Read More >>"> Senja Belum Berlalu (Chapter 1) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Senja Belum Berlalu
MENU
About Us  

Nita baru pulang dari suatu tempat, ia pergi dari jam delapan pagi, hingga petang hari jam tiga sore. Ia sangat sedih, dengan perut yang juga sudah terasa lapar, ia mengetuk pintu rumah, lalu masuk dengan sendirinya setelah bapaknya katakan ‘masuk saja nak, bapak lagi istirahat’.

"Nita nggak lolos bapak. Ini sudah yang kedua kalinya.” Nita berkata pada bapaknya sambil berurai air mata.

“Bapak mau bilang apa lagi Nita, sudah sering bapak katakan pada mu nak, cari yang lain saja, jangan terlalu memaksakan dirimu. Kamu memang berbeda dengan yang lain, tapi kamu istimewa bagi bapak, anakku. Bapak sudah katakan sama Nita, bapak akan jual satu-satunya sisa harta bapak buat kamu, agar kamu melanjutkan kejenjang kuliah nak."

"Bapak ini sayang sama Nita, apa Nita tidak yakin?, apa Nita anggap karena bapak sakit begini,  keadaan bapak seperti ini, itu artinya bapak tidak akan bisa menyayangi kamu lagi?, mencukupi keperluan kamu seperti biasanya nak? Apa bagi kamu terlalu penting, jika bapak sehat dan sangat sehat seperti dulu, sehingga baru ada lagi keceriaan kamu Nita, anakku?” Bapak menatap kedua mata Nita, yang mana bagi Nita, hanya bapak dan ibunya saja yang mengerti bahasa sorot matanya.

Bapak lihat apa di mata kanan Nita, dan......, bapak lihat apa di mata kiri Nita. Pasti seperti biasanya kan pak? bapak selalu bilang, kamu..., anak bapak yang kuat, yang cerdas, dan bukan masalah penglihatan, tapi karena pandangan hidup kamu akan jauh lebih baik dari orang lain.” Nita setengah bertanya sambil terus mengusap air matanya.

Nita duduk di samping bapaknya, sambil bersandar meliukkan tubuhnya kesebelah kanan sisinya. Artinya Nita berada di sisi kiri bapaknya, yang tengah duduk dilantai beralas tikar, bersandar pada dinding rumah, dan dengan keadaan kesehatannya yang semakin hari semakin memburuk.

“Jika posisi kamu selalu seperti ini, itu artinya kamu sedang benar-benar bersedih nak, apa yang sudah terjadi?” bapak dan Nita hampir bersamaan menghela nafas panjang.

“Nita mau ambil minum dulu ya pak.” 

Nita segera pergi ke dapur untuk mengambil dua gelas air minum, lalu kembali ke tempat di mana sang bapak sedang duduk bersandar di sofa sederhana di rumah itu, sambil menekan-nekan dadanya.

“Bapak......, dada nya terasa sakit lagi ya?” Nita memberikan minum kepada bapaknya. Kemudian Nita membantu mengurut dada bapaknya dengan obat gosok, yang memang sudah biasa berada di dekat bapaknya.

“Tidak sakit Nita, bapak hanya merasa sedikit sesak saja nak, ini mungkin karena semalam bapak makan sate yang bapak pesan untuk kamu belikan itu. Tadi saja baru selesai makan bubur ayam, bapak beli di depan rumah, tadi lewat sini. Bapak makan aja meski ada ayamnya, karena bapak udah laper tadi.” Bapak terus saja menekan dadanya sambil minum obat untuk sakit jantungnya yang tersisa sedikit.

“Nita mau katakan bapak bandel, Nita nggak sampe hati, karena bapak menjelaskan semuanya, mengapa bapak bandel. Tetap saja bapak seharusnya tidak makan makanan yang dilarang oleh dokter. Ibu saja sudah sangat kesal sama bapak.” Nita tidak lagi menangis, kini malah berubah cemas dan sedikit kesal.

“Nit, bapak mau istirahat sebentar nak, tolong rapikan bantal-bantal ini, bapak mau berbaring ya nak.” Bapak terlihat berhenti menekan-nekan dadanya. Nita mempersiapkan tempat untuk bapaknya berbaring.

“Pak, ini sudah Nita rapikan, bapak tidur dulu ya, Nita mau ke rumah Ibuk dulu, sebentar ya pak.” Nita membantu bapaknya berbaring, lalu pergi menuju rumah ibunya.

Letak rumah ibunya Nita dengan bapaknya Nita hanya berkisar kurang dari satu kilo meter. Setibanya di rumah sang ibu, Nita mengetuk pintu rumah, tak lama ibunya pun menyambutnya. Lalu mereka berdua duduk bersama.

“Bu, obat bapak hampir habis, apa ibu sudah ada uang untuk bantu membelikan obat bapak?” Nita dengan wajah memelas dihadapan ibunya. 

“Niiit..., bapak kan pensiunan, gajinya kemana aja nak?, ibu kan yah seperti inilah, kalo jualan lagi rame, lumayan dapat uang. Kalo lagi sepi, kadang malah nggak dapet sama sekali nak. Coba Nita tanya bapak, masih ada nggak uang di dalam rekening bapak. Semoga saja masih ada, untuk membeli obatnya lagi. Nanti kalau kurang sedikit, bisalah ibu bantu. Oh iya, bagaimana hasil test kamu nak, apa mm.....berhasil, atau malah...” ibunya Nita terhenti berbicara.

“Iya bu, benar dugaan ibu, mana mungkin Nita lolos test itu, kan ibu tahu, seperti yang pertama kemarin itu. Nita cuma bawa kegagalan dan kesedihan, bahkan kali ini ada satu yang menggores dihati Nita buk, mmm... bukan satu, tapi banyak..hu..hu.....ibuuu....”Nita menangis di pangkuan ibunya, yang sedang duduk sambil berselonjor kaki di lantai. Sang ibu mengusap rambut anak kesayangannya.

“Kalau Nita nggak mau cerita ya ndak apa-apa, tapi kalau cerita bisa membuat Nita lebih lega, ibu akan dengarkan nak. Meskipun itu cerita yang menggores hati Nita, bahkan mungkin ibu yang paling terluka mendengarnya.” Ibu mengusap sekali lagi helaian rambut anaknya.

“Bu....., tadi pada waktu akan foto rontgen di bagian dada, ada seorang melakukan pelanggaran ke Nita bu, seorang yang bukan berjenis kelamin seperti Nita, sentuh dada sebelah kanan Nita ini bu, dengan dalih ingin menepatkan letak untuk di foto, Nita jijik benar-benar jijik bu. Nita....hik..hik...Nita tahan rasa malu, jijik dan juga emosi. Setelah kejadian itu, ada lagi bu seorang perawat wanita di klinik itu, marah-marah sambil menghina Nita, dia bilang Nita bego, sembarangan saja meletakkan wadah kecil tempat untuk menampung sedikit urine untuk di test di laboratorium. Nita ....Nita nyengir aja bu..hik..hik...," sambil mengusap linangan air matanya.

"Setelah semua berlalu dalam waktu empat jam, hasil diterima dan Nita lihat hasilnya, dari hasil darah, hasil test urine, hasil rontgen, dan scan semua bagus, lalu masuk ke bilik terakhir untuk pemeriksaan mata.” Nita menghentikan ucapannya.

Ibunya Nita tak hendak bertanya.

“Nita sudah makan nak? Ibu masak sambel jengkol terasi kesukaan kamu, kan sudah nggak test-test an lagi kan, ayo makan jengkolnya, enak banget loh, cuuup, udah sayang jangan nangis terus, nanti nambah susah hati kamu. Ibu selalu bilang kan, kalau nangis cepat kamu hentikan, karena akan membawa kamu bertambah larut dalam kesedihan, sementara hidup nggak butuh air mata sayang, hidup itu memerlukan perjuangan untuk melawan hal-hal yang membuat kita lemah dan lengah. Ayo, sekarang bangun, cuci tangan, lalu makan, setelah itu Nita belikan obat buat bapak ya?” ibu menuntun anaknya menuju meja makan yang nampak reyot di makan usia.

Nita lupa untuk melanjutkan cerita sedihnya, dan akhirnya makan ditemani ibunya, yang sudah makan sebelum Nita tiba di rumah itu. Ibu Nita menyiapkan gado-gado yang masih ada lebih dari dagangannya, dan menambahkannya dengan gorengan tempe yang renyah. Nita makan dengan lahap dan dengan rasa syukur.

“Ibu ada uangnya buat bantu beli obat bapak?” Nita terlihat lebih bersemangat.

“Iya ada, pakai aja dulu nak, nanti ibu cari lagi rezekinya, dan kalau nanti ibu butuh, ibuk juga biasa pinjam sama bapak mu nak.” Ibu melihat nasi Nita sudah hampir habis dan nampaknya Nita masih ingin makan, lalu ibunya menambahkan sedikit nasi juga sambel dan sayur secukupnya ke piring Nita. Nita mengucapkan terima kasih dan melanjutkan makan.

“Nanti selesai makan kalo mau pulang pamit dulu sama ibuk ya...?” Ibu beranjak hendak meninggalkan Nita, dan menuju ke arah mesin cuci yang juga sudah lusuh dimakan usia.

Mesin cuci itulah, yang sudah lima tahun belakangan sebagai alat untuk mendapatkan tambahan rezeki bagi ibunya Nita. Disamping itu, ia  juga berjualan gado-gado. 

Ibu Nita membeli mesin cuci itu hasil dari menjual cincin emas miliknya, yang pernah diberikan oleh bapaknya Nita dulu.

Lima tahun yang lalu, ibu dan bapaknya Nita memutuskan untuk berpisah secara baik-baik, dikarenakan bapaknya Nita dipaksa menikah dengan wanita pilihan ibunya.

Alasannya pada saat itu, neneknya Nita sudah sangat banyak berhutang, baik hutang uang ataupun hutang budi pada orangtua calon istri baru untuk bapaknya Nita waktu itu. Seperti yang dikatakan neneknya Nita pada ibu dan bapaknya Nita, lima tahun yang lalu, di saat Nita baru kelas 1 smp, dan dia belum tahu apa-apa mengenai hal itu.

Nita hanya teringat ibunya menangis sangat sedih selama berhari-hari, sementara bapaknya pergi begitu saja, sambil membawa adik semata wayang Nita, bernama Rian.

Setelah Nita beranjak remaja dan berusia 17 tahun, bapak Nita kembali menemui ibunya dan dia, bersama adik semata wayangnya. Tidak dengan yang lainnya. 

Bapak Nita bercerita bahwa, tak lama dari kepergiannya dan istri barunya kekampung halaman, nenek dan kakek Nita meninggal bersamaan, dikarenakan bencana alam yang menimpa. Sementara, ia dan istri barunya waktu itu, memang tidak lama tinggal di kampung itu. 

Namun berselang waktu tidak sampai setahun, dari kepergian kakek dan nenek Nita, kemudian menyusul juga istri baru dari bapaknya Nita kala itu, di sebabkan penyakit kanker yang dideritanya. Dan memang semua berita mengenai kakek, nenek dan ibu tirinya, Nita sudah mengetahuinya melalui ibunya.

Itu artinya, bapak Nita pergi kurang lebih selama lima tahun, tanpa banyak perubahan. Dikarenakan, bapaknya belum sempat mempunyai anak dari istri barunya itu. Namun apa hendak dikata, jodoh dari ibu dan bapaknya Nita hanya sebatas itu saja.

Lalu bapaknya Nita kembali ke rumah, dimana pertama kali bapaknya meninggalkan Nita dan ibunya. Sedangkan ibunya Nita pindah dan mengontrak rumah yang lokasinya tak jauh dari rumah tempat tinggal bapaknya Nita.

Meskipun tinggal berdekatan, tetap tak membuat jodoh itu menyatu kembali. Ditambah, bapaknya Nita yang akhirnya menderita sakit jantung yang cukup parah. Keadaan itulah, yang membuat bapaknya Nita sangat tahu diri, dia tak ingin menyusahkan mantan istrinya yang sudah banyak ia sakiti hatinya. Meskipun ibu Nita sudah pernah menyatakan bersedia untuk kembali bersatu, namun apalah daya, sang bapak sungguh sangat merasa bersalah dan malu terhadap mantan istrinya ini.

Itulah penggalan kisah dan cerita dari keluarga Nita. Hanya orang-orang yang memiliki banyak pengalaman menyulitkan dalam hidup, yang dapat mengerti mengapa ibu dan bapak Nita tak dapat bersatu lagi.

Sebagian mempertanyakan dengan nada aneh, dan sebagian lagi pernah mempertanyakan dengan raut wajah sinis, yang sebenarnya tak acuh, namun hanya ingin tahu kisah hidup orang lain saja.

“Ibu....! Nita udah selesai makannya, Nita ingin membeli obat buat bapak, tapi...Nita akan cerita sampai selesai, yang ingin Nita ceritakan pada ibu, ibu mau mendengarkannya kan? Mumpung belum terlalu sore ini buk.” Nita mendekat pada ibunya yang sedang berada di belakang rumah, sambil mencuci pakaian yang telah berada di rumahnya, milik orang-orang yang berlangganan laundry pada ibunya Nita. Ibunya sibuk, sembari menunggu cucian dalam mesin cuci, ibunya Nita melipat pakaian yang telah kering dan telah diangkat dari jemuran. Nita ikut membantu melipat, untuk dimasukkan dalam keranjang besar, dan siap untuk di setrika. Yah...., ibunya Nita terkadang hanya mengambil dua sampai empat pelanggan saja untuk perbulannya, dengan jadwal yang diselang seling untuk waktu pencucian, itu saja sudah sangaaaat membuat ibunya Nita kerepotan, karena mengerjakannya hanya sendirian saja.

“Sebentar nak, ibu matikan dulu mesin cuci ini, dan kita bawa masuk ke dalam rumah pakaian yang sudah kita lipat. Biarlah direndam saja dulu pakaian yang baru hendak di cuci ini. Soalnya nggak bisa ditinggal, karena airnya di tuang secara manual. Biar nanti saja ibuk kerjakan. Ayo nak, kita masuk.” Nita dan ibunya menuju ke dalam kamar ibunya yang hanya ada kasur tidak empuk berada di dalam bilik itu. Juga sebuah lemari pakaian sisa peninggalan dahulu sewaktu diberikan oleh bapaknya Nita.Adik kecil Nita baru duduk di bangku kelas 2 sd. Adiknya Nita kini tinggal bersama ibunya, sementara Nita tinggal bersama sang bapak, semenjak bapak nya Nita sakitnya semakin parah.

“Hmm...., apa yang hendak Nita ceritakan nak?” ibu bertanya perlahan pada Nita.

“Oh iya buk, kemana adek? Sedang main di rumah siapa?” Nita bertanya pada ibunya kemana adiknya pergi bermain.

“Udaah..., cerita aja Nit, iya adekmu si Rian sedang main di rumah temannya dekat sini kok. Sebentar lagi juga pulang, mau mandi sore.” Ibu lalu meminta Nita langsung menceritakan, hal apa yang ingin Nita ceritakan.

“Itu buk, sebenarnya....hampir saja dokter itu menandatangani hasil akhir keseluruhan test, setelah ia menekankan penanya pada kertas dan hendak memberi tanda tangannya. Nita dipersilahkan asisten disamping dokter itu untuk keluar ruangan, dan Nita merasa Nita berhasil, tapi.....tiba-tiba si dokter memanggil Nita, dan belum sempat pintu ruangan itu terbuka, Nita dimintanya untuk duduk kembali dihadapannya. Ia memperhatikan dengan detail pada kedua mata Nita buk.......” Nita kembali menitikkan air matanya, meskipun tak ada suara tangis, ibu nya Nita sangat memahami keadaan seperti demikian ini, tentunya amatlah melukai perasaan anaknya yang hanya terdiam, lalu ibunya Nita setengah menggenggam kedua belah pipi anaknya dan berkata.

“Nita....., kamu itu kuat, kamu terbiasa nak, jangan pernah menyerah dan cengeng, apalagi sampai menyalahkan keadaan, itu tak berguna, apa ada gunanya kamu menangis selain hanya sekedar untuk menambah kuat diri kamu, nak?” ibu bertanya setengah menegaskan pada Nita, bahwa Nita harus selalu kuat, ini tidak seberapa, dibandingkan keadaan beberapa orang lain yang terlebih parah dari yang sekarang Nita hadapi.

“Iya buk, Nita nggak menyalahkan keadaannya Nita buk, tapi...Nita cuma tidak suka atas sikap pak..eh dokter Harris terhadap Nita, soalnya..mm.......dokter itu menyatakan bahwa Nita tidak bisa si luluskan, karena nanti ia takut melanggar kode etiknya dia, atau juga dia bilang, kalau Nita lulus akan beresiko merusak nama baik tempat perekrutan di mana Nita terdaftar, meskipun sudah diluluskan dari pihak perusahaan yang berkepentingan pada test pertama dan kedua. Jadi..., Nita terima saja, Nita keluar dari ruangan itu dan pulang. Air mata Nita tak terbendung buk, bukan karena Nita tidak dapat kerjaan itu, tapi.....Nita teringat bapak buk. Nita ingin sekali bapak berobat ke rumah sakit terbaik dan melakukan operasi dan segera sembuh.....hu..hu....oh iya buk, apa sakit bapak yang tak dapat kita obati dengan layak itu juga takdir?” Nita menatap pada sang ibu.

“Ststt...Nita, mengapa kamu berkata seperti itu nak? Ibu tidak ingin Nita menjadi kerdil dalam berpikir. Ingat Nita, kehidupan tidak butuh....” ibu nya Nita belum selesai berbicara Nita sudah menimpali ucapan ibunya.

“Kehidupan tidak butuh lemahnya kita, hidup butuh tindakan kita dan perjuangan kita, ibuk..ibuk...Nita sampai detik ini belum dapat balasan dari kehidupan, dari hasil Nita berjuang dan bertindak, Nita .....Nita akan coba lagi.” lalu Nita bergegas pulang. Ia memeluk ibunya dan mencium pipi kanan sang ibu.

Ibu Nita belum sempat berkata apa-apa, namun sang anak sudah hilang dari hadapannya. Sang ibu hanya berkata pada dirinya sendiri, ‘Ibu berharap kamu mendapatkan yang terbaik untuk mu nak, selalu...selalu’, sang ibu lalu mengusap titik air mata di pelupuk matanya. Do’a sang ibu tak pernah putus untuk anak-anaknya.

Sementara Nita sudah berada di depan pintu rumah di mana ia dan bapaknya tinggal. Ia membawa obat untuk bapaknya.

“Bapak, ma’af ya pak Nita baru pulang, tadi di rumah ibuk, Nita makan dulu, cerita dulu,, dan Nita beli obat untuk bapak, soalnya Nita lihat obat bapak sudah hampir habis, dan bapak nggak perlu bilang, ‘Kenapa kamu mintak sama ibuk kamu nak, bapak tidak suka kamu menyusahkan ibu kamu karena bapak, dan lain-lain...dan lain-lain’. Pokoknya sekarang Nita mau makan sama bapak, ini tadi juga Nita di bungkusin ibuk sambel, lauk, juga sayurnya, nasi nya Nita ambil dulu di meja ya pak.”

Nita bergegas menghidangkan makanan dan segera menyantapnya bersama dengan bapaknya, karena hari sudah mulai malam. Dikarenakan dari pagi Nita tidak ada makan sama sekali, hanya membeli minum air putih dan beberapa butir permen, maka dari itu Nita sudah mulai terasa lapar kembali saat hari sudah akan malam, meskipun baru beberapa jam lalu ia makan di rumah ibunya, dan Nita tahu, tentunya sang bapak juga sudah merasa lapar. Tadi siang sebelum Nita pergi ke rumah ibunya, Nita sempat meletakkan semangkuk sayur sop yang ia beli di warung makan dekat rumahnya, untuk bapaknya makan siang, sementara Nita sengaja pergi ke tempat ibunya untuk makan agar bisa sedikit menghemat pengeluaran uang belanja yang dititipkan bapaknya kepadanya.

Dan setelah bapaknya Nita dan Nita selesai makan, Nita membereskan dan membersihkan tempat yang dipakai untuk makan tadi, dan setelah bersih dan rapi kembali, Nita pun mengajak bapaknya untuk berbincang-bincang sejenak.

“Pak, kenapa bapak tidak kembali sama ibuk, Nita yakin, ibuk mau menerima bapak kembali, ayolah pak, jangan seperti ini, dan....jangan bapak katakan bahwa Nita bosan dengan keadaan ini, tidak pak, Nita hanya ingin melihat ibuk dan bapak bersama, saling melengkapi dan bisa bersama menjalani sisa hidup dengan tenang, hh...tapi bapak....Nita juga nggak tahu sebenarnya apa yang bapak dan ibuk rasakan, ini Nita hanya ingin ibuk dan bapak bersama, itu saja.” Nita mendengar lagi jawaban yang sama dari ucapan bapaknya, dan Nita hanya mengangguk-angguk dan mengiyakan semua ucapan sang bapak. Setelah bapaknya katakan ingin istirahat, lalu Nita merapikan kembali tempat yang akan dipakai untuk bapaknya tidur, sementara Nita, merapikan tempat tidurnya di dalam kamar yang sangat kecil, dengan ukuran 2x2,5 meter.

Malam hampir larut, Nita belum juga dapat memejamkan matanya dengan damai, ia kembali ke masa-masa yang telah ia lewati.

“Hey juling..juling....., kamu kok pede yah mau ikutan lomba nyanyi itu, apa nanti gak minder.” ucapan seorang teman saat itu sangat menyayat hatinya. Sering terngiang-ngiang di telinganya. Nita hanya diam. Ia teringat pada akhirnya ia batal ikut kontes menyanyi itu. Itu masa di sekolah dasar yang ia sering teringat kembali.

Ada lagi perkataan yang lainnya yang juga sering teringat kembali.

“Kamu kalau mau protes liat aja dulu diri kamu, kenapa gak kamu ngaca aja dulu?” itu terjadi pada saat acara debat dan diskusi di sekolahnya semasa di sekolah menengah pertama. Selalu disangkut pautkan kekurangannya dengan hal-hal yang tak menyangkut sedikitpun terhadap kekurangannya itu. Itulah yang membekas cukup perih di ingatan Nita.

Ada lagi perkataan yang juga cukup menyakitkan, dari seorang yang menyebut dirinya sahabat Nita.

“Kamu naksir? Emangnya dia mau sama kamu, yah iya sih kamu cantik juga, tapi...mm...jangan marah ya, ini ngomongin kenyataannya aja, dia itu play boy, mantan-mantan dia itu semua bisa dikatakan ‘perfect’, apa nanti kamu nggak takut cuma dimainin aja sama dia, meskipun dia bilang dia suka sama kamu, aku sebagai sahabat kamu yang gak mau ngomong dibelakang, ini aku sampaikan buat kamu berhati-hati Nit, kamu jangan tersinggung yah, aku ngomong kayak ini. Aku sayang sama kamu sahabatku.” ucapan Rina sahabat dekat Nita semasa SMA ini memang sangat di mengerti oleh Nita, namun yang tak dimengerti Nita adalah, ternyata Rina lah juga yang akhirnya merebut perhatian Eko, anak laki-laki yang disukai Nita dan juga sebenarnya menyukai Nita. Nita hanya bersabar, kembali bersabar dan menahan rasa marah dan sedihnya.

Daa...an, yang paling membuat Nita bersedih adalah kenyataan yang sebenarnya, saat ia akan memulai mengerti kehidupan yang keras sesungguhnya.

Nita menerima kenyataan bahwa kekurangannya ini sebenarnya cukup membuat ia terganggu untuk terus bersabar dan berharap yang terbaik.

“Ma’af ya mbak Nita, saya tidak dapat meluluskan kamu, karena seandainya saya di sini meluluskan kamu, nanti di sana akan ada test lanjutan, lalu kamu di tolak akan lebih menyusahkan kamu mbak Nita, sekarang pikirkan bagaimana baiknya, terima hasil ini, lalu mbak Nita mencoba peruntungan lain, untuk mencari pekerjaan yang lain, saya coba rekomendasikan ini untuk mbak Nita, silahkan di coba ya, semoga ada keberuntungan di sini. Meskipun tak seberapa, namun cukup juga untuk sementara kamu mencari yang lain, seperti yang kamu bilang, tak ingin menyusahkan orang tua mu lagi, kamu ingin mencari kerja untuk biaya hidup kamu sendiri. Ini alamat resto nya.” Bu dokter yang cantik dan baik hati itu memberikan bantuan, namun sayangnya.....

Lamunan Nita berlanjut, ternyata Nita tak juga dapat bekerja dengan baik di resto yang di rekomendasikan oleh sang dokter. Dikarenakan, nyonya si pemilik resto, terganggu dengan tampilan Nita yang dianggapnya mengganggu pandangan, pada saat berbicara dengan Nita. Nita hanya bisa pasrah dan mengurut dada untuk bersabar...lagi..

Setelah sekian banyaknya drama kehidupannya yang kembali terkenang, yang cukup miris bagi Nita, hal satu inilah yang paling dirasa sangat mengecewakan bagi Nita.

“Ma’af Nita, meskipun kamu berhasil membaca seluruh huruf itu sampai yang paling terkecil, dan kamu di loloskan oleh perwakilan dari perusahaan itu, dengan dua kali test, tetap saja saya tak bisa meluluskan kamu begitu saja, itu namanya melanggar kode etik. Lah..jelas-jelas mata kamu ada masalah, yang sebelah kiri itu mata palsu, apa iya sama kualitas seseorang yang bermata satu penglihatan dengan yang normal di kedua matanya. Mohon ma’af saya mengatakan ini, tetap saya tak bisa memberikan tanda tangan ini, nanti biar saya bicara dengan Pak Erwin, seperti yang kamu  bilang, bahwa kamu dijamin olehnya. Ini nggak main-main, saya akan bicara dengannya nanti, jadi sekarang kamu boleh pulang, kamu tahukan bahwa hasilnya adalah, tidak lulus. Sekarang silahkan keluar, dan tolong dimengerti bahwa ini adalah tugas saya.” sang dokter angkuh itu hanya menatap pada kertas yang ada di hadapannya, tak mengacuhkan Nita yang sudah berurai air mata dengan tarikkan nafas tersengal-sengal tersesak. Kalimat sang dokter ia penggal pada saat ia menyampaikan ceritanya tadi siang di rumah ibunya, Nita tak ingin ibunya kepikiran dan merasa sakit hati terhadap dokter itu, Nita tahu persis bahwa ibunya juga tak sekuat seperti apa yang dikatakannya kepada Nita untuk selalu kuat dan tegar.

Sungguh itu adalah suatu yang dianggap oleh Nita sebagai penderitaan dan penghinaan yang paling buruk yang ia alami. Nita sempat hendak melawan perkataan dokter itu, namun ia berusaha menahannya. Ia hanya berkata.’ Tuhan, aku sudah cukup bersedih dengan keadaanku, mengapa mesti harus ada kata-kata yang sangat menyakitiku, apa salahku Tuhan?! Lindungi aku dari sifat buruk’, seperti itulah Nita berdo’a dalam hatinya sesaat ia sangat merasa sedih atas ucapan dokter itu.

Nita akhirnya terlelap di atas bantalnya yang sudah basah oleh air matanya yang seakan selalu siap untuk mengalir.

Keesokkan paginya, Nita tidak mendapati bapaknya di tempat tidurnya. Hari masih sangat pagi pukul 6 pagi.

‘Bapak kemana yah..?’ Nita bertanya dalam hati.

Tiba-tiba seorang tetangga datang menemuinya di depan rumah kecil tempat ia dan bapaknya tinggal.

“Nit, bapak kamu ada di rumah sakit, semalam jam sebelas malam bapak kamu datang ke rumah pak RW, bapak kamu hendak meminta bantuan pak RW untuk mencarikan pembeli dari tanah yang hendak bapak kamu jual. Lalu tiba-tiba, sakit jantung bapak kamu kumat lagi Nit, langsung aja pak RW dan beberapa w arga membawa ke rumah sakit, kami belum mau memberitahu kamu sampai pagi ini, jadi kamu sekarang kalau hendak ke rumah sakit biar anak ibu yang mengantarkan, sekarang kamu bersiap-siap aja dulu yah, ibu mau pulang dulu bilang sama anak ibu untuk nanti jemput kamu lagi kemari, ya Nit?” ibu Lela, salah seorang tetangga dekat rumah nya bapak Nita memang seorang yang baik hati . Nita hanya gemetar dan lagi-lagi menangis, dan Nita segera bersiap-siap hendak ke rumah sakit.

“Ayo Nit, kita pergi sekarang, tapi nanti kamu bisa pulang sendiri kan Nit, soalnya abang mau langsung pergi kerja, nggak bisa libur.”  seorang laki-laki bernama Setyo, anak dari bu Lela menawarkan bantuannya pada Nita.

“Bang, tolong antarkan Nita ke rumah ibuk nya Nita aja bang yah, nanti biar sama ibuk ke rumah sakitnya. Bisa kan bang?” Nita memberi alternatif lain.

“Oh iya , bisa...bisa...ayo sekarang kita pergi, rumah ibu kamu masih tempat yang lama kan?” bang Setyo ini juga lah yang cukup sering mengantarkan Nita pada saat Nita menjalani beberapa test untuk bekerja sebagai TKI, dan juga istri dari Setyo ini pun juga berbaik hati dengan Nita dan bapaknya, tak jarang setiap sehabis gajian, istri Setyo membawa oleh-oleh meskipun sekedar gorengan atau martabak, buat Nita dan bapaknya, itu sudah lebih dari cukup bagi Nita dan bapaknya, yang sangat merasa beruntung memiliki tetangga seperti bu Lela serta anak mantunya, yang mana di jaman sekarang pastinya hal itu sangat langka di temui.

Setibanya Nita di rumah ibunya. Nita segera memberitahukan yang terjadi, akhirnya ibunya Nita dan Nita pergi menuju rumah sakit. Bapaknya Nita tercatat sudah tiga kali keluar masuk ruang UGD dikarenakan penyakit jantungnya yang semakin parah. Kali ini pun ternyata tak ada perubahan sama sekali, malah terlihat dokter-dokter di sekitar bapaknya Nita, nampak cemas dan...., akhirnya salah seorang dokter yang sepertinya mengepalai pemeriksaan terhadap bapaknya Nita, mengangkat tangan sebelah kanannya dan melambai-lambaikan sambil menggeleng-gelengkan juga kepalanya. Sontak Nita dan ibunya menangis sejadi-jadinya. Nita menutup wajahnya sambil menggigit bibir bagian bawahnya, tubuhnya bergetar dan berguncang. Ibu Nita berusaha menenangkan Nita, walaupun air matanya tak henti keluar dengan deras. Yah...., tragedi itu menorehkan pedih ‘lagi’ pada hati Nita.

Persiapan  pemakaman hingga di makamkan, acar tahlilan, dan keperluan lain-lainnya, di bantu oleh banyak orang dan keluarga terdekat.

Nita seperti sedang bermimpi, mimpi buruk yang sangat membuat Nita terpukul. Nita dan ibu juga adiknya, kini hanya mereka bertiga saja menjalani hidup ini, Nita yang memang sangat menyayangi bapaknya, begitu juga sebaliknya. Nita merasakan sangat berat, karena ia sangat berkeinginan, bapaknya masih ada, dan sehat kembali, ia berharap dapat membahagiakan sang bapak meskipun tak banyak yang ia ingin persembahkan, Nita hanya ingin bisa memberi pengobatan terbaik bagi bapaknya, dengan harapan bapaknya dapat sehat kembali, namun itu hanya tinggal harapan belaka, inilah yang membuat Nita sangat merasakan kesedihan atas kepergian bapaknya.

Sepeninggal sang bapak, terjadi babak kehidupan yang membuat Nita pada akhirnya menjadi lebih egois dan merasa geram akan orang-orang yang menyusahkan ia dan ibu juga adiknya.

Pagi yang biasa saja bagi Nita, tiba-tiba, Nita melihat ibunya terlihat sedang termenung di dapur, dekat pencucian baju, Nita datang menghampiri ibunya.

“Ibuk...., kenapa ibuk melamun di sini.” lalu ketika Nita menatap pada wajah ibunya, Nita melihat pipi ibunya basah oleh air mata.

“Ibuk! Ada apa buk, kenapa ibuk nangis, ada masalah apa buk, Nita nggak ibuk beritahu, kenapa buuukk?” Nita cemas dan juga merasa sangat iba pada ibunya.

“Nit..., kemarin ada pamanmu datang kemari, kamu sedang di rumah sana untuk beberes. Paman itu adik kandung bapak kamu nak, kamu kenal kan?” ibu beranjak pergi dari duduknya dan menuju kamar.

“Ini Nit, paman kamu mintak ibuk tanda tangani surat ini.” ibunya Nita menyodorkan secarik kertas pada Nita, lalu Nita membacanya.

“Jadi ini....,surat wasiat bapak ya buk? Apa ini asli, apa betul? Padahalkan, bapak malah tadinya mau jual tanah itu, untuk sekolah Nita buk, kok malah jadi ini isinya, Nita nggak percaya buk, ini pasti ulah om Sarlan sendiri, membuat-buat wasiat bapak, atau malah memaksa bapak membuat ini, memang ini tandatangannya bapak, tapi...isinya sungguh mencurigakan buk. Sebentar buk, Nita mau fotocopy dulu surat ini.” Nita bergegas keluar rumah menuju tempat memfotocopy.

 

 

 

 

 

 

           

                       

 

How do you feel about this chapter?

1 0 0 1 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • Lestari

    Semangattt

    Comment on chapter Chapter 1
Similar Tags