusul kemari, dia tahu kita di sini, katanya ia tahu dari dukun, ibu takut Nit, sungguh nak ibuk nggak mau ada urusan seperti ini dengan om kamu itu.” Ibuk memberitahu Nita mengenai ancaman omnya Nita, om Sarlan.
“Hah! Apa buk. Dukun...? Nita gak percaya, ini pasti ada orang yang memberitahu pada om Sarlan mengenai keberadaan kita. Nita yakin, sama yakinnya saat Nita bilang ke ibuk, bahwa ada apa-apanya surat yang dipegang oleh om Sarlan, ini Nita yakin pasti Pak Rahadi yang beritahu om Sarlan tentang keberadaan kita.” Nita mengernyitkan dahinya. Nita memang anak yang cukup cerdas dan berpikir cepat, juga memiliki insting yang sangat baik.
“Nita..!! Kamu kenapa ngomong begitu, Pak Rahadi itu sudah baik sekali sama kita nak.” Ibuk mengingatkan Nita tentang Pak Rahadi.
“Buuk., maksud Nita itu, bukan dengan sengaja Pak Rahadi memberitahukan, tapi...pasti om Sarlan yang telah memaksa Pak Rahadi untuk memberitahukannya ibuk. Ok buk, anggap saja benar, om Sarlan pergi ke dukun seperti katanya itu, pokoknya sekarang Nita mintak ibuk tidak mengirimkan uang yang dikehendakinya itu, dan kita sebaiknya segera pindah dari rumah ini. Kita, harus pindah, titik.” Nita pun mendesak ibunya juga.
Nita pun berbicara dengan ibunya secara serius dan benar-benar membahas sampai pada akhirnya menemukan satu jalan kesepakatan, yaitu, Nita setuju dengan ibunya untuk memberikan uang yang dipinta oleh pamannya itu. Nita mengurungkan niatnya untuk melanjutkan sekolah atau kuliah. Nita akan mencari kerja, sementara ibunya Nita juga setuju dengan Nita, akhirnya mereka pindah dari rumah yang sekarang adalah rumah saudara Pak Rahadi yang tak terpakai, dan tak perlu membayar sewa, tapi ibunya setuju dengan Nita, untuk memulainya dengan mandiri, tanpa harus selalu merepotkan orang lain.
Uang yang tersisa, setengah dari yang pertama diterima oleh ibunya Nita, setelah mengirimkan uang yang diminta omnya Nita, dan pamannya Nita sudah berjanji tak akan mengganggu hidup Nita dan ibunya lagi. Dan ternyata, biaya hidup di tempat baru ini sekarang cukup membuat Nita dan ibunya tercengang. Di mulai dari biaya sewa rumah perbulan yang mencapai satu juta, adapun yang murah, namun keadaannya sangat prihatin dan jauh dari keramaian. Setelah mencari-cari, dan berkeliling untuk mendapatkan tempat yang cukup layak, dan terpenting bagi Nita adalah lingkungan yang masih masuk akal, yang artinya masih ada tata krama dan keramah tamahan juga kebersamaan.
Bersyukur, akhirnya ditemukan juga satu tempat yang menurut Nita layak dan cukup baik untuk mereka bertiga, biaya sewa pertahun tujuh juta, Nita dan ibunya sepakat menyetujui untuk mengambil rumah sewaan itu, untuk dipakai selama satu tahun, karena si pemilik rumah memang tidak ingin di sewa perbulan. Nita dan ibunya juga akhirnya masih mengeluarkan biaya lebih untuk membeli beberapa keperluan untuk rumah, hanya secukup dan seperlunya saja.
Hari-hari dilalui Nita dengan santai, karena Nita belum juga mendapatkan pekerjaan. Ibunya Nita kembali mencari rezeki dengan cara berjualan gado-gado, juga makanan ringan yang beragam macam. Siang itu Nita berjalan menelusuri tepian pantai yang berada di sekitar area rumah yang ia dan ibunya sewa. Di sana banyak terdapat kapal-kapal besar di dalam kantor-kantor yang nampak luas dan juga berdiri kokoh. Lalu Nita duduk di satu warung sambil minum segelas es teh manis nan segar di siang hari yang terik. Lalu, seseorang mengajaknya berbicara.
“Hello, excuse me, I need a help, anyone can help me?” seorang bule yang berusia cukup matang menyapa kepada Nita.
“Oh yes sir, what can I help you?” Nita membalas dengan terbata-bata, menggunakan bahasa Inggrisnya yang lumayan juga.
“I want to know this address. Where is it?” Sang bule bertanya kembali.
“Actually, I’m a newcomer at here, but I try to help you sir, let me see this address.” Nita mengambil alamat yang ada di tangan si bule, lalu ia mencoba mereka-reka dan mengingat, kira-kira ada di mana alamat itu. Beruntungnya Nita teringat, sewaktu ia dan ibunya mencari-cari kontrakkan, ia pernah membaca suatu jalan bernama yang sama persis seperti yang si bule itu ingin temukan.
“It is far enough from here sir, may I join with you in your car and we find this adress?” Nita sangat bersemangat untuk mencari nama alamat yang ingin ditemukan si bule. Ternyata si bule pun dengan sangat senang hati bahwa Nita mau ikut bersamanya membantu mencari alamat itu. Akhirnya mereka berdua masuk ke dalam mobil, dan pergi menuju alamat yang tertera di sebuah kertas milik si bule itu.
“I’m sorry, boleh..saya..tahu..nama...anda?” si bule berbicara dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata. Nita tersenyum.
“Nama saya Nita sir.” Nita menjawab dengan sopan.
“Oh Nita, Nita sekolah..atau..bekerja?” si bule bertanya kembali. Nita dengan senang hati menjawab, sebenarnya Nita suka untuk berbicara lebih banyak lagi dengan si bule.
“Nita baru selesai sekolah sir, dan sedang mencari kerjaan. Oh iya, nama mister siapa, boleh Nita tahu?” Nita memberanikan diri bertanya nama si bule.
“Hm...nama saya, Peter, Nita.....mau cari kerja??..., kalau saya boleh katakan, apa Nita mau kerja untuk saya?” Tuan bule bernama Peter ini bertanya pada Nita, apakah Nita mau bekerja untuknya, tentunya dengan senang hati Nita akan menerima, Nita sangat ingin bekerja, karena keuangan ia dan ibunya sangat membutuhkan perpanjangan untuk menyambung hidup.
“Kalau boleh tahu, kerja apa ya mister. Hm...mister, sebentar lagi kita sudah hampir sampai ke alamat yang mister tuju.” Nita tiba-tiba sedikit khawatir, mengapa tiba-tiba sang bule menawarkan kerjaan padanya, semudah inikah hidup, setelah yang selama ini ia lalui? Itulah yang ada dalam pikiran Nita. Mr.Peter menangkap keraguan Nita, lalu si bule mencoba menjelaskan pada Nita.
“Well... Saya ini pekerja dari luar, dan sering berpindah-pindah, saya sudah dua tahun di sini, sepertinya masih akan lama di sini, saya di kontrakkan rumah bersama seorang teman saya, kami satu perusahaan, tapi...nanti dia mau menikah dan pindah dia, saya cukup kesulitan berada sendirian di rumah, sedangkan untuk seseorang yang akan bekerja untuk saya nanti, saya mencari yang dapat dipercaya, saya belum juga menemukannya, sebenarnya saya sudah tiga kali perhatikan kamu berjalan-jalan disekitar sini, kebetulan saya sedang ada keperluan disini. Jadi saya coba ingin kenal kamu Nita, dan saya senang, sepertinya kamu bisa bekerja untuk saya. Apalagi kamu baru di sini, itu artinya kamu, bisa dipercaya, yah..., I guess so.” Mr. Peter secara tak disangka oleh Nita sangat berterus terang. Nita masih saja menyimpan kekhawatirannya. Secara tiba-tiba Nita teringat ingin kembali pulang.
“Oh iya mister, bagaimana Nita mau kembali lagi ke arah rumah, aduh...bagaimana ini..?” Nita terlihat panik dan cemas.
“Wow, I got it, ternyata kamu memang orang yang tepat.” Si bule tertawa lepas, Nita bertambah khawatir dan semakin merasa takut.
“Maksud mister apa ya? Kok.....” Nita mulai pucat pasi, Nita membayangkan yang buruk yang akan menimpa dirinya.
“Nita, mengapa kamu jadi ketakutan, saya bukan orang jahat, maksud saya tadi ini, kamu tidak berpikir panjang, dan dengan mudah ikut bersama saya, tapi tahu..saya ..mm.. kamu sungguh-sungguh ingin membantu saya mencari alamat yang saya tadi tanyakan kepada kamu. Hanya saja....kamu terlalu polos untuk berpikir yang macam-macam..ya..mm.. mengenai orang baru yang kamu temui. Seperti itu maksud saya.” Mr. Peter berbicara dengan panjang lebar yang sebenarnya cukup repot juga untuk Nita mengerti, karena kosa kata yang kadang terdengar terbalik-balik dan dengan logat yang pasti nya tak biasa Nita dengar.
“Jadi, bagaimana mister, Nita mau pulang.” Nita nampak bertambah cemas. Dan tak di sangka-sangka, si bule bertanya satu hal yang sangat membuat Nita terdiam sejenak, mengembalikan rasa sedihnya, yang sering ia rasakan.
“Sorry Nita, may I know, what happened with your eye, at the left side, mm..like a crossed eyed...mm...sorry..sorry....I didn’t mean to make you feel bad, I just want to know.” Mr.Peter seketika salah tingkah manakala melihat Nita terdiam seribu bahasa.
“I’m sorry Nita, ma’af ya, mm...saya antar kamu pulang sekarang ya, terima kasih sudah mau berbicara dengan saya, tapi sungguh saya minta ma’af Nita, ok...are you OK?” Mr.Peter sangat merasa bersalah.
“It’s ok sir, Nita tidak apa-apa, ini jugalah yang membuat Nita belum bisa mendapatkan pekerjaan mister, karena orang-orang yang menginterview Nita pada akhirnya hanya akan menanyakan keadaan mata kiri Nita ini mister. Ini, (Nita menunjuk pada mata kirinya) ...it’s a fake eye sir.” Nita akhirnya meneteskan air mata, hanya setetes, ia segera mengusapnya dan menarik nafas dalam-dalam, lalu perlahan menghembuskannya kembali.
“Nita tak menyalahkan mereka, hanya saja Nita kecewa, mengapa mereka tidak percaya, atau setidaknya mencoba saja dulu memberi kepercayaan pada Nita, untuk membuktikan bahwa Nita ini mampu seperti yang lainnya!!, hhh...ma’af mister, Nita jadi emosi, bisa mister tolong antarkan Nita pulang sekarang, please...” Nita meminta Mr. Peter yang baru saja dikenalnya itu, untuk mengantarkannya pulang. Mr.Peter mengantarkan kembali Nita ke tempat di mana tadi pertama bertemunya Mr. Peter dengan Nita. Nita tak mau membawa Mr.Peter ke rumahnya, meskipun Mr.Peter menyarankan untuk mengantarkan Nita sampai rumahnya. Dan, tibalah Nita ke tempat semula, sebelum turun dari mobil Mr.Peter memberikan kartu nama miliknya untuk Nita. Mr.Peter bertanya nomor telepon Nita, dan Nita mengatakan ia tak memilikinya.
“Nita tidak ada nomor telepon?!?..mm... saya sebenarnya tidak percaya, tapi ya tidak apa, itu hak kamu untuk tidak memberitahu orang lain seperti saya yang baru kamu kenal, saya tidak baik mungkin bagi kamu, saya seorang yang tua yang telah membuat kamu merasa mungkin...aneh, well, terima kasih untuk waktumu, if you don’t mind, please call me, whenever, ok Nita...see you.” Mr. Peter telah berlalu pergi. Nita seperti baru terjaga dari mimpi, ia tersentak sambil menghela nafas panjang seperti melenguh. Ia berkata dalam hatinya. ‘Kenapa tak ku coba saja dulu, apa pekerjaan itu, semoga bisa aku jalani’.
Setiba di rumah, Nita bercerita semuanya kepada ibunya, dan ibunya Nita hanya diam dan meminta pendapat Nita terlebih dahulu, ibu dan anak ini mengutamakan komunikasi yang dua arah, selalu terbuka, kunci utama ke harmonisan ibu dan anak, yang selalu dipertahankan antara Nita dan ibunya. Keesokkan harinya.
“Nita maunya sih buk, Nita coba aja dulu yah buk, siapa tahu kerjaannya cocok dan yang penting dapat uang, kan halal ya buk?” Nita bertanya pada sang ibu.
“Iyahh..., kalo itu pendapat kamu, dan sepertinya memang itu cukup baik, ibu setuju sama Nita nak. Coba Nita tanya sama tuan itu, pekerjaan apa yang akan ia berikan.” Nita pun tersenyum, dan segera mengcalling si bule. Mr.Peter menyambut telpon dari Nita dengan cepat, dan suara yang amat ramah.
“Hello Nita...! What’s make you call me, I hope you accept my offer to you. Apa kamu menelpon untuk memberitahu, bahwa kamu bersedia terima tawaran saya, apa itu hal yang akan kamu sampaikan?” Mr.Peter berbicara sangat bersemangat. Seperti biasa, Nita agak repot mencerna kalimat si bule.
“Eh..hm...iya sir, Nita mau tanya dulu, apa pekerjaan yang akan dikerjakan?” Nita akhirnya to the point saja.
“Nanti saya temui kamu di tempat warung itu kemarin ya?” Mr. Peter memberi saran.
“Ok sir.” Nita menjawab dengan singkat.
“Yes, OK. See you soon at there.” Mr.Peter menutup telpon.
Nita telah menunggu di tempat yang telah disepakati dengan Mr.Peter. Tak lama kemudian, si bule tiba, dan mengajak Nita naik ke mobil, si bule meyakinkan Nita untuk ikut bersamanya, dan di dalam mobil telah ada seorang pria, teman satu rumah si bule yang setelah berkenalan, bule satu lagi itu bernama, Mr.Edward. Nita tersenyum, begitu juga si bule yang baru Nita kenal lagi.
Setelah tiba di rumah Mr.Peter dan Mr.Edward, mereka bertiga turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah, ternyata di dalam rumah juga telah ada seorang wanita cukup dewasa, yang diperkenalkan oleh Mr. Edward, sebagai calon istrinya, wanita itu bernama Shinta, lalu Shinta dan Nita berbincang cukup hangat, layaknya orang yang akrab ditengah orang asing.
Mr.Peter memberitahu pada Nita bahwa tugas Nita menggantikan tugas Shinta sebelumnya, yang mengurus semua pembayaran, tagihan bulanan, dan merapikan rumah, juga harus berbelanja, dengan mengendarai mobil, Nita diminta harus dapat mengendarai mobil, jika belum bisa akan diajarkan terlebih dahulu. Nita membatin dalam hati, ‘Ini sama aja dengan kerjaan asisten rumah ya kan?’....
“Bagaimana dek!? Apa kamu nggak setuju, ini kerjaan sepele yah, nggak apa-apa, nanti kalo kamu ada dapat pekerjaan lain, boleh kok minta berhenti dari sini, ya kan hunn?” Wanita bernama Shinta itu memanggil calon suaminya dengan sebutan ‘hunn’. Lalu Mr. Edward mengangguk mengiyakan.
“Iya, Nita...., dan kalau nanti saya punya ada pekerjaan yang cocok buat kamu saya beritahu pastinya ke kamu, ini hanya sementara, bagaimana Nita?” Mr.Peter menatap pada Nita dengan tatapan penuh harap.
“Iya dek, ....(Shinta mendekatkan bibirnya pada telinga sebelah kiri Nita....sambil berbisik...’Gajinya lumayan loh dek, sama seperti pekerja yang ada di perusahaan, sejumlah yang di bilang UMK atau UMR ituloooh...., malah lebih dari itu....’).
“Baiklah, saya terima, kapan saya bisa mulai bekerja, besok?” Nita spontan menjawab persetujuannya. Tampak Mr.Peter sangat sumringah, dan wanita bernama Shinta itu menghela nafas pertanda lega.
“Terima kasih banyak loh dek Nita. Kita sudah pernah beberapa orang kita interview, tetapi kebanyakan malah matre, minta gaji sesuai keinginannya, karena dianggap ini orang asing, malah ada yang salah paham, malah menganggap dirinya akan menjadi nyonya rumah...ups...sorry...kelepasan bicara. Ma’af ya, hhh...” Shinta menggigit bibir bagian bawahnya.
“Apa mbak, hm....Nita sih, ikut aja apa peraturannya di sini mbak.” Nita merasa sedikit menghangat pada telinganya, karena Nita sebenarnya juga sedang berkhayal kalau dia menjadi tuan rumah, tapi tidak dengan cara menjadi nyonya rumah dari si penghuni rumah. Yah...lamunan anak remaja, begitulah.
“Akhirnya semua selesai, saya bisa tenang bekerja, dan tak perlu pindah juga dari sini.” Mr.Peter terlihat benar-benar lega, dan ucapan itu memecah lamunan Nita.
Nita bercerita pada ibunya, sewaktu dia telah tiba di rumahnya, dan Nita juga meminta izin pada ibunya, bahwa nanti di saat Mr. Peter pergi ke luar kota atau ke luar negeri, maka rumah itu haruslah Nita tempati dan menginap di sana, sang ibu hanya mengiyakan dan berpesan pada Nita untuk berhati-hati dan selalu menjaga kesehatan.
Nita bekerja dengan riang gembira, Nita pun akhirnya dapat mengendarai mobil dengan benar, Nita sekarang sudah sedikit berubah, tampilannya semakin cantik, bersih dan juga terlihat sedikit lebih dewasa, Nita sudah pandai berhias diri, Nita juga sudah mulai suka memakai make-up wajah, membeli pakaian-pakaian yang cantik dan cukup mahal. Terlebih lagi Mr.Peter sering membawakan oleh-oleh buat Nita, entah itu berupa pakaian, atau jam tangan, dan seringnya membawa makanan ringan yang berasal dari tempat Mr.Peter kunjungi.
Akhirnya, sesuatu dikemukakan oleh Mr.Peter terhadap Nita.
“Nita, saya mau berbicara sangat pribadi pada kamu, saya.......emm...saya...Will you marry me, Nita? Saya tahu, saya terlalu tua untuk kamu, tapi saya tetap mengutarakan ini, agar saya tahu perasaan kamu, jika kamu mau menjawab apa saja yang akan kamu katakan. Saya akan terima, I’m sure...., meskipun kamu tolak saya juga terima hal itu, bagaimana Nita?!” Mr.Peter sangat mengejutkan Nita, lalu Nita menjawab seketika itu juga, secara lugu dan spontan.
“Mister kan tahu Nita seperti ini, tidak sempurna, apa mister hanya sekedar..mm..mm.. ma’af ya mister Nita mau to the point, hanya karena... mister tahu bahwa Nita still ‘virgin’, saat kita pernah berbicara mengenai pribadi Nita, keluarga dan keseharian Nita waktu itu?. Nita keceplosan mengatakan itu saat mister dengan gamblangnya bertanya, dan dengan polos dan yahh... sedikit kebodohan, Nita menjawab bahwa mm...., I’m still virgin. Mister......, Nita akan bertanya juga sama mister.” Nita pun terdiam.
“Tanya apa Nita! Tanyakan lah...! Apa kamu hendak bertanya, apa benar saya ingin menikahi Nita?” Mr.Peter menatap ke arah langit, di balkon, di depan kamar yang di sulap menjadi kantor di rumah kontrakkan Mr.Peter itu.
“Saya bersungguh-sungguh, tapi saya sadar, saya terlalu tua untuk kamu, thirty years the different between us. Saya hanya suka saja untuk berterus terang, jika Nita tidak suka, ya tidak apa-apa.” Mr.Peter terlihat tersenyum pada Nita.
“Mister....., Nita bicarakan dulu ini dengan ibunya Nita yah, dan nanti Nita pikirkan, Nita juga suka kok dengan yang terus terang. Nita sekarang pamit pulang dulu yah mister, ini sudah hampir malam, pekerjaan sudah Nita selesaikan semua, ok mister, good night.....” Nita menuruni anak tangga rumah itu, lalu menuju jalanan dan menaiki taxi untuk pulang menuju rumah dimana adik dan ibunya berada.
Semangattt
Comment on chapter Chapter 1